Tuesday, December 8, 2009

Indahnya Diam


Ketika aku terus bicara dan temanku diam, aku melupakan kesedihan hatinya, karena berfokus pada keinginanku diperhatikan.

Ketika aku selalu bicara dan orangtuaku diam, aku melupakan keletihan mereka, karena aku berfokus pada kebutuhanku untuk diakui.

Ketika aku sibuk bicara dan suamiku diam, aku melupakan kebutuhannya akan keheningan setelah seharian sibuk di kantor, karena aku berfokus pada argumen-argumen ku mengenai kehidupan.

Ketika aku ramai bicara dan tetanggaku diam, aku melupakan kerinduannya untuk juga menceritakan persoalan hidupnya, karena aku berfokus pada permasalahanku sendiri.

Betapa banyaknya yang aku lupakan ketika aku sibuk berbicara. Betapa banyaknya keidahan yang aku lewatkan, ketika aku terus saja bicara kepada Tuhan. Aku lupa Tuhan ingin menunjukkan hikmat kehidupan kepadaku, tapi aku tidak memberiNya kesempatan karena aku sibuk memohon dan meminta.

Ketika suatu hari aku mencoba diam dan membiarkan Tuhan berbicara……hatiku terbuka….betapa aku menjadi sadar bahwa Ia begitu mengasihiku. Betapa besarnya kasih itu, hingga aku tak sanggup menerimanya seorang diri, hanya dengan meneruskannya kepada sesamaku, aku dapat menikmati kasihNya sepenuhnya.

Dengan aku yang diam mendengarkan sesamaku yang berbicara, memperhatikan dan merasakan semua keluhan yang ia rasakan di balik kata-katanya, aku melihat kasihNya yang besar di dalam diriku itu menemukan jalan untuk kuteruskan kepada mereka.

Ketika aku diam, aku punya kesempatan untuk menyadari apa yang ada di sekitarku.

Aku memandangi seekor anjing yang dengan setia berjalan di samping tuannya menikmati udara pagi yang cerah.

Aku melihat tanaman-tanaman indah yang subur menghias halaman tempat tinggalku.

Anjing itu, tanaman-tanaman itu,........ semuanya diam, tak bersuara. Menyuguhkan kehadiran mereka yang penuh kasih kepada kehidupan.

Dalam diam, kasih mereka utuh.

Dalam absennya bicara, tak ada unjuk ego, tak ada pertikaian tak perlu, tak ada saling serang, tak ada luka menganga.

Diam membuka jalan kepada kesadaran akan keterbatasan diri

Diam membuka jalan kepada hati untuk berbicara menyuarakan kedamaian

Diam memberi kesempatan alam kehidupan dan ciptaan merasakan kasih dan kehadiran Sang Pencipta, sedalam-dalamnya.

Alangkah indahnya belajar untuk diam dan sungguh mendengarkan.


Adven pertama,
Houston, 3 Des 09

Wednesday, November 25, 2009

A Dressing of Change


It was our first month living in the US, and our tenth years of marriage. It seems to me at that period of marriage, nothing would surprise me anymore, even though our life had just about to enter a new chapter of adventure in America. I love my husband very much, and I am content that he loves me back just the way I need it. Everything seems perfect to us, nothing more than our regular ups and downs. My husband is an angel. And I always think that our marriage sustains beautifully more because of his nature rather than mine. That’s the way I had perceived it, the way that was like a comfort zone to me, until that particular evening, when we had a casual dinner, in a casual restaurant.

The restaurant was very busy and crowded. “Look honey, the rib eye steak seems tempting”, my hubby exclaimed as we stared at the fancy menu card. He said that to me in a manner of approval-seeking. “Yup, so let’s pick that. I’m about to take the crispy shrimps”, I responded enthusiastically. It’s our habit to order meals for two that both are desirable to me, since I always want to try any new stuff we find at a restaurant. My hubby has always been so kind and understanding to let me choose what I want to try, as long as he can enjoy it too. As far as I know, his choice is always so flexible and that he is more than happy to share meal that satisfies my curiosity. A waiter approached us with a friendly grin, “Are you guys ready?” The guy was very warm and friendly despite of his juggling service between the demanding customers.

“So what do you want for your dressing, Sir?” he asked my hubby for the salad he chose. Before my husband responded, I heard my voice asking, “What do you have?” The waiter mentioned thousand islands, ranch, honey mustard, and some more. Being only familiar with thousand islands, my hubby picked it, which I cut immediately, almost automatically, “No, darling, it’s better the ranch”. Thousand-islands is just too fatty”. Actually, claiming about fatty was only my justification to try what I assumed as the new one for me, between the other dressings that have been known to me. However, it was just out of our habit that my hubby would pick anything I want to try. Unexpectedly, the waiter was overwhelmed, lamenting to my husband, “You know Sir, my father has been married for three times, and all his wives had tried to take everything from him, believe me”. He then came back with two kinds of dressing, ranch and thousand-island, special for my hubby. Something he would not do in daily circumstances, obviously because he sympathized with what he might feel as a victim of a dictator wife.

My hubby was perfectly okay, as usual, but I was not. During his service to our table, while going back and fro, the friendly waiter kept ‘teasing’ my spouse that he won’t get anything he wanted without my permission. I felt that the waiter had hated me for being so authoritarian to my spouse. I was too embarrassed to response. Never in my life had I imagined to have such harsh comments. But from that moment I realized how serious my habit to pick everything just for satisfying me in the sight of others is. How many years I have overlooked my selfishness? Just because my husband is okay with all his sacrifice to fulfill my needs, it doesn’t mean that I am justified to neglect his rights, his desire, his choice. One day, I might come back to that restaurant, trying to find the cynical waiter and thanking him. It was not his fault for being cynical that night. He had just shown me a knowledge I have missed for years in my marriage, knowledge of knowing myself and of giving respect my soul mate deserves.

Houston,October 2009

Benjol (alias benjut)


Ketika masih duduk di awal bangku sekolah dasar, saya pernah memainkan orang buta-orang butaan dengan kakak perempuan saya. Kakak saya menutup matanya, pura-pura seperti orang yang tidak dapat melihat, dan saya menuntunnya berjalan ke sekitar. Setelah puas berjalan beberapa waktu berdua, kami akan saling berganti peran. Tentunya permainan ini meminta kami untuk saling percaya bahwa dalam keadaan tidak dapat melihat, salah seorang dari kami yang sedang tidak menjadi orang buta akan selalu membawa kami ke tempat yang aman dan tidak mencelakakan kami. Di situlah salah satu letak keasyikan permainan ini bagi kami, selain mengalami bagaimana rasanya kalau tidak bisa melihat. Kalau diingat-ingat lagi rasanya geli. Memang anak-anak senang bermain yang aneh-aneh dan mencoba segala kemungkinan yang menarik perhatiannya. Bagi orang dewasa kadang permainan mereka terasa lucu dan konyol. Tetapi begitulah, anak-anak memang mempunyai dunianya sendiri , yang tidak selalu bisa dipahami oleh orang dewasa.

Namun pada suatu hari, permainan kepercayaan ini ternyata harus saya nodai karena keisengan yang kemudian saya sesali hingga hari ini. Hari itu kami bermain di sebuah lapangan rumput sebuah universitas dekat rumah kami ,di mana di tengah-tengahnya terpasang sebuah tiang bendera untuk upacara bendera. Saat itu sedang giliran saya menuntun kakak yang sedang berperan sebagai orang buta dan memejamkan mata. Saat kami hendak melewati tiang bendera itu, tiba-tiba timbul pikiran jahil di kepala saya. Sambil memegang lengan kakak saya yang sedang saya tuntun, saya memandangi dahinya dan berpikir apa yang terjadi bila saya mengadu dahi kakak dengan tiang bendera yang sudah dekat di hadapan kami. Saya mengarahkan kakak saya ke tiang bendera itu dan….dukk, dahinya membentur tiang dengan pelan. Saat itu saya merasa yakin kakak tidak akan kenapa-kenapa karena saya memegangi lengannya supaya tidak terlau keras membentur tiang. Kontan kakak saya membuka matanya dengan terkejut, ia melotot memandangi saya dengan marah, “Lho, hei..! Piye sih kowe ini, kok kamu benturkan aku ke tiang, huuh…kaget aku” serunya sambil mengusap-usap dahinya.

Semula saya sibuk menahan tawa saya yang hampir meledak, tetapi menyadari kakak marah dan kemungkinan hukuman yang akan diberikan orangtua kami, saya menjadi gentar. Saya lantas berbohong untuk menghindari kemarahan kakak dan orangtua, dengan mengatakan, “Aduh, sori ya, tadi waktu aku menuntun kamu, aku juga sedang mencoba ikut merem (memejamkan mata). Sehingga aku tidak melihat tiang ini” Memang sebuah jawaban yang nyaris tidak masuk akal, tetapi saat itu kakak saya bisa menerima dan hanya menyesali kekonyolan saya tanpa kemarahan yang berlanjut. Yang tidak saya duga adalah akibat dari perbuatan saya itu. Ternyata dahi kakak memar sedikit. Saya makin merasa bersalah dan sedih, serta sedikit takut. “Aduh, dahi kakakku benjol”, pikir saya galau. Ibu kami menaruh beras tumbuk di dahi kakak sebagai pengobatan tradisional yang dikenal ibu saat itu untuk mengurangi memar.

Kebetulan hari itu adalah hari menjelang kakak saya berulangtahun. Sampai sekarang kami masih menyimpan foto ulang tahun kakak dimana kami sekeluarga makan malam bersama dengan dahi kakak berwarna putih karena beras tumbuk yang dibubuhkan ibu untuk mengobati dahinya yang memar. Foto itu sangat lucu dan kami sekeluarga selalu tertawa melihatnya. Semua tertawa gembira termasuk kakak. Hanya saya yang menyimpan kesedihan di hati karena menyadari akibat perbuatan saya dan kebohongan saya. Hati saya berat menyimpan kesedihan dan rasa bersalah yang cukup dalam. Apalagi rahasia kebohongan saya, bahwa saya turut memejamkan mata saat menuntun kakak di hari itu di lapangan bendera, baru saya akui dengan terus terang kepada kakak bertahun-tahun kemudian setelah kami beranjak dewasa. Kakak saya tidak merasa marah atau jengkel lagi, karena peristiwanya telah lama sekali berlalu. Saya pun berterimakasih kepada kakak karena telah memaafkan saya dan mengampuni sikap saya yang pengecut.

Benjol di dahi kakak itu memang hanya terjadi sebentar saja, namun benjol di hati saya tidak hilang begitu saja, bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu. Saya sedih menyadari sisi gelap dari diri saya. Kecenderungan untuk berbuat sesuatu yang saya tahu dapat melukai sesama yang kadang-kadang membuat saya takut kepada diri saya sendiri.

Kecenderungan-kecenderungan negatif yang tidak dikendalikan, kesalahan-kesalahan yang tidak diakui serta dianggap tidak pernah ada, ternyata membuat jiwa kita benjol-benjol, dan memori kenangan yang seharusnya manis menjadi ternoda. Sekarang saya paham mengapa Gereja menyediakan Sakramen Pengampunan Dosa. Sakramen itu tidak hanya memperbaiki relasi kita dengan Tuhan, tetapi juga dengan diri sendiri, yang seringkali menjadi pihak yang paling akhir dan paling sulit untuk diajak berdamai. Sakramen itu juga menyadarkan saya bahwa kita memang setiap saat dapat jatuh, tetapi Tuhan selalu siap untuk mengampuni, seperti sikap yang ditunjukkan kakak saya.

