Monday, August 17, 2009

Aku cinta Indonesia



Saya tidak meminta untuk dilahirkan menjadi orang Indonesia. Seperti juga tidak seorangpun meminta dilahirkan menjadi orang Rusia, orang Thailand, atau Orang Somalia. Sesungguhnya, bahkan kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Tetapi bahwa kita ada di sini, dan menjadi orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, adalah suatu karunia Tuhan yang tak terkira indahnya, suatu anugerah kehidupan yang mengandung begitu banyak kesempatan, pertumbuhan, pengalaman, untuk menjadi mitra Allah sendiri di dalam dunia ciptaanNya yang begitu agung dan mulia ini. Dan kalau Allah Bapa menempatkan saya sebagai orang Indonesia, maka saya mempunyai kewajiban seiring dengan hak, untuk mencintai negeri saya dan membela kepentingan- kepentingannya, sesuai dengan apa yang sudah saya terima dari Bapa. Allah ingin saya lahir di sini, di Indonesia, dan menjadi orang Indonesia.


Bila saya renungkan kembali, selama hidup di Indonesia, saya menyadari atau menjadi peka terhadap kebangsaan saya hanya pada saat upacara bendera di sekolah, saat bendera merah putih dinaikkan ke angkasa oleh teman-teman pengibar bendera dan lagu Indonesia Raya kami nyanyikan bersama-sama teman sekelas. Kepekaan serupa muncul lagi saat pertandingan Thomas Cup dimana Indonesia sering menjadi finalis berhadapan dengan jawara bulutangkis dunia seperti Cina. Kesadaran dan kepekaan yang lebih kuat sebagai orang Indonesia justru lahir setelah saya hidup di luar negeri. Misalnya saat batik dan angklung, lagu Rasa Sayange, dan lain-lain, diklaim menjadi milik negara tempat saya tinggal saat itu, Malaysia. Dan selanjutnya setelah saya merantau di Italia dan di manapun saya berada di luar negeri, saya sadar sepenuhnya bahwa saya membawa nama baik Indonesia dengan apapun yang saya lakukan. Saya juga merasa tidak bahagia bila kebudayaan asli Indonesia tidak dihargai orang. Pengalaman merantau membuat cinta saya kepada negara kelahiran saya dimurnikan dan menemukan bentuknya yang hakiki.


Dalam perjalanan dengan kereta api untuk kembali ke Milan dari Montecarlo, saya duduk bersebelahan dengan seorang pemuda Italia, yang bertanya dengan bahasa Inggris yang baik, “Where are you from? “ “Oh, I’m Indonesian”, jawab saya dengan bangga. Saya pikir pemuda ini pasti jarang mendapat jawaban seperti itu dari orang-orang Asia yang ia temui di perjalanan. Kebanyakan turis Asia di Italia, seperti juga di negara-negara Eropa lainnya, adalah turis dari Jepang. Saya sendiri sudah dua kali dikira orang Jepang, padahal penampilan saya sangat Indonesia, sangat njawani, walaupun kulit saya memang lumayan terang. Mungkin kebanyakan orang di sini mengira kalau orang berwajah Asia itu ya dari Jepang. Seperti dugaan saya, ada reaksi surprise di wajah pemuda itu mendengar jawaban saya. “Indonesia ? oh, is it in Taiwan?” Giliran saya yang jadi pucat, aduh, kok jauh banget sih mas tebakannya. Saya meralat dengan cepat, “NO, it’s…errr…do you know Bali ? “ saya balik bertanya dengan masygul, menyadari saya harus kembali membawa nama Bali hanya supaya negara saya dikenali. Syukurlah Indonesia masih punya Bali, pikir saya. Padahal pemuda ini bekerja di sebuah agen perjalanan wisata di pusat kota Milan. Ia langsung menyahut “Oh..yeah..okay. .okay…yes, Bali” dan ia melanjutkan ,”Okay, I got it, it’s near Malaysia, right?” Saya mengangguk dengan tidak bersemangat, iya mas, jawab saya dalam hati. Saya pernah hidup selama tiga tahun di Kuala Lumpur, dan saya tahu benar, walau dengan hati gundah, mengapa Malaysia begitu dikenal orang di luar negeri. Saya tahu dengan amat baik, mengapa Malaysia berhasil menempatkan dirinya di antara jajaran negara-negara terkemuka di dunia. Sementara Indonesia, negara yang lebih besar di sebelahnya, tempat dimana insinyur-insinyur Malaysia dulu belajar dan berguru dalam hal teknologi jalan tol, kurikulum pendidikan di perguruan tinggi, menyerap kreativitas musik dan kesenian, serta berguru dalam berbagai ilmu teknik penerbangan, perminyakan, dan instrumentasi, tidak banyak diketahui oleh dunia internasional. Walaupun saya punya gambaran mengapa hal itu bisa terjadi, saya tidak ingin berhenti menangisi nasib. Apa yang saya katakan atau lakukan, sekecil apapun itu, di negeri asing, akan menjadi perhatian orang. Saya membawa nama bangsa saya kemanapun saya pergi. Melalui apa yang saya perbuat, saya katakan, bahkan saya pikirkan, saya mengabarkan kepada masyarakat di negeri saya berada, bahwa Indonesia adalah negeri yang besar, dimana kasih sayang, iman, dan harapan menjadi tiang-tiang penopang warganya yang terdiri dari berbagai ragam budaya. Dimana kemajuan, seperti juga kemerdekaan dan harga diri, direbut dengan kerja keras dan jerih payah.


Ketika hidup di Malaysia dulu, saya dan teman-teman sering mengalami hal yang sama. Yaitu selalu dikira pembantu rumah tangga / TKI, kalau mereka tahu bahwa kami berasal dari Indonesia. Bagi kebanyakan orang di Malaysia, Indonesia dikenal sebagai pengekspor TKI terbesar. Saat itulah, saya mulai menghargai dengan lebih indah, profesi seorang pembantu rumah tangga. Pertama-tama reaksi saya kalau dikira seorang pembantu, saya merasa terhina. Lalu saya sadar, kalau saya merasa terhina, artinya saya menghina profesi seorang pembantu. Profesi yang telah menyelamatkan jutaan keluarga di Indonesia dari kemiskinan dan kelaparan, berkat salah seorang anggota keluarganya bekerja di luar negeri, walau “hanya” sebagai seorang TKI / buruh kasar, dalam hal ini, pembantu rumah tangga. Saya menjadi tidak risih lagi, setelah saya menyadari betapa kalang kabutnya sebuah rumah tangga jaman sekarang, bila pembantu mudik karena hari raya. Para ibu di Malaysia sama bingungnya dengan ibu-ibu di Indonesia, terutama yang mempunyai anak-anak yang masih kecil. Pulangnya pembantu ke kampung halaman sama dengan hari-hari melelahkan yang kadang diiringi dengan pembatalan acara liburan keluarga.


Pengalaman saya di Malaysia menegaskan saya betapa berharganya profesi yang satu ini dan saya tidak akan malu lagi kalau dikira seorang pembantu rumahtangga. Sebuah profesi yang kalau di Italia kebanyakan dipegang oleh saudara-saudara kita dari Filipina. Dan karena saya dan teman-teman Indonesia juga sering dikira orang Filipina, karena penampilan kami memang mirip sekali, maka kembali saya kadang juga dikira pembantu dan di tengah jalan pernah dipanggil seorang Ibu Italia untuk membersihkan rumahnya. Saya menjelaskan dengan sopan bahwa saya bukan seorang PRT dan saya mengenali di hati saya bahwa kegundahan hati saya karena dikira pembantu sudah tidak hadir lagi di sana. Harga diri manusia bukan ditentukan dari apa profesi dan tingkatan sosialnya dalam masyarakat, tetapi dari kemauannya untuk bekerja keras dengan cara-cara yang baik dan jujur. Saya melihat bahwa bangsa Indonesia yang hidup merantau di Eropa dan negara Asia lainnya adalah manusia pekerja keras, bukan peminta-minta atau pelaku kejahatan yang merampas harta benda orang lain.


Saya juga belajar melihat Indonesia dari luar sebagaimana orang luar memandang Indonesia. Bertemu dengan imigran dari negara-negara Timur Tengah atau Afrika, setelah mereka tahu bahwa saya adalah orang Indonesia, beberapa dari mereka akan langsung menyapa, 'assalamualaikum' . Saya tersenyum sambil kadang membalas, walaikum salam, sambil melanjutkan bahwa saya bukan seorang muslim. Mereka akan terheran-heran ketika saya mengatakan saya orang Katolik. “Lho, benarkah ? apakah ada orang Kristen / Katolik di Indonesia ?” begitulah selalu reaksi mereka. Pertanyaan yang juga sering diajukan kepada saya saat masih tinggal di Malaysia. “Tentu saja, kami ada sekitar 20 juta orang, dan kami sangat aktif”, begitu biasanya jawab saya. Bangga. Lebih-lebih karena menyadari bahwa Indonesia memungkinkan keragaman itu terjadi. Entah sampai kapan. Kebanggaan yang kini disertai rasa sedih karena akhir-akhir ini banyak umat Nasrani yang ditindas dan dihalangi untuk beribadah. Biasanya karena sangat heran, orang tidak bertanya lagi lebih lanjut. Saya maklum, Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia. Bahkan di sebuah toko kosmetik di pusat kota Milan, seorang pria berwajah Arab menegur saya tanpa basa basi, “Kamu pasti dari Indonesia”. Saya terkejut, “Wah darimana Anda tahu?” Pria itu menunjuk liontin kalung saya yang berbentuk huruf “U” (inisial nama saya) dan dia mengatakan bahwa bentuk liontin saya itu sangat mirip dengan symbol yang sangat penting dalam agama Islam. Dari situlah dia menyimpulkan bahwa saya orang Indonesia. Keterkejutan saya akan penampakan symbol inisial nama saya, tidak mampu menandingi keheranan saya betapa terkenalnya Indonesia dalam hal keagamaannya. Apakah negeri yang religius kehidupan agamanya juga mencerminkan kebaikan dan kententraman warganya sesuai ajaran kasih agama ?


Saya teringat seorang sahabat saya orang Malaysia yang akan berkunjung ke Jakarta untuk pertama kalinya. Berkali-kali dia sibuk bertanya kepada saya apakah Jakarta aman, bagaimana dengan ancaman bom, bagaimana jalur transportasi umumnya, dan kekawatiran lainnya. Setelah dia kembali dari kunjungannya, dia berkata bahwa Jakarta ternyata kota yang sangat besar, sangat modern, dan yang ia alami, sangat aman. Dan saya hanya bisa tersenyum, dengan kelegaan di hati. Sebagai warga negara sebuah bangsa besar yang memelopori perjuangan kemerdekaan melawan penjajah di kawasan Asia, saya sendirilah yang harus menyandang nama Indonesia dengan kebanggan dan kehormatan yang wajar dan pantas. Betapapun terpuruknya wajah penegakan hukum, kebebasan beragama, dan pemerataan sosial di bumi pertiwi, Indonesia masih mau terus berjuang, dan saya menghargai setiap titik perjuangan setiap warganya, baik yang berada di dalam Indonesia maupun di luar. Perjuangan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang selalu ingin maju dan mempunyai warisan nilai-nilai luhur dan khas yang mendasari pembentukannya sebagai bangsa. Harapan itulah yang akan selalu membayang di hati saya, kemanapun saya akan pergi, sejauh apapun dari pangkuan ibu pertiwi.


Apa yang kita lakukan dalam kehadiran kita, walau hanya sebentuk senyum ramah atau pertolongan kecil kepada seorang bapak tua yang akan naik ke bis umum, membawa nama Indonesia kepada dunia. Seperti saat saya,suami, dan ketiga orangtua kami sedang berada di kota Zurich, Swiss, di dalam sebuah bis umum yang membawa kami ke rumah paman saya di pinggir kota Zurich. Seorang bapak tua warga kota Zurich tiba-tiba mendekati kami berlima dan bertanya kepada saya dalam bahasa Inggris yang baik, “ “Kalian orang Indonesia ya ?” saya terbelalak saking terkejutnya, nah lho, kalau bapak ini nih, darimana lagi dia bisa tahu kalau kami orang Indonesia ya ? saya membalas dengan senyum berseri campur penasaran, “Oh yes you’re right, how do you know?” dan bapak itu menjawab dengan ramah, “Because you all look so happy and optimistic” dan sebelum kami berlima sempat bertanya lebih jauh, bapak tua itu telah pergi meninggalkan kami yang terbengong-bengong bercampur bangga dalam hati. Ya, kami tidak sempat bertanya kepadanya bagaimana ia bisa sampai kepada kesimpulan yang menyenangkan itu. Tetapi memang benar, saya beberapa kali mengalaminya, di tengah himpitan kemiskinan dan sulitnya mendapat pekerjaan serta carut marutnya penegakan hukum serta keadilan sosial sebuah bangsa, tapi warganya masih bisa tertawa lepas dan terbahak-bahak bersama kawan-kawannya, bisa dipastikan…itu pasti orang Indonesia….! Soalnya, ada lho bangsa yang makmur dan sejahtera tapi wajah warganya banyak yang cemberut dan susah diajak ketawa / humor. Tidak perlu saya tulis bangsa mana, karena yang penting, saya cinta Indonesia. Walau belum bisa sepenuhnya dibilang saya bangga karena masih mengharapkan banyak sekali perbaikan untuk Indonesia, terutama dari segi mental, saya bisa menjadikan Indonesia lebih baik dengan cinta saya, dan saya rasa ibu pertiwi masih selalu menunggu buah-buah dari cinta saya, berupa karya-karya nyata saya kepadanya.


caecilia triastuti
San Donato, Milano, 17 Agustus 2009

2 comments:

  1. nice!!!! just found your blog mba ;-)

    ReplyDelete
  2. Indah...terimakasih yaa...bagaimana dengan kumpulan koleksimu sendiri, let me know ya. Sampai dimana Indah sekarang ya, apakah masih di New York ? Hope to see you again

    ReplyDelete