Tuesday, May 31, 2011

Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh


Kita tahu, bahwa kita sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut. (1 Yoh 3 : 14)

Manusia tentu gembira dengan kesembuhannya dari suatu keluhan atau rasa sakit. Tetapi sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah merasa lebih senang kalau saya sakit. Walaupun sudah sembuh, saya berpura-pura masih sakit. Saya mengatakan kepada Ibu (dan kepada diri saya sendiri) bahwa badan saya masih terasa tidak enak, walaupun saat itu sebenarnya saya mulai pulih dan sehat. Alasannya (yang hanya saya sembunyikan dalam hati saya), saya malas kembali ke bangku sekolah. Saya menemukan betapa nikmatnya berbaring santai di tempat tidur, makan diantar, dibelikan apa saja yang saya inginkan, dan tidak perlu bangun pagi-pagi. Daripada duduk di dalam kelas yang melelahkan dan kadang membuat saya bosan, atau tegang ketika harus menjawab soal-soal yang sukar dari guru yang galak. Setelah peristiwa itu berlalu beberapa waktu dan saya sudah kembali bersekolah, tiba-tiba saya sadar betapa bodohnya saya. Jutaan anak miskin seusia saya merindukan untuk bisa mengecap bangku sekolah tetapi tidak mampu karena tidak punya uang untuk membayar biayanya. Sekolah, walaupun memang lelah, membuat saya mengerti banyak hal, dan yang lebih penting saat itu, saya bisa bertemu teman-teman sebaya dan bermain sepuas-puasnya dengan mereka. Apalagi ketika salah satu teman saya kemudian juga sakit, agak serius. Saya menyadari lagi betapa nggak enaknya sakit itu; badan lemah, nafsu makan hilang, tidak bisa bermain. Oh, betapa menggelikan dan konyol pilihan saya untuk tetap sakit ketika itu, di samping perasaan bersalah karena telah berbohong kepada Tuhan, Ibu, dan diri saya sendiri.

Sekarang saya tidak bisa segera tertawa kalau mengenang kekonyolan saya sewaktu kecil itu, karena sebagai orang beriman, ternyata dalam kehidupan ini, saya juga masih sering memilih untuk menjadi orang sakit daripada orang yang sudah disembuhkan dan dipulihkan Tuhan. Melalui derita salib-Nya yang begitu menyakitkan, Tuhan sudah membebaskan saya. Saya seperti seekor domba yang tersesat karena hanya mengikuti keinginan pribadi, namun Tuhan yang bangkit di hari Paskah yang cerah, sudah menemukan saya lagi. Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu (1 Petrus 2 : 24-25). Tetapi tantangan kehidupan ini memang tak ada habisnya. Ketika kita bahkan belum selesai berperang dengan kelemahan diri sendiri, pada saat yang sama kita juga harus berhadapan dengan Si jahat yang terus menerus memanfaatkan kelemahan kita untuk menjauh dari Allah dan memusuhi sesama. Itulah sebabnya dalam kehidupan sehari-hari, sepertinya saya masih saja ‘memilih’ menjadi orang tersesat. Betapa menyedihkan pilihan itu; orang merdeka yang tidak sadar dengan kebebasannya, orang sehat yang masih saja merasa dirinya sakit, orang yang telah pulang yang menempatkan dirinya sebagai orang tersesat. Apakah memang demikian? Ya, kalau saya membiarkan kemarahan menguasai diri saya ketika seorang teman menyinggung perasaan saya. Ketika saya tidak mengendalikan iri hati melanda kala ada anggota keluarga yang mengalami berkat melimpah dari Tuhan. Ketika saya mengabaikan tetangga saya yang sedang sakit dan kesepian. Ketika saya tidak menjaga mulut saya dari kecenderungan menghakimi orang lain yang sedang jatuh ke dalam dosa, atau menilai situasi hidup yang tidak sesuai harapan dengan celaan yang berkepanjangan. Ketika saya tidak menahan diri untuk diam dan mengalah saat adu argumen dengan sesama menjadi hangat. Ketika saya menyalahkan Tuhan pada saat terjadi peristiwa musibah tak terelakkan, seolah-olah tidak ada harapan lagi sama sekali. Ketika saya malas dan tidak disiplin dengan waktu, atau ketika saya menikmati sesuatu yang bukan hak saya.