Bila penyebab penderitaan di dunia ini didata secara statistik, mungkin lebih banyak penderitaan yang disebabkan oleh hubungan antar manusia daripada yang disebabkan oleh bencana alam. Alam tidak pernah secara sengaja menyakiti manusia. Kalaupun ia bereaksi, itu karena keseimbangannya diganggu. Tetapi manusia bisa dengan sangat mudah menyakiti manusia lainnya. Kadang konflik semacam itu wajar karena sifat relasi antar manusia dengan perbedaan kepribadian dan latar belakang adalah sangat dinamis. Tetapi sikap yang didasari pengabaian, iri hati, kesombongan, mementingkan diri sendiri, menjadi sumber-sumber yang berpotensi besar menimbulkan luka pada pribadi dan relasi antar manusia.

Kesediaan Tuhan Yesus untuk melupakan diri sendiri dan menderita bagi sahabat-sahabatNya telah banyak sekali memulihkan luka-luka yang ditimbulkan oleh keegoisan manusia. Itulah sebabnya, mengikuti Dia selalu menjanjikan akhir yang manis dan kenangan yang membahagiakan. Namun mengikuti jalan Yesus dan ajaran-ajaranNya yang kudus seringkali sangat sulit, kadang terasa menyusahkan dan makan hati. Bahkan teladan memberikan nyawa menurut kebanyakan orang adalah nyaris mustahil. Sungguh benar, mungkin tidak banyak orang bisa membantahnya. Jalan menuju kehidupan tidak pernah mudah. Jalannya sempit, dan pintunya sesak. Berkorban, mengalah, mengampuni, jujur, menepikan ego demi kebaikan orang lain, merendahkan diri, setia pada komitmen, menjaga kemurnian, semua itu cenderung tidak enak, dan umumnya sangat sukar. Tetapi bukan tidak mungkin, apalagi bila Dia sendiri yang memberi kekuatan dan menginspirasi sepanjang jalan.

Memilih jalan saya sendiri dan menuruti apa yang sekedar menyenangkan saya, ternyata seringkali berujung kepada kesedihan dan penyesalan. Bukan hanya untuk saya sendiri, tetapi juga orang lain, bahkan bagi orang yang saya sayangi. Jauh lebih baik saya memilih yang tidak enak demi kasih, untuk kemudian mengalami akhir yang manis bersama Tuhan, daripada senang-senang mengikuti keinginan dan nafsu pribadi, tetapi lalu belakangan tersisa kepedihan dan penyesalan.

Yesus sudah benjol-benjol dan luka habis-habisan untuk saya, Dia yang Maha Tinggi sudah merendahkan diri sedemikian rendahnya, supaya, pada saat situasi memerlukan, saya pun belajar benjol-benjol mengikuti Dia dalam kerendahan hati, untuk kemudian menikmati akhir perjalanan dalam sukacita dan damai sejahtera. Kalau dipikir-pikir, kedua pilihan itu memang sama-sama benjol dan benjut. Bedanya adalah kalau pilih jalan sendiri, hasilnya mungkin bisa benjut plus bonus luka dan penyesalan. Kalau memilih berjalan bersama Yesus, benjut plus damai sejahtera dan membahagiakan banyak pihak, termasuk diri sendiri dan Tuhan.

Kerelaan Tuhan Yesus untuk selalu bersama manusia dan ketulusan cintaNya yang tanpa pamrih setiap saat kepada kita, menyembuhkan semua benjut dan benjol jiwa kita. Sesungguhnya manusia telah diciptakan sedemikian sehingga hanya bersama Tuhan jiwa kita menemukan kebahagiaan yg sejati.

Your life in Christ makes you strong, and his love comforts you. You have fellowship with the Spirit, and you have kindness and compassion for one another (Phil 2:1)

Uti, Houston, 24 Oktober 2009

Untuk kakakku tercinta Helena Nursanti “Mbanti” Djiwandono

Thursday, August 20, 2009

Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan


Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu (Lukas 1:38)




Bunda yang bersahaja..
dalam kerendahan hati dan ketaatanmu
kau bulat mengatakan ‘ya’ kepada Bapa.
Keberanianmu mempercayakan segalanya pada Yang Kuasa
telah menghadirkan seorang Penebus Suci tiada bandingnya
menjadi sumber harapan, kehidupan, serta sukacita seluruh umat manusia

Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet (Lukas 1: 40)
Bunda yang sabar dan sederhana..
suaramu yang lembut penuh cinta kepada sesama
adalah suara pertama yang didengar
oleh Bayi Kudus yang menjadi manusia
di dalam rahimmu.
Dan irama detak setiap jantungmu…
adalah irama kehidupan pertama
seiring degupan jantungNya sebagai manusia

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yoh 3: 16)
KerinduanNya untuk menjadi sama seperti manusia
dan berada di tengah-tengah manusia
dengan segala suka duka dan pergumulannya
kau aliri dengan darah segar kehidupan pertama ..
seorang manusia sempurna.
Ia tumbuh bersama derasnya aliran darahmu,
darah cinta, iman, dan pengabdian kepada Sang Pencipta

Bunda manis tersuci…
di dalam rahim kudusmu,
degup jantung cintamu,
dan deras darah merah imanmu…..
kaunyatakan pengorbanan dan pengabdianmu…
mengandung dan melahirkan Sang Pencipta
membesarkanNya dengan teladan cinta dan kesabaran.

Kesetiaan iman yang menopangmu
membentang teguh sepanjang Yerusalem dan Nazaret
menguatkan setiap keputusanmu sejak Betlehem hingga Kalvari
walau engkau tak pernah sepenuhnya memahami
rencana Agung Sang Pemilik Kehidupan
bagi keselamatan dan kedamaian kekal semua ciptaanNya

Tersentuh hatiku saat mendaraskan doaku padamu
di saat aku sibuk memikirkan
kepentingan diri dan keinginan-keinginanku sendiri
engkau menyimpan semua perkara dalam hatimu
hati yang selalu haus untuk mengikuti kehendak Bapa
menyangkal kehendak dan kepentinganmu sendiri

Terimakasih buat semua teladan dan doamu Bunda
Biarlah semangat kerendahan hatimu
menghiasi setiap gerak gerik jiwaku
mengantarku pulang kepada kebangkitan kekal.

Uti
San donato, 20 Agustus 09

Menunggu


Menunggu umumnya bukan suatu kegiatan yang menyenangkan, dan biasanya jauh dari produktif. Maka mungkin kurang tepat juga disebut sebagai kegiatan. Orang tidak dengan sadar mau menunggu. Biasanya ia hanya dilakukan karena dipaksa oleh keadaan. Apalagi bila menunggu cukup lama, di tempat yang tidak mengenakkan, atau dalam keadaan kita sakit atau lelah, maka menunggu terasa lebih berat. Ditambah lagi bila kepastian hal yang ditunggu tidak jelas dan tidak tampak adanya perkembangan yang berarti. Jaman yang serba tergesa-gesa oleh persaingan hidup dan serba instan ini membuat sebisa mungkin orang menghindari menunggu. Namun kebanyakan kegiatan menunggu menguji kualitas kesabaran kita. Menunggu antrian di bank sementara pekerjaan di kantor masih menumpuk, atau menanti di ruang tunggu rumah sakit dalam keadaan tubuh yang lemah karena sakit, seringkali membuat kita merasa tidak berdaya. Seiring dengan kesabaran yang mulai menipis, kemarahan dan gerutu pun mulai menebal.

Sayangnya dalam setiap dalam setiap episode kehidupan, pasti ada saatnya kita harus mengalami saat-saat menunggu. Lamanya bervariasi, bisa hanya lima belas menit antri membayar di kasir yang itupun sudah cukup membuat kita resah. Bisa juga sepuluh tahun bila yang ditunggu adalah pertobatan seorang anak atau kehadiran sang buah hati dalam sebuah pernikahan. Menunggu menjadi lebih ringan jika kita mempunyai pengalih perhatian yang produktif atau ditemani seseorang dan / atau situasi yang menyenangkan, sehingga kita tidak bete atau mati gaya, istilah anak muda jaman sekarang. Namun bagi saya itu tidak harus, setelah apa yang saya lihat di sebuah hari yang terik di sudut kota Bandung mengubah cara pandang saya terhadap suatu penantian dan kegiatan terpaksa yang bernama menunggu.

Siang itu, sambil berjalan di antara kerumunan pengunjung yang berbelanja di pasar Simpang, Bandung, saya melihatnya. Seorang bapak tua yang duduk berjongkok di trotoar jalan masuk menuju jalan Cisitu. Nampaknya tubuhnya yang kurus kering membuatnya tidak sulit untuk bertahan dalam posisi jongkok dalam waktu yang lama. Yang membuat saya trenyuh adalah benda yang ditungguinya dengan sabar di hadapannya. Sebuah timbangan badan. Dan wajah rentanya itu. Begitu pasrah, tenang, dan sabar. Bapak itu tidak tampak diburu apapun, bahkan di mata saya ia tampak tidak memerlukan apapun. Wajahnya begitu damai, walau nampak gurat kelelahan dan kegerahan.

Timbangan badan. Di tengah hilir mudik manusia dengan berbagai kepentingan dan urusan yang seolah tidak dapat ditunda lagi atau disela barang sedetik pun. Di tengah kebutuhan perut-perut lapar yang harus segera diisi. Dan panas terik matahari siang yang membuat orang ingin segera sampai ke tempat tujuan. Tak seorangpun rasanya di antara manusia-manusia yang sibuk berlalu lalang itu akan terpikir untuk menghampiri bapak tua itu dan menimbang berat badannya.

Saya menelan ludah, terasa kering dan tercekat. Hawa kemisikinan dan ketidakberdayaan tiba-tiba terasa begitu pekat menyekap hidung saya sehingga saya merasa tarikan napas di dada menjadi berat. Gerahnya udara kemarau Bandung seolah menambah rasa ketidakberdayaan itu. Tetapi kesabaran Bapak itu menunggu, dalam kepasrahannya, dalam usahanya yang begitu bersahaja, terasa menyejukkan hati saya sampai ke dalam tulang. Betapa cengengnya saya kalau harus menunggu sebentar saja. Gelisah mencari cara agar proses penantian itu bisa dikurangi semaksimal mungkin atau kalau perlu dipangkas sekaligus. Semuanya harus cepat dan efisien. Tetapi ingatan dan kenangan saya akan bapak tua yang menyewakan timbangan badan demi sepeser seratus rupiah untuk setiap pelanggan, di tengah teriknya mentari kota besar, dengan kesabaran dan ketenangan hingga ke ujung hari, telah mengubah cara pandang saya kepada sebuah proses menunggu. Menunggu melatih kesabaran jiwa, sebuah kesempatan untuk menemukan kembali jati diri kita yang sesungguhnya. Yaitu jati diri manusia yang dinilai karena ikhtiarnya, ketegarannya, dan kerelaannya, untuk menjalani hidup dan tantangan di dalamnya harapan, dengan mawas diri, dengan kerendahan hati.

Sejak hari itu, menunggu tidak lagi menjadi kegiatan pasif bagi saya. Bila saya harus menunggu sesuatu di luar kemauan saya, saya mengingat kembali bahwa menunggu memberi saya kesempatan untuk mengamati keberadaan di sekitar saya, mengamati diri saya dalam introspeksi, merenungkan apa yang bisa saya buat bagi keadaan di sekitar saya, mungkin bagi saya sendiri, dan bagi Tuhan. Menunggu dalam keheningan menyadarkan jiwa saya yang bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi kehidupan.

uti
san donato,20 Agustus 09

Dagu yang cantik


Seorang ibu yang tidak saya kenal di trem yang saya naiki di tengah kota Milan menegur saya sambil berkata, “bella” sembari menunjuk dagu saya dan mengikuti bentuknya dengan isyarat tangan. Bella dalam bahasa Italia berarti ‘cantik’. Walau tidak bisa dipukul rata, orang Italia memang terkenal dengan keramahan dan kespontanan-nya.

Saya kaget, tak sadar mengangkat tangan saya untuk meraba dagu saya sendiri. Tidak seorangpun pernah mengatakan bahwa dagu saya cantik, bahkan tidak ibu saya dan suami saya sendiri. Satu kata singkat dan sikap simpatik ibu asing di trem itu telah mengubah persepsi saya terhadap bentuk wajah saya untuk selamanya. Sejak hari itu, setiap kali saya bercermin, apa yang saya pikirkan tentang wajah saya tidak pernah sama lagi. Saya baru menyadari setelah umur saya 38 tahun, bahwa wajah manis saya terbentuk antara lain karena bentuk dagu saya yang proporsional dan berbentuk seperti wajik. Dan itu berkat sepatah kata penuh keramahan seorang ibu Italia yang tak pernah saya kenal dan ketahui namanya, serta hanya bersama selama kurang lebih sepuluh menit di dalam trem.

Kita tak pernah tahu betapa besarnya pengaruh kata-kata yang baik dan sikap yang positif kepada sesama kita. Mungkin hanya didengarkan sambil lalu dan dilupakan kembali, tetapi mungkin juga mengubah hidup seseorang dan memenuhinya dengan semangat dan harapan baru dalam hidupnya.

Satu kata yang baik dan hangat di saat apapun tidak akan pernah memberikan dampak yang merugikan. Pakailah setiap kesempatan yang ada dalam hidup kita untuk membesarkan hati sesama dengan kata dan perbuatan yang baik.

Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya ! (Amsal 15 : 23)

Uti
San donato, 19 Agustus 09

Kontrak hidup



Hari-hari awal menginjakkan kaki pertama kali di Italia, saya selalu mengatakan kepada diri saya bahwa di tempat yang baru dan indah ini saya tidak akan tinggal selamanya. Kontrak suami saya dengan perusahaan tempatnya bekerja, yang membuat saya merantau ke negeri pizza ini, adalah untuk dua tahun. Menyadari keindahan dan kemajuan salah satu negara paling terkenal di Eropa karena kekayaan peninggalan budayanya ini, saya mengingatkan diri sendiri untuk tetap ingat akan jangka waktu saya dan berjanji kepada diri sendiri untuk tidak terlalu terbuai dalam kegembiraan sehingga menimbulkan keterikatan yang menyakitkan saat semua petualangan saya berakhir nanti.

Ketika kita lahir di dunia ini, sesungguhnya kita terikat dengan kontrak yang serupa. Kita tidak untuk selamanya berada di dunia ini. Kesempatan, kesehatan, masa muda, ingatan, kesuksesan pekerjaan, kecantikan, semuanya adalah hal-hal yang menyurut dengan berjalannya waktu. Semuanya dipercayakan kepada kita untuk digunakan dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan diri spenuh-penuhnya dan menjadi mitra Allah untuk merawat dan mengembangkan manusia dan alam ciptaanNya. Menjadi kepanjangan tangan-tanganNya untuk membuat dunia dan kehidupan menjadi lebih baik dan indah dengan cinta dan karya kita, seturut kehendakNya.

Namun seindah dan sehebat apapun perjalanan hidup kita, semuanya akan menuju ke titik yang sama yaitu kematian. Selesainya kontrak dengan masa muda, jabatan dan karir, kesehatan, bahkan hidup itu sendiri tidak perlu berjalan dengan menyakitkan bila kita mengisi kehidupan ini dengan sebaik-baiknya menurut tugas panggilan dari Allah Bapa sesuai teladan PuteraNya dan menyerahkan kembali dengan lepas bebas segala hal yang kita miliki sebagai hadiah – bukan hak milik yang harus dipertahankan kuat-kuat dan menganggapnya milik pribadi yang mutlak – sampai Yang Memberi memintanya kembali dari kita.

Karena hidup yang tidak akan berakhir itu bukan di dunia ini, maka segala energi, waktu, dan perhatian kita sudah selayaknya tidak hanya dikerahkan untuk menimba ilmu dan menumpuk kekayaan, tetapi juga terus menerus diarahkan kepada jalan menuju hidup yang kekal itu. Hidup bersama Tuhan di rumah Bapa, yang sudah disediakan oleh Yesus putra Allah Bapa bagi yang percaya kepadaNya dan mengikuti jalan-jalanNya. Itulah rumah kita yang sesungguhnya.

Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ (Lukas 14 : 2, 4)

Uti
San donato, 19 Agustus 09

Monday, August 17, 2009

Aku cinta Indonesia



Saya tidak meminta untuk dilahirkan menjadi orang Indonesia. Seperti juga tidak seorangpun meminta dilahirkan menjadi orang Rusia, orang Thailand, atau Orang Somalia. Sesungguhnya, bahkan kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Tetapi bahwa kita ada di sini, dan menjadi orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, adalah suatu karunia Tuhan yang tak terkira indahnya, suatu anugerah kehidupan yang mengandung begitu banyak kesempatan, pertumbuhan, pengalaman, untuk menjadi mitra Allah sendiri di dalam dunia ciptaanNya yang begitu agung dan mulia ini. Dan kalau Allah Bapa menempatkan saya sebagai orang Indonesia, maka saya mempunyai kewajiban seiring dengan hak, untuk mencintai negeri saya dan membela kepentingan- kepentingannya, sesuai dengan apa yang sudah saya terima dari Bapa. Allah ingin saya lahir di sini, di Indonesia, dan menjadi orang Indonesia.


Bila saya renungkan kembali, selama hidup di Indonesia, saya menyadari atau menjadi peka terhadap kebangsaan saya hanya pada saat upacara bendera di sekolah, saat bendera merah putih dinaikkan ke angkasa oleh teman-teman pengibar bendera dan lagu Indonesia Raya kami nyanyikan bersama-sama teman sekelas. Kepekaan serupa muncul lagi saat pertandingan Thomas Cup dimana Indonesia sering menjadi finalis berhadapan dengan jawara bulutangkis dunia seperti Cina. Kesadaran dan kepekaan yang lebih kuat sebagai orang Indonesia justru lahir setelah saya hidup di luar negeri. Misalnya saat batik dan angklung, lagu Rasa Sayange, dan lain-lain, diklaim menjadi milik negara tempat saya tinggal saat itu, Malaysia. Dan selanjutnya setelah saya merantau di Italia dan di manapun saya berada di luar negeri, saya sadar sepenuhnya bahwa saya membawa nama baik Indonesia dengan apapun yang saya lakukan. Saya juga merasa tidak bahagia bila kebudayaan asli Indonesia tidak dihargai orang. Pengalaman merantau membuat cinta saya kepada negara kelahiran saya dimurnikan dan menemukan bentuknya yang hakiki.


Dalam perjalanan dengan kereta api untuk kembali ke Milan dari Montecarlo, saya duduk bersebelahan dengan seorang pemuda Italia, yang bertanya dengan bahasa Inggris yang baik, “Where are you from? “ “Oh, I’m Indonesian”, jawab saya dengan bangga. Saya pikir pemuda ini pasti jarang mendapat jawaban seperti itu dari orang-orang Asia yang ia temui di perjalanan. Kebanyakan turis Asia di Italia, seperti juga di negara-negara Eropa lainnya, adalah turis dari Jepang. Saya sendiri sudah dua kali dikira orang Jepang, padahal penampilan saya sangat Indonesia, sangat njawani, walaupun kulit saya memang lumayan terang. Mungkin kebanyakan orang di sini mengira kalau orang berwajah Asia itu ya dari Jepang. Seperti dugaan saya, ada reaksi surprise di wajah pemuda itu mendengar jawaban saya. “Indonesia ? oh, is it in Taiwan?” Giliran saya yang jadi pucat, aduh, kok jauh banget sih mas tebakannya. Saya meralat dengan cepat, “NO, it’s…errr…do you know Bali ? “ saya balik bertanya dengan masygul, menyadari saya harus kembali membawa nama Bali hanya supaya negara saya dikenali. Syukurlah Indonesia masih punya Bali, pikir saya. Padahal pemuda ini bekerja di sebuah agen perjalanan wisata di pusat kota Milan. Ia langsung menyahut “Oh..yeah..okay. .okay…yes, Bali” dan ia melanjutkan ,”Okay, I got it, it’s near Malaysia, right?” Saya mengangguk dengan tidak bersemangat, iya mas, jawab saya dalam hati. Saya pernah hidup selama tiga tahun di Kuala Lumpur, dan saya tahu benar, walau dengan hati gundah, mengapa Malaysia begitu dikenal orang di luar negeri. Saya tahu dengan amat baik, mengapa Malaysia berhasil menempatkan dirinya di antara jajaran negara-negara terkemuka di dunia. Sementara Indonesia, negara yang lebih besar di sebelahnya, tempat dimana insinyur-insinyur Malaysia dulu belajar dan berguru dalam hal teknologi jalan tol, kurikulum pendidikan di perguruan tinggi, menyerap kreativitas musik dan kesenian, serta berguru dalam berbagai ilmu teknik penerbangan, perminyakan, dan instrumentasi, tidak banyak diketahui oleh dunia internasional. Walaupun saya punya gambaran mengapa hal itu bisa terjadi, saya tidak ingin berhenti menangisi nasib. Apa yang saya katakan atau lakukan, sekecil apapun itu, di negeri asing, akan menjadi perhatian orang. Saya membawa nama bangsa saya kemanapun saya pergi. Melalui apa yang saya perbuat, saya katakan, bahkan saya pikirkan, saya mengabarkan kepada masyarakat di negeri saya berada, bahwa Indonesia adalah negeri yang besar, dimana kasih sayang, iman, dan harapan menjadi tiang-tiang penopang warganya yang terdiri dari berbagai ragam budaya. Dimana kemajuan, seperti juga kemerdekaan dan harga diri, direbut dengan kerja keras dan jerih payah.


Ketika hidup di Malaysia dulu, saya dan teman-teman sering mengalami hal yang sama. Yaitu selalu dikira pembantu rumah tangga / TKI, kalau mereka tahu bahwa kami berasal dari Indonesia. Bagi kebanyakan orang di Malaysia, Indonesia dikenal sebagai pengekspor TKI terbesar. Saat itulah, saya mulai menghargai dengan lebih indah, profesi seorang pembantu rumah tangga. Pertama-tama reaksi saya kalau dikira seorang pembantu, saya merasa terhina. Lalu saya sadar, kalau saya merasa terhina, artinya saya menghina profesi seorang pembantu. Profesi yang telah menyelamatkan jutaan keluarga di Indonesia dari kemiskinan dan kelaparan, berkat salah seorang anggota keluarganya bekerja di luar negeri, walau “hanya” sebagai seorang TKI / buruh kasar, dalam hal ini, pembantu rumah tangga. Saya menjadi tidak risih lagi, setelah saya menyadari betapa kalang kabutnya sebuah rumah tangga jaman sekarang, bila pembantu mudik karena hari raya. Para ibu di Malaysia sama bingungnya dengan ibu-ibu di Indonesia, terutama yang mempunyai anak-anak yang masih kecil. Pulangnya pembantu ke kampung halaman sama dengan hari-hari melelahkan yang kadang diiringi dengan pembatalan acara liburan keluarga.


