Thursday, May 29, 2014

Dua pertanyaan Monica

Berhadapan dengan pertanyaan anak-anak, seringkali pertanyaan yang mereka lontarkan adalah pertanyaan mendasar yang membuat saya tertegun dan memerlukan waktu berpikir agak lama untuk menjawabnya. Jika saya tidak meluangkan cukup waktu untuk mencerna pertanyaan itu dan memakainya sebagai kesempatan untuk menumbuhkan kebijaksanaan, maka jawaban yang kemudian saya berikan akhirnya malah menunjukkan titik-titik ketidakdewasaanku.

Monica adalah anak teman baik saya di gereja ICF Brisbane, ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-sebelas. Suamiku dan aku meluangkan waktu di akhir pekan lalu untuk merayakan ulang tahunnya dengan mengajak dia dan adiknya berkunjung ke planetarium dan menginap di rumah kami selama satu malam. Monica anak yang penuh perhatian, cerdas, tangkas, serta sangat bertanggungjawab untuk anak seusianya. Saat kami sedang asyik berjalan-jalan di taman kota, ia melontarkan dua pertanyaan kepada saya. Pertanyaannya sesungguhnya sangat polos dan sederhana, namun pertanyaannya itu telah membuat saya berpikir ulang mengenai kehidupan saya.

Pertanyaan Monica yang pertama adalah apakah benda kepunyaan saya yang paling saya sukai.

Saya tidak pernah mendapat pertanyaan seperti itu. Saya heran ketika mendapati bahwa saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena barang saya begitu banyak. Saya memperoleh benda-benda yang saya miliki bukan karena saya benar-benar memerlukannya tetapi lebih sering karena keinginan saya yang terus ada atau karena diberi oleh orang lain karena macam-macam alasan. Pertanyaan Monica itu mengingatkan saya bahwa ada banyak benda milik saya, yang tidak benar-benar saya butuhkan dan oleh karena itu saya tidak benar-benar menghargainya. Pertanyaannya membuat saya belajar menghargai benda-benda kebutuhan sehari-hari, dan menghargai itu termasuk juga tidak membeli yang baru jika yang lama masih dapat dipakai, dan untuk merawatnya baik-baik supaya benda itu bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama. Berhemat dan mengendalikan keinginan dalam membeli bukan hanya untuk menghemat atau menghargai orang-orang yang lebih tidak punya dari saya, tetapi juga menghindarkanku dari keterikatan kepada keindahan benda-benda duniawi sehingga saya mampu mengarahkan lebih banyak perhatian kepada kebajikan dan hal-hal yang tidak lapuk atau usang dengan berjalannya waktu, hal-hal yang akan tetap menyertai kita dan menghantarku untuk lebih dekat kepada Tuhan dan akhirnya sampai kepadaNya di akhir hidup kelak.

Pertanyaan Monica yang kedua adalah siapakah sahabat-sahabat terdekat saya? Saya segera menyebutkan teman-teman terdekat saya, baik dari masa remaja maupun hingga saat ini, yang masih selalu berkontak dengan saya dan saling berbagi cerita kehidupan lewat berbagai sarana komunikasi modern yang ada saat ini, mereka tersebar di berbagai negara dan kota. Sesaat kemudian saya terhenyak ketika menyadari bahwa sahabat terdekat saya dalam kehidupan justru tidak saya sebut, yaitu suami saya, yang setia mendampingi saya setiap hari, dalam suka dan duka, dalam untung dan malang. Saya juga merasa malu, ketika saya sadar bahwa saya tidak menyebutkan Tuhan Yesus, yang adalah sahabat saya sebelum saya dilahirkan di dunia ini, selama saya berada di dunia ini, dan kelak ketika saya sudah dipanggil pulang olehNya. Yesus sudah menyatakan kepada saya bahwa saya adalah sahabat-Nya dan Ia telah mati untuk saya.

Pertanyaan Monica yang simpel dan polos telah membuat saya merasa malu kepada diri saya sendiri. Monica tidak menaruh keheranan apa-apa, ia mendengarkan jawaban-jawaban yang saya berikan dengan konsentrasi penuh, tanpa menghakimi. Hari itu saya belajar, untuk merenungkan terlebih dahulu pertanyaan yang diberikan orang lain kepada saya. Saya belajar untuk mensyukuri karunia Tuhan yang selalu ada pada saya, yang biasanya justru yang paling saya lupakan dan menganggapnya sudah seharusnya demikian. Saya juga
belajar untuk lebih memaknai pilihan-pilihan yang saya buat dalam hidup ini dan mengerti akan alasan-alasan yang baik mengapa saya melakukannya atau tidak melakukannya. Terima kasih Monica. -Brisbane, May 30, 2014-

Sunday, May 11, 2014

Malas melihat cermin

Ada kalanya saya malas melihat cermin, yaitu saat badan sedang gemuk karena sering makan melebihi porsi yang sehat serta kurang berolahraga. Sepertinya dengan begitu saya sedang ingin melupakan penampakan keadaan fisik saya. Demikian juga dengan keadaan rohaniku. Karena pilihan-pilihanku sendiri yang kubuat di luar Allah, ada banyak keadaan mula-mula yang sebenarnya indah menjadi tidak ideal lagi sampai-sampai melihat bayangan diri sendiri pun enggan. Rasa percaya diri terkikis.

Entah berapa banyaknya rencana Tuhan yang indah buat kehidupan manusia telah berubah karena pilihan manusia untuk memutuskan sendiri apa yang dianggapnya baik. Minggu lalu ketika tugas kuliah mengharuskan kami membuat skema pohon keluarga, keluarga inti yang sejatinya terdiri dari skema sederhana yaitu satu pasang suami istri dengan anak-anak, menjadi rupa-rupa bentuk skemanya, rumit dan membingungkan, karena terjadi pernikahan kedua dan bahkan ketiga karena perceraian, kemudian ada pernikahan antar sesama jenis, sehingga di negara yang liberal mulai ada wacana untuk tidak menyebut orangtua anak-anak sebagai ‘mother and father’, tetapi sebaiknya dengan ‘parents’ saja karena ada kemungkinan kedua orangtuanya berjenis kelamin sama. Sudah mulai jamak bahwa nilai yang mulia dan ilahi dianggap aneh, sebaliknya nilai yang keliru dan menyimpang dianggap sebagai dinamika jaman dan toleransi kemanusiaan.

Tuhan telah mengajakku menjadi mitranya untuk menjadi duta-duta kasih & penyampai Kabar Keselamatan bagi dunia ini, tetapi karena dosa-dosaku, jati diriku yang mulia menjadi kabur dan penuh distorsi. Tugas indah yang Dia percayakan padaku tidak mampu kupikul dengan semestinya, karena diriku sendiri masih penuh dengan pelanggaran dan cinta diri. Kita memerlukan sebuah masa pertobatan sebagaimana masa Prapaskah ini sebagai kesempatan untuk memulihkan jati diri kita yang sejati, yang dikaruniakan Tuhan pada manusia sejak semula. Dikasihi secara personal oleh Kristus, diciptakan secara istimewa dengan berbagai keunikan, dan dipelihara dengan kasih Bapa yang kekal sejak semula. Aku telah diciptakan seturut gambaran Diri-Nya (Kejadian 1: 26-28). Dicintai tanpa syarat sebagaimana adanya diriku (Yohanes 3:16-17 dan Roma 5:8). Aku begitu berharga dan tak ternilai, ditebus dengan darah yang demikian kudus oleh Kristus (Mazmur 49: 7-8 dan 1 Petrus 1:19). Aku dibenarkan (Roma 5:1), dikuduskan (Ibrani 10:10, 1 Kor 1:2, 6:11). Aku anggota komunitas Kerajaan Allah (1 Pet 2:9), aku dijadikan anak Allah dan anggota keluarga Allah oleh karena iman (Yoh 1: 12 dan Efesus 1:1-7 serta Galatia 3:26).

Yah, sedemikianlah berharganya kita di hadapan Allah. Rancangan Allah yang Ia miliki bagi kita, mulia dan sempurna. Sayangnya, memilih untuk mengandalkan diri sendiri, menempatkan ego dan keinginan diriku di atas suara Tuhan yang selalu mengingatkan dengan halus dan lembut dalam nuraniku, membuat citra itu perlahan-lahan mengabur. Dan tahu-tahu inilah aku, rapuh dan tidak percaya diri lagi, karena tidak mengenali lagi siapa diriku yang sebenarnya di mata-Nya. Tetapi Allah bukanlah Tuhan yang mudah menyerah. Ia juga tidak pernah menyerah akan aku. Sekalipun dunia ciptaan-Nya mungkin telah terdistorsi begitu rupa oleh kejahatan manusia, Allah tetap mempercayai kita untuk melanjutkan karya agung-Nya. Melalui solidaritas teragung dalam sejarah umat manusia, Putera-Nya Yesus Kristus hadir ke dunia sebagai manusia, menunjukkan jalan untuk memulihkan kembali jati diri alam semesta dan seisinya sebagaimana citranya yang mula-mula. Solidaritas yang sedemikian mahal, yang dijalani Kristus dengan penderitaan salib yang sedemikian berat. Sama halnya dengan Kristus yang berjuang untuk menempuh jalan pemulihan itu, aku diajakNya untuk berjuang bersama dan di dalam Dia. Tidak ada yang mustahil bersamaNya, semuanya mungkin untuk menjadi baik kembali, dimulai dari diriku sendiri dan pilihan-pilihanku untuk menyangkal egoku dan memikul salib kecilku bersamaNya***

Kristen, muridku di Sekolah Minggu

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.(Amsal 22:6)

Dari sejumlah murid Sekolah Minggu di paroki Katedral Sacred Heart of Jesus, Keuskupan Galveston-Houston di mana saya membantu mengajar, Kristen, dengan rambut ikalnya yang dikepang kecil-kecil, memang tampak berbeda. Bukan karena dia satu-satunya anak berkulit hitam di kelas usia 7-9 tahun itu, tetapi keceriaannya yang sangat spontan selalu membuat saya betah mengajaknya mengobrol di sela-sela waktu kosong, sambil menunggu orangtuanya datang menjemput sesudah kelas usai.

Suatu hari saya bertanya kepada Kristen apa warna kesukaannya. “Green”, jawabnya segera, sambil memamerkan senyum cerianya yang khas. Ketika saya bertanya lebih lanjut, mengapa dia suka warna hijau, Kristen dengan spontan nyaris tanpa berpikir, menjawab, karena warna itu mengingatkannya pada uang. “I looovee money…” sambungnya lagi dengan penuh semangat. Ya, uang dollar Amerika memang berwarna kehijauan, terutama lembaran satu dollar, yang tentu lebih banyak dilihat dan dipegang anak seusia Kristen daripada lembaran dengan nilai yang lebih tinggi.

Saya agak terhenyak mendapat jawaban yang tidak terduga itu. Seorang anak 7 tahun yang mencintai uang. Saya bertanya kembali apa istimewanya uang baginya sehingga ia mencintai uang. Ia menjawab sambil memandang saya dengan mata polosnya yang berbinar-binar, “Because we can have everything we want with money”. Saya tersenyum, “smart girl”, pikir saya. Saya belum sempat bercakap-cakap lebih jauh dengan Kristen, ketika ibunya yang sedang hamil datang menjemputnya sambil menggandeng adiknya yang baru berumur 2 tahun. Setelah mengucapkan selamat tinggal, Kristen segera menghilang di balik pintu kelas dengan langkah melompat-lompat seperti seekor kelinci yang kegirangan. Saya tercenung menyadari tingkahnya yang penuh kegembiraan itu, sambil membayangkan apa yang dilakukan kedua orangtuanya dalam kehidupan keluarga sehari-hari, walau mungkin bukan sesuatu yang mereka sadari, sehingga di usia sedini itu Kristen mempunyai disposisi khusus kepada uang?

Betapa antusiasnya jiwa seorang kanak-kanak memandang kehidupan. Baginya segala sesuatu adalah baik adanya dan penuh dengan kemungkinan. Saya membayangkannya seperti mata Tuhan sendiri ketika pertama kali menciptakan kita. Semuanya baik, semuanya mungkin, semuanya mulia, karena Tuhan menciptakan dengan tujuan yang indah dan mulia sejak semula.

Usia kanak-kanak, terutama di saat usia dini sekitar usia 2-10 tahun, sangat ideal untuk memperkenalkan segala yang baik dan mulia yang diajarkan Tuhan, yang sangat penting sebagai landasan bagi manusia untuk menjalani hidup yang penuh tantangan ini. Karena kepolosan dan rasa percayanya yang besar kepada kehidupan terutama kepada orang-orang dewasa yang menjadi figur panutannya, anak-anak akan mengikuti dengan sendirinya definisi yang kita berikan kepada mereka tentang kebahagiaan, tentang kesedihan, tentang nilai kehidupan, tergantung apa yang kita berikan kepadanya untuk dipercayai. Jika itu sesuatu yang luhur, maka seringkali jika hanya diungkapkan sekedar dalam kata-kata, nilai itu tidak menjadi miliknya. Tetapi bila hal itu dilihat dan dialaminya sendiri melalui perbuatan nyata, maka nilai itu menetap dan menjadi bagian dari diri mereka.

Pikiran saya melayang kepada keponakan saya di tanah air, yang seusia dengan Kristen. Pada Natal dua tahun lalu, saya mengajaknya merayakan kelahiran bayi Yesus dengan merelakan satu atau dua mobil-mobilan dari koleksi mobil mainannya yang sangat banyak, untuk diberikan kepada tetangga atau anak pembantu kami yang diketahuinya ingin mempunyai mainan tetapi tidak mempunyai uang untuk membelinya. Melihatnya lama menimbang-nimbang, tiba-tiba saya berkesempatan menegur diri saya sendiri, relakah saya sendiri juga melepaskan satu atau dua pasang sepatu saya dari kumpulan sepatu kesayangan saya untuk orang lain yang saya lihat sedang memerlukan? Bukan yang sudah mulai pudar warnanya atau yang sudah tidak muat lagi di kaki saya, tetapi yang masih bagus dan utuh, serta indah warnanya. Kalau saya meminta keponakan saya mempunyai nilai yang luhur untuk menjadi nilai yang diyakininya, saya harus mulai dengan diri sendiri dulu dan memberinya contoh nyata yang tidak akan dilupakannya. Oleh karena itu, mengajar nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak sesungguhnya adalah mengajar diri kita sendiri. Saya tidak dapat memberikan pengajaran nilai yang saya sendiri tidak mempraktekkannya. Jika hanya sekedar kata-kata dan nasehat yang saya sendiri belum tentu melakukannya, maka bukan hanya saya akan akan jatuh dalam dosa kemunafikan, anak-anak pun tidak akan menganggapnya cukup serius untuk dijadikan nilai hidup yang harus diperjuangkan.

Nilai-nilai takut akan Tuhan dan selalu berdoa untuk senantiasa dekat kepada Tuhan, mampu diserap dengan baik oleh anak-anak bila orangtua, sanak saudara, dan guru-gurunya juga senantiasa mempunyai sikap takut akan Tuhan dalam kehidupan nyata dan selalu berdoa dengan tekun siang dan malam. Sebaliknya, ketika saya mengajar mereka bahwa bergosip itu tidak baik dan menyedihkan hati Tuhan, tetapi saya masih membicarakan kelemahan pribadi tetangga atau membicarakan kesalahan orang lain di belakang punggungnya, maka anak-anak di sekitar saya akan menganggapnya sesuatu yang biasa dan lumrah untuk dilakukan.

Saya masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk Kristen, pekerjaan rumah bagi diri saya sendiri. Kelak Kristen akan mengerti bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dengan uang, dan tidak semua yang bisa didapatkan dengan uang akan membuat kita bahagia. Karena uang hanyalah sarana yang dikaruniakan Tuhan. Sebagaimana semangat kasih Tuhan yang mengaruniakannya sebagai suatu sarana, uang hanya akan benar-benar indah jika ia menjadi sarana untuk meringankan penderitaan dan kesusahan sesama manusia dan menyatakan kasih kita kepada Tuhan, dan bukan hanya untuk memuaskan kesenangan diri kita sendiri. Itulah tujuan sebenarnya dari uang, sama seperti sarana-sarana lainnya dalam hidup. Namun proses seperti apa yang akan membuat Kristen mengerti, juga tergantung dari bagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya menunjukkan jalan kepada pemahaman itu, dan orang terdekat itu adalah orangtua dan guru-gurunya, termasuk saya.

Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 19:14)