Ya, sikap-sikap saya tidak selalu mencerminkan bahwa saya orang yang merdeka, orang yang sudah ditebus dengan darah yang mahal, orang yang sudah ditemukan kembali oleh Bapa untuk menikmati hadirat-Nya yang damai, yang sudah disembuhkan sepenuhnya dari belenggu dosa. Betapa ruginya saya. Padahal oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. Tetapi terbelenggu dalam dosa dan kebiasaan yang buruk mungkin terasa lebih nikmat, ya dosa memang nikmat. Dan hidup benar itu memang berat. Kita perlu berjuang sekuat tenaga untuk menghayati hidup orang yang merdeka, orang yang tidak lagi mengarahkan perhatian kepada dunia tetapi berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus (Filipi 3 : 14). Seperti saya di waktu kecil, yang merasa enak dengan keadaan sakit yang stagnan, tidak berbuat apa pun, hanya tidur, makan, mendapatkan apa yang diinginkan. Kenapa saya harus repot-repot duduk di bangku sekolah, bangun pagi, mengerjakan PR, berlatih mengerjakan soal yang sukar, dan bergaul dengan teman sebaya. Bukankah lebih enak menjadi sakit dalam dosa, daripada berlelah-lelah belajar memperoleh harta kehidupan kekal: saat saya belajar menahan diri untuk mengasihi sesama dengan lebih tulus, menghentikan kebiasaan saya yang buruk walaupun nikmat, dan melayani sesama yang menderita. Tetapi, saya dan Anda tahu pilihan yang mana yang akan membuat kita lulus ujian, yang membuat kita hidup, berkembang, dan akhirnya berbuah. Dan kemerdekaan Allah adalah kemerdekaan yang sungguh membebaskan, setiap kali kita membiarkan diri ditangkap oleh Allah, menyalibkan keinginan daging kita, mengosongkan diri, berdisiplin, dan membiarkan Allah mengisi hidup kita penuh-penuh.

Seorang teman saya pernah membaca*), konon salah satu kata-kata paling kuat di dunia ini adalah “saya juga” atau “me too”. Saat kita mendapati ada orang yang telah atau sedang mengalami suatu penderitaan atau kesukaran yang sama dengan yang kita alami, kita merasa mendapatkan kekuatan dan semangat yang luar biasa. Bila kita dihadapkan pada situasi yang sangat sukar atau tidak adil, sehingga kita ingin memilih untuk menjadi orang sakit dan sesat saja tetapi nyaman, daripada memilih untuk bertahan dalam hidup, hendaknya kita ingat bahwa Tuhan Yesus sudah lebih dulu mengalaminya bagi kita. Pengalaman ditolak, diacuhkan, dibuang, ditinggalkan orang-orang terdekat, bahkan disiksa dan dianiaya sampai mati tanpa belas kasihan sama sekali. Kesakitan dan penderitaan yang luar biasa. Kalau bukan karena cinta dan kerendahan hati yang sungguh sungguh tulus, tidak ada seorang manusia pun mampu menjalani apa yang dijalani Yesus bagi kita di jalan salib-Nya itu. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilir-bilurnya kita menjadi sembuh. (Yesaya 53 : 4-5).

Ketika kita merasa hidup tidak berpihak pada kita, ketika semua orang terasa membelakangi kita, ketika kesedihan hidup datang tanpa diundang, ketika kita jatuh terus ke dalam kelalaian dan kedosaan, semoga kita tidak putus asa dan kehilangan harapan. Ingatlah akan Yesus, yang selalu berjalan di samping kita, dengan salib di pundak-Nya, membisikkan dalam hati kita, “Aku juga, Aku juga telah mengalaminya, dan Aku telah mengalahkannya” dan oleh karena itu Ia melanjutkan “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia." (Yoh 16 : 33b). Kala saya hitung berapa kali Tuhan Yesus mengatakan “jangan takut” kepada para murid di dalam seluruh Injil, saya menemukan Yesus mengatakannya empat belas kali dalam berbagai kesempatan yang berbeda. Bila kata-kata dari Tuhan itu juga dicari di dalam Kisah Para Rasul dan Kitab Wahyu, jumlahnya delapan belas kali.
Pilihan kembali Tuhan letakkan di tangan kita. Hari raya Paskah akan selalu datang dan datang lagi, tetapi makna sejati dari peringatan Paskah yang berkemenangan itu baru terjadi saat kita memilih untuk memiliki jati diri sejati sebagai manusia yang sembuh, utuh, mulia, dan berkelimpahan di dalam Dia. Dia yang sudah menebus kita dan menemukan kita kembali lewat penderitaan dan kebangkitan-Nya dari alam maut.
Selamat Paskah, kiranya kasih Tuhan Yesus yang menyembuhkan, memulihkan kita semua. (uti)

*) Terimakasih kepada Pak Lucas Nasution yang berbagi pengetahuan itu kepada saya

Saat Listrik Padam


Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasihNya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit, hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan Allah adalah Allah yang adil, berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia (Yesaya 30 : 18).

Semalam listrik di rumah orangtua saya padam selama kira-kira satu setengah jam. Sejak saya masih kecil, listrik PLN di kota kelahiran saya ini memang cukup sering padam. Saat listrik mati di malam hari, nyaris tidak ada sesuatu yang berarti yang bisa dilakukan. Kecuali jika ada mesin pembangkit listrik portable yang bisa memberikan energi listrik cadangan dan membuat peralatan listrik, terutama lampu, bisa menyala. Maklum hampir seluruh kegiatan hidup manusia modern ditopang oleh energi listrik. Jangankan internet, membaca buku atau koran saja kurang bisa karena tidak nyaman dilakukan dalam penerangan cahaya pengganti yang biasanya minim. Maka di rumah, satu-satunya yang bisa dilakukan dengan nyaman hanyalah duduk-duduk sambil mengobrol sekeluarga di ruang tengah dalam keremangan cahaya lampu darurat yang terangnya terbatas. Sambil menunggu lampu menyala kembali dan dengan harapan menyala dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“Terpaksa” duduk bersama dalam keremangan tanpa bisa melakukan hal lain kecuali mengobrol, ternyata terasa sangat mengasyikkan bagi saya. Kisah-kisah kenangan masa kecil, humor-humor keluarga, dan aneka pembicaraan hangat antar anggota keluarga segera mengalir. Aneka percakapan segar yang jarang sempat menemukan momennya dalam kesibukan masing-masing anggota keluarga sehari-harinya. Kegelapan yang di waktu kecil sering membuat saya jengkel terhadap PLN, (karena di masa kecil, malam hari adalah saatnya belajar dan membuat PR), malam itu malahan nyaris saya syukuri.

Kemudian, tak lama listrik PLN pun kembali menyala. Dalam waktu singkat, momen kehangatan berkumpul tadi seketika berakhir. Setelah lampu menyala, semua kembali terserap ke kesibukan masing masing, Ibu melanjutkan melihat acara kesayangannya yang tadi sempat terputus di televisi, dan Bapak segera melanjutkan kesibukannya mengoreksi pekerjaan mahasiswanya di depan laptop. Saya terhenyak menyadari diri saya sendiri masih termangu-mangu rindu di ruang tengah, sendirian, masih ingin melanjutkan obrolan seru kenangan masa kecil yang seketika terhenti ketika lampu menyala lagi. Tetapi tidak ada siapa-siapa lagi di dekat saya. Saya menyadari dengan heran bahwa untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merindukan listrik PLN mati.

Tuntutan dunia modern yang memacu semua orang terlibat dengan aktif di dalamnya dan diiringi tuntutan ekonomi keluarga, kadang-kadang membuat anggota-anggota keluarga tanpa disadari kehilangan momen-momen penting untuk saling mendengarkan, dan saling menguatkan satu sama lain. Apalagi bila acara makan bersama bukan menjadi budaya di keluarga itu. Anak-anak dan pra-remaja merindukan untuk bisa mengobrol berlama-lama menceritakan aneka pengalaman hidupnya kepada orangtuanya; para istri atau suami rindu untuk curhat lebih banyak kepada pasangan hidupnya. Momen-momen kebersamaan dan kebiasaan untuk saling mendengarkan dan bertukar kisah, membuat hidup sebagai keluarga mempunyai makna yang dalam. Kebersamaan ini memberikan keseimbangan dalam jiwa kita, dan merawat kesehatan mental kita sebagai anggota masyarakat, yang penuh dengan tantangan dan dinamika yang kadang tidak mudah untuk dihadapi. Orangtua mempunyai banyak kesempatan emas untuk memberikan pengajaran akan nilai-nilai hidup yang berharga kepada anak-anaknya, manakala aktivitas saling bercerita dan saling mendengarkan sudah menjadi kebiasaan di dalam keluarga. Tetapi jaman sekarang, kalaupun listrik mati, mungkin para remaja masih akan sibuk ber-SMS ria dengan kawan-kawannya atau sibuk bermain-main dengan aneka games yang tersedia di telepon genggamnya dan anak-anak masih bisa sibuk dengan alat permainan anak-anak masa kini sejenis Nintendo-DS portable bertenaga baterai.

Kalau berinteraksi dengan intensif antar anggota keluarga saja sering tidak terlalu sempat, bagaimana halnya dengan membina relasi aktif interaktif dengan Tuhan? Pada saat kita sedang begitu sibuk mengerjakan aneka persiapan untuk pelayanan dan pekerjaan di Gereja, bagaimana seandainya Tuhan yang kita layani ternyata hanya duduk di sudut memperhatikan kesibukan kita sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, berkata dengan rindu kepada kita, “Martha, Martha, engkau begitu khawatir akan banyak perkara. Duduklah saja di sini di dekatKu dan marilah menyegarkan dirimu dengan aliran kasihKu yang selalu rindu untuk Kucurahkan kepadamu”. (Bdk. Lukas 10 : 38-42). Atau saat kita sedang dilanda rasa malas untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci dan enggan meluangkan waktu lebih banyak untuk berdoa, Tuhan memandang kita dengan sedih sambil berkata,” Tidak dapatkah engkau berjaga bersamaKu satu jam saja? “ (Bdk. Markus 14 : 37-38). Cinta kasih kepada sesama manusia seperti diri kita sendiri adalah sangat penting dan merupakan perintah Allah sendiri. Tetapi mencintai Allah harus tetap menjadi prioritas yang utama. Justru dari cinta yang murni kepada Allahlah, cinta kita kepada sesama menemukan motivasi yang tepat dan kekuatan yang selalu terbarui. Urutannya jelas di dalam perintahNya mengenai hukum yang pertama dan utama. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22 : 37-39).

Saya teringat homili romo di gereja yang saya kunjungi hari ini: orang yang tidak peduli dengan kebutuhan sesamanya disebut egois. Orang yang peduli dan selalu membantu sesamanya tanpa memikirkan tentang Allah disebut humanis. Menjadi humanis sangat baik, tetapi belum cukup. Karena Allah yang menciptakan kita dan memelihara kita yang berhak atas kasih dan pujian serta penyembahan dan pelayanan kita yang mula-mula di atas segalanya.

Mengerjakan hal-hal yang baik bagi sesama dan keluarga serta melayani Gereja-Nya tanpa secara khusus menyediakan waktu berdiam di hadapanNya sambil membuka diri untuk mengetahui apa yang Dia sebenarnya kehendaki dari kita, bisa membuat perjalanan kita untuk sampai kepada Tuhan terbelokkan ke arah yang tidak tepat. Mungkin analoginya seperti membuat kunjungan ke sebuah panti jompo, sambil membawa aneka hidangan lezat dan mahal yang sudah kita persiapkan dengan penuh kasih dan semangat, untuk bisa dinikmati para lansia yang akan kita kunjungi. Sesampainya di sana, ternyata hidangan lezat aneka rupa yang sudah kita persiapkan tidak bisa dinikmati oleh mereka, karena ternyata sebagai lansia mereka mempunyai banyak pantangan makanan demi menjaga kesehatan mereka yang sudah semakin rawan di usia lanjut.

Ketika Yesus memperhatikan bahwa para murid sangat sibuk dan bahkan sampai tidak sempat makan, Dia berkata, “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!” (Markus 6 : 31). Setelah itu Yesus dan para murid kembali mendapatkan kekuatan untuk mengajar dan akhirnya terjadi mukjizat menggandakan roti dan ikan. Saya lantas teringat bahwa berhenti secara rutin untuk meluangkan waktu hanya bagi Tuhan dan bersama Tuhan dalam kehidupan doa dan Firman adalah sumber energi bagi hidup beriman dan pelayanan kita. Seperti saat kita tidur, kita tidak melakukan apa-apa, merelakan waktu-waktu kita yang berharga untuk berbaring diam, memejamkan mata, dan terlelap dalam tidur. Setelah bangun, kita menjadi segar kembali dan siap bekerja lagi dengan kekuatan dua kali lipat lebih efisien daripada saat kita memaksakan diri untuk terus bekerja karena merasa sayang membuang waktu untuk berhenti demi istirahat. Dalam berhenti sejenak demi relasi kita dengan Allah, kita akan mendapatkan terang untuk memurnikan motivasi-motivasi kita dan terus belajar untuk hidup dalam kerendahan hati dalam kebergantungan sepenuhnya kepada Tuhan. Demikian Allah berkata, Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah” (Mazmur 46 : 11). Tanpa diam dan berhenti, bisa-bisa kita melupakan tujuan perjalanan hidup kita yang sesungguhnya yaitu untuk melakukan kehendak Allah dan mengasihiNya dengan segenap hati tanpa mengikuti kemauan dan hikmat kita sendiri yang serba terbatas ini.

Maka jika kita mendapati diri kita dalam kemacetan lalu lintas yang menjemukan, atau terjebak dalam situasi hidup di mana segala sesuatu tidak berjalan seperti yang kita harapkan, bersyukurlah dan nikmatilah, karena mungkin itu adalah saat dimana Tuhan yang sedang rindu memanggil kita dan mengijinkan ‘listrik padam sejenak’, supaya kita mengalami kembali betapa hangatnya berdiam di hadapan Tuhan dan betapa nyamannya mendengarkan Dia berbicara dan sekali lagi menyatakan kasih dan berkatNya yang tidak berkesudahan kepada kita. (uti)

Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasehat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil (Mazmur 1 : 1-3).

Bunda Maria, Bunda Allah, Bundaku


Kata Maria, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1 : 38)

“Maaf, Pak, untuk bisa membuka informasi rekening Anda di bank kami, kami harus bertanya dulu kepada Bapak sebuah pertanyaan ini: “Siapa nama ibu kandung Bapak?” Saya ikut mendengarkan percakapan gadis pegawai customer service sebuah bank itu dengan ayah saya. Saya mendengar Ayah bukannya menjawab pertanyaan itu, melainkan malah ganti bertanya (ayah saya memang sangat hobi mempertanyakan segala sesuatu), “Kenapa ya Mbak, pertanyaan yang menjadi kode rahasia itu selalu nama ibu kandung, mengapa bukan yang lainnya; nama ayah kandung, misalnya?” Gadis customer service itu menjelaskan dengan sabar, “Ya Pak, ibu kandung yang melahirkan kita itu kan pasti hanya satu ya Pak, sedangkan ayah kan tidak. Ayah bisa lebih dari satu, atau bahkan tidak diketahui,” urainya sambil tersenyum. Saya yang tidak ikut bertanya, menjadi tercenung mendengarnya, sehingga saya jadi ikut manggut-manggut menyadari kebenaran jawaban gadis pegawai bank itu. Alangkah personal dan indahnya karunia Tuhan dalam hidup manusia melalui seorang ibu. Seseorang yang tidak punya apa-apa sekalipun pasti mempunyai ibu yang melahirkan dan membesarkannya.



Beberapa waktu lalu saya sempat mengikuti sekilas di televisi, upacara pernikahan putra mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran William, dengan kekasihnya, Kate Middleton. Dalam beberapa ulasan seputar pernikahannya, dibahas pribadi Pangeran William yang sederhana dan tidak mengundang banyak kontroversi sebagaimana sering terjadi pada seorang selebriti muda dunia. Rupanya pribadinya yang santun itu tidak lepas dari pengaruh ibu dari Pangeran William yaitu mendiang Putri Diana, yang melahirkan dan membesarkannya dengan semangat kesederhanaan dan kepedulian kepada orang kecil dan sering mengajaknya melihat kehidupan orang-orang biasa di luar lingkungan kerajaan. Terutama di masa kecil Pangeran William ketika ibunya masih hidup dan dekat dengannya. Latar belakang dari cara ibunya membesarkannya itu pula yang nampaknya kemudian mendasari pilihannya kepada seorang Kate, yang bukan berasal dari keluarga bangsawan, sebagai pasangan hidupnya. Latar belakang yang mungkin Pangeran William sendiri tidak selalu menyadarinya, sesuatu yang terpendam di bawah sadarnya, namun membentuk hidupnya begitu rupa, dengan indahnya. Di balik senyumnya yang santun, baik disadarinya ataupun tidak, Pangeran William membawa semua teladan kasih dan pengajaran ibunya dalam segala keputusan hidupnya.



Walaupun banyak orang menandai hari Ibu dan merayakan secara khusus ulang tahun ibu sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap kasih dan pengabdiannya membesarkan kita, dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak selalu menyadari betapa besarnya peran hidup dan cinta seorang ibu di dalam hidup seorang manusia. Dari ibu yang melahirkan dan membesarkan kita, sesungguhnya kita belajar untuk mencintai dan menerima cinta dalam hidup ini, yang akan selanjutnya terus membentuk pribadi kita sebagai manusia dewasa seutuhnya di dalam masyarakat. Dari seorang ibu pula kita belajar mengenal berbagai fungsi-fungsi kehidupan untuk pertama kalinya, dan belajar memahami hidup dengan segala suka dukanya.



Pada bulan Maria, Ibunda Yesus Kristus Tuhan kita, yang jatuh di bulan Mei ini, saya merenungkan keputusan Allah Bapa untuk memilih Maria, seorang gadis bersahaja yang berhati lembut dan penuh iman kepada Tuhan, untuk menjadi ibu kandung dari Yesus. Betapa tidak main-mainnya keputusan itu, betapa akan cermatnya Allah memilih manusia yang akan mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mengantar Sang Anak Manusia yang diutus untuk menebus dosa seluruh dunia dari maut dan dosa kekal. Betapa seriusnya tanggung jawab itu, betapa besar dan dalamnya peran itu, betapa Allah pasti telah memilih dengan cermat agar Anak Manusia dibesarkan di dalam teladan cinta yang penuh dan pengawasan penuh kasih sayang yang akan mengantarnya menjadi manusia dewasa yang memikul tugas semulia dan seagung itu. Ya, seorang manusia, dengan segala keterbatasan seorang manusia. Karena Yesus Kristus adalah sungguh manusia dan sungguh Allah. Ibu dari Penebus dunia tidak mungkin dipilih secara acak dan dipikul oleh siapa saja yang bersedia. Ibu Sang Penebus yang dengan tanggungjawab yang demikian besar membentuk Sang Putera menjadi manusia seutuhnya, dan mengantarnya menjalani penderitaan tak terperi di Kalvari, tentu tidak dipercayakan kepada sembarang manusia. Allah telah mempersiapkan Bunda Maria dengan penuh kecermatan, penuh cinta, bahkan sebelum Bunda Maria dilahirkan, yaitu dengan menyucikannya dari dosa asal, sebagai suatu bekal agung yang akan menyertai perjalanan hidup Putera-Nya ke dunia sebagai manusia, dan menyempurnakan misi agung-Nya sampai akhir.



Dan semua rencana Allah yang luar biasa indah dan mengagumkan itu hanya mungkin terlaksana, jika sang puteri bersahaja dengan kerendahan hati tak terkira, yang telah dipersiapkan Allah itu, berkata “ya”. Karena Allah harus bekerja atas dasar kehendak bebas manusia yang dikasihi-Nya. Seluruh hidup Bunda Maria adalah sebuah jawaban “ya” kepada Allah. Jawaban yang sangat teguh, walau kadang diucapkannya di tengah keraguan, kepedihan, kebingungan, dan ketakutan. Tetapi karena iman dan kasih Maria kepada Allah, ia bertekad untuk tetap dan selalu mengatakan “Ya, Allah, aku mau, aku siap, pakailah aku”. Dan demikianlah seluruh rencana Allah bagi keselamatan alam semesta dan kebahagiaan seluruh umat manusia menjadi kenyataan. Demikianlah jawaban “ya” seorang gadis bersahaja yang penuh ketaatan membuat kita mempunyai Penebus yang begitu luar biasa indah dan agung.



Dan sebagaimana kita begitu mencintai dan menghormati ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita dengan penuh pengorbanan, betapa Manusia Yesus yang bersifat jauh lebih mulia daripada kita, juga akan mencintai dan menghormati ibu kandung-Nya. Betapapun hal itu tidak sepenuhnya terungkap di dalam Kitab Suci. (Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu, Yoh 21 : 25). Bila kita mencintai seseorang, orang itu akan selalu ada di dalam pikiran kita, di dalam hati kita. Bahkan rasa cinta itu dapat membuat kita makin lama makin menyerupai orang yang kita cintai. Saya yakin Yesus sebagai Tuhan dan manusia, sangat menghormati dan mencintai ibunda-Nya. Dan tentu demikian juga sebaliknya, Bunda Maria kepada Yesus, Puteranya. Yesus menyimpan selalu di dalam hati-Nya, cinta dan penghormatan-Nya sebagai anak, kepada Bunda Maria, ibu-Nya. Seperti juga kita manusia kepada ibu kita, bahkan pasti lebih, karena Yesus adalah Manusia Cinta. Itulah sebabnya menjelang akhir hidup-Nya, saat nafas-Nya sudah tinggal satu-satu, Yesus masih ingin mengingat dan memperhatikan Bunda yang dicintai-Nya. Di sela-sela nafas-Nya yang semakin berat dan menyakitkan, Yesus menyempatkan diri berpesan dengan seluruh sisa tenaga-Nya, demi cinta-Nya kepada Bunda-Nya, demi cinta-Nya kepada manusia, demi supaya cinta Ibunda-Nya dan cinta-Nya sepenuhnya tercurah kepada manusia dengan sempurna, Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya (Yoh 19 : 26-27).



Cinta Yesus akan Bunda-Nya dan cinta-Nya akan manusia memenuhi pikiran-Nya, bahkan dan justru di saat paling kelam dan paling mencekam menjelang akhir nafas-Nya. Oh, betapa pentingnya dan berharganya bunda-Nya itu bagi-Nya. Dan Tuhan Yesus tidak hanya menyerahkan nyawa-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya, tetapi Ia juga menyerahkan bunda-Nya untuk menjadi bunda kita semua. Untuk mengasihi, mendoakan, menjadi teladan dan pelindung kita semua juga. Karena Yesus telah merasakan dan mengalami indahnya cinta bunda-Nya, ia ingin manusia yang dicintai-Nya juga mengalami dan memiliki cinta bunda-Nya itu. Itulah satu lagi bukti betapa amat sangat dalamnya cinta Yesus kepada kita, sehingga seorang ibu yang amat dikasihi-Nya pun tak lupa diberikan-Nya sebagai hadiah cinta untuk kita. Sungguh, tak ada cinta demikian besar dan sempurna yang pernah diterima oleh manusia selain dari cinta Tuhan Yesus Kristus yang total, segala-galanya, seluruh jiwa dan raga-Nya, seluruh milik-Nya yang paling berharga, untuk kita semua. Permenungan ini mencengkeram hati saya dengan keharuan yang amat sangat. Yesus yang mencintai saya dan ingin selalu saya cintai dengan lebih sungguh, amat mencintai bunda-Nya. Begitulah juga rasa cintaku kepada bunda Yesus yang kucinta. Demikianlah cinta Bunda Maria kepada Yesus Putera-Nya yang juga sangat mencintai kita, telah menyempurnakan cinta kasih Allah kepada manusia. Ya, Bunda Maria, Bunda Allah, Bundaku. (Caecilia Triastuti)