Pengalaman saya di Malaysia menegaskan saya betapa berharganya profesi yang satu ini dan saya tidak akan malu lagi kalau dikira seorang pembantu rumahtangga. Sebuah profesi yang kalau di Italia kebanyakan dipegang oleh saudara-saudara kita dari Filipina. Dan karena saya dan teman-teman Indonesia juga sering dikira orang Filipina, karena penampilan kami memang mirip sekali, maka kembali saya kadang juga dikira pembantu dan di tengah jalan pernah dipanggil seorang Ibu Italia untuk membersihkan rumahnya. Saya menjelaskan dengan sopan bahwa saya bukan seorang PRT dan saya mengenali di hati saya bahwa kegundahan hati saya karena dikira pembantu sudah tidak hadir lagi di sana. Harga diri manusia bukan ditentukan dari apa profesi dan tingkatan sosialnya dalam masyarakat, tetapi dari kemauannya untuk bekerja keras dengan cara-cara yang baik dan jujur. Saya melihat bahwa bangsa Indonesia yang hidup merantau di Eropa dan negara Asia lainnya adalah manusia pekerja keras, bukan peminta-minta atau pelaku kejahatan yang merampas harta benda orang lain.


Saya juga belajar melihat Indonesia dari luar sebagaimana orang luar memandang Indonesia. Bertemu dengan imigran dari negara-negara Timur Tengah atau Afrika, setelah mereka tahu bahwa saya adalah orang Indonesia, beberapa dari mereka akan langsung menyapa, 'assalamualaikum' . Saya tersenyum sambil kadang membalas, walaikum salam, sambil melanjutkan bahwa saya bukan seorang muslim. Mereka akan terheran-heran ketika saya mengatakan saya orang Katolik. “Lho, benarkah ? apakah ada orang Kristen / Katolik di Indonesia ?” begitulah selalu reaksi mereka. Pertanyaan yang juga sering diajukan kepada saya saat masih tinggal di Malaysia. “Tentu saja, kami ada sekitar 20 juta orang, dan kami sangat aktif”, begitu biasanya jawab saya. Bangga. Lebih-lebih karena menyadari bahwa Indonesia memungkinkan keragaman itu terjadi. Entah sampai kapan. Kebanggaan yang kini disertai rasa sedih karena akhir-akhir ini banyak umat Nasrani yang ditindas dan dihalangi untuk beribadah. Biasanya karena sangat heran, orang tidak bertanya lagi lebih lanjut. Saya maklum, Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia. Bahkan di sebuah toko kosmetik di pusat kota Milan, seorang pria berwajah Arab menegur saya tanpa basa basi, “Kamu pasti dari Indonesia”. Saya terkejut, “Wah darimana Anda tahu?” Pria itu menunjuk liontin kalung saya yang berbentuk huruf “U” (inisial nama saya) dan dia mengatakan bahwa bentuk liontin saya itu sangat mirip dengan symbol yang sangat penting dalam agama Islam. Dari situlah dia menyimpulkan bahwa saya orang Indonesia. Keterkejutan saya akan penampakan symbol inisial nama saya, tidak mampu menandingi keheranan saya betapa terkenalnya Indonesia dalam hal keagamaannya. Apakah negeri yang religius kehidupan agamanya juga mencerminkan kebaikan dan kententraman warganya sesuai ajaran kasih agama ?


Saya teringat seorang sahabat saya orang Malaysia yang akan berkunjung ke Jakarta untuk pertama kalinya. Berkali-kali dia sibuk bertanya kepada saya apakah Jakarta aman, bagaimana dengan ancaman bom, bagaimana jalur transportasi umumnya, dan kekawatiran lainnya. Setelah dia kembali dari kunjungannya, dia berkata bahwa Jakarta ternyata kota yang sangat besar, sangat modern, dan yang ia alami, sangat aman. Dan saya hanya bisa tersenyum, dengan kelegaan di hati. Sebagai warga negara sebuah bangsa besar yang memelopori perjuangan kemerdekaan melawan penjajah di kawasan Asia, saya sendirilah yang harus menyandang nama Indonesia dengan kebanggan dan kehormatan yang wajar dan pantas. Betapapun terpuruknya wajah penegakan hukum, kebebasan beragama, dan pemerataan sosial di bumi pertiwi, Indonesia masih mau terus berjuang, dan saya menghargai setiap titik perjuangan setiap warganya, baik yang berada di dalam Indonesia maupun di luar. Perjuangan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang selalu ingin maju dan mempunyai warisan nilai-nilai luhur dan khas yang mendasari pembentukannya sebagai bangsa. Harapan itulah yang akan selalu membayang di hati saya, kemanapun saya akan pergi, sejauh apapun dari pangkuan ibu pertiwi.


Apa yang kita lakukan dalam kehadiran kita, walau hanya sebentuk senyum ramah atau pertolongan kecil kepada seorang bapak tua yang akan naik ke bis umum, membawa nama Indonesia kepada dunia. Seperti saat saya,suami, dan ketiga orangtua kami sedang berada di kota Zurich, Swiss, di dalam sebuah bis umum yang membawa kami ke rumah paman saya di pinggir kota Zurich. Seorang bapak tua warga kota Zurich tiba-tiba mendekati kami berlima dan bertanya kepada saya dalam bahasa Inggris yang baik, “ “Kalian orang Indonesia ya ?” saya terbelalak saking terkejutnya, nah lho, kalau bapak ini nih, darimana lagi dia bisa tahu kalau kami orang Indonesia ya ? saya membalas dengan senyum berseri campur penasaran, “Oh yes you’re right, how do you know?” dan bapak itu menjawab dengan ramah, “Because you all look so happy and optimistic” dan sebelum kami berlima sempat bertanya lebih jauh, bapak tua itu telah pergi meninggalkan kami yang terbengong-bengong bercampur bangga dalam hati. Ya, kami tidak sempat bertanya kepadanya bagaimana ia bisa sampai kepada kesimpulan yang menyenangkan itu. Tetapi memang benar, saya beberapa kali mengalaminya, di tengah himpitan kemiskinan dan sulitnya mendapat pekerjaan serta carut marutnya penegakan hukum serta keadilan sosial sebuah bangsa, tapi warganya masih bisa tertawa lepas dan terbahak-bahak bersama kawan-kawannya, bisa dipastikan…itu pasti orang Indonesia….! Soalnya, ada lho bangsa yang makmur dan sejahtera tapi wajah warganya banyak yang cemberut dan susah diajak ketawa / humor. Tidak perlu saya tulis bangsa mana, karena yang penting, saya cinta Indonesia. Walau belum bisa sepenuhnya dibilang saya bangga karena masih mengharapkan banyak sekali perbaikan untuk Indonesia, terutama dari segi mental, saya bisa menjadikan Indonesia lebih baik dengan cinta saya, dan saya rasa ibu pertiwi masih selalu menunggu buah-buah dari cinta saya, berupa karya-karya nyata saya kepadanya.


caecilia triastuti
San Donato, Milano, 17 Agustus 2009

Friday, August 7, 2009

Ujian Kasih



Hari ini teman saya bercerita ia sedang mengamati dengan seksama apakah anak lelakinya yang berusia 5 tahun mengalami demam setelah mendapat imunisasi campak seminggu yang lalu. Dokter anaknya mengatakan bahwa respon tubuh anak terhadap vaksin campak biasanya akan berupa suhu badan yang meningkat dan timbul tanda-tanda merah di badan, yang akan hilang setelah tubuhnya berhasil melawan virus yang telah dilemahkan dalam bentuk vaksinasi itu. Namun bila tubuh si anak lebih kuat daripada vaksin virus campak, ia akan baik-baik saja dan tidak akan merasakan apapun. Umumnya campak akan menjangkiti manusia sekali dalam hidup pada saat masih anak-anak.

Saya membayangkan bahwa seorang manusia pada awal-awal hadir dalam dunia harus berkenalan dengan banyak sekali hal baru. Termasuk harus mengalami berbagai penyakit untuk pertama kalinya, sembari beranjak menuju manusia dewasa yang semakin kuat tubuhnya. Semakin kaya pengetahuan dan ketrampilannya. Seringkali Tuhan membiarkan saya mengenal berbagai perlakuan yang buruk dari sesama, atau mengalami peristiwa yang tidak enak karena sifat sesama manusia yang kurang baik dan tidak mengenakkan bagi saya.

Kebanyakan mungkin bukan maksudnya untuk menjahati / melukai tetapi karena latar belakang, situasi kehidupan, pengalaman hidup, dan kepribadian yang berbeda. Mengenali adanya kemungkinan itu sangat penting supaya kita tidak terlalu cepat menghakimi seseorang yang kita anggap berbuat kurang baik kepada kita atau bertingkah laku tidak menyenangkan.

Tuhan tidak selalu mempertemukan saya dengan situasi yang enak dan mudah serta orang-orang baik yang sepaham dan sepikiran dengan saya. Tetapi pengalaman-pengalaman yang buruk dan perlakuan sesama yang tidak mengenakkan membentuk ketahanan iman saya kepada Tuhan. Menguji kemurnian kasih saya kepada Tuhan dan sesama. Ujian itu bagaikan vaksin campak yang disuntikkan sebagai imunisasi ke tubuh anak teman saya.

Karena ego dan kesombongan manusiawi, daya tahan iman dan kasih saya seringkali lebih lemah dari ujian itu dan hasilnya hati saya menjadi panas. Saya mengalami demam hati. Apa yang saya lakukan dalam keadaan hati panas adalah membalas perlakuan yang buruk dari sesama dengan keburukan juga atau memutuskan sebuah hubungan yang sebelumnya telah terjalin. Hasilnya mudah ditebak. Saya dan sesama berpotensi sama-sama terluka dan sama-sama merasa sakit. Tetapi bila saya selalu berusaha untuk bersikap rendah hati, sabar, introspeksi diri, dan mencoba untuk mengerti, sesungguhnya saya melindungi diri saya sendiri dan orang lain terhadap luka-luka yang tidak perlu. Saya menyiapkan diri saya untuk mengampuni. Itulah pertahanan jiwa yang sesungguhnya. Bukankah saya sendiri tidak sempurna dan sering menyakiti hati sesama, walau tidak selalu saya sadari. Sekali lagi perbedaan kebiasaan, penderitaan dan pengalaman hidup, situasi kehidupan, dan kepribadian, yang tidak selalu dapat kita ketahui pada saat kejadian, bisa memicu penyebabnya.

Terlintas di ingatan saya sebuah pernyataan seorang rohaniwan, orang yang tidak dicintai biasanya menjadi sulit dan orang yang sulit biasanya tidak dicintai. Kasihan kan, seperti lingkaran setan. Kalau orang yang membuat kita resah adalah saudara kita yang mnegalami hal sedemikian, bukankah mereka justru harus kita perhatikan dan cintai lebih lebih lagi ? Yesus sudah memberikan saya pegangan yang saya perlukan saat Dia mengajak saya berpikir demikian “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Lukas 6 : 31)

Bersikap lapang dada dan kepala dingin membuat jiwa saya tetap merasakan keteduhan dan saya akan baik-baik saja. Hanya saja saya perlu terus bergantung kepada Tuhan dan menyerap teladan kasihNya di jalan salibNya sehingga saya mampu memenangkan latihan iman itu dan lulus ujian. Bagaikan imunisasi campak yang membuat tubuh anak semakin kuat, tanpa harus jatuh sakit dan menjadi demam karena efek virus campak yang disuntikkan ke tubuhnya.

Tetapi bagaimana kalau sudah berusaha konsisten bersikap baik dan tulus tetap saja mendapat perlakuan yang tidak enak atau tidak adil ? Kita sudah melakukan apa yang kita ingin sesama lakukan kepada kita, tapi yang terjadi tidak timbal balik seperti yang kita harapkan. Yesus mengajarkan kita untuk memberikan pipi yang lain bila satu sisi pipi kita ditampar, namun apakah itu berarti Yesus membiarkan harga diri kita diinjak-injak dan diabaikan ? Tubuh anak yang sedang divaksinasi mempunyai sistem daya tahan. Tubuh manusia dilengkapi Tuhan dengan mekanisme yang mengagumkan untuk menahan serangan virus dan bakteri. Demikian juga saya tidak berpikir bahwa dengan memberikan juga baju kalau orang meminta jubah saya atau berjalan dua mil kalau diminta berjalan satu mil, adalah berarti membiarkan diri terus menerus menjadi bulan-bulanan sesama yang sedang memanfaatkan kebaikan kita.

Saya ingat saat Tuhan menyampaikan hukum utama yang kedua “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri “ (Matius 22 : 39). Bagi saya itu berarti kita baru bisa mengasihi sesama sepenuhnya bila kita sudah mengasihi diri sendiri terlebih dahulu. Mengasihi diri sendiri menyangkut menghargai diri sendiri, yaitu menghargai hak diri sendiri termasuk memastikan bahwa hak diri sendiri juga diperhatikan dan dilindungi. Dalam hal ini termasuk juga hak untuk membela diri dan menjaga harga diri. Sama seperti kita wajib menjaga dan melindungi hak dan harga diri sesama kita.

Apa yang diajarkan Yesus adalah bahwa sebagai orang-orang yang telah ditebus, kita diajak untuk berani tampil beda. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan, seperti yang Yesus sampaikan selanjutnya di Lukas 6 : 32, “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu ? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.“ Memang ini sebuah perjuangan yang tidak ringan dan merupakan suatu seni tersendiri. Betapa menyenangkan mengikuti Yesus, yang penuh dengan citarasa seni dan kreativitas dalam mengasihi…! Supaya kita menjadi sempurna, seperti Bapa di Surga sempurna adanya. Itulah cita-cita Yesus bagi kita semua, cita-cita yang amat indah bagi setiap kita, mahakarya ciptaanNya.

Tapi semua itu tidak mudah. Ya, tentu saja. Untuk hal-hal yang berharga, tidak ada yang mudah, perlu perjuangan. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Saya perlu berdialog dengan Tuhan melalui firmanNya dan bertekun dalam doa, supaya saya menemukan kekuatan untuk terus berjalan bersama Yesus. Di dalam doa serta firmanNya, saya selalu menemukan kembali bahwa bersama Yesus di samping saya, di hati saya, saya mampu. Kalau Yesus meminta saya melakukan sesuatu, itu pasti sesuatu yang bisa saya lakukan. Tuhan tidak akan meminta sesuatu yang tidak bisa kita kerjakan, termasuk saat Yesus meminta saya mengampuni tujuh kali tujuh kali dalam sehari (Lukas 17: 4). Kuncinya sederhana, berpegang terus pada kasihNya dan belajar dari hatiNya yang lemah lembut, karena dengan kekuatan kita sendiri, kita memang belum mampu.

Kenangan masa kecil membantu saya. Saat kita masih kecil, jika kita berkelahi dengan teman atau saudara, kita akan cepat berbaik kembali dan bermain bersama lagi tidak lama kemudian. Itulah anak-anak: polos, murni, tidak mudah dendam. Kita semua pernah menjadi anak kecil, mengapa kita harus jadi berbeda dalam hal mudah mengampuni dan cepat berbaik kembali setelah kita menjadi dewasa? Terus berusaha untuk mengampuni adalah daya tahan jiwa yang sesungguhnya, terbentuk dan terasah setelah kita bersedia menjalani ujian dan lulus, ketika berjumpa dan mengalami orang-orang yang tidak selalu membalas kasih kita, yang tidak peduli pada kita, bahkan melukai kita, baik secara sadar dan sengaja, maupun tidak.

Kasih yang sejati memerdekakan, tidak hanya bagi yang menerimanya, tetapi lebih-lebih bagi yang memberikannya. Saling berbagi kasih membuat orang merasa berharga, menumbuhkan rasa percaya diri, dan menyehatkan jiwa. Semoga saya belajar untuk terus menimba dari Yesus, sumber inspirasi kasih sejati, yang tulus dan tidak pernah mengharapkan balasan apa-apa. Yang terus mengasihi, walaupun dilukai.

Filipi 4: 13: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”.

Yesus ada di sini, saya pasti bisa.

San Donato,Milano,
3 Agustus 2009

Monday, June 22, 2009

Pay It Forward


“Pit, sepedamu hilang Pit ? Dimana ? Kapan ?“ tanyaku bertubi-tubi kepada Pipit sahabatku, dengan mata mendelik setengah tak percaya. Rasa tidak percayaku dobel-dobel. Bagaimana mungkin berita sepenting itu tidak kudengar langsung dari mulut sahabatku yang bawel itu. Bawel adalah istilahnya sendiri untuk menyebut dirinya sendiri yang suka bercerita, apa saja kepadaku. Tetapi aku mendapat berita bahwa sepedanya dicuri dari teman kekasihnya. Pipit tidak pernah bercerita kepadaku tentang hal itu. Sepeda itu jenis yang bagus dan cukup mahal harganya.

Pipit sangat menyukai olahraga dan alam. Ia sangat suka bersepeda bersama kekasihnya. Kemana-mana mengayuh sepeda berdua menelusuri kota kecil kami San Donato di pinggir kota metropolitan Milan, Italia, yang memang banyak berpohon rindang dan lebar jalannya. Dengan jalur khusus untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda. Keindahan yang ideal dinikmati sambil bersepeda. Apalagi saat musim semi tiba. Udara dingin yang menggigit selama berbulan-bulan berganti dengan kehangatan cahaya matahari yang sering absen di musim dingin. Tak hanya itu, bunga-bunga aneka warna seolah muncul begitu saja dari segala penjuru di tengah rerumputan dan dari balik pepohonan. Keindahan yang sempurna untuk melengkapi kehangatan musim semi.

Pipit tampak kaget karena aku akhirnya tahu. Tetapi ia masih tampak enggan untuk mengklarifikasi atau mengiyakan pertanyaanku itu. Aku baru sadar bahwa sahabatku itu merasa terpukul sehingga ia sedang tidak ingin mengatakan apapun kepadaku. Aku tidak memaksa. Aku menanti dengan sabar sampai ia mau membuka suara.

Akhirnya ia berkata dengan lesu, “Iya, …” tanpa keinginan untuk menceritakan lebih lanjut
“Wah, gawat nih….” pikirku
Pipit lantas bertanya dengan malas, “Kok tahu darimana Ti ?” dan aku tahu ia tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaannya itu.

Lalu ia menyambung dengan pertanyaan kedua yang membuatku kaget. “Menurut kamu, boleh nggak aku mencuri sepeda orang lain lagi supaya aku bisa punya sepeda lagi “
Aku tidak dapat menjawab. Tentu saja Pipit tahu aku tidak akan setuju. Tanpa menunggu jawabanku Pipit melanjutkan, “Kan aku sudah kehilangan sepeda yang begitu bagus dan mahal. Aku membutuhkannya sekarang. Musim semi sudah tiba, cuaca mulai hangat dan cerah. Aku ingin kembali bersepeda setelah musim dingin yang membosankan ini berlalu”

“Terus kalau kamu ditangkap polisi gimana ? tanyaku pura-pura berusaha mengakomodasi idenya. Aku tahu ia sedang merasa sangat kesal. Aku hanya berharap ia tidak sungguh-sungguh.
“Akan aku tunjukkan bon pembelian sepedaku kepada pak polisi. Supaya ia tahu bahwa aku sudah membeli sepeda yang mahal dan dicuri oleh orang. Maka ia akan mengerti bahwa aku juga punya hak untuk mencuri sepeda orang. Kalau perlu aku akan usulkan hal itu kepada kepolisian sebelum aku mencuri. Nanti akan kucuri yang sebagus dan semahal punyaku yang dicuri. “

Wah, Pipit stress, pikirku. Aku mengenal Pipit belum setahun. Tapi aku kenal kepribadiannya yang ramah, hangat, dan suka menolong. Aku merasa tak percaya bahwa suatu musibah dapat begitu cepat mengubah kepribadian seseorang. Rasa kecewa dan dikhianati membuat seseorang dapat kehilangan kasih dan kesadaran dirinya. Aku menelan ludah, tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa belum pernah mengalami musibah. Aku menyadari bhw kehilangan sepeda kesayangan bagi Pipit adalah suatu musibah yang lumayan baginya. ‘Penderitaan’ hidup membuat orang menjadi pahit dan tidak menjadi dirinya sendiri.

Aku jadi teringat sebuah film Amerika berjudul “Pay It Forward” dimana seorang anak bertekad meneruskan kebaikan yang diterimanya kepada orang lain yang dia jumpai dan demikian seterusnya hingga kebaikan menjadi suatu rantai yang menyentuh banyak orang. Ide sahabatku Pipit yang justru berkebalikan dari ide film itu membuatku sadar bahwa kejahatan dan kepahitan juga bisa ditularkan kepada orang lain menjadi rantai dendam yang tidak berkesudahan.

“Pit, nanti orang yang kamu akan curi sepedanya itu kan bukan pencuri sepedamu, dan dia akan jadi korban seperti kamu juga dong “
“ Ya biar saja ia mencuri sepeda orang yang lain lagi kalau dia merasa perlu” balas Pipit dengan masam.
Aku mulai merasa geli melihat tampang sahabat baikku ini. Aku setengah berharap bahwa ia sebenarnya sedang kesal saja dan tidak bermaksud benar-benar akan melaksanakan niatnya itu
Aku mencubit pinggangnya sambil bercanda, “Ah, ayolah Pit, you can’t be serious, yang bener aja loo..”

Syukurlah, digoda seperti itu sahabatku itu tampak mulai melunak. Ia masih pura-pura cemberut tapi pipinya mulai tampak merah menahan senyum.
“Pokoknya besok aku mau curi sepeda yang bagus” katanya sambil berkelit menghindari cubitanku yang kedua yang sudah nyaris menyambar pipinya.
“Besok kamu siap-siap diinterogasi Polizia ya. Kalau kamu ditanya aku sedang berada dimana pada saat kejadian, bikin alibi yang cerdas ya Ti, awas kalau alibimu jelek, kupecat kamu jadi sahabat ya….” Dan sambil menyelesaikan kalimatnya Pipit menghilang di balik pintu menghindari lemparan bantal yang kulayangkan ke arah tubuhnya.

Aku menghela napas lega sambil memungut bantal itu dari lantai. Yah, kuharap dengan memiliki sedikit ide ‘gila’, kesedihan dan kekecewaan Pipit karena kehilangan sepeda kesayangan dapat sedikit terobati. Walau kekecewaan itu akan tetap ada. Mungkin ia hanya sekedar memerlukan sarana pelampiasan kekesalan karena sepedanya hilang dicuri maling tak berperikesepedaan. Aku melangkah keluar dengan pikiran menerawang.

Kekecewaan Pipit mengajarkan aku satu sikap mengerti bila orang yang kuhadapi terasa menyulitkan dan tidak berperasaan. Mungkin mereka hanyalah korban dari kepahitan yang mereka alami tanpa diundang, seperti yang dialami sahabatku Pipit. Barangkali mencoba untuk memahami dan mengampuni akan menghentikan rantai dendam dan kepahitan. Sehingga kebencian tidak menyebar seperti wabah dan memakan korban-korban lain yang tidak perlu.

Semoga dunia ini tidak menjadi sasaran kepedihan dan kekecewaan yang tidak ada akhirnya tetapi tempat manusia bisa saling bergandengan tangan memberikan kekuatan dan dukungan menghadapi penderitaan yang kadang datang tanpa diundang


dedicated to one of my dearest girl friend in san donato, Fransisca Prananto
San donato, mezzo marzo 2009

sahabat wanita


Seperti sebuah simfoni yang mengalun merdu di ujung senja

sahabat wanita menemaniku menulis kisah-kisah perjalanan

yang terukir tertinggal di jejak langkah ku

mengarungi pantai-pantai landai kehidupan

maupun tebing-tebing terjal menuntut langkah penuh perhitungan


Sahabat wanitaku selalu di hati memaknai hari

canda tawanya menghiasi hati yang sepi

kegembiraan dan harapannya mengeringkan airmata kami

dan cerita-cerita kami nan tiada habisnya mewarnai ufuk pagi


Dalam banyak momen kehidupan

hanya sahabat wanita yang mengerti

memaknai kehidupan hingga setiap sudutnya yang paling inti

mulai dari merasakan kelezatan aneka makanan

dan taktik pembahasan cara pembuatan

hingga merangkai cara terbaik menikmati aneka benda duniawi

dengan teknik ‘antisipasi’ dan diskon musim semi

sebagai modus memenangkan persetujuan suami


Hanya sahabat wanita yang mengerti

mengapa sebuah topik layak untuk dibahas berulang kali

dan argumen untuk selisih harga satu perak pun dilayani

serta airmata mengalir untuk setiap senyum dan kata pertama si buah hati


Dan mungkin hanya sahabat wanita yang memahami

bahwa tawa dan airmata dapat meluap bersamaan bagai kompromi

meluap dari satu hati yang rindu mengerti

mensyukuri aneka warna sang hidup yang penuh ironi


Semua jejak langkah kami di atas pasir landai kehidupan

mungkin tak akan selamanya terukir hingga kekekalan

ombak perjalanan waktu yg tak dapat berhenti

dan riak gelombang kehidupan fana

akan membawa semuanya pergi

bersama tiupan bayu waktu yg berkelana.


Tetapi kasih dan kehangatan seorang sahabat wanita

tertinggal di setiap tikungan perjalanan hati

membawa kami sampai kepada keabadian

indahnya persahabatan karunia Sang Ilahi


San donato, setelah kembalinya satu sahabat wanita kami, Lita, ke Indonesia, 20 Juni 2009. Inspired by my beloved friends in San Donato, Milan, after one year we have been together:

Fitri Septiani, Fransisca Prananto, dan Lita Lunanta(terus jadi inget sama my others sahabat wanita that always remain in my heart: Hesi Silayanti, Herlina Soetanto, Irene Kartika, Siska Kusumawardhani, Liely Tjahjono dan Fitrika Lubis)

Happy Ascension Day



Perpisahan umumnya tidak mengenakkan, terutama perpisahan dengan orang yang dekat. Perpisahan dengan orang yang kita sayangi dan telah banyak memberikan arti dalam hidup kita. Sampai ada kalimat populer yang sering kita dengar, ‘bukan perpisahan yang kusesali, melainkan perjumpaan’. Karena perjumpaan yang telah menghangatkan dan menggembirakan hati, pada saatnya akan melahirkan kesedihan, yaitu saat orang yang telah membawa semua kegembiraan itu pergi dari kehidupan kita. Kalau bukan karena pindah kerja atau domisili, ya karena kematian.


Beberapa kali berpindah domisili dan negara, membuat saya sendiri merasa kenyang mengalami perpisahan dengan teman dan sahabat yang begitu baik dan menyentuh hati. Sering mengalami tidak membuat saya lantas menjadi ahli menghadapinya. Perpisahan dengan orang yang kita sayangi selalu terasa berat dan menyakitkan, kapan pun, dan di manapun. Untunglah teknologi komunikasi sudah semakin maju. Memelihara kontak secara cepat dengan sahabat yang tidak lagi bisa dijumpai secara fisik, selain lewat telepon dan email, sekarang ada facebook. Sarana komunikasi baru yang cukup fenomenal dalam sejarah peradaban manusia. Di situ, kabar kehidupan pribadi dan sehari-hari teman-teman kita, baik yang lama maupun yang baru, dapat dengan mudah kita akses kapan saja. Sekalipun begitu, sarana komunikasi yang ada tidak pernah dapat menggantikan nilai dan bobot perjumpaan secara fisik. Bagaimanapun, saya berusaha belajar untuk membangkitkan kehangatan dan getaran rasa lewat perjumpaan fisik melalui sarana komunikasi yang ada. Itulah jalan saya untuk tetap dapat mengalami selalu kegembiraan dan arti perjumpaan yang telah pernah saya alami bersama orang yang terkasih tersebut. Atau bila perpisahan terjadi karena kematian, maka kenangan dan memori akan menjadi sarana untuk membuat kebersamaan dengan orang yang kita sayangi itu tetap hidup.


Hari ini dalam perayaan Yesus naik ke Surga, para murid akhirnya harus berpisah dengan Yesus. Setelah tiga tahun mengalami perjumpaan yang luar biasa dengan seorang yang kasih dan karismanya juga luar biasa mengubah hidup mereka, para rasul harus menyaksikan Sang Guru yang terkasih terangkat ke awan diiringi malaikat-malaikat surga. Kini mereka didampingi oleh Roh Kudus yang akan melengkapi dan menyertai tugas pewartaan kasih itu ke berbagai penjuru angin. Saya membayangkan betapa gamang, sedih dan rindu para murid kepada Yesus. Tetapi seperti juga hasil dari sebuah perjumpaan, para rasul telah menjadi tidak sama lagi dengan saat mereka pertama kali berjumpa dengan Dia di pinggir danau. Kenangan akan pengajaran, pengorbanan, kasih, dan kehadiranNya di tengah mereka telah terpatri dalam sanubari dan mengubah hidup mereka secara total. Kini mereka melanjutkan hidup dengan segenap keyakinan dan tekad untuk mewartakan apa yang telah mereka saksikan dan telah membuat hidup mereka menjadi baru.


Saya merasa bahwa kata-kata yang diungkapkan oleh kedua malaikat setelah Yesus berangkat ke surga memberi mereka kepastian, bahwa perjuangan mereka tidak akan sia-sia,tetapi selalu penuh pengharapan. “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit ? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga” Dan berangkatlah mereka memenuhi panggilan perutusan yang diberikan Yesus. Mereka memberikan hidupnya untuk Tuhan dengan sukacita yang penuh, walau tantangan dan penderitaan menanti di depan.


Semoga perjumpaan saya dengan Yesus dan teladan kasihNya juga mengubah saya menjadi manusia yang baru yang selalu rindu untuk mewartakan kasih dan damaiNya kepada dunia. Bukan perpisahan yang kusesali, melainkan perjumpaan. Tetapi perjumpaan yang membuat kita sedih kalau berpisah, adalah perjumpaan berkat, perjumpaan syukur. Perjumpaan cinta. Maka sebenarnya penyesalan yang sesungguhnya terjadi, bila perjumpaan itu tidak mengubah apa-apa dari kita untuk menjadi lebih baik. Atau bila perjumpaan itu tidak membuat kita menjadi insan yang lebih mengasihi dan lebih dewasa.


San donato, 20 Mei 2009

Wednesday, June 3, 2009

Doa mohon karya dan kuasa Roh Kudus



Bapa Kami yang di surga,
kami bersyukur kepadaMu
atas karunia
Roh Kudus
yang Engkau curahkan bagi kami
hari ini dan setiap hari
dalam hidup kami.

Ajar kami untuk merindukan karya-karyaNya
dan membuka hati kami untukNya
supaya Dia dapat berkarya
secara optimal dalam diri kami
sesuai dengan rencanaMu yang agung
bagi semua ciptaan yang Engkau kasihi

Kadang kami tak mampu mengenali
betapa kami membutuhkanNya
melebihi segala harta benda
dan hikmat pengetahuan semesta
karena kenikmatan dunia
dan semua daya tariknya yang fana
sering menarik kami untuk menjadi asing
terhadap citra diri kami yang sesungguhnya
yang sejak awal
telah Engkau tiupkan
dalam nafas kehidupan kami
untuk mengejar nilai kasih
dan cinta yang murni
terhadap semua mahluk ciptaan tanpa kecuali
tanpa merasa takut untuk berkorban diri
seperti teladan Yesus puteraMu yang kudus,
sumber hidup dan panutan kami
seperti hari ini Roh KudusMu telah hadir
untuk semua orang tanpa kecuali
dari segala bahasa, bangsa dan budaya

Kami rindu untuk menyambutNya
masuk dan berkarya
dalam hati kami selalu
dalam semua aspek
baik kehidupan keluarga dan pergaulan,
pekerjaan dan tugas-tugas sehari-hari,
maupun pelayanan kami.
Tiada yang lebih indah dan sempurna
untuk menjalani dan menyelesaikan
semua aspek kehidupan
bersama hikmat dan pengertian
di dalam Roh KudusMu.

Kami merindukannya
berkarya dengan bebas sempurna
kami rindu membuka hati kami selalu
agar Dia hadir,
sesuai dengan semua
sisi keindahan dan hidup yang dibawaNya
untuk setiap kebutuhan jiwa kami

Manakala muncul kesedihan dan penderitaan
………………Roh penghiburan
Manakala lahir keputusasaan
…………Roh pengharapan
Manakala tumbuh bibit kepahitan dan dendam
………………Roh pengampunan
Manakala terjadi perselisihan
……………..Roh pendamaian
Manakala terjadi kebimbangan
…………….Roh hikmat untuk membedakan kebenaran
Manakala terjadi kesesatan
…………..Roh pengertian dan hikmat
Manakala terjadi penyelewengan
…………..Roh kesetiaan
Manakala timbul kesombongan
……………….Roh kerendahan hati
Manakala hadir keserakahan
……………..Roh hikmat akan kesederhanaan dan solidaritas
Manakala kemalasan membelenggu
…......…Roh bekerja dengan sukacita
Manakala kesalahpahaman harus muncul
………....Roh pengampunan
Manakala terjadi persaingan yang tidak sehat
…..Roh pengertian dan kerjasama
Manakala kami acuh tak acuh dan apatis
…………..Roh harapan dan kepedulian
Manakala iri hati dan dengki menghampiri
…………Roh kerelaan dan kasih murni
Manakala kegelisahan menerpa
……..Roh kedamaian dan ketenangan
Manakala terjadi ketidakadilan
......... ....Roh keberanian menegakkan kebenaran
Manakala kami tenggelam dalam kelemahan
... .......Roh pengendalian diri
Manakala kekuatiran akan masa depan menghantui
……………Roh kepastian akan penyelenggaraan Allah
Manakala krisis iman dan spiritual melanda kami
………….Roh kebenaran dan terang Ilahi
Manakala hal-hal tidak terjadi sesuai harapan
………………….Roh kesabaran dan kemampuan belajar mengambil hikmah dari peristiwa
Manakala ketakutan akan kematian tak terhindarkan
. ........Roh kepasrahan dan kedamaian
Manakala terjadi kemiskinan dan penderitaan
. ......Roh kelemahlembutan dan kerelaan pengurbanan diri

Semoga hidup kami yang hanya sementara di atas bumi ini
kami isi sebaik-baiknya di dalam terang RohMu
yang membebaskan dan memberi hidup
hidup yang berkelimpahan dan berkepenuhan
sampai kelak kami kembali kepadaMu Bapa
bersama benih-benih cinta
dan daya kuasa Rohmu
yang membentuk kami
untuk diam selamanya
di dalam kemahMu yang abadi
Terpujilah Engkau ya Allah Bapa
yang selalu mengasihi dan menyertai kami.

Amin.

HaPPy PeNtEcOst ..today and every day.......

san donato, 2 Juni '09

Friday, May 29, 2009

Selembar kertas kosong


Suatu hari....
aku diberi
sebuah kertas kosong .........
guruku bilang
tulislah di sana ...
apa yang kau ketahui tentang ....
kehidupan.


Aku termenung memandangi kertas putih itu
tak satu kata pun
berhasil kutuangkan ke atasnya
guruku bertanya
apakah kesulitanmu .....
aku bilang
terlalu banyak hal di dalam kehidupan
aku tak tahu
darimana aku harus memulai

Lalu ia berkata
tulislah tentang dirimu sendiri
itulah wujud yang paling indah
dan paling ajaib
dari kehidupan ....

Ketika aku lulus bersekolah
dan berpisah dengannya
aku larut dalam perjalananku
dan melupakannya

sampai suatu hari ...
aku kembali disodori kertas putih kosong
namun kali ini oleh seorang mahluk mungil
yang hadir dari tubuhku,
jiwanya yang polos bak kertas putih itu
meminta hal yang sama
supaya aku menuliskan ....
kehidupan,
dan bagaimana ia harus menjalaninya
aku tertegun .....
tiba-tiba teringat olehku bapa guruku dulu

dan menulislah aku di situ ....
anakku, aku akan memberimu
sepasang sayap
untuk terbang ....
merentas cakrawala
merengkuh hidup

namun ...belajarlah sendiri
dengan caramu,
dengan ikhtiarmu
bagaimana..engkau akan terbang
ke manapun jiwamu menginginkannya...

dan tulislah sendiri di sini ...
semua kegembiraan perjalananmu
dan bagaimana engkau mengisi hidupmu
dengan aspirasimu sendiri

kelak kertas ini akan menjadi saksi
bagaimana engkau
menuliskan makna dan sejarah ....
hidupmu sendiri

terbanglah sebebas awan
seluas cakrawala
sebentang langit
sejauh ufuk ....

hingga kautemukan ...
indahnya kehidupan
di dalam engkau....
menjalaninya ....
dengan cinta dan harapan

san donato, 29 mei 2009

Kerinduan itu


Sekalipun kami telah mencoba untuk membiasakan diri
hidup tanpa kehadirannya….
kami tahu bahwa hati kami tetap menantikannya….
di persimpangan jalan asa ….

Dalam setiap tikungan tikungan doa…
kami menitipkan sebentuk cinta
yang kehangatannya ....
belum sempat tersampaikan

Di antara berkas-berkas mentari senja…
menyelusup kehangatan di antara dedaunan
di antara segenap usaha….
yang tampaknya sia-sia…
menyelusup kehangatan cinta
tangan-tangan kecil
menggapai kerinduan ...
tuk pulang ….
memeluk keriangan tawamu


san donato, medio Mei 2009

If I'm going to be a mother



I would never know whether I’ll be a mother ..
It might happen to me, just like any other women
or not….
but even though I will never be a one
I know that I have treasures belong to me forever
memories that will last to eternity ....
they are my precious memories with my lovely mother

she ain’t an ordinary mother ...
not to me ...
although she might be for anybody else

we used to walk together ...
through life ....
she is the one who always stands beside me
although sometimes she doesn’t agree with me
For reasons I never fully comprehend
I have very often...
found myself to be on the other side from hers
because I was and still am
her opinionated and fussy daughter ...

But eventually,
I’ll find her setting aside her own ego
to walk beside me, through sick and pain
light and darkness, joy and sorrow
no matter how much it may cost her..

we have walked through
a long and windy road
when I chose to study
a subject she has warned me
I might not to succeed.....
but she endured my struggle
and gave encouragement
whenever she could
whenever possible...

my gratefulness, thankfulness
for your patience and understanding...
will always be beyond words...
only God knows
how I thank you
and owe you, Mother

I remember some simple...
yet truly enjoyable moments
when we spent a lot of time
doing our favorite things together
in a really mutual understanding..
it is going shopping.....!

But she has also taught me
to find my own resources
like many examples she achieves
by her own effort and initiatives
and many talents
she continues to develop..
to be able to sustain herself
and being fully independent,
in material and spiritual

and she is the one in the house
teach me not to be too easy to judge..
always look at the brighter side..
everybody must have within them

She has always been faithful, persevere
in a lifelong struggle with her illnesses...
although I know sometimes she wants to give up..
I really desire she will just be as strong....
as she used to show me
in all kinds of tearful experience in our family..

she also always make herself available..
to listen to my stories..
and give advise wherever needed
without missing a single chance..
to share with others in need..
a sincere help and care..
food, financial aid, information, talent,
or simply yet powerful prayers

I don’t know whether I’d be a mother.....
in the future..
it might happen to me
just like any other women
or not…

But one thing I’ll know for sure..
gifts of life I will always treasure
and to be fully grateful..
having you as my mother…

For a great mother God has sent me to give me joyful, cheerful, complete, and sustainable life who has just celebrated her birthday on Jan 8, 2008, Sri Esti Wuryani Djiwandono. I miss you through all paths of my life, Mother….but even though you are not always present to cheer me and be always with me again like our olden days…I know that your life and love are always in my heart and sustain me to be a blessing for others, an everlasting hope you wish all your children to be, just like your life to all of us.

with much prayer, love, and admiration,

your daughter,

uti

A birthday serenade for my daddy


Daddy,
Your loving concern and caring
flowing endlessly like a fountain of love
quenches my thirsty soul

your deep faith and commitment
overflowing my empty heart
like the morning air I rejoice to breathe

your every step is my living inspiration
your every thought and wish
lead me to the wonder of life wisdom

I cherished every moment you walked by my side
In the journey of life, not always shone with joy and delight
yet you keep telling me to hold Him tight

when the life did not grant me
all the things I need
you convinced me it’s worth to be patient

It was you
when I recognized myself
pursuing virtues of life to its very fullness

It was you
when I saw I reached others
with a helping hand

I have seen you
In all the good deeds you imparted in me
to surrender my vanity and selfishness
for the sake of others

You have been a strong and constant
wonderful and inspiring example
in all choices always available in life
you have to decide every step of your way

I have seen your gritty determination
when it comes to choose
to serve Him in ultimate loyalty

you decided to counter every temptation
every challenges and obstacles
offering the best for Him by all means

your flawless marriage
your dedication to your job and study
your church community serving
your effort to praise health through exercise
there are all where your heart will always be

Life is always about making choices
and you have always been making an honored one
you constantly choosing what best for Him
in a world full of changing

you mould me by walking the talk

You took me to understand the secret of life
The words and ways of eternal life
Yes, you are the one who brought me to His acquaintance
a treasure I’ll hold every moment of my life

your prayer, your faith and perseverance
they all showed me what is the beauty
of being with Him, in Him, because of Him

you taught me what it feels to be His
once I’ve experienced Him
wherever life would take me
I will be like the fresh of a spring
I will be like a budding tree
and a flower ready to blossom in its time

I praise Him with all my heart and soul
beyond words and hymn ever exist in the world
that He has granted me a beautiful Dad like you

And I thank Him unceasingly
that He has been blessing you a truly rich and meaningful life
no description would ever enough

That He makes you lovingly
to be one of His wonderful instruments
and fulfilling every divine plan He designs for you…
….till the very end

I wish you will always be in a full bloom of His creation, in every age of your life

Selamat Ulang Tahun ke-71 buat Bapakku tercinta Michael Soenardi Djiwandono

Kuala Lumpur, August 28, 2006
With love and pray,
Uti & Yoyok

Ayahku, guruku, panutanku


PROLOG : Misa Sabtu sore di gereja St . John Cathedral baru usai. Gelap baru saja tiba saat aku melangkah keluar dari pintu gereja, walau jam tanganku sudah menunjukkan waktu pukul 19.30 malam. Sebuah bintang terang menampakkan dirinya di antara bangunan tinggi, menghias langit Kuala Lumpur yang mulai kelam. Cahayanya cukup untuk mengalahkan sinar lampu kota yang mulai semarak. Bintang itu seakan tersenyum kepadaku. Aku memandanginya berlama-lama, teringat hari istimewa yang baru akan berlalu di rumah orangtuaku nun jauh di sana. Hari ini adalah hari ulangtahun ayahku yang ke-70, tapi ada satu hal yang membedakannya dengan hari-hari ultahnya yang lain, yaitu bahwa hari ini ayahku resmi memasuki masa pensiunnya , setelah 41 tahun mengabdi sebagai dosen bahasa Inggris di IKIP Malang. Lebih dari separuh usia ayahku dihabiskannya sebagai seorang pendidik. Ada rasa rasa bangga, syukur, kenangan, juga kesedihan bercampur aduk jadi satu dalam hatiku saat ini, menyertai keinginan untuk berada di rumah bersama orangtuaku untuk ikut merayakan peristiwa penting ini.

Seluruh masa kecil dan masa remajaku diwarnai oleh karya ayahku sebagai seorang dosen. Dulu kalau ayahku pulang dari bepergian jauh untuk tugas, misalnya ke luar negeri, kedatangannya selalu disambut gembira oleh kami bertiga. Karena ayah tak pernah lupa untuk membawa es krim yang lezat untuk anak-anak. Waktu itu aku mengira bahwa es krim adalah suatu jenis barang oleh-oleh yang didapatkan ayah bila sedang berada di luar negeri. Aku tidak tahu bahwa ayah selalu membelinya di toko Avia di jl. Basuki Rahmat dalam perjalanan pulang ke rumah, setelah dijemput Pak Sunar, supir yang diberikan kantor untuk melayani ayah. Es krim adalah oleh-oleh yang hebat buatku, walau tak pernah merupakan satu-satunya hadiah. Kakakku laki-laki pernah mendapat sepur-sepuran dari Jepang, kakakku perempuan dan aku pernah mendapat baju bagus berwarna merah bata dari Kuala Lumpur. Model dan warnanya persis sama, (mungkin supaya kami berdua tidak bertengkar karena berebutan), sehingga kami memakainya bersama dan berfoto. Baju itu terasa gatal di kulit, tapi modelnya manis dan karena dari luar negeri, aku bangga memakainya.

Memasuki jenjang2 awal di sekolah dasar, tiba-tiba mobil Fiat abu-abu kebanggaan kami sekeluarga menghilang bersama dengan pak Sunar-nya yang lucu dan selalu berpeci itu sekalian. Bersamanya menghilang juga semua kenangan manis perjalanan kami ke rumah nenek di Jogja dan ke pantai Pasir Putih kesukaan kami. Ibuku bilang bahwa mulai saat itu ayah menempuh studi doktor, dan tidak ada mobil lagi, yang diberikan kepadanya karena jabatannya sebagai Pembantu Rektor saat itu. Ayahku lalu membeli sepeda motor baru sebagai moda transportasinya. Aku berpikir ayahku sedang belajar sambil terus bekerja. Tapi selebihnya tidak terlalu kupikirkan karena mulai saat itu kami merasakan keasyikan baru bermalam minggu naik turun bemo yang berisik untuk makan malam di luar sekeluarga.
Lalu bila hari Minggu tiba, ada 4 buah sepeda beriringan menyusuri jalan Ijen. Ayah ibuku berboncengan di depan, disusul kakak laki-lakiku di depan, kakak perempuan dan aku dengan sepeda mini. Kami mengeluh kalau tiba saatnya harus membersihkan sepeda. Kakakku perempuan mengomel karena kakinya jadi besar gara-gara harus mengayuh sepeda setiap hari ke sekolah. Itulah sebabnya saat giliranku tiba untuk naik sepeda ke sekolah, aku memilih berjalan kaki. Keputusan yang tidak banyak membantu karena ternyata kaki besar adalah bawaan dari ibu kami dan bukan persoalan mengayuh sepeda atau tidak.

Kulihat ayahku berhenti berkata-kata, ia tampak tercekat, dan melanjutkan kalimatnya dengan bergetar. Ayahku menangis, pikirku. Hari itu ayahku telah berhasil menyelesaikan studi doktornya dengan baik dan sangat memuaskan. Aku tidak tahu persis mengapa ayahku menangis. Aku hanya berdiri dengan kaku di samping kedua kakakku, yang juga tampak kaku seperti kawat, serta ibuku yang cantik memakai sanggul dan kebaya. Kami sibuk menerima ucapan selamat dari orang-orang di jurusan bahasa Inggris yang mengantri untuk bergantian menyalami kami. Diam-diam aku merasa bangga juga, walau tidak tahu persis apa yang telah dicapai ayahku. Namun aku tahu Ayah telah mencapai sesuatu yang amat penting dan bernilai, sehingga orang banyak datang dan menyalaminya. Aku mengerti Ayah telah berhasil mencapai sesuatu yang berharga yang telah dicapainya dengan kerja keras.
Sejak hari itu, bila hari Natal tiba dan kartu-kartu natal berdatangan, aku melihat gelar Dr. di depan nama ayahku di amplop kartu. Ayahku tampak bangga melihatnya, demikian juga aku. Perlahan-lahan keadaan ekonomi orangtuaku menjadi lebih baik lagi sehingga ayah bisa membeli sebuah minicab baru. Walau mobil kecil itu tidak lincah tapi hari-hari ceria kami di Pasir Putih kembali lagi bersamanya.

Hari-hari terus berlalu, aku mulai mendapat gambaran yang jelas dan indah tentang profesi ayahku. Entah karena pengaruh lingkungan keluarga atau yang lain, kelas 4 sekolah dasar aku mulai suka main guru-guruan. Bila libur sekolah tiba, aku asyik mengatur bangku-bangku kecil di depan sebuah papan tulis kecil yang dibelikan ayahku untuk kami belajar. Aku mengajak seorang teman bermainku dan seorang anak tetangga untuk duduk tenang di sana dan menjadi muridku. Aku sibuk menyiapkan bahan pengajaran dari buku lamaku dan memberikan mereka latihan di papan tulis untuk dikerjakan di buku mereka. Setelah beberapa waktu aku membuat rapor untuk mereka berdua dan mengumumkan siapa juara kelasnya. Hadiah yang kusiapkan berupa botol-botol kosong bekas kosmetik milik ibuku. Aku merasa sangat senang dan puas saat itu.

Kami mempunyai kamar belajar yang saling berdampingan dengan kamar kerja orangtuaku. Di tengah kesibukan ayahku belajar dan bekerja, ia masih menyempatkan diri untuk memeriksa ulangan harianku di sekolah serta sesekali memberiku latihan untuk membaca sebuah teks bahasa inggris. Bila hari penerimaan rapor tiba dan aku muncul menjadi juara kelas serta kebetulan ikut ayahku ke ruang kerjanya di kantor, ia akan memberitahu staf di kantornya bahwa aku juara kelas. Mereka menyalamiku sambil memujiku. Tentu saja aku gembira.
Saat di bangku SMP, ketika aku berjalan kaki bersama teman menuju sekolah, kadang mobil ayahku melintas- saat itu mobil ayah sudah sedan Ford Laser yang keren, karena jabatannya yang sudah semakin tinggi di kantor- di tengah perjalananku. Maka aku pun segera meloncat masuk ke dalam mobilnya dan pulang bersamanya. Lalu saat makan di luar sekeluarga di malam minggu, aku dan kedua kakakku sering berkelakar untuk mencari restoran yang ada mahasiswanya ayah, karena kemungkinan besar kami akan makan gratis.

Aku juga senang mendengar cerita ayah bahwa ia termasuk seorang dosen yang sangat disegani karena cara mengajarnya yang ’killer’. Julukan itu diberikan oleh para mahasiswa yang tidak siap untuk mengikuti kelasnya karena tidak mempersiapkan diri. Pertanyaan dan umpan dari ayahku tentu saja tidak bisa dikembalikan dengan baik oleh mereka yang tidak siap. Cara mengajar dan memberi tes ayahku pun sangat efisien sehingga ia tidak pernah terlambat menyerahkan nilai murid-muridnya pada waktunya.
Kurasa sikap ayah yang fair dan demokratis juga terbawa dalam mendidik anak-anaknya. Sikap demokratisnya lah yang mendorong aku untuk meninggalkan rumah dan melanjutkan sekolah di luar kota sekalipun kemampuanku dan jurusan yang kuambil masih mengandung banyak kontroversi. Ayah mendorongku untuk mengikuti keinginan hati dan mengambil keputusan yang berani. Aku ingat aku sering kesal pada dosen-dosen di kampusku yang seringkali sangat lama memberikan hasil ujian akhir, bahkan hingga pendaftaran semester baru sudah dimulai. Keterlambatan itu justru sering dilakukan oleh para profesor yang dikenal dengan istilah ‘dewa’ oleh mahasiswa. Aku ingat ayahku yang saat itu juga sudah seorang professor, dan aku bangga karena aku tahu bahwa kedisiplinannya tidak akan pernah mempersulit mahasiswa seperti yang aku alami di almamaterku.

Saat yang paling menyenangkan ketika aku sedang kuliah adalah ketika ayahku kebetulan ada rapat di kota tempatku belajar. Itu adalah kesempatan untuk bersama-sama dengan ayah yang kurindukan, sekalipun hanya beberapa hari saja. Itu juga berarti mandi air panas,tidur di tempat tidur empuk berpendingin ruangan, dan sarapan pagi. Semua kemewahan yang tentu saja tidak aku temui di tempat kost. Aku berdiskusi dengan ayah di hotel dan pernah menyelesaikan tugas kuliahku di kamar tempat ayah menginap. Aku sedih kalau sudah tiba saatnya ayah pulang. Aku melepasnya pergi di depan tempat kostku dan melihat taksi yang membawa ayahku menghilang di tikungan jalan.
Namun kesedihan yang cukup mengesan adalah saat akhirnya aku diwisuda dan ayah harus berada di luar gedung wisuda bersama kakak perempuanku. Tempat itu juga disediakan bagi puluhan orangtua mahasiswa lainnya yang anak-anaknya menyelesaikan masa studi lebih dari 5 tahun. Entah apa yang dipikirkan ayahku saat itu, aku tidak berani bertanya kepadanya. Bagaimanapun, masa2 kuliahku memberiku pelajaran hidup yang tak ternilai.

Setelah aku bekerja dan menikah, aku tinggal di ibu kota bersama suamiku. Akhirnya aku menjadi guru seperti cita-cita masa kecilku. Aku senang sekali karena ayah masih sering datang karena tugas-tugasnya sebagai ketua proyek penelitian mengharuskannya untuk datang ke ibu kota. Kami akan jalan-jalan bertiga ke pertokoan, mencari sesuatu untuk ibu, dan berburu makanan enak di restoran sekitar tempat tinggal kami. Bila sore tiba dan ayah sudah luang, aku suka bersepeda berdua dengannya mengelilingi telaga yang indah yang terletak di area perumahan tempat tinggalku. Kenangan masa kecil seolah kembali bersama kicauan burung sore, diiringi riak-riak air telaga yang berkilauan ditimpa cahaya matahari senja.
Aku bangga dan senang karena ayahku masih sangat sehat dan gesit di usianya yang mulai senja, serta masih terus dipercaya untuk menangani berbagai hal di kantornya. Aku yakin departemen tempat ayah bekerja sangat beruntung dengan adanya ayah di sana. Seringkali aku pun bertanya tentang masalah yang kujumpai dengan murid-muridku. Cara ayah mengajar dan membuat ujian juga menjadi inspirasi buatku saat mengajar.

Kebanggaanku pada ayah kembali memenuhi hatiku saat ayah diundang oleh sekolah tempatku mengajar untuk memberi ceramah tentang tes, bidang keahlian ayahku. Aku senang bila seluruh dunia dapat melihat siapa ayahku. Seorang pekerja keras yang kompeten di bidangnya, seorang yang penuh dedikasi dan disegani oleh koleganya, tidak berkompromi dengan hambatan baik dari dirinya maupun dari luar, dan tentu saja seorang inspirator bagi anak-anaknya, yang selalu muncul dengan ide-ide orisinil untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan.

EPILOG : Aku melangkah menuju jalan raya di depan gereja. Bintang terang yang tadi bersinar di atas kepalaku kini turut mengiringi langkahku pulang. Semua perjalanan karir yang panjang yang ditandai oleh prestasi dan dedikasi ayahku telah usai secara resmi hari ini. Apa yang sudah dijalani dan dicapai oleh ayahku di depan mataku sepanjang hidupku adalah seperti bintang terang yang kini sedang mengikutiku pulang. Ia jauh dan tidak tergapai, tetapi sinarnya menempuh jarak dan waktu menembus keabadian hidup. Kapanpun aku membutuhkan sinarnya untuk menerangi kegelapan jalanku, ia akan selalu di sana untuk memanduku menemukan tujuan akhir perjalananku.

THE GIFT : (diambil dari berbagai sumber)

Ayahku pernah bercerita awal karirnya sebagai guru dulu. Karena tidak punya uang, ia harus bersekolah guru dengan ikatan dinas. Ketika tiba saatnya ia diberitahu dimana ia harus bertugas, ayah membanting surat penugasannya. Di sana tercantum sebuah kota kecil di Kalimantan yang bahkan tidak tertera di peta. Kini, aku tahu bahwa ayah telah menuntaskan jalan yang diberikan Tuhan kepadanya dengan sangat baik. Memang tak ada yang kebetulan bagi anak-anak Tuhan yang dikasihiNya. Tuhan membimbing langkah ayahku sedemikian ajaib dan indah hingga kini kami semua dapat menikmati sebuah lukisan Tuhan yang sangat indah yang telah paripurna dengan ayah sebagai kuasNya. Seperti seorang hamba yang melaporkan apa yang telah dibuatnya dengan talenta yang sudah diberikan oleh tuannya, aku tahu bahwa Sang Tuan kelak akan berkata kepada ayahku “Masuklah dalam kerajaanKu hai hambaKu yang setia, karena engkau sudah mengembangkan talenta yang sudah Kuberikan kepadamu hingga berbuah berkali-kali lipat. Kini nikmatilah kebahagiaan bersama Ku”

Beranjak tua dan pensiun mungkin merupakan tugas tersulit yang harus dihadapi dalam hidup ini. Tetapi sebenarnya ia hanyalah satu lagi langkah peralihan hidup. Ketika kita lahir, kita beralih dari hidup dalam kandungan ke hidup dalam keluarga. Ketika kita masuk sekolah, kita beralih dari hidup dalam keluarga ke hidup dalam komunitas yang lebih besar. Ketika kita menikah, kita beralih dari dari hidup dengan banyak pilihan ke hidup yang terikat ke satu pribadi. Ketika kita pensiun, kita beralih dari hidup dengan pekerjaan yang jelas menuju hidup yang menuntut kreativitas dan kebijaksanaan. Itulah seabnya ada sebuah perumpamaan yang mengatakan “beranjak menjadi tua bukanlah tugas untuk para pengecut” .

Bagi anak-anak Tuhan, ada satu hal yang takkan pernah menjadi tua dan usai, yaitu kasih Tuhan. Dia mengatakan kepada kita : “ Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu .” (Yesaya 46:4)
Selamat menikmati masa pensiun, ayahku tercinta. Semoga engkau akan terus berbuah di dalam Tuhan dan menikmati damai sejahtera dalam karya-karyamu yang masih terus menanti curahan bakat dan kemampuanmu. Semoga Tuhan selalu melengkapimu dengan kesehatan, kegembiraan, kebijaksanaan dan iman.

“Mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah kita . Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar“ (Mazmur 92 : 14-15)

Kuala Lumpur, 29 Agustus 2005
“Buat ayahku tercinta Michael Soenardi Djiwandono
di hari pensiun dan ultahnya yang ke-70 , 27 Agustus 2005”
Yang selalu bangga dan selalu mengasihimu, Uti