Monday, March 4, 2013

Hai. mari bangunlah dan berdoalah



Kata-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” (Luk 22:46)


Jam weker kami untuk membantu kami bangun pagi berbunyi unik, yaitu berupa suara orang berseru-seru membangunkan orang tidur dengan kata-kata yang jenaka, “Up, up, up…you gotta get down, you gotta get down” (“bangun, bangun, kamu harus turun”) atau kadang ia bersuara “Throw your pillow, throw your pilloooww…!” (“ lempar bantalmu, lempar bantalmuuu..!”) dan seruan pendahuluan itu masih dilanjutkan dengan kalimat-kalimat lucu dengan intonasi dan logat yang berbeda-beda, mengajak kami untuk segera membuka mata, beringsut dari tempat tidur, dan bangkit. Di tengah rasa kesal karena masih ingin menikmati mimpi dalam tidur lelap di bawah selimut yang hangat, terselip rasa geli mendengar weker yang pandai berceloteh itu. Sering terjadi, yang membuat saya akhirnya membuka mata dan bangkit dari tempat tidur adalah dorongan yang saya rasakan dari kalimat-kalimat penyemangat yang jenaka itu, dan bukan semata karena kesadaran bahwa memang sudah waktunya bangun dan bekerja. Pabrik pembuat jam weker itu pasti menyimpulkan dari pengalaman bahwa sekedar bunyi dering biasa yang keras kebanyakan hanya akan membuat orang bangun sebentar dengan kesal untuk mematikan si weker, lalu melanjutkan tidurnya lagi.


Manusia mudah menjadi terbiasa akan sesuatu. Bahkan otot-otot manusia yang rutin dilatih dalam suatu gerakan olahraga tidak lagi menimbulkan efek pembakaran kalori yang efektif, bila gerakan latihannya selalu sama terus, tidak divariasikan dengan jenis gerakan (olah raga) yang lain. Ya, ada konteks di mana menjadi terbiasa adalah sesuatu yang baik dan membangun, dalam artian bila kita menjadi trampil dalam suatu hal yang baik karena sudah terbiasa. Tetapi hal menjadi terbiasa yang membuat nurani menjadi tumpul dan kehangatan kasih Tuhan menjadi tawar, membuat jiwa manusia menjadi kering. Kesibukan yang semakin padat karena tuntutan hidup yang makin tinggi, gerusan rutinitas yang memicu kelelahan mental, maupun keterikatan kepada dunia material, membuat manusia mempunyai lebih sedikit waktu untuk sesamanya, dan Tuhan. Sehingga lama kelamaan, manusia menjadi lebih mudah melupakan pengajaran yang diukirNya di dalam hati nurani. Menepikan sesama manusia demi kepentingan pribadi menjadi hal yang semakin biasa dan tidak dianggap keliru lagi. Korupsi, suap, perselingkuhan, hubungan seksual di luar perkawinan, yang begitu kerap terjadi, seolah semakin dapat diterima sebagai hal yang biasa. Hidup yang semakin nyaman di jaman yang semakin memberi kemudahan ini juga melahirkan efek yang sama. Berkat Tuhan yang melimpah dan sangat khusus yang terjadi setiap hari tidak lagi dianggap sesuatu yang harus disyukuri secara istimewa. Kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan yang terjadi pada sesama di sekitar kita, tidak lagi menjadi perhatian dan keprihatinan karena terasa sudah terlalu sering terlihat di depan mata dan diabaikan. Manusia menjadi mati rasa, sebagaimana saya memilih untuk tidur lagi atau tetap tertidur kalau dering wekernya hanya jenis dering standar yang berbunyi, “kriiingggg….”


Di masa Pra Paskah ini, dalam berpantang dan berpuasa dari berbagai makanan dan kebiasaan yang menyenangkan, sebenarnya Yesus mengajak saya untuk bangun dari tidur yang panjang, merenungkan sikap cepat berpuas diri dengan kehidupan doa yang ala kadarnya, mengevaluasi hal-hal yang sudah saya anggap biasa dan tidak berbahaya, padahal sesungguhnya merupakan kebiasaan yang membuat saya tidak tumbuh dan berbuah. “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh” (1 Kor 10:12). Mengingat kembali betapa dosa-dosa yang saya biarkan tidak saya akukan dalam Sakramen Tobat membuat suara hati saya semakin tumpul. Tuhan ingin agar saya selalu berjaga-jaga, tidak lengah, sehingga mudah diperdaya oleh ajakan Si Jahat, “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala.” (Luk 12:35). Namun ajakan Yesus adalah selalunya untuk menjadi luar biasa, tidak hanya yang biasa-biasa dan standar saja, karena Ia memanggil saya menuju kepada kesempurnaan, ”Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.“ (Mat 5:48). Sampai di situ saya masih mencoba menawar pada Tuhan, “Sempurna..?, Oh Tuhan, rasanya saya udah ngeper duluan mendengar kata ‘sempurna’ itu”, keluh hati saya pada Tuhan, “ Saya, gitu loh Tuhan, apa ya bisa?” tanya saya dengan perasaan stress. Namun, saya lupa bahwa saya telah diciptakan secitra dengan Dia. Saya juga bukan sekedar ciptaan semata, karena saya dikasihi dengan kasih sempurna seorang ayah, Ayah yang sangat mengerti diri saya, yang tidak pernah berhenti mempercayai saya bahwa saya bisa (lih. Luk 13:8), dan terus bekerja bagi kebaikan kita, bahkan melalui kelemahan dan kegagalan kita, supaya kita terus bergerak menuju kesempurnaan dan hidup berkelimpahan dalam Dia, “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya (Mat 12:20a) dan kerinduan-Nya untuk memberikan semua yang terbaik bagi kita, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10) .


Rasul Paulus mengajarkan bahwa menjadi sempurna adalah suatu proses (bdk. Flp 3:14), dengan berbagai pelajaran kedisiplinan. Suatu perjalanan, yang tidak terjadi dalam satu malam. Tuhan Yesus tidak meminta saya menjadi sempurna dengan kekuatan saya sendiri. Dengan terus mengarahkan energi kepada kasih Yesus dan kekuatan-Nya, perjalanan menuju kesempurnaan itu disegarkan dan dikembalikan selalu ke jalurnya. Lewat kurban salib-Nya, Tuhan Yesus mengajak saya memikul salib saya dan mengikuti-Nya dalam cinta, dan masa Pra Paskah memberi saya rahmat untuk menyegarkan kembali proses itu. Selama masa-masa ini, latihan menuju kesempurnaan itu diperbarui kembali. Langkah demi langkah upaya pertobatanku, mulai dari yang kecil dan sederhana, namun dilakukan dengan kesetiaan dan kasih, digandakanNya agar berhasil guna. Seperti lima roti dan dua ikan yang akhirnya memberi makan lima ribu manusia, karena dipersembahkan dalam nama-Nya. Tapi saya harus bangun dari kemalasan dan rasa puas diri saya untuk bisa terus berproses bersamaNya. Tuhan Yesus mengajak saya berjalan dua mil, sekalipun lingkup tugas duniawi saya hanya meminta satu mil. Melakukan lebih, mengasihi lebih, dan dengan sebaik-baiknya, karena bersama cinta-Nya saya bisa. Masa Pra Paskah adalah menyadari kembali betapa besarnya cinta kasih-Nya bagiku dan untuk bangun, merespon kasih itu dengan seluruh hidup dan cintaku, sebagaimana dengan penuh cinta, Kristus telah menyerahkan segala-galanya yang terbaik dari Diri-Nya, demi kelimpahan hidup sejati kita.


Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah. (Ibrani 12:2)


Doa: Terima kasih Tuhan Yesus Kristus, Sahabat dan Guruku yang setia, Engkau telah mati bagiku, supaya aku hidup dan berbuah, dalam damai dan sukacita yang memerdekakan. Di masa Pra Paskah ini, bantulah aku untuk memfokuskan segenap hidupku , memperbaiki diri, menyucikan hati, setahap demi setahap, mulai dari hal kecil dan sederhana, sambil terus meluangkan waktu untuk berdoa dan mendengarkan Engkau. Kuduskanlah niatku, pergandakanlah semangatku yang masih jatuh bangun ini, untuk berjuang bangkit dari dosa dan kemalasanku, memikul salibku dan mengikutiMu selalu. Bersama cintaMu dan kuasa kebangkitanMu, aku akan mampu menyelesaikan perjalanan ini. Engkaulah Tuhan dan Juruselamatku, yang selalu mengasihiku lebih dari yang mampu aku pikirkan. Terpujilah nama-Mu, kini dan selama-lamanya. Bunda Maria, doakanlah kami, untuk setia dan taat kepada Puteramu, amin. (Triastuti)

Ajarilah kami Tuhan, bahasa cinta kasih-Mu



Menjelang peringatan hari kasih sayang tahun ini, saya merenungkan kasih tak bersyarat yang diberikan Tuhan kita Yesus Kristus di atas kayu salib, bagi kita manusia. Dalam film “Life of Pi” yang baru saya saksikan, Pi di masa remajanya mengungkapkan keheranan sekaligus kekagumannya kepada sosok Kristus yang baru diketahuinya, “Tuhan yang sempurna itu mati buat saya yang tidak sempurna ini ? Itu tidak masuk akal, cinta macam apakah itu?” Lantas saya teringat sebuah kutipan mengenai cinta, yang disampaikan Mother Teresa, bunyinya begini, “If you love until it hurts, there will be no more hurts, only more love”. Bunda Teresa yang menjalani hidup pelayanan yang luar biasa kepada sesama yang paling menderita dan terbuang itu, mampu menghayati cinta dalam bentuknya yang paling hakiki, karena diilhami oleh cinta kasih Tuhan yang teramat dalam bagi manusia. Ya, mengasihi orang yang mengasihi kita, tentu akan lebih mudah. Tetapi mengasihi orang yang membenci kita atau yang tidak mempedulikan kita, itu lain cerita. Padahal Yesus mengatakan,” Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka (Luk 6:32). Pada saat itu, kita harus belajar dari Sang Cinta itu sendiri, yang mati bagi kita pada saat kita masih seorang pendosa, dan yang masih terus mendukakan hati-Nya karena dosa-dosa yang belum sepenuhnya kita tinggalkan.

Bagaimana pesan Bunda Teresa itu menjadi masuk akal dan pertanyaan Pi bisa terjawab? Kristus sudah mencontohkannya dengan sempurna lewat sengsara-Nya yang penuh kehinaan dan penyangkalan harga diri sehabis-habisnya di kayu salib. Sebagaimana Kristus, mencintai kerap terasa sakit. Memberikan diri seringkali melelahkan, apalagi kalau cinta kasih kita tidak dianggap dan tidak dibalas oleh orang lain. Bagaimana kita membebaskan diri dari rasa sakit itu dan bisa mengasihi dengan bebas seperti Kristus? Cinta kasih kepada sesama adalah ‘lawan kata’ dari mempertahankan ego atau cinta diri. Mengasihi juga berarti tidak mengalah kepada ego. Cinta kasih sebagaimana dijelaskan dalam Surat Rasul Paulus kepada umat di Korintus bab 13 bersifat mati bagi diri sendiri (baca:ego), lalu mulai hidup bagi kepentingan dan kebahagiaan orang lain. Sifat alamiah dari ego adalah selalu perlu dibela dan dipertahankan, kalau perlu dengan segala macam cara yang mungkin. Bila itu tidak dipenuhi, maka ia akan menimbulkan rasa sakit. Bagaimana kita menguasai ego dan berhasil melewati ambang batas rasa sakit itu sehingga kita menemukan kebebasan dan kemerdekaan dengan mencintai tanpa syarat seperti cinta Kristus pada kita, dan tidak lagi terikat pada tuntutan ego yang amat demanding itu ? Sengsara Kristus yang luar biasa besarnya itu mengilhami kita untuk menemukan cara terbaik. Seperti juga yang dihayati Bunda Teresa dari Dia, yaitu justru dengan terus mencintai, terus mengasihi, terus mengampuni, terus memahami, sampai akhirnya ambang rasa sakit itu dilewati dan yang ada tinggal rasa cinta kasih dan belas kasihan yang semakin besar karena ia bertumbuh. Saat itu, ego sudah tidak dominan lagi, dan karena tidak pernah diberi “makan”, iapun tunduk dan tidak menguasai diri kita lagi. Yesus Kristus selalu mengajarkan pada kita, apa yang oleh dunia dan ego akan ditertawakan karena tidak masuk akal (seperti yang diungkapkan Pi di atas). Yaitu: berikan pipi kirimu jika pipi kananmu ditampar. Berikan jubahmu juga kalau bajumu diambil, dan seterusnya. Namun itulah justru metode efektif untuk membuat ego tunduk pada kita dan bukan sebaliknya.

Jika Guru kita mengajarkan demikian kepada kita, Ia tahu kita mampu melakukannya, asalkan kita terus bergantung kepadaNya. Karena Ia sendiri sebagai seorang manusia sejati telah melakukannya dan berhasil. Kristus telah menderita dengan cinta dan karena cinta…teladan sengsara dan wafat-Nya menunjukkan pada kita bahwa penderitaan hidup bisa dijalani dengan tenang dan justru memberi kekuatan pada orang lain. Itulah saat di mana penderitaan hidup yang sering dipertanyakan manusia, memberikan makna yang menumbuhkan. Dan semuanya itu mungkin, jika kita membiarkan ego menepi, dan cinta kasih mengambil peran. Cinta kasih sejati, yang sudah Tuhan tunjukkan tak henti-hentinya kepada kita. “O Tuhan Yesus Kristus, yang telah mati bagiku karena cintaMu padaku, tambah-tambahkanlah iman dan kasihku yang tak sempurna ini, amin.” Selamat hari kasih sayang. (Triastuti)

Melayani dengan sukacita: merespon inisiatif kasih Allah



Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. (Ibr 10 : 24)

Pulang sekolah di siang yang panas itu, Metta setengah berlari masuk ke dalam rumah. Perutnya lapar sekali, ingin segera menikmati makanan kesukaannya sambil membayangkan mereguk jus strawberry segar yang selalu disiapkan ibunya untuknya. Tanpa membuka sepatu dan berganti baju, ia segera menuju meja makan dengan antusias. Tetapi segera Metta merasa kecewa, karena tidak seperti hari-hari biasa, meja makan siang itu kosong, tidak ada sesuatupun di atasnya, apalagi hidangan kesukaannya. Metta ngambek, tidak mau menerima penjelasan ibunya bahwa pagi tadi, mendadak ada permintaan tolong yang mendesak dari saudara ibunya yang sedang sakit, sampai-sampai sang ibu belum sempat menyiapkan makanan untuk gadis kecilnya. Akhirnya sang ibu berinisiatif menggandeng tangan Meta dengan lembut dan mengajaknya ke dapur. Ibu mengajak Metta ikut menyiapkan makan siang bersama, agar ia mengenal jerih payah di balik suatu kemudahan dan belajar untuk menghargainya. Ibu membimbing Metta untuk ikut mengiris keju, mengocok telur, dan memblender strawberry. Metta segera merasa keasyikan, ia pun melupakan segala kekesalan hatinya dan tersenyum gembira. Saat hidangan akhirnya siap, Metta pun dengan sukacita dan kepuasan tersendiri menyantap hidangan lezat itu bersama ibunya. Dan sejak itu ia mengerti bahwa segala sesuatu yang ia nikmati seringkali didahului oleh suatu proses dan pengorbanan.


Seperti Metta yang menganggap makanan kesukaannya harus selalu otomatis tersedia di meja saat jam makan tiba, saya pun kadang terlupa untuk mengingat bahwa di balik banyak hal yang bisa kita nikmati dengan mudah kapan pun kita inginkan dan butuhkan, ada orang-orang yang mengusahakannya dengan peluh dan usaha. Beras untuk saya makan ada yang menanam dan menuainya dengan memeras keringat, koran pagi untuk saya baca sambil sarapan ada yang mengetik dan menyusunnya sambil mengorbankan waktu tidur malamnya, dan contoh lain. Karena pekerjaan itu merupakan sebuah profesi, mereka mendapatkan imbalan dan apresiasi untuk karya-karya itu. Namun bagi para ibu sebagaimana ibu Metta, atau para pekerja sukarela bagi kemanusiaan misalnya, seringkali tidak ada imbalan apa-apa, bahkan diketahui oleh orang lain pun tidak. Hanya kasih yang tulus dari hati yang terdalam kepada Tuhan dan sesama yang menggerakkan semua itu, dan pada saat itu, sukacita dialami tanpa harus mendapatkan pengakuan dari orang lain, sukacita karena telah menanggapi panggilan untuk merespon kasih Tuhan, yang telah senantiasa dicurahkanNya kepada manusia tanpa syarat.


Dapat menikmati dan mengalami kasih karunia Tuhan dalam perayaan Ekaristi setiap Minggu dan persekutuan bersama umat seiman juga sebenarnya adalah suatu kemewahan, mengingat ada umat beriman di daerah konflik, di daerah terpencil, atau yang mengalami tekanan dari orang beragama lain, sehingga tidak selalu bisa menikmati karunia Allah yang begitu besar dalam sebuah perayaan Misa. Juga di negara perantauan di mana semuanya masih serba asing dan baru bagi saya dan suami. Kadang-kadang karena rahmat Tuhan Yesus yang amat istimewa ini berjalan rutin dan selalu siap tersedia setiap Minggu, saya tidak selalu ingat bahwa semua sukacita dan kemewahan untuk bisa bersama rekan seiman dan sebangsa di negeri asing ini tidak terjadi dengan sendirinya. Ada teman-teman yang bangun dan berangkat lebih pagi untuk menjadi lektor, misdinar, kolektan, atau eucharist ministry. Meluangkan waktu untuk menyiapkan bahan mengajar bina iman anak, atau dengan segenap hati membersihkan dan membuka-menutup pintu gereja. Ada petugas koor dan pemazmur yang menyisihkan waktunya untuk berlatih, dan di tengah berbagai penyelenggaraan acara kebersamaan, ada yang menyiapkan acara dan hidangan. Dan secara jangka panjang, tentu ada mereka yang bersama-sama pastor merelakan tenaga, talenta, waktu dan pikirannya, untuk mengurus segala keperluan administrasi, mengelola keuangan, mendokumentasikan aneka kegiatan, menjalin hubungan dengan komunitas lain, memperhatikan berbagai kebutuhan umat, menyusun dan mengedit warta antar umat, dan akhirnya, mengkoordinasi semua itu hingga bermuara pada pemenuhan kebutuhan umat Tuhan dan kemuliaan Tuhan dengan sebaik-baiknya. Luapan syukur yang mewujud dalam tindakan melayani tanpa pamrih karena mengalami Tuhan yang telah selalu dan lebih dulu memberikan segala yang terbaik kepada manusia yang dikasihiNya. Sebuah persembahan bagi Tuhan Allah Bapa di Surga, yang selalu aktif berinisiatif menyapa manusia melalui Yesus Kristus Putera-Nya, dan yang memanggil kita untuk berbagai-bagai pekerjaan baik.


Faith in action is love, and love in action is service. By transforming that faith into living acts love, we put ourselves in contact with God Himself, with Jesus our Lord.” – Mother Teresa


Tulisan ini dipersembahkan bagi yang terkasih teman-teman pengurus ICF beserta Pst. Nestor atas kasih dan pelayanannya yang tulus dan setia, sehingga Brisbane segera menjadi rumah kedua kami di dalam perjalanan iman kami kepada Tuhan sejak hari kedua kami menginjakkan kaki di kota ini. Semoga Tuhan Bapa di Surga memberkati dengan kepenuhan cinta-Nya, dan memimpin kita meneruskan kebersamaan dan persaudaraan sebagai keluarga besar dalam rahmat dan bimbingan-Nya. (Triastuti)

Rasa percaya VS keterbukaan suami isteri



Perlukah kita mengetahui setiap hal dari pasangan kita dan setiap kejadian yang dialami harus selalu diketahui bersama ?

Tentu secara umum, jawabnya adalah ya. Bahkan sebagian besar peristiwa hidup pasti mau tidak mau akan dialami dan diketahui bersama. Sebagai sepasang suami dan istri yang sudah berkomitmen untuk menjalani hidup bersama dan berbagi suka dan duka bersama, selayaknya semua peristiwa hidup dialami dan dihayati bersama. Walau demikian, tentu setiap orang punya hak untuk mempunyai rahasia, memiliki hobi pribadi (di mana pasangan kita mungkin tidak menyukai hal yang sama), mempunyai waktu menyendiri, atau sesekali merasa asyik dengan diri sendiri. Juga tidak semua sms, email, atau semisal pembicaraan pasangan di Facebook dengan teman-temannya harus senantiasa kita pantau dan dalam sepengetahuan bersama. Bila rasa saling percaya sudah kokoh di antara pasangan suami istri, hal-hal seperti itu tidak mutlak untuk dilakukan. Tentu sangat baik kalau bisa saling tahu, tetapi jika sedang tidak memungkinkan pun, hal itu bukan sesuatu yang harus membuat pasangan menjadi tertekan karena harus selalu saling mengetahui dan melapor. Sekali lagi kuncinya adalah, rasa saling percaya. Tetapi sebelum sampai ke sana, harus dijawab terlebih dahulu pertanyaan penting ini, “Dari mana dan bagaimana rasa saling percaya itu bisa tumbuh, menjadi kokoh, dan kemudian mampu menopang sendi-sendi relasi yang sehat di antara suami dan istri?” Dan inilah tantangan yang sebenarnya.

Rasa saling percaya itu dibangun dari komitmen yang terbukti dan nyata dalam menjalani hidup bersama sebagai suami istri. Misalnya selalu membiasakan untuk bersikap jujur dan terbuka dalam segala hal terutama dalam hal keuangan, pergaulan, usaha yang sedang ditekuni, acara-acara kantor dan keluarga, perasaan-perasaan hati, rencana-rencana ke depan, dan jadwal jadwal harian. Jika masing-masing dari kita harus mempunyai sebuah rahasia, rahasia semacam apa? Bila hal itu menyangkut kejujuran dalam hubungannya dengan kesetiaan, dengan keuangan, dengan kepentingan anak-anak, dengan keperluan keluarga besar, dengan usaha bersama, tentu tidak sepantasnya bila ada rahasia di antara suami istri. Komunikasi pribadi dengan teman yang berlawanan jenis pun sebaiknya saling diketahui oleh suami istri. Penghasilan suami dan istri selayaknya saling diketahui dan dikelola bersama. Kalau ada sesuatu yang penting atau berpengaruh bagi kehidupan berdua tetapi toh harus saling dirahasiakan, pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya, dan sesuatu itu harus diluruskan terlebih dahulu. Misalnya masalah komunikasi, salah pengertian, kebiasaan yang berbeda, atau perselingkuhan, baik perselingkuhan secara hati/mental maupun secara fisik. Prinsipnya sederhana : segala sesuatu yang harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi (rahasia), mungkin sesungguhnya adalah sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan sama sekali. Hati kita sendiri bisa menilai apakah tindakan kita yang terpaksa harus sembunyi sembunyi itu untuk kebaikan atau justru mempunyai potensi merusak kebahagiaan bersama. Misalnya sembunyi-sembunyi merencanakan hadiah ulang tahun atau pesta kejutan untuk pasangan tentu malahan amat berharga. Tetapi sembunyi-sembunyi berkomunikasi lewat dunia maya dengan seorang kenalan baru yang berkonotasi perselingkuhan tentu tidak seharusnya. Demikian juga merahasiakan jumlah pendapatan dari sebuah pekerjaan yang sudah diketahui bersama.

Maka, sekalipun baik untuk dalam hal-hal tertentu membiarkan setiap individu memiliki kepentingan pribadi dan urusan dengan dirinya sendiri, (karena setiap orang membutuhkan ruang bagi dirinya sendiri), namun semakin banyak kita dapat berbagi dengan pasangan hidup kita, semakin baik. Sebuah contohnya, walau dalam menekuni hobi, kadang kita menjalaninya sendiri karena pasangan kita kebetulan tidak sehobi, sangat baik jika sesekali kita turut serta dalam berkegiatan menjalani hobi pasangan. Contohnya seorang istri sesekali ikut hadir dalam acara nonton bola bareng dengan suami dan kawan-kawannya, dan sebaliknya seorang suami sesekali hadir dalam pameran merangkai bunga yang diadakan klub merangkai bunga yang diikuti sang istri. Hal ini juga membuat suami dan istri dapat saling mengenal dengan baik kawan-kawan dari pasangan masing-masing. Dan demikianlah kehidupan saling berbagi dan bahagia menjalani hidup bersama, yang merupakan cita-cita sebuah pernikahan ideal, akan mungkin untuk dicapai.

28 November 2012, Triastuti

Sekolah kehidupan yang bernama "Perkawinan"

Kalau pepatah mengatakan bahwa hidup adalah sekolah, di mana di dalamnya kita berkesempatan untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik lewat berbagai peristiwa sehari-hari, maka perkawinan bisa jadi adalah salah satu mata pelajaran yang paling sukar dan menantang. SKSnya banyak dan menentukan, sehingga perlu ketekunan dan keseriusan yang tinggi dalam menjalaninya. Bagaimana tidak, dapat kita bayangkan tidak mudahnya dua orang yang berbeda dalam banyak hal, sepakat untuk hidup dan berbagi bersama dengan kesetiaan penuh, sampai usia lanjut, dan di tengah segala tantangan hidup, hingga maut memisahkan. Maka itu ujian-ujiannya sering, dan kadang berat serta melelahkan. Tetapi kabar baiknya adalah jika kita gagal dalam ujian, seringkali masih ada kesempatan kedua dan seterusnya untuk memperbaiki dan terus memperbaiki, asal ada kemauan. Selain itu, PR (pekerjaan rumah)nya juga banyak, dan tidak seperti ujian yang kadang harus dihadapi sendirian, PR seringnya harus dikerjakan berdua, kalau hanya salah satu yang mengerjakannya, banyak pengertian dan keharmonisan tidak dapat dicapai. Padahal pengertian serta keharmonisan adalah sarana-sarana untuk mencapai kebahagiaan yang dicari. Tentu kebahagiaan bersama sekeluarga sampai akhir hidup adalah yang menjadi tujuan awal dan tujuan akhir dari orang-orang yang memutuskan untuk menikah. Kebahagiaan yang juga dirancang dan dikehendaki oleh Tuhan bagi manusia yang dikasihiNya, hingga setelah masa pembelajarannya di dunia ini selesai, boleh mencapai kehidupan bahagia kekal di Surga bersama Tuhan.


Berbeda dengan para lajang yang mempunyai banyak kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang disukainya dan apa yang tidak, orang-orang yang dikaruniai kehidupan perkawinan terikat oleh aneka tuntutan yang lahir dari perbedaan kepribadian dan kebutuhan dengan pasangannya, serta berbagai situasi lain seperti anak-anak, pekerjaan pasangan, dan keluarga besar dari pasangan. Tetapi hadiah dari semua itu adalah pribadi yang terbentuk menjadi lebih toleran, sabar dan bijaksana, berpengertian, mudah berkorban, mudah merasa bahagia, dan berbagai ketrampilan pengendalian diri lainnya yang ujungnya adalah rasa damai dan bahagia dalam jiwa, serta sebuah jalan menuju kekudusan. Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.(Kol 3:12). Tentu saja para lajang dan orang yang memutuskan untuk tidak menikah bukannya tidak berkesempatan memiliki keutamaan pribadi seperti semua itu, namun mereka mengalami dan menjalaninya dalam bentuk yang berbeda. Tuntutan dari kehidupan perkawinan yang terus menerus memerlukan pengertian dan pengorbanan itu mestinya tidak terasa seperti sebuah tuntutan yang menyiksa jika pihak-pihak yang terlibat di dalamnya menjalaninya dengan cinta yang tulus, niat yang baik, yang didasari oleh komitmen yang kuat untuk setia demi kebahagiaan bersama.


Ada catatan tersendiri mengenai cinta. Ketika Tuhan mempertemukan dua insan dalam cinta yang indah dan mempersatukan keduanya dalam ikatan perkawinan yang suci, cinta itu adalah pemberian, anugerah, yang dikaruniakanNya dengan cuma-cuma, kita tidak perlu mengusahakan apapun untuk memperolehnya. Tetapi agar pemberian itu berdaya guna dan menghasilkan kebahagiaan yang didambakan manusia dan Tuhan, harus ada kerjasama dari kedua manusia yang menerimanya, agar cinta itu tetap menyala dan aktif bekerja, tidak redup, lalu dingin dan padam. Di sinilah komitmen dan niat baik itu masuk. Cinta akan selalu menjadi dasar utama sepasang suami istri menjalani hidup berkeluarga, tetapi cinta yang tidak hanya berhenti kepada pemberian dari Tuhan, tetapi yang juga disadari sebagai sebuah keputusan, dan disyukuri dengan tanggung jawab. Demikian jugalah pada layaknya tanggapan aktif manusia kepada pemberian-pemberian Tuhan yang lainnya seperti kepandaian, kesehatan, bakat, dan lain-lain. Cinta yang dikerjakan, diolah, dikembangkan, dan ditekuni lewat sebuah proses, membuat cinta itu tumbuh, berkembang,dan berbuah. Termasuk di dalamnya mengerjakan berdua PR-PR mata pelajaran perkawinan, yang tidak selalu sama bobot kesukaran dan kuantitasnya antara satu pasangan dengan pasangan yang lain.


Misalnya PR saya sendiri pada saat ini adalah belajar menerapkan bahwa pada saat saya ingin dilayani, disayangi dengan khusus, dan dimengerti oleh pasangan, itu adalah justru saat di mana saya harus lebih dulu melayani, menyayangi dengan khusus, dan mengerti pasangan saya, sehingga pasangan saya merasa bahagia, sebelum ia kemudian terdorong membalas dengan cinta yang sama. Harapan saya kepada pasangan diubah menjadi harapan untuk saya sendiri lakukan lebih dulu, sehingga kebahagiaan dapat masuk tanpa didahului protes atau rengekan, bahkan ternyata sukacita yang saya cari sudah saya dapatkan dengan mendahului mengungkapkan apa yang saya harapkan dari pasangan, sebelum ia sendiri melakukannya. Ini semua juga proses, memerlukan kesabaran, terutama proses menundukkan ego kita. Belajar mengendalikan ego itu baik, supaya kita tidak terus menerus dikendalikan oleh ego, sebab hal itu sebenarnya amat melelahkan. Sebaliknya mengalah demi kebaikan bersama dan mengikuti kehendak Tuhan, walaupun awalnya terasa berat, akan terasa lebih membebaskan dan membahagiakan dalam prosesnya, tidak hanya bagi diri kita tetapi juga bagi pasangan kita dan sesama. Sekali lagi, sebagaimana PR seringnya harus dikerjakan berdua, penerapan contoh di atas adalah timbal balik, harus ditanggapi dan dilakukan kedua belah pihak, supaya bahagia itu dirasakan berdua. Rasul Paulus mengajarkannya dalam Roma 12:10, “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat."


Dan jika di jaman ini, kesetiaan nampak seperti sebuah benda usang yang sudah tidak mode lagi, di mana perpisahan, perceraian, perselingkuhan seolah menjadi begitu sering dan biasa, ingatlah bahwa dunia ini bisa berputar dan terus berjalan karena kesetiaan. Bumi setia berputar pada porosnya, matahari setia terbit di pagi hari tanpa pernah absen, hujan dan panas setia menyambangi bumi supaya kehidupan dapat berlangsung, organ-organ tubuh kita bekerja siang malam dengan sinergi yang mengagumkan dan setia supaya tubuh kita terus hidup. Lalu banyak orang di sekeliling kita begitu setia menjalankan tugasnya walau tugas itu selalu sama dan harus dilakukan setiap hari tanpa putus, misalnya seorang ibu yang harus selalu memasak untuk keluarga, petugas perlintasan rel kereta api yang harus selalu mengamati jalannya kereta dari berbagai arah, dan banyak lagi. Demikianlah kesetiaan adalah barang mahal yang tak ternilai harganya yang menopang seluruh kehidupan umat manusia. Di saat kejenuhan atau kebosanan melanda, ingatlah akan Tuhan yang tidak pernah bosan memelihara manusia, peliharalah kesadaran akan rasa syukur atas hidup, dan betapa kehidupan ini dapat terus berjalan karena ditopang oleh pilar-pilar kesetiaan. Kesetiaan adalah buah dari kasih. “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. (Kol 3:14)


Semoga kasih selalu menyemangati kita untuk menikmati kehidupan perkawinan dan menjaganya sebaik-baiknya. Sehingga kebahagiaan yang dicita-citakan banyak orang dari sebuah kehidupan perkawinan, dapat mencapai tujuannya yang hakiki, yaitu kebahagiaan yang dicita-citakan Tuhan sendiri bagi manusia ciptaan yang dikasihiNya. (Triastuti )

“[Speaking of marriage and family] In this entire world there is not a more perfect, more complete image of God, Unity and Community. There is no other human reality which corresponds more, humanly speaking, to that divine mystery.” - Pope John Paul II (Di seluruh dunia ini tiada hal yang mewakili citra Allah, Persatuan dan Komunitas demikian sempurna dan lengkap seperti yang dinyatakan oleh sebuah perkawinan dan kehidupan keluarga. Tiada realitas kemanusiaan yang terkait begitu dalam kepada misteri Ilahi yang melebihi apa yang terjadi dalam perkawinan. -Paus Yohanes Paulus II Yang Terberkati-)

I know the plans I have for you



Saat itu menjelang akhir tahun. Sambil sibuk bebenah di tempat baru lagi dalam mengikuti pekerjaan suami di benua yang baru, saya mulai memikirkan beberapa resolusi tahun baru dan rencana untuk dilakukan dalam kehidupan kami di negeri yang baru bagi kami ini. Ketika sedang mengeluarkan dan menata barang pecah belah dari dus barang-barang kami yang baru tiba dari tanah air, terpegang oleh saya sebuah piring hias yang sudah lama saya lupakan. Saya bahkan lupa dari mana saya mendapatkan piring souvenir itu. Tentu dari salah satu teman baik di salah satu negara yang pernah menjadi tempat tinggal kami, tapi saya tak berhasil mengingat siapa pemberinya. Ada sebaris kata-kata yang terlukis dengan manis di piring itu, tertegun saya membacanya, “Hope. I know the plans I have for you (Jeremiah 29 : 11)” (terjemahan Indonesianya adalah, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan”, Yeremia 29:11). Saya merasa trenyuh, di saat sedang khawatir dengan berbagai hal penyesuaian diri di tempat baru lagi, saya merasa Tuhan menyapa saya dengan lembut dan indah. Terutama karena saya tahu kalimat selanjutnya dari ayat itu, yang berbunyi,” …yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Saya mempunyai banyak rencana dalam hidup ini. Rencana untuk masa depan, yang semuanya masih bernama harapan. Saya juga pernah mempunyai rencana di masa lalu, yang ternyata tidak terjadi, sehingga beberapa berubah nama menjadi kerinduan. Manusia hidup dengan banyak rencana, ada yang terlaksana dan ada yang tidak. Manusia berusaha dan terbiasa membuat berbagai rencana, dan itu baik. Tetapi, sebelum membuat rencana, saya sering terlupa untuk berhenti sejenak, merenungkan rencana Pencipta saya, dan mencari tahu, apakah rencanaNya bagi saya? Bagi dunia ini? Allah merelakan PuteraNya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus, untuk menyerahkan hidup-Nya dengan penuh cinta dan pengorbanan dan kemudian bangkit dari kematian, supaya saya hidup dan selamat. Ya, sudah selayaknya manusia menyerahkan seluruh hidupnya ke dalam rencana Allah yang menciptakannya, bahkan mengusahakan dengan semua daya yang mungkin, agar rencana Allah yang mulia tergenapi dalam hidup ini, betapapun manusia mempunyai kehendak bebas dalam segala sesuatu, karena kasih Allah yang total kepada manusia. Tetapi sebagai tanggapan kasihku kepadaNya, kebebasan itu tidak untuk kupakai sekehendak hati tanpa tanggungjawab.

Akibat kebebasan yang tidak dipersembahkan kembali kepada Tuhan sebagai yang empunya hidup, jangan-jangan banyak sekali rencana manusia yang akhirnya justru merusak rencana Allah yang semuanya indah bagi manusia yang sangat dikasihiNya. Peristiwa banjir di Jakarta yang selalu berulang serta bencana alam akibat kerusakan alam oleh manusia yang membuat manusia menderita berkepanjangan bukanlah rencana Allah. Saya sedang membayangkan bahwa Tuhan Yesus sedang ikut menangis sedih melihat dan merasakan penderitaan manusia akibat kerusakan alam yang diakibatkan oleh eksploitasi alam yang berlebihan, yang mengorbankan keseimbangan alam demi nafsu manusia akan kekayaan materi yang amat sulit terpuaskan.

Mungkin terasa absurd untuk tetap meyakini bahwa rencana Tuhan selalu baik bagi kita, di saat doa-doa kita tidak tampak terjawab, saat konflik berkepanjangan datang mendera, saat orang-orang yang kita kasihi menjadi sakit dan tak berdaya, saat penyakit tak kunjung sembuh, atau melihat di sekitar kita semakin banyak kekacauan dan kejahatan menimpa orang-orang yang tak bersalah. Kita selalu ingin melihat Tuhan yang selalu solider dengan penderitaan manusia. Tentu saja ! Ia Tuhan yang menderita dan mati bagi kita. Ia bangkit dari maut supaya kita juga bangkit dan hidup. Tapi apa yang salah sehingga saya tidak mampu melihat keterlibatan-Nya?

Pada suatu hari saya membaca sebuah artikel berjudul “Lima hal yang umumnya paling disesali ketika manusia di ambang ajal”. Merasa telah bekerja terlalu keras sehingga mengabaikan saat-saat berharga bersama orang yang dikasihi adalah penyesalan yang paling sering diungkapkan. Seringkali tersita oleh kepentingan pekerjaan dan mengejar kesuksesan diri menghilangkan kesempatan melihat masa-masa pertumbuhan anak atau memelihara kontak dengan sahabat-sahabat terbaik. Juga kesehatan yang begitu berharga dan memberi kebebasan begitu banyak, disia-siakan demi pekerjaan dan berburu ambisi, sehingga ketika kesehatan itu hilang bersamaan dengan datangnya aneka penyakit, hanya penyesalan yang tersisa.

Ya, kadang saya menuntut begitu banyak dari Tuhan, agar Tuhan membuat semuanya menjadi baik dan mulus, sementara saya hanya mengerjakan sangat sedikit bagian saya agar semua yang baik itu dapat terus berlangsung. Sebab sebagai manusia, saya adalah mitra-Nya dalam mengelola alam ciptaan, termasuk diri saya sendiri. Kerja sama saya dengan Tuhan begitu minim sehingga saya bahkan tidak meluangkan waktu secara khusus untuk merenungkan apa yang menjadi kegemaran Tuhan, bagaimana saya dapat selalu berada di hadirat-Nya dan menyenangkan hati-Nya, belajar mengerti kehendak-Nya lewat Sabda-Nya dan merayakan Ekaristi dengan sepenuh hati, belajar untuk selalu bersyukur untuk segala hal termasuk hal-hal kecil dan kesukaran, karena lewat hal-hal yang sederhana, Allah hadir dan bekerja. Dan seringnya justru lewat kesukaran dan derita, Tuhan mengajar kita untuk menjadi lebih mudah merasakan kebahagiaan yang sering kita anggap angin lalu.

Jika manusia sering mempertanyakan dan meragukan perintah-perintah Tuhan yang membuat manusia merasa terkekang, pasti pesan-pesanNya di dalam Kitab Suci ada yang terlewat oleh kita. Jika kita amati, perintah dan ajaran Tuhan diberikan semata supaya hidup kita berjalan baik dan berkelimpahan. Tuhan yang menciptakan kehidupan, tentu saja Dia yang paling tahu cara terbaik menjalaninya sesuai dengan tujuannya dibuat. Hidup yang berkelimpahan dan memberikan kedamaian sejati bagi kita. Hanya mungkin kita jarang bertanya kepadaNya dan memutuskan sendiri semua yang kita anggap baik. Misalnya dalam Yoh 15, Tuhan Yesus selalu meminta kita untuk mengasihi sesama manusia dan mengampuni tanpa menjadi lelah, sesama yang bersalah pada kita. Meminta kita untuk tinggal dalam kasih-Nya dan menuruti perintah-Nya. Rencana-Nya adalah supaya dengan demikian, “…..sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.” (ayat 11) dan “…supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap dan supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikanNya kepadamu” (ayat 16b). Ya, karena selalu menuruti perintah Tuhan, kita terbiasa untuk meminta apa yang hanya menyenangkan hati Tuhan dan dengan demikian semua permintaan kita adalah keinginan-Nya sendiri untuk kebahagiaan dan kesembuhan kita yang sejati, jadi pasti diberikanNya.

Tuhan mengajak manusia untuk tetap berharap kepada janji penyertaan dan rencana-Nya yang baik sejak awal hingga akhir bagi manusia dan dunia ini, dalam suka dan dukanya yang menumbuhkan, dalam pahit dan manisnya kehidupan, dalam jatuh bangunnya kita melawan dosa dan kepentingan diri sendiri. Pada akhirnya dan selalunya, Allah ingin kita bersukacita, tumbuh dan berbuah dengan bebas dalam kasih, hingga kita siap untuk bersama-sama lagi dalam kekal dengan Dia di Rumah-Nya. Janji Tuhan selalu ditepatiNya, karena Tuhan Bapa kita adalah Tuhan yang penuh kasih setia. Dalam iman dan sukacita oleh kasih setiaNya ini, kita percaya bahwa sekalipun mungkin akhir ceritanya tidak selalu bisa kita lihat selama kita hidup, tetapi semua itu akan digenapiNya dengan indah hingga kesudahan dunia ini. Dialah Allah kita, Gunung Batu kita !

Dari syair lagu “Lord of Creation, to You be all praise”, mari kita bersenandung bagi Tuhan:

Lord of all power, I give you my will
(Tuhan segala kuasa, kuserahkan pada-Mu semua kehendakku)
In joyful obedience your tasks to fulfil
(Dalam ketaatan yang kujalani dengan sukacita, perintah-Mu kupenuhi)
Your bondage is freedom, your service is song
(Pengajaran-pengajaranmu adalah kebebasan, pelayanan bagiMu adalah nyanyian)
And, held in your keeping, my weakness is strong.
(Dan, dalam pemeliharaan-Mu, kelemahanku menjadikanku kuat). Amin.

(Triastuti)

Diary bersama Tuhan



Terbiasa menulis buku harian (diary) sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, kegiatan itu akhirnya terbawa hingga saya dewasa. Setelah berpacaran dan menikah, saya juga mempunyai sebuah diary khusus untuk menuliskan berbagai peristiwa penting dan kejadian-kejadian indah yang saya alami bersama pasangan hidup saya. Diary itu kami tulis berdua, bergantian, dan menjadi suatu sarana yang cukup membantu ketika relasi kami sedang tegang dan saya hanya bisa menumpahkan kekesalan atau uneg-uneg saya kepada suami di dalam diary berdua itu. Ketika suasana mulai membaik, apa yang saling kami tuliskan di sana menjadi bahan refleksi dan evaluasi berdua agar argumentasi atau kemarahan yang terjadi di antara kami tidak terulang kembali di masa datang. Itu adalah satu dari banyak kebaikan mempunyai sebuah diary berdua yang diisi bersama, baik secara sendiri-sendiri atau sambil duduk santai berdua melewatkan waktu luang di malam yang tenang. Demikian juga kenangan manis dari cuplikan ragam peristiwa, ribuan kata, dan serbaneka perbuatan, yang telah membuat hari-hari kami berdua sungguh berwarna, dapat sewaktu-waktu kami baca kembali. Efek menghangatkan hati dari peristiwa itu lantas dapat kami alami lagi kapan pun kami membaca kembali tulisan kami di sana, sekalipun peristiwanya sudah lama berlalu. Sebaliknya, peristiwa pahit dan kesalahpahaman menjadi pelajaran berharga. Diary cinta kami itu menjadi sebuah pengingat yang manis, betapa berharganya karunia Tuhan kepada manusia dalam sebuah kehidupan berbagi, yang disebut dengan pernikahan.

Ternyata sangat membangun dan mengasyikkan untuk juga mempunyai sebuah buku harian / jurnal yang mencatat hubungan kasihku sehari-hari dengan Tuhan, yang telah menciptakan aku karena kasih, dan dengan kasih yang besar memeliharaku setiap hari di dunia ini. Kalaupun kita bukan orang yang gemar menulis buku harian (atau mungkin bahkan tidak gemar menulis apa-apa sama sekali), kisah kasih sehari-hari yang dialami karena kasih Tuhan dan di dalam kasihNya, sungguh layak dan berharga untuk dicatat dalam hati, dikenang, diapresiasi, dan dievaluasi. Sesungguhnya Bunda Maria adalah pribadi yang menginspirasi kita untuk melakukan hal ini, karena beliau menyimpan (atau sebetulnya dengan kata lain, mencatat) dan merenungkan di dalam hatinya semua peristiwa mencengangkan yang dialaminya bersama Yesus dan karena Yesus, sejak Dia hadir dalam rahimnya oleh kuasa Roh Kudus (bdk. Luk 2:19). Semua peristiwa bersama Tuhan dan di dalam Tuhan adalah peristiwa iman. Peristiwa iman adalah cerminan kepercayaan kita kepada Allah Yang Maha Bisa, yang Maha Hadir, dan Maha Peduli, di dalam kehidupan manusia dan dunia ini.

Ketika banyak dari manusia jaman ini mempertanyakan apakah Tuhan ada dan di mana Dia, (terutama saat manusia sedang menghadapi kesukaran dan penderitaan), maka bagi saya sebuah diary bersama Tuhan menuliskan bagaimana Ia memelihara kita, menceritakan pada kita bahwa Ia adalah Allah yang hidup dan aktif, Allah yang sangat baik, yang sangat mengasihi kita, selalu memperhatikan dan mencukupkan segala sesuatu yang kita perlukan, dari hal yang terkecil. Mencatat dinamika perjalanan iman dan naik turunnya kehidupan doa kita menjadi bagian dari relasi kita dengan Tuhan. Di dalam mencatat segala peristiwa yang saya imani dan rasakan sebagai bukti penyertaan Tuhan, saya belajar untuk peka dan menghargai apa yang sudah Tuhan karuniakan pada saya karena kasihNya, yang biasanya saya anggap sebagai sebuah rutinitas saja (sudah seharusnya). Misalnya menulis tentang hangatnya matahari pagi, bahwa saya masih bisa bangun setiap pagi untuk menjalani kehidupan, bahwa saya dikelilingi orang-orang terkasih yang selalu mendampingi saya.

Membuka kembali catatan harian tentang penyertaan dan keterlibatan Allah dalam hidup, membuat kita dapat berseru dalam hati kita seperti murid yang dikasihi saat mengenali Tuhan dalam karyaNya yang ajaib, ketika jala mereka hampir koyak karena penuhnya ikan, “Itu Tuhan !” (lih.Yoh 21:7)

Catatan saya memperlihatkan, ketika saya berseru padaNya dengan penuh keprihatinan terhadap sebuah masalah, lewat cara yang unik Tuhan memberikan saya penghiburan lewat suatu peristiwa kecil. Di lain waktu, saya terluka oleh perbuatan seseorang, saya mengeluh kepada Tuhan bahwa saya merasa berat untuk bisa mengampuni perbuatan itu. Tetapi lantas saya mengalami beberapa rangkaian kejadian yang memampukan saya mengampuni kesalahan itu, bahkan disadarkan bahwa sebenarnya saya juga bersalah. Saya mencatat bahwa kadang jawaban-Nya datang sesederhana saat membaca sebuah email, atau saat melihat potongan suatu acara di TV. Kadang juga bertahap dan lewat sebuah proses. Sangat sering terjadi ketika sedang membaca Kitab Suci. Saat membaca Kitab Suci, ternyata pergumulan pada hari itu saya temukan jawabannya secara langsung dari bacaan Kitab Suci yang saya baca pada hari yang sama. Dalam mengimani penyertaan Tuhan, kita meyakini bahwa bagi orang beriman, tidak ada hal yang kebetulan. Karena kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rm 8:28)

Ada lagi yang menarik ketika ada catatan peristiwa yang cukup lama menjadi pergumulan saya. Suatu hari pada saat saya menulis lagi, saya baru menyadari bahwa hal yang saya gumulkan itu saat itu sudah menjadi jauh lebih baik. Itu adalah ketika saya baru menyadari bahwa Tuhan ternyata sudah menjawab doa saya. Memang jawaban doa itu kadang tidak datang dalam bentuk seperti yang saya bayangkan, cara yang tidak saya duga sama sekali, tetapi yang jelas bahwa pergumulan itu akhirnya beres. Hal itu membuat saya makin mengagumi kebijaksanaan dan kuasaNya.

Catatan harian saya menunjukkan bahwa Tuhan selalu bekerja untuk kebaikan kita, selalu menolong dan menumbuhkan, kadang dengan cara yang sangat halus dan kompleks, sampai saya tidak menyadarinya. Diary bersamaNya membuat saya terkagum-kagum atas prosesNya yang unik dan kreatif, namun sangat berhasil guna dan membuka kemungkinan baru yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Misalnya tercantum catatan ketika rasanya doa saya belum juga dijawab, ternyata jawaban itu hanya sedang ditundaNya, supaya Dia bisa memberi yang lebih baik dan lebih mendewasakan saya. Ia juga bekerja dalam diri orang-orang di sekitar saya, baik dalam diri orang-orang yang sulit, maupun orang-orang yang selalu menunjukkan kasih. Dia membentuk kami semua lewat pergumulan hidup bersama. Saya melihat perubahan indah dari sesama saya yang disentuhNya. Dan saya melihat perubahan diri saya sendiri juga. Lewat konflik dengan sesama, Tuhan mengingatkan saya, menegur saya. Lewat jawaban doa yang ditundaNya, Dia membentuk saya. Demikianlah catatan itu memungkinkan saya mengikuti proses pekerjaanNya yang penuh kerahiman dan cinta. Saya merenungkan, dengan pengetahuan dan kebijaksanaan saya yang begitu terbatas dan sempit, saya menyampaikan doa dan mengadukan keluhan saya padaNya. Namun karena Tuhan begitu Maha Tahu dan kebijaksanaanNya begitu luas, Ia menjawab doa saya dengan kekayaan kearifan yang tak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Sampai hari ini saya masih berproses dalam belajar mengenali jalan-jalanNya yang kaya dan bijaksana. Buku harian itu membuka mata saya sekali lagi akan kebesaran Tuhan, dan bagi saya, petualangan bersamaNya selalu seru, indah, mendatangkan sukacita, walau kadang penuh kejutan.

Satu ketika ada rasa malu dan sesal juga, ketika doa-doa yang sudah dijawab dengan indah oleh Tuhan, ternyata lupa tidak saya apresiasi dengan khusus sebagaimana seharusnya, karena saat doa itu dijawabNya, saya sudah tidak lagi memprioritaskan masalah itu lagi, atau karena saya terlalu sibuk dengan urusan-urusan saya sendiri. Demikian catatan harian itu mengingatkan saya agar tidak menjadi seperti sembilan orang kusta yang tidak lagi datang untuk berterima kasih kepada Tuhan Yesus setelah mengalami hadiah kesembuhan yang ajaib dariNya.

Memang bagi saya yang tergolong mudah lupa, jika berbagai peristiwa iman yang umumnya halus itu dibiarkan berlalu tanpa apresiasi, besar kemungkinan kesan itu akan tergerus kesibukan sehari-hari dan kemudian terlupakan. Saya merasakan bahwa iman yang bertumbuh dan akhirnya berbuah adalah iman yang terus dipupuk, di mana semua pengalaman jatuh bangun kita dalam beriman kepada Tuhan dikenali, ditandai, diingat, dievaluasi, dan dipelajari. Semua itu melahirkan rasa syukur atas belas kasih Allah yang multi dimensional dan pemeliharaanNya yang tiada henti. Rasa syukur yang dalam itu memungkinkan kita berbuah bagi Tuhan dan semakin terpacu untuk meninggalkan kedosaan kita, supaya kita senantiasa berada dalam perkenanan Tuhan dan selalu bersama-sama dengan Dia dalam segala sesuatu.

Lain waktu saya menemukan catatan mengenai betapa gembiranya hati saya saat sedang berada di tengah saudara seiman, untuk memuji namaNya yang kudus dan merenungkan karya-karyaNya yang agung. Saya menyadari kemudian bahwa rasa damai dan gembira itu sebenarnya adalah karunia Tuhan sendiri, yang merespon puji-pujian yang menyukakan hatiNya dengan melimpahkan sukacita dan damai sejahtera dalam hati saya dan teman-teman seiman.

Lagi yang membuat saya merasa kagum dan terharu, betapa Tuhan selalu menyediakan apa yang saya perlukan, bahkan sebelum saya sempat memintanya secara khusus, dan lebih jauh lagi, bahkan sebelum saya menyadari bahwa saya memerlukan hal itu. Ternyata Dia sudah menyediakan, yang amat baik, yang terbaik untuk saya. Sebaliknya, saya belajar bahwa kerinduan yang tidak atau mungkin belum dikabulkanNya, karena itu adalah kerinduan yang didorong oleh keinginan duniawi saya, dan bukan yang benar-benar saya perlukan untuk bertumbuh dalam iman dan kasih. Di situ saya belajar menyelaraskan permohonan doa saya dengan apa yang saya imani sebagai yang menyukakan hati Tuhan, yang sesuai dengan kehendakNya, dan bukan hanya keinginan saya. Ini adalah proses panjang yang tidak ringan, di mana kita memerlukan banyak doa dan bimbingan Sabda Tuhan untuk membentuk kita sedemikian sehingga keinginan-keinginan kita menjadi selaras dengan keinginan Tuhan sendiri. Doa bersama Bunda Maria yang selalu mendahulukan kehendak Allah sangat membantu dalam perjuangan ini.

Mencatat (atau khusus mengingat) pengalaman hidup di mana kita merasakan Tuhan hadir dan berkarya, membuat Tuhan bagaikan seorang sahabat yang nyata, yang selalu hadir menyertai kita, bukan lagi sosok yang jauh dan serba misteri. Ia adalah Tuhan yang hidup dan dekat, Ia bergembira bersama kita, bersedih bersama duka lara kita. Di akhir hari, saat saya mencatat pengalaman saya di hari itu bersamaNya, teringat oleh saya ayat dari Roma 12:2 ini, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Diary saya bersama Tuhan menolong saya mengalami karya-karyaNya yang nyata, menemani saya mengintrospeksi diri, terus belajar melakukan apa yang baik dan berkenan kepadaNya sebagai tanda cinta saya kepadaNya, dan mengalami cinta-Nya lebih dalam lagi. (Triastuti)

Prinsip paradoks dalam pergumulan roh vs daging



Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Mat 26 : 41)

Apa yang kita lakukan tentu dilatarbelakangi oleh apa yang kita inginkan dan kita sukai untuk dilakukan. Namun mengikuti Kristus seringkali bukan mengenai apa yang ingin kita lakukan, tetapi apa yang perlu dan harus untuk kita lakukan, supaya hidup dan iman kita dalam Dia, menghasilkan buah. Buah-buah roh, yang dikehendaki Tuhan untuk dihasilkan oleh ranting-ranting-Nya, yang senantiasa melekat sepenuhnya pada Sang Pokok. Buah-buah yang bisa dinikmati dengan sukacita oleh sesama kita karena kelezatannya, sehingga dapat turut membangun Kerajaan Kasih-Nya di dunia. Namun, sebagai manusia berdosa, kita mempunyai tantangan yang sangat besar yang dapat menghambat buah-buah roh itu berkembang dan matang. Kita mempunyai keinginan daging, yang selalu bertentangan dengan apa yang roh kita inginkan, supaya dapat menghasilkan buah-buah kasih sejati. Itulah sebabnya Tuhan selalu mengingatkan kita untuk melekat kepadaNya dengan kesetiaan iman, kasih yang tidak mementingkan diri sendiri, dan doa yang tak jemu-jemu, agar keinginan daging yang selalu berlawanan dengan keinginan roh itu dapat dikendalikan. Rasul Paulus menasehati, “Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki. Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat”. (Gal 5 :16-18).

Bagaimana saya mampu untuk bisa melakukan apa yang sesungguhnya benar-benar ingin saya lakukan? Sejak menjadi pengikut Kristus, saya bukan milik diri saya sendiri lagi, melainkan milik Kristus. Apa yang saya pikirkan, katakan, dan lakukan, tidak seharusnya sekedar dilatarbelakangi oleh apa yang saya inginkan, tetapi apa yang Kristus inginkan. Maka setiap kali, jika saya hanya mendasarkan perbuatan saya kepada alasan-alasan ego dan pemuasan diri sendiri, saya sedang bergumul dengan diri saya sendiri karena melakukan apa yang tidak saya kehendaki lagi di dalam Kristus. Kristus merindukan saya menjadi bebas, dan dengan gembira melakukan perbuatan-perbuatan yang memang menyukakan jiwa saya dengan sebenar-benarnya, dan perbuatan yang menyukakan jiwa secara sejati itu hanyalah perbuatan yang dilakukan oleh karena Dia, di dalam Dia, dan hanya bagi Dia, yang menciptakan kita seturut dengan citra-Nya dalam cinta yang kekal.

Dalam kehidupan sehari-hari bersama sesama, pergumulan itu makin terasa dan makin menantang untuk dijalani. Kita semua dipanggil untuk menjadi pemenang kasih yang memenangkan jiwa kita untuk melakukan hal-hal yang memang ingin jiwa kita lakukan. Yesus memberikan panduan yang sangat ampuh untuk memenangkan pergumulan itu. Walaupun tentu saja, sangat tidak mudah, kalau hanya mengandalkan kekuatan kita sendiri. Panduan itu adalah untuk melakukan tindakan yang bersifat paradoks. Paradoks adalah suatu situasi atau pernyataan yang tampak tidak mungkin atau sangat sulit untuk dimengerti karena mengandung dua karakteristik yang saling berlawanan. Tetapi karena sifat keinginan daging dan roh yang selalu saling berlawanan di dalam diri manusia, hanya dengan melakukan hal-hal yang kita rasakan berlawanan, maka pertentangan antara dua keinginan itu dapat dimenangkan, walaupun itu juga berarti bahwa kita melawan arus nilai-nilai yang berlaku umum bagi dunia ini. Yesus mengatakan demikian dalam Mat 5:38, ”Kamu telah mendengar firman: mata ganti mata dan gigi ganti gigi.” Tentu dalam kehidupan dunia, hal ini sangat logis dan adil; kita pun tentu sering memperjuangkan keadilan semacam ini dalam kehidupan sehari-hari, tetapi Yesus mengajak kita melakukan hal yang berlawanan dengan nilai umum itu, karena lebih jauh Yesus berkata, ”Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat 5 : 39-42;44). Di dalam pesan paradoks itu, ada sikap kerendahan hati yang luar biasa, di mana kerendahan hati adalah sikap yang sangat sulit untuk ditiru dan dimasuki oleh kuasa si Jahat, suatu sikap yang kemungkinan untuk dipalsukan dan dimanipulasi oleh Si Jahat adalah paling kecil dibandingkan sikap-sikap kasih lainnya yang seringkali didomplengi motivasi-motivasi dari sang kegelapan. Dengan kerendahan hati sedemikian, keinginan daging yang sering menjadi kendaraan si Jahat, tidak diakomodasi lagi, sehingga pelan tapi pasti keinginan daging itu mati.

Pesan paradoks dari Tuhan Yesus ini bagi dunia tentu aneh dan sangat sulit dimengerti, apalagi diterapkan. Seorang teman saya pernah berkata bahwa pesan itu nyaris mustahil untuk dilakukan. Baginya, pesan itu begitu radikal, dan tidak akan terjangkau oleh manusia kebanyakan. Tetapi hidup sebagai pengikut Kristus memang berarti melepaskan diri dari nilai-nilai dunia, karena sebagaimana Kristus bukan berasal dari dunia, demikian pula kita, murid-murid-Nya. Bersama rahmat-Nya yang selalu baru setiap pagi, dan yang selalu dapat diandalkan di dalam setiap situasi kehidupan dan pergumulan, kita semua diajak dan dipanggil untuk menjalani prinsip paradoks itu. Kita bisa berlatih sedikit demi sedikit dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari hal yang paling sederhana, hingga hal-hal yang besar, sambil terus memohon rahmat Tuhan. Dengan menyadari kelemahan dan ketidakmampuan manusiawi kita, kebergantungan kita kepada Tuhan justru menjadi semakin besar, dan dengan demikianlah Tuhan menjadi raja atas hidup kita, di mana kita membiarkan hidup kita dikendalikan sepenuhnya oleh Dia.

Kehidupan sehari-hari sarat dengan kesempatan dan pembelajaran untuk mempraktekkan prinsip paradoks itu. Kita semua pasti menjumpai kesempatan itu mulai dari hal-hal yang sederhana sampai yang sulit dan berat. Misalnya saya yang mempunyai sifat suka ngeyel, mencoba diam dan mendengarkan ketika mulut justru ingin terbuka untuk berargumen dengan anggota keluarga yang mengkritik saya dan memberi masukan pada saya. Masukan/kritikan itu kadang menyakitkan, karena saya merasa tidak melakukan hal yang dituduhkan, tetapi memilih diam ketika mulut saya ingin memprotes dan membela diri, memberi saya kesempatan untuk belajar kerendahan hati, dan merenungkan dalam semangat introspeksi, bahwa sangat mungkin apa yang dituduhkan itu benar, setidaknya dari cara saya menyatakan sesuatu, sikap tubuh saya membuat orang lain terganggu, walau kata-kata saya tidak bermaksud demikian. Kesempatan diam dan introspeksi dengan semangat kerendahan hati itu justru memurnikan motivasi dan sikap saya selama ini. Misalnya lagi, pada saat perasaan malas datang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang sederhana tetapi penting, saya memaksa diri justru bangkit dari tempat duduk dan melakukan pekerjaan sederhana yang dibutuhkan orang lain, melawan rasa malas itu dengan kata-kata “just do it” yang membantu saya bersikap paradoks dengan segala argumen pembenaran di dalam kepala saya untuk melanggengkan perasaan malas tadi. Pada saat saya merasa enggan untuk mengucapkan kata-kata positif kepada orang yang selalu menyudutkan saya atau yang sikapnya tidak menyenangkan, justru saya lawan dengan memberikan pujian tulus kepadanya. Pada saat di jalan raya, ada kendaraan yang menyelonong atau mengklakson saya untuk kesalahan yang tidak saya lakukan, saya justru menginjak rem memberi kesempatan padanya untuk mendahului saya dan menahan jari saya di tombol klakson, tepat di saat saya sebenarnya ingin membalas mengklakson untuk memberinya pelajaran. Ketika saya berbuat sesuatu yang mulia dan ingin sekali orang lain mengetahuinya dan memuji, saya mencoba menarik diri dan membiarkan orang lain tidak tahu. Dan masih banyak lagi ujian dan kesempatan itu datang, terutama dengan anggota keluarga dan orang-orang terdekat, dengan orang tua, anak-anak, dengan saudara, dengan pembantu dan sopir, dan dengan teman sekerja. Tuhan Yesus memanggil kita untuk melakukan hal yang berlawanan dengan nilai-nilai dunia, bertentangan dengan ego kita.

Sekalipun memang sering terasa berat, menyesakkan, dan masih terus jatuh bangun untuk melakukannya, pada saat kita patuh (atau setidaknya mencoba terus untuk patuh) dalam mengikuti ajakan Yesus itu, kita telah berhasil melakukan apa yang benar-benar jiwa kita ingin lakukan. Kerelaan untuk patuh itu sering memberikan bonus lain di mana motivasi kita dimurnikan, sehingga mental spiritual kita menjadi semakin kokoh dan kuat. Pada saat itu keinginan daging mati, dan keinginan roh diakomodasi, dan jika hal itu terus menerus bisa kita pertahankan, maka Tuhan dan sesama tinggal membawa keranjang buah untuk memetik buah-buah kasih kita yang lezat dan manis, menyukakan hati Tuhan, dan membuat kita selalu merasa damai di hadirat-Nya. Pada saat itu sesungguhnya hanya badan jasmani kita yang masih berada di dunia, tetapi jiwa dan hati kita sebenarnya sudah selalu bersama Dia di Surga, di satu-satunya tempat di mana Yesus ingin kita berada, karena di situ juga Dia berada (lih. Yoh 14:3). (Triastuti)

Hare gene masih ragu?



“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Mark 28 : 19-20)

Walau telah tiga tahun bersama Yesus, mengalami sendiri karya-karya-Nya yang penuh kuasa, mendengarkan pengajaran-pengajaran-Nya yang demikian dalam menyentuh nurani, menyaksikan deritaNya yang amat berat yang dijalani dengan penuh kerelaan dan kerendahan hati sampai wafat, sampai kemudian berpuncak pada melihat kubur-Nya yang kosong karena Ia bangkit dari mati dan kembali hadir di tengah-tengah mereka, ternyata tingkat kesadaran para pengikut-Nya masih belum seluruhnya sama, belum seluruhnya mampu memahami hingga merasuk dalam sukma, siapakah Yesus itu dan apa yang sebenarnya sedang Ia kerjakan di dalam dunia. Injil Matius mencatat dalam Mat 28:17, ketika melihat Dia mereka menyembahNya, tetapi beberapa orang ragu-ragu. Demikian juga Markus mencatat dalam Mark 16:14, sesaat sebelum Yesus naik ke surga, Yesus mencela ketidakpercayaan dan kedegilan hati mereka, karena mereka tidak percaya kepada orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan-Nya. Ya, wafat-Nya di kayu salib di depan mata mereka dan kebangkitanNya dari alam maut seakan merupakan peristiwa yang terlalu berat bagi akal budi mereka untuk dapat dicerna dan dipahami. Semua yang pernah Dia nyatakan kepada mereka sebelum sengsara dan wafatNya, sesungguhnya seluruhnya telah menjadi kenyataan. Puncaknya adalah kebangkitanNya, yang juga telah Dia ramalkan dengan tepat sebelumnya kepada mereka, bahkan hingga beberapa kali, baik secara kiasan maupun secara eksplisit. Namun demikian cepatnya rangkaian peristiwa ajaib itu terjadi di depan mata mereka, membingungkan pemahaman manusiawi mereka, yang membuat mereka lambat untuk mengerti.

Berbagai kondisi perasaan dan tingkat pemahaman spiritual para murid di saat Yesus mengucapkan kata-kata perpisahan dan pengutusan sebelum terangkat ke surga itu mengingatkan saya pada keadaan umat manusia yang menjadi murid-murid Kristus di jaman ini, termasuk saya. Segala bentuk keraguan akan karya penyelenggaraan Tuhan masih menghantui manusia, terutama dalam berbagai penderitaan hidup. Keraguan akan kasih dan kuasa Kristus yang nyata, membuat kadang kita lebih sibuk mempertanyakan Tuhan, berdebat tanpa ujung pangkal mengenai kebenaran Tuhan yang telah dinyatakan dengan jelas dan luar biasa kuatnya di dalam Kitab Suci. Apakah Tuhan masih kurang mencurahkan rahmat dan kuasa-Nya? Waktu kita habis untuk mempertanyakan di mana Tuhan. Tenaga, perhatian, serta cinta yang selayaknya dipersembahkan kepada Tuhan melalui penyembahan dan puji-pujian serta upaya nyata untuk meringankan penderitaan sesama, tersita untuk mencari jawaban yang kadang bahkan melalui media-media lain yang bukan dari Tuhan, untuk memuaskan rasa penasaran kita.

Tetapi, apakah waktu kita cukup? Jam-jam kehidupan kita terus melaju tanpa bisa direm dengan kekuatan apa pun juga. Tidakkah kita melihat bahwa panggilan Tuhan untuk berbuat nyata dan mewartakan kasih-Nya ke segala penjuru itu sudah sedemikian mendesak di tengah dunia yang penuh dengan kegelapan, ketidakpastian, dan penyesatan ini. Ancaman dari si jahat meraung-raung dari segala penjuru, datang dari televisi, musik, gaya hidup, tawaran konsumerisme dan hedonisme, kehausan yang berlebihan akan uang dan materi, kekuasaan, nama besar, dan segala yang serba enak-enak tetapi tidak mempunyai esensi apa-apa untuk kehidupan kekal. Siapa yang akan menjadi penahan lajunya kekuatan kegelapan itu di dalam dunia kalau bukan kita, anak-anak terang yang sudah dipilih dan diperlengkapiNya lewat rahmat pembaptisan dan kuasa Roh Kudus dan dicurahiNya kekuatan surgawi melalui sakramen-sakramen Gereja-Nya yang memberi hidup? Sudah selalu sadarkah kita bahwa kita adalah anak-anak yang diserahi tanggungjawab untuk melanjutkan pewartaan keselamatan yang telah diawaliNya dua ribu tahun yang lalu di dalam dunia ini dan di tengah-tengah manusia? Apakah kita akan terus merasa ragu-ragu dan bertanya tak henti-henti, berdebat mencari pemuasan ego pribadi dan pengakuan semu, sementara Tuhan sudah senantiasa mencurahkan berkat-Nya dalam hidup sehari hari dan menunggu kita untuk pergi ke seluruh dunia untuk mewartakan kasih-Nya? Keraguan kita yