Tuesday, May 19, 2009

Sepatu yang tinggal sebelah


“Ya ampun…nih sepatu banyak banget…”, mataku terbelalak saat pintu rak sepatu yang telah terbuka lebar itu menampakkan isinya. Koleksi aneka model sepatu, sandal, dan sepatu sandalku, yang tanpa kusadari telah begitu banyak jumlahnya, gara-gara hobi shopping ke mall yang memang tidak pernah sungguh-sungguh kukendalikan. Aku membeli dan membeli oleh dorongan keinginan dan mode yang sedang berlaku, tanpa melihat dan menyadari dengan jernih bahwa sepatuku sudah lebih dari cukup, baik dari segi jumlah, model, maupun warnanya.

Sekelumit perasaan bersalah menyelinap masuk dalam hati. Teringat kata-kata bijak yang sering kubaca dari forward email yang kuterima, “Cukupkanlah dirimu dengan satu. Mungkin satu memang masih kurang, tetapi dua biasanya sudah terlalu banyak”.

Dua? pikirku sambil menelan ludah. Lha ini sepatuku berapa pasang?.....glek, ..tujuh hari yang tersedia dalam seminggu pun rasanya masih kurang untuk memakai seluruh pasang sepatu yang kumiliki, padahal juga tidak setiap hari aku keluar rumah.

Sambil mulai mengeluarkan satu persatu koleksi sepatu-sepatuku untuk kubersihkan, aku tenggelam dalam perasaan masygul, mencari-cari pembenaran terhadap riwayat pembelian masing-masing dari sepatuku, tanpa hasil yang nyata. Semua latar belakang pembelian masing-masing dari mereka hanya dorongan keinginan belaka, jujur tidak kutemukan satu pun alasan yang sehat dan masuk akal.

Ketika aku sedang asyik bekerja, aku menyadari ada sebuah sepatu yang tak ada pasangannya. Padahal itu termasuk salah satu sepatu kesayanganku. Aku mencari-cari ke semua sudut lemari, tetapi pasangan dari sepatu yang masih bagus, utuh dan cukup cantik itu tetap tidak kutemukan. Mungkin ia terselip entah ke mana, lalu terbuang secara tak sengaja. Maklum teman-temannya sesama sepatu yang jumlahnya banyak itu berebut tempat dalam lemari. Aku merasa sayang sekali. Betapapun utuh, cantik, mahal, dan bagusnya sebuah sepatu, kalau pasangannya tidak ada, maka ia tidak berguna, hanya bisa dibuang ke tempat sampah karena fungsinya sebagai alas kaki sudah lenyap.

Aku mencari-cari ide apa yang bisa dimanfaatkan dari sepatu yang tinggal sebelah itu ya ? Sayang banget karena masih bagus sekali, rasanya dibuat jadi hiasan pun tidak sesuai. Sepatu harus selalu sepasang, tidak mungkin sebuah.

Lalu sebuah pikiran yang menggelitik menyadarkan aku akan kehidupan kerohanian dan kemasyarakatan yang kulakukan selama ini. Terlibat dengan begitu banyak pihak di Gereja, mengerjakan voluntary work untuk gadis tak beribu bapa, menyelenggarakan acara doa bulanan bagi keluarga Katolik Indonesia di Kuala Lumpur, menyumbang secara rutin kepada anak asuh dan kaum miskin papa. Dari luar, semua itu tampaknya mulia dan indah. Tetapi kalau diteliti sampai ke dalam, apakah motivasiku melakukan semua perbuatan mulia itu? Kulakukan semata-mata untuk membalas cinta kasih Tuhan kepadaku? atau jangan-jangan hanya sebuah pelarian, sebuah kedok cantik untuk menutupi kekurangan-kekuranganku, atau justru sarana yang kuanggap efektif untuk mencari pujian dan kemuliaan diriku sendiri dari orang-orang di sekitarku? Aku menelan ludah untuk kedua kalinya….Glek….Wah, rupanya acara pembersihan sepatuku hari ini membuatku merasa tertohok dua kali. Kuadrat bogem mentah hasil refleksi diri sendiri.

Aku bangkit berdiri sambil membawa sepatu tanpa pasangan itu dalam genggamanku. Aku tahu jawaban dari refleksiku yang kedua. Seindah dan semulia apapun perbuatan yang kulakukan dengan hidupku di dunia ini, bila aku melakukannya tanpa Yesus di hatiku, tanpa hikmat keteladananNya menjiwai latar belakang sepak terjangku, maka semua perbuatan indahku itu hanya akan sama saja dengan sepatu yang tidak ada pasangannya itu. Elok, utuh, mahal, dan masih berfungsi penuh. Tapi tidak ada pasangannya. Yah, mau diapakan lagi kalau tidak terus dilempar ke tempat sampah. Tanpa Yesus sebagai pasanganku, maka hidup dan pelayananku tidak banyak artinya lagi, bahkan mungkin hanya akan menjadi batu sandungan bagi orang lain, dan sumber keluh kesah orang-orang terdekat.

Teringat pula olehku kisah-kisah penyelenggaraan suatu acara kerohanian di Gereja. Atau dalam suatu susunan organisasi dan kelompok kategorial di Gereja. Walaupun tidak sering, kegiatan dan aktivitas untuk Tuhan dan GerejaNya kadang tak luput dari sikap sikap ingin menang sendiri, memaksakan kehendak, kesombongan rohani, gerutu dan gosip kepada sesama umat beriman. Bahkan sampai pada perebutan posisi ketua dan jabatan kehormatan lainnya. Hatiku hanya mampu bertanya dalam keprihatinan, dimanakah Yesus yang sedang kita semua layani ? Apakah kita sedang benar benar melayani kebutuhanNya ataukah kita sedang sibuk melayani kebutuhan-kebutuhan kita sendiri untuk tampil dan dihormati? Ke manakah teladan agungNya akan kasih tanpa pamrih dan kerendahan hati menguap dalam hiruk pikuk ego dan kesombongan manusiawi yang tidak dikendalikan?

Aku pun teringat akan anak-anak dan suami seorang teman yang protes karena sang ibu dan istri yang sangat aktif di kegiatan Gereja sehingga mereka merasa ditelantarkan. Bagaimanapun juga, melayani keluarga sesungguhnya adalah melayani Tuhan sendiri, sehingga selayaknya tugas dan perhatian untuk keluarga diprioritaskan oleh seorang ibu rumah tangga, sebelum banyak terjun ke pelayanan di Gereja. Memang hal ini sungguh memerlukan sikap batin yang terus menerus terarah kepada suara Tuhan. Supaya kita mampu memutuskan yang terbaik dan memprioritaskan apa yang menjadi tugas panggilan kita yang terutama dari Tuhan. Namun itu adalah sebuah pilar terpenting pelayanan kita yang justru amat mudah terlupakan, ketika kita telah terbuai oleh rasa puas diri dan perasaan telah berbuat banyak bagi GerejaNya. Kita perlu sesekali berhenti sejenak dan bertanya,apakah kita telah cukup merenungkan apa yang sebenarnya Dia harapkan dan Dia butuhkan dari dan bagi kita ?

Dan masih segar dalam ingatanku sebuah kisah seorang aktivis Gereja yang menemukan kekosongan dan perasaan jauh dari Tuhan. Karena begitu sibuk dalam pelayanan, kita sering menjadi lupa atau tak punya waktu lagi untuk diluangkan menjadi saat-saat pribadi dan intim buat bersama-sama dengan Tuhan dalam doa dan keheningan yang dipersembahkan khusus untukNya. Justru itulah sumber kekuatan yang sejati yang akan menggerakkan semua sepak terjang kita sesuai dengan kehendakNya

Aku meletakkan sepatu kesayanganku yang tinggal sebelah itu di tempat di mana aku masih bisa melihatnya setiap saat. Hmm..untung masih ada gunanya juga ia, yaitu membantuku berefleksi. Aku memandanginya sambil membisikkan doa di dalam hatiku, “Yesus, aku tidak berarti apa-apa tanpa Engkau. Berjalanlah selalu di sisiku, jadi pemandu perjalanan budi pekertiku, penopang semua keputusan-keputusanku. Hanya bersama Engkau dan oleh karena Engkau, hidup dan pelayananku akan punya arti dan dapat berguna bagi kemuliaan KerajaanMu di dunia. Amin”.

Kuala Lumpur, 17 April 08
Tulisan ini diikutsertakan dalam Writing Competition dalam CIBFest 2009 yang diselenggarakan oleh Jawaban.com

2 comments:

  1. dalam kitab injil kita baca - bukan yang berkata Tuhan Tuhan tetapi yang melakukan kehendak BapakKu
    jadi : yang berbuat bukan yang berkata-kata

    perihal Martha dan Maria : bukan yang sibuk berbuat tetapi yang mendengar
    jadi : mendengar dan bukan berbuat

    kata Paulus: meski aku berikan tubuhku untuk dibakar tetapi tanpa cinta aku akan sia-sia
    jadi: bukan berbuat, bukan berkata-kata, bukan mendengar tetapi mencinta

    ReplyDelete
  2. sebaiknya setelah mendengarkan kita berkata-kata dan berbuat sesuai semangat kasih yang telah kita alami ya..:))

    ReplyDelete