Thursday, August 20, 2009

Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan


Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu (Lukas 1:38)




Bunda yang bersahaja..
dalam kerendahan hati dan ketaatanmu
kau bulat mengatakan ‘ya’ kepada Bapa.
Keberanianmu mempercayakan segalanya pada Yang Kuasa
telah menghadirkan seorang Penebus Suci tiada bandingnya
menjadi sumber harapan, kehidupan, serta sukacita seluruh umat manusia

Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet (Lukas 1: 40)
Bunda yang sabar dan sederhana..
suaramu yang lembut penuh cinta kepada sesama
adalah suara pertama yang didengar
oleh Bayi Kudus yang menjadi manusia
di dalam rahimmu.
Dan irama detak setiap jantungmu…
adalah irama kehidupan pertama
seiring degupan jantungNya sebagai manusia

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yoh 3: 16)
KerinduanNya untuk menjadi sama seperti manusia
dan berada di tengah-tengah manusia
dengan segala suka duka dan pergumulannya
kau aliri dengan darah segar kehidupan pertama ..
seorang manusia sempurna.
Ia tumbuh bersama derasnya aliran darahmu,
darah cinta, iman, dan pengabdian kepada Sang Pencipta

Bunda manis tersuci…
di dalam rahim kudusmu,
degup jantung cintamu,
dan deras darah merah imanmu…..
kaunyatakan pengorbanan dan pengabdianmu…
mengandung dan melahirkan Sang Pencipta
membesarkanNya dengan teladan cinta dan kesabaran.

Kesetiaan iman yang menopangmu
membentang teguh sepanjang Yerusalem dan Nazaret
menguatkan setiap keputusanmu sejak Betlehem hingga Kalvari
walau engkau tak pernah sepenuhnya memahami
rencana Agung Sang Pemilik Kehidupan
bagi keselamatan dan kedamaian kekal semua ciptaanNya

Tersentuh hatiku saat mendaraskan doaku padamu
di saat aku sibuk memikirkan
kepentingan diri dan keinginan-keinginanku sendiri
engkau menyimpan semua perkara dalam hatimu
hati yang selalu haus untuk mengikuti kehendak Bapa
menyangkal kehendak dan kepentinganmu sendiri

Terimakasih buat semua teladan dan doamu Bunda
Biarlah semangat kerendahan hatimu
menghiasi setiap gerak gerik jiwaku
mengantarku pulang kepada kebangkitan kekal.

Uti
San donato, 20 Agustus 09

Menunggu


Menunggu umumnya bukan suatu kegiatan yang menyenangkan, dan biasanya jauh dari produktif. Maka mungkin kurang tepat juga disebut sebagai kegiatan. Orang tidak dengan sadar mau menunggu. Biasanya ia hanya dilakukan karena dipaksa oleh keadaan. Apalagi bila menunggu cukup lama, di tempat yang tidak mengenakkan, atau dalam keadaan kita sakit atau lelah, maka menunggu terasa lebih berat. Ditambah lagi bila kepastian hal yang ditunggu tidak jelas dan tidak tampak adanya perkembangan yang berarti. Jaman yang serba tergesa-gesa oleh persaingan hidup dan serba instan ini membuat sebisa mungkin orang menghindari menunggu. Namun kebanyakan kegiatan menunggu menguji kualitas kesabaran kita. Menunggu antrian di bank sementara pekerjaan di kantor masih menumpuk, atau menanti di ruang tunggu rumah sakit dalam keadaan tubuh yang lemah karena sakit, seringkali membuat kita merasa tidak berdaya. Seiring dengan kesabaran yang mulai menipis, kemarahan dan gerutu pun mulai menebal.

Sayangnya dalam setiap dalam setiap episode kehidupan, pasti ada saatnya kita harus mengalami saat-saat menunggu. Lamanya bervariasi, bisa hanya lima belas menit antri membayar di kasir yang itupun sudah cukup membuat kita resah. Bisa juga sepuluh tahun bila yang ditunggu adalah pertobatan seorang anak atau kehadiran sang buah hati dalam sebuah pernikahan. Menunggu menjadi lebih ringan jika kita mempunyai pengalih perhatian yang produktif atau ditemani seseorang dan / atau situasi yang menyenangkan, sehingga kita tidak bete atau mati gaya, istilah anak muda jaman sekarang. Namun bagi saya itu tidak harus, setelah apa yang saya lihat di sebuah hari yang terik di sudut kota Bandung mengubah cara pandang saya terhadap suatu penantian dan kegiatan terpaksa yang bernama menunggu.

Siang itu, sambil berjalan di antara kerumunan pengunjung yang berbelanja di pasar Simpang, Bandung, saya melihatnya. Seorang bapak tua yang duduk berjongkok di trotoar jalan masuk menuju jalan Cisitu. Nampaknya tubuhnya yang kurus kering membuatnya tidak sulit untuk bertahan dalam posisi jongkok dalam waktu yang lama. Yang membuat saya trenyuh adalah benda yang ditungguinya dengan sabar di hadapannya. Sebuah timbangan badan. Dan wajah rentanya itu. Begitu pasrah, tenang, dan sabar. Bapak itu tidak tampak diburu apapun, bahkan di mata saya ia tampak tidak memerlukan apapun. Wajahnya begitu damai, walau nampak gurat kelelahan dan kegerahan.

Timbangan badan. Di tengah hilir mudik manusia dengan berbagai kepentingan dan urusan yang seolah tidak dapat ditunda lagi atau disela barang sedetik pun. Di tengah kebutuhan perut-perut lapar yang harus segera diisi. Dan panas terik matahari siang yang membuat orang ingin segera sampai ke tempat tujuan. Tak seorangpun rasanya di antara manusia-manusia yang sibuk berlalu lalang itu akan terpikir untuk menghampiri bapak tua itu dan menimbang berat badannya.

Saya menelan ludah, terasa kering dan tercekat. Hawa kemisikinan dan ketidakberdayaan tiba-tiba terasa begitu pekat menyekap hidung saya sehingga saya merasa tarikan napas di dada menjadi berat. Gerahnya udara kemarau Bandung seolah menambah rasa ketidakberdayaan itu. Tetapi kesabaran Bapak itu menunggu, dalam kepasrahannya, dalam usahanya yang begitu bersahaja, terasa menyejukkan hati saya sampai ke dalam tulang. Betapa cengengnya saya kalau harus menunggu sebentar saja. Gelisah mencari cara agar proses penantian itu bisa dikurangi semaksimal mungkin atau kalau perlu dipangkas sekaligus. Semuanya harus cepat dan efisien. Tetapi ingatan dan kenangan saya akan bapak tua yang menyewakan timbangan badan demi sepeser seratus rupiah untuk setiap pelanggan, di tengah teriknya mentari kota besar, dengan kesabaran dan ketenangan hingga ke ujung hari, telah mengubah cara pandang saya kepada sebuah proses menunggu. Menunggu melatih kesabaran jiwa, sebuah kesempatan untuk menemukan kembali jati diri kita yang sesungguhnya. Yaitu jati diri manusia yang dinilai karena ikhtiarnya, ketegarannya, dan kerelaannya, untuk menjalani hidup dan tantangan di dalamnya harapan, dengan mawas diri, dengan kerendahan hati.

Sejak hari itu, menunggu tidak lagi menjadi kegiatan pasif bagi saya. Bila saya harus menunggu sesuatu di luar kemauan saya, saya mengingat kembali bahwa menunggu memberi saya kesempatan untuk mengamati keberadaan di sekitar saya, mengamati diri saya dalam introspeksi, merenungkan apa yang bisa saya buat bagi keadaan di sekitar saya, mungkin bagi saya sendiri, dan bagi Tuhan. Menunggu dalam keheningan menyadarkan jiwa saya yang bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi kehidupan.

uti
san donato,20 Agustus 09

Dagu yang cantik


Seorang ibu yang tidak saya kenal di trem yang saya naiki di tengah kota Milan menegur saya sambil berkata, “bella” sembari menunjuk dagu saya dan mengikuti bentuknya dengan isyarat tangan. Bella dalam bahasa Italia berarti ‘cantik’. Walau tidak bisa dipukul rata, orang Italia memang terkenal dengan keramahan dan kespontanan-nya.

Saya kaget, tak sadar mengangkat tangan saya untuk meraba dagu saya sendiri. Tidak seorangpun pernah mengatakan bahwa dagu saya cantik, bahkan tidak ibu saya dan suami saya sendiri. Satu kata singkat dan sikap simpatik ibu asing di trem itu telah mengubah persepsi saya terhadap bentuk wajah saya untuk selamanya. Sejak hari itu, setiap kali saya bercermin, apa yang saya pikirkan tentang wajah saya tidak pernah sama lagi. Saya baru menyadari setelah umur saya 38 tahun, bahwa wajah manis saya terbentuk antara lain karena bentuk dagu saya yang proporsional dan berbentuk seperti wajik. Dan itu berkat sepatah kata penuh keramahan seorang ibu Italia yang tak pernah saya kenal dan ketahui namanya, serta hanya bersama selama kurang lebih sepuluh menit di dalam trem.

Kita tak pernah tahu betapa besarnya pengaruh kata-kata yang baik dan sikap yang positif kepada sesama kita. Mungkin hanya didengarkan sambil lalu dan dilupakan kembali, tetapi mungkin juga mengubah hidup seseorang dan memenuhinya dengan semangat dan harapan baru dalam hidupnya.

Satu kata yang baik dan hangat di saat apapun tidak akan pernah memberikan dampak yang merugikan. Pakailah setiap kesempatan yang ada dalam hidup kita untuk membesarkan hati sesama dengan kata dan perbuatan yang baik.

Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya ! (Amsal 15 : 23)

Uti
San donato, 19 Agustus 09

Kontrak hidup



Hari-hari awal menginjakkan kaki pertama kali di Italia, saya selalu mengatakan kepada diri saya bahwa di tempat yang baru dan indah ini saya tidak akan tinggal selamanya. Kontrak suami saya dengan perusahaan tempatnya bekerja, yang membuat saya merantau ke negeri pizza ini, adalah untuk dua tahun. Menyadari keindahan dan kemajuan salah satu negara paling terkenal di Eropa karena kekayaan peninggalan budayanya ini, saya mengingatkan diri sendiri untuk tetap ingat akan jangka waktu saya dan berjanji kepada diri sendiri untuk tidak terlalu terbuai dalam kegembiraan sehingga menimbulkan keterikatan yang menyakitkan saat semua petualangan saya berakhir nanti.

Ketika kita lahir di dunia ini, sesungguhnya kita terikat dengan kontrak yang serupa. Kita tidak untuk selamanya berada di dunia ini. Kesempatan, kesehatan, masa muda, ingatan, kesuksesan pekerjaan, kecantikan, semuanya adalah hal-hal yang menyurut dengan berjalannya waktu. Semuanya dipercayakan kepada kita untuk digunakan dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan diri spenuh-penuhnya dan menjadi mitra Allah untuk merawat dan mengembangkan manusia dan alam ciptaanNya. Menjadi kepanjangan tangan-tanganNya untuk membuat dunia dan kehidupan menjadi lebih baik dan indah dengan cinta dan karya kita, seturut kehendakNya.

Namun seindah dan sehebat apapun perjalanan hidup kita, semuanya akan menuju ke titik yang sama yaitu kematian. Selesainya kontrak dengan masa muda, jabatan dan karir, kesehatan, bahkan hidup itu sendiri tidak perlu berjalan dengan menyakitkan bila kita mengisi kehidupan ini dengan sebaik-baiknya menurut tugas panggilan dari Allah Bapa sesuai teladan PuteraNya dan menyerahkan kembali dengan lepas bebas segala hal yang kita miliki sebagai hadiah – bukan hak milik yang harus dipertahankan kuat-kuat dan menganggapnya milik pribadi yang mutlak – sampai Yang Memberi memintanya kembali dari kita.

Karena hidup yang tidak akan berakhir itu bukan di dunia ini, maka segala energi, waktu, dan perhatian kita sudah selayaknya tidak hanya dikerahkan untuk menimba ilmu dan menumpuk kekayaan, tetapi juga terus menerus diarahkan kepada jalan menuju hidup yang kekal itu. Hidup bersama Tuhan di rumah Bapa, yang sudah disediakan oleh Yesus putra Allah Bapa bagi yang percaya kepadaNya dan mengikuti jalan-jalanNya. Itulah rumah kita yang sesungguhnya.

Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ (Lukas 14 : 2, 4)

Uti
San donato, 19 Agustus 09

Monday, August 17, 2009

Aku cinta Indonesia



Saya tidak meminta untuk dilahirkan menjadi orang Indonesia. Seperti juga tidak seorangpun meminta dilahirkan menjadi orang Rusia, orang Thailand, atau Orang Somalia. Sesungguhnya, bahkan kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Tetapi bahwa kita ada di sini, dan menjadi orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, adalah suatu karunia Tuhan yang tak terkira indahnya, suatu anugerah kehidupan yang mengandung begitu banyak kesempatan, pertumbuhan, pengalaman, untuk menjadi mitra Allah sendiri di dalam dunia ciptaanNya yang begitu agung dan mulia ini. Dan kalau Allah Bapa menempatkan saya sebagai orang Indonesia, maka saya mempunyai kewajiban seiring dengan hak, untuk mencintai negeri saya dan membela kepentingan- kepentingannya, sesuai dengan apa yang sudah saya terima dari Bapa. Allah ingin saya lahir di sini, di Indonesia, dan menjadi orang Indonesia.


Bila saya renungkan kembali, selama hidup di Indonesia, saya menyadari atau menjadi peka terhadap kebangsaan saya hanya pada saat upacara bendera di sekolah, saat bendera merah putih dinaikkan ke angkasa oleh teman-teman pengibar bendera dan lagu Indonesia Raya kami nyanyikan bersama-sama teman sekelas. Kepekaan serupa muncul lagi saat pertandingan Thomas Cup dimana Indonesia sering menjadi finalis berhadapan dengan jawara bulutangkis dunia seperti Cina. Kesadaran dan kepekaan yang lebih kuat sebagai orang Indonesia justru lahir setelah saya hidup di luar negeri. Misalnya saat batik dan angklung, lagu Rasa Sayange, dan lain-lain, diklaim menjadi milik negara tempat saya tinggal saat itu, Malaysia. Dan selanjutnya setelah saya merantau di Italia dan di manapun saya berada di luar negeri, saya sadar sepenuhnya bahwa saya membawa nama baik Indonesia dengan apapun yang saya lakukan. Saya juga merasa tidak bahagia bila kebudayaan asli Indonesia tidak dihargai orang. Pengalaman merantau membuat cinta saya kepada negara kelahiran saya dimurnikan dan menemukan bentuknya yang hakiki.


Dalam perjalanan dengan kereta api untuk kembali ke Milan dari Montecarlo, saya duduk bersebelahan dengan seorang pemuda Italia, yang bertanya dengan bahasa Inggris yang baik, “Where are you from? “ “Oh, I’m Indonesian”, jawab saya dengan bangga. Saya pikir pemuda ini pasti jarang mendapat jawaban seperti itu dari orang-orang Asia yang ia temui di perjalanan. Kebanyakan turis Asia di Italia, seperti juga di negara-negara Eropa lainnya, adalah turis dari Jepang. Saya sendiri sudah dua kali dikira orang Jepang, padahal penampilan saya sangat Indonesia, sangat njawani, walaupun kulit saya memang lumayan terang. Mungkin kebanyakan orang di sini mengira kalau orang berwajah Asia itu ya dari Jepang. Seperti dugaan saya, ada reaksi surprise di wajah pemuda itu mendengar jawaban saya. “Indonesia ? oh, is it in Taiwan?” Giliran saya yang jadi pucat, aduh, kok jauh banget sih mas tebakannya. Saya meralat dengan cepat, “NO, it’s…errr…do you know Bali ? “ saya balik bertanya dengan masygul, menyadari saya harus kembali membawa nama Bali hanya supaya negara saya dikenali. Syukurlah Indonesia masih punya Bali, pikir saya. Padahal pemuda ini bekerja di sebuah agen perjalanan wisata di pusat kota Milan. Ia langsung menyahut “Oh..yeah..okay. .okay…yes, Bali” dan ia melanjutkan ,”Okay, I got it, it’s near Malaysia, right?” Saya mengangguk dengan tidak bersemangat, iya mas, jawab saya dalam hati. Saya pernah hidup selama tiga tahun di Kuala Lumpur, dan saya tahu benar, walau dengan hati gundah, mengapa Malaysia begitu dikenal orang di luar negeri. Saya tahu dengan amat baik, mengapa Malaysia berhasil menempatkan dirinya di antara jajaran negara-negara terkemuka di dunia. Sementara Indonesia, negara yang lebih besar di sebelahnya, tempat dimana insinyur-insinyur Malaysia dulu belajar dan berguru dalam hal teknologi jalan tol, kurikulum pendidikan di perguruan tinggi, menyerap kreativitas musik dan kesenian, serta berguru dalam berbagai ilmu teknik penerbangan, perminyakan, dan instrumentasi, tidak banyak diketahui oleh dunia internasional. Walaupun saya punya gambaran mengapa hal itu bisa terjadi, saya tidak ingin berhenti menangisi nasib. Apa yang saya katakan atau lakukan, sekecil apapun itu, di negeri asing, akan menjadi perhatian orang. Saya membawa nama bangsa saya kemanapun saya pergi. Melalui apa yang saya perbuat, saya katakan, bahkan saya pikirkan, saya mengabarkan kepada masyarakat di negeri saya berada, bahwa Indonesia adalah negeri yang besar, dimana kasih sayang, iman, dan harapan menjadi tiang-tiang penopang warganya yang terdiri dari berbagai ragam budaya. Dimana kemajuan, seperti juga kemerdekaan dan harga diri, direbut dengan kerja keras dan jerih payah.


Ketika hidup di Malaysia dulu, saya dan teman-teman sering mengalami hal yang sama. Yaitu selalu dikira pembantu rumah tangga / TKI, kalau mereka tahu bahwa kami berasal dari Indonesia. Bagi kebanyakan orang di Malaysia, Indonesia dikenal sebagai pengekspor TKI terbesar. Saat itulah, saya mulai menghargai dengan lebih indah, profesi seorang pembantu rumah tangga. Pertama-tama reaksi saya kalau dikira seorang pembantu, saya merasa terhina. Lalu saya sadar, kalau saya merasa terhina, artinya saya menghina profesi seorang pembantu. Profesi yang telah menyelamatkan jutaan keluarga di Indonesia dari kemiskinan dan kelaparan, berkat salah seorang anggota keluarganya bekerja di luar negeri, walau “hanya” sebagai seorang TKI / buruh kasar, dalam hal ini, pembantu rumah tangga. Saya menjadi tidak risih lagi, setelah saya menyadari betapa kalang kabutnya sebuah rumah tangga jaman sekarang, bila pembantu mudik karena hari raya. Para ibu di Malaysia sama bingungnya dengan ibu-ibu di Indonesia, terutama yang mempunyai anak-anak yang masih kecil. Pulangnya pembantu ke kampung halaman sama dengan hari-hari melelahkan yang kadang diiringi dengan pembatalan acara liburan keluarga.


Pengalaman saya di Malaysia menegaskan saya betapa berharganya profesi yang satu ini dan saya tidak akan malu lagi kalau dikira seorang pembantu rumahtangga. Sebuah profesi yang kalau di Italia kebanyakan dipegang oleh saudara-saudara kita dari Filipina. Dan karena saya dan teman-teman Indonesia juga sering dikira orang Filipina, karena penampilan kami memang mirip sekali, maka kembali saya kadang juga dikira pembantu dan di tengah jalan pernah dipanggil seorang Ibu Italia untuk membersihkan rumahnya. Saya menjelaskan dengan sopan bahwa saya bukan seorang PRT dan saya mengenali di hati saya bahwa kegundahan hati saya karena dikira pembantu sudah tidak hadir lagi di sana. Harga diri manusia bukan ditentukan dari apa profesi dan tingkatan sosialnya dalam masyarakat, tetapi dari kemauannya untuk bekerja keras dengan cara-cara yang baik dan jujur. Saya melihat bahwa bangsa Indonesia yang hidup merantau di Eropa dan negara Asia lainnya adalah manusia pekerja keras, bukan peminta-minta atau pelaku kejahatan yang merampas harta benda orang lain.


Saya juga belajar melihat Indonesia dari luar sebagaimana orang luar memandang Indonesia. Bertemu dengan imigran dari negara-negara Timur Tengah atau Afrika, setelah mereka tahu bahwa saya adalah orang Indonesia, beberapa dari mereka akan langsung menyapa, 'assalamualaikum' . Saya tersenyum sambil kadang membalas, walaikum salam, sambil melanjutkan bahwa saya bukan seorang muslim. Mereka akan terheran-heran ketika saya mengatakan saya orang Katolik. “Lho, benarkah ? apakah ada orang Kristen / Katolik di Indonesia ?” begitulah selalu reaksi mereka. Pertanyaan yang juga sering diajukan kepada saya saat masih tinggal di Malaysia. “Tentu saja, kami ada sekitar 20 juta orang, dan kami sangat aktif”, begitu biasanya jawab saya. Bangga. Lebih-lebih karena menyadari bahwa Indonesia memungkinkan keragaman itu terjadi. Entah sampai kapan. Kebanggaan yang kini disertai rasa sedih karena akhir-akhir ini banyak umat Nasrani yang ditindas dan dihalangi untuk beribadah. Biasanya karena sangat heran, orang tidak bertanya lagi lebih lanjut. Saya maklum, Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia. Bahkan di sebuah toko kosmetik di pusat kota Milan, seorang pria berwajah Arab menegur saya tanpa basa basi, “Kamu pasti dari Indonesia”. Saya terkejut, “Wah darimana Anda tahu?” Pria itu menunjuk liontin kalung saya yang berbentuk huruf “U” (inisial nama saya) dan dia mengatakan bahwa bentuk liontin saya itu sangat mirip dengan symbol yang sangat penting dalam agama Islam. Dari situlah dia menyimpulkan bahwa saya orang Indonesia. Keterkejutan saya akan penampakan symbol inisial nama saya, tidak mampu menandingi keheranan saya betapa terkenalnya Indonesia dalam hal keagamaannya. Apakah negeri yang religius kehidupan agamanya juga mencerminkan kebaikan dan kententraman warganya sesuai ajaran kasih agama ?


Saya teringat seorang sahabat saya orang Malaysia yang akan berkunjung ke Jakarta untuk pertama kalinya. Berkali-kali dia sibuk bertanya kepada saya apakah Jakarta aman, bagaimana dengan ancaman bom, bagaimana jalur transportasi umumnya, dan kekawatiran lainnya. Setelah dia kembali dari kunjungannya, dia berkata bahwa Jakarta ternyata kota yang sangat besar, sangat modern, dan yang ia alami, sangat aman. Dan saya hanya bisa tersenyum, dengan kelegaan di hati. Sebagai warga negara sebuah bangsa besar yang memelopori perjuangan kemerdekaan melawan penjajah di kawasan Asia, saya sendirilah yang harus menyandang nama Indonesia dengan kebanggan dan kehormatan yang wajar dan pantas. Betapapun terpuruknya wajah penegakan hukum, kebebasan beragama, dan pemerataan sosial di bumi pertiwi, Indonesia masih mau terus berjuang, dan saya menghargai setiap titik perjuangan setiap warganya, baik yang berada di dalam Indonesia maupun di luar. Perjuangan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang selalu ingin maju dan mempunyai warisan nilai-nilai luhur dan khas yang mendasari pembentukannya sebagai bangsa. Harapan itulah yang akan selalu membayang di hati saya, kemanapun saya akan pergi, sejauh apapun dari pangkuan ibu pertiwi.


Apa yang kita lakukan dalam kehadiran kita, walau hanya sebentuk senyum ramah atau pertolongan kecil kepada seorang bapak tua yang akan naik ke bis umum, membawa nama Indonesia kepada dunia. Seperti saat saya,suami, dan ketiga orangtua kami sedang berada di kota Zurich, Swiss, di dalam sebuah bis umum yang membawa kami ke rumah paman saya di pinggir kota Zurich. Seorang bapak tua warga kota Zurich tiba-tiba mendekati kami berlima dan bertanya kepada saya dalam bahasa Inggris yang baik, “ “Kalian orang Indonesia ya ?” saya terbelalak saking terkejutnya, nah lho, kalau bapak ini nih, darimana lagi dia bisa tahu kalau kami orang Indonesia ya ? saya membalas dengan senyum berseri campur penasaran, “Oh yes you’re right, how do you know?” dan bapak itu menjawab dengan ramah, “Because you all look so happy and optimistic” dan sebelum kami berlima sempat bertanya lebih jauh, bapak tua itu telah pergi meninggalkan kami yang terbengong-bengong bercampur bangga dalam hati. Ya, kami tidak sempat bertanya kepadanya bagaimana ia bisa sampai kepada kesimpulan yang menyenangkan itu. Tetapi memang benar, saya beberapa kali mengalaminya, di tengah himpitan kemiskinan dan sulitnya mendapat pekerjaan serta carut marutnya penegakan hukum serta keadilan sosial sebuah bangsa, tapi warganya masih bisa tertawa lepas dan terbahak-bahak bersama kawan-kawannya, bisa dipastikan…itu pasti orang Indonesia….! Soalnya, ada lho bangsa yang makmur dan sejahtera tapi wajah warganya banyak yang cemberut dan susah diajak ketawa / humor. Tidak perlu saya tulis bangsa mana, karena yang penting, saya cinta Indonesia. Walau belum bisa sepenuhnya dibilang saya bangga karena masih mengharapkan banyak sekali perbaikan untuk Indonesia, terutama dari segi mental, saya bisa menjadikan Indonesia lebih baik dengan cinta saya, dan saya rasa ibu pertiwi masih selalu menunggu buah-buah dari cinta saya, berupa karya-karya nyata saya kepadanya.


caecilia triastuti
San Donato, Milano, 17 Agustus 2009

Friday, August 7, 2009

Ujian Kasih



Hari ini teman saya bercerita ia sedang mengamati dengan seksama apakah anak lelakinya yang berusia 5 tahun mengalami demam setelah mendapat imunisasi campak seminggu yang lalu. Dokter anaknya mengatakan bahwa respon tubuh anak terhadap vaksin campak biasanya akan berupa suhu badan yang meningkat dan timbul tanda-tanda merah di badan, yang akan hilang setelah tubuhnya berhasil melawan virus yang telah dilemahkan dalam bentuk vaksinasi itu. Namun bila tubuh si anak lebih kuat daripada vaksin virus campak, ia akan baik-baik saja dan tidak akan merasakan apapun. Umumnya campak akan menjangkiti manusia sekali dalam hidup pada saat masih anak-anak.

Saya membayangkan bahwa seorang manusia pada awal-awal hadir dalam dunia harus berkenalan dengan banyak sekali hal baru. Termasuk harus mengalami berbagai penyakit untuk pertama kalinya, sembari beranjak menuju manusia dewasa yang semakin kuat tubuhnya. Semakin kaya pengetahuan dan ketrampilannya. Seringkali Tuhan membiarkan saya mengenal berbagai perlakuan yang buruk dari sesama, atau mengalami peristiwa yang tidak enak karena sifat sesama manusia yang kurang baik dan tidak mengenakkan bagi saya.

Kebanyakan mungkin bukan maksudnya untuk menjahati / melukai tetapi karena latar belakang, situasi kehidupan, pengalaman hidup, dan kepribadian yang berbeda. Mengenali adanya kemungkinan itu sangat penting supaya kita tidak terlalu cepat menghakimi seseorang yang kita anggap berbuat kurang baik kepada kita atau bertingkah laku tidak menyenangkan.

Tuhan tidak selalu mempertemukan saya dengan situasi yang enak dan mudah serta orang-orang baik yang sepaham dan sepikiran dengan saya. Tetapi pengalaman-pengalaman yang buruk dan perlakuan sesama yang tidak mengenakkan membentuk ketahanan iman saya kepada Tuhan. Menguji kemurnian kasih saya kepada Tuhan dan sesama. Ujian itu bagaikan vaksin campak yang disuntikkan sebagai imunisasi ke tubuh anak teman saya.

Karena ego dan kesombongan manusiawi, daya tahan iman dan kasih saya seringkali lebih lemah dari ujian itu dan hasilnya hati saya menjadi panas. Saya mengalami demam hati. Apa yang saya lakukan dalam keadaan hati panas adalah membalas perlakuan yang buruk dari sesama dengan keburukan juga atau memutuskan sebuah hubungan yang sebelumnya telah terjalin. Hasilnya mudah ditebak. Saya dan sesama berpotensi sama-sama terluka dan sama-sama merasa sakit. Tetapi bila saya selalu berusaha untuk bersikap rendah hati, sabar, introspeksi diri, dan mencoba untuk mengerti, sesungguhnya saya melindungi diri saya sendiri dan orang lain terhadap luka-luka yang tidak perlu. Saya menyiapkan diri saya untuk mengampuni. Itulah pertahanan jiwa yang sesungguhnya. Bukankah saya sendiri tidak sempurna dan sering menyakiti hati sesama, walau tidak selalu saya sadari. Sekali lagi perbedaan kebiasaan, penderitaan dan pengalaman hidup, situasi kehidupan, dan kepribadian, yang tidak selalu dapat kita ketahui pada saat kejadian, bisa memicu penyebabnya.

Terlintas di ingatan saya sebuah pernyataan seorang rohaniwan, orang yang tidak dicintai biasanya menjadi sulit dan orang yang sulit biasanya tidak dicintai. Kasihan kan, seperti lingkaran setan. Kalau orang yang membuat kita resah adalah saudara kita yang mnegalami hal sedemikian, bukankah mereka justru harus kita perhatikan dan cintai lebih lebih lagi ? Yesus sudah memberikan saya pegangan yang saya perlukan saat Dia mengajak saya berpikir demikian “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Lukas 6 : 31)

Bersikap lapang dada dan kepala dingin membuat jiwa saya tetap merasakan keteduhan dan saya akan baik-baik saja. Hanya saja saya perlu terus bergantung kepada Tuhan dan menyerap teladan kasihNya di jalan salibNya sehingga saya mampu memenangkan latihan iman itu dan lulus ujian. Bagaikan imunisasi campak yang membuat tubuh anak semakin kuat, tanpa harus jatuh sakit dan menjadi demam karena efek virus campak yang disuntikkan ke tubuhnya.

Tetapi bagaimana kalau sudah berusaha konsisten bersikap baik dan tulus tetap saja mendapat perlakuan yang tidak enak atau tidak adil ? Kita sudah melakukan apa yang kita ingin sesama lakukan kepada kita, tapi yang terjadi tidak timbal balik seperti yang kita harapkan. Yesus mengajarkan kita untuk memberikan pipi yang lain bila satu sisi pipi kita ditampar, namun apakah itu berarti Yesus membiarkan harga diri kita diinjak-injak dan diabaikan ? Tubuh anak yang sedang divaksinasi mempunyai sistem daya tahan. Tubuh manusia dilengkapi Tuhan dengan mekanisme yang mengagumkan untuk menahan serangan virus dan bakteri. Demikian juga saya tidak berpikir bahwa dengan memberikan juga baju kalau orang meminta jubah saya atau berjalan dua mil kalau diminta berjalan satu mil, adalah berarti membiarkan diri terus menerus menjadi bulan-bulanan sesama yang sedang memanfaatkan kebaikan kita.

Saya ingat saat Tuhan menyampaikan hukum utama yang kedua “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri “ (Matius 22 : 39). Bagi saya itu berarti kita baru bisa mengasihi sesama sepenuhnya bila kita sudah mengasihi diri sendiri terlebih dahulu. Mengasihi diri sendiri menyangkut menghargai diri sendiri, yaitu menghargai hak diri sendiri termasuk memastikan bahwa hak diri sendiri juga diperhatikan dan dilindungi. Dalam hal ini termasuk juga hak untuk membela diri dan menjaga harga diri. Sama seperti kita wajib menjaga dan melindungi hak dan harga diri sesama kita.

Apa yang diajarkan Yesus adalah bahwa sebagai orang-orang yang telah ditebus, kita diajak untuk berani tampil beda. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan, seperti yang Yesus sampaikan selanjutnya di Lukas 6 : 32, “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu ? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.“ Memang ini sebuah perjuangan yang tidak ringan dan merupakan suatu seni tersendiri. Betapa menyenangkan mengikuti Yesus, yang penuh dengan citarasa seni dan kreativitas dalam mengasihi…! Supaya kita menjadi sempurna, seperti Bapa di Surga sempurna adanya. Itulah cita-cita Yesus bagi kita semua, cita-cita yang amat indah bagi setiap kita, mahakarya ciptaanNya.

Tapi semua itu tidak mudah. Ya, tentu saja. Untuk hal-hal yang berharga, tidak ada yang mudah, perlu perjuangan. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Saya perlu berdialog dengan Tuhan melalui firmanNya dan bertekun dalam doa, supaya saya menemukan kekuatan untuk terus berjalan bersama Yesus. Di dalam doa serta firmanNya, saya selalu menemukan kembali bahwa bersama Yesus di samping saya, di hati saya, saya mampu. Kalau Yesus meminta saya melakukan sesuatu, itu pasti sesuatu yang bisa saya lakukan. Tuhan tidak akan meminta sesuatu yang tidak bisa kita kerjakan, termasuk saat Yesus meminta saya mengampuni tujuh kali tujuh kali dalam sehari (Lukas 17: 4). Kuncinya sederhana, berpegang terus pada kasihNya dan belajar dari hatiNya yang lemah lembut, karena dengan kekuatan kita sendiri, kita memang belum mampu.

Kenangan masa kecil membantu saya. Saat kita masih kecil, jika kita berkelahi dengan teman atau saudara, kita akan cepat berbaik kembali dan bermain bersama lagi tidak lama kemudian. Itulah anak-anak: polos, murni, tidak mudah dendam. Kita semua pernah menjadi anak kecil, mengapa kita harus jadi berbeda dalam hal mudah mengampuni dan cepat berbaik kembali setelah kita menjadi dewasa? Terus berusaha untuk mengampuni adalah daya tahan jiwa yang sesungguhnya, terbentuk dan terasah setelah kita bersedia menjalani ujian dan lulus, ketika berjumpa dan mengalami orang-orang yang tidak selalu membalas kasih kita, yang tidak peduli pada kita, bahkan melukai kita, baik secara sadar dan sengaja, maupun tidak.

Kasih yang sejati memerdekakan, tidak hanya bagi yang menerimanya, tetapi lebih-lebih bagi yang memberikannya. Saling berbagi kasih membuat orang merasa berharga, menumbuhkan rasa percaya diri, dan menyehatkan jiwa. Semoga saya belajar untuk terus menimba dari Yesus, sumber inspirasi kasih sejati, yang tulus dan tidak pernah mengharapkan balasan apa-apa. Yang terus mengasihi, walaupun dilukai.

Filipi 4: 13: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”.

Yesus ada di sini, saya pasti bisa.

San Donato,Milano,
3 Agustus 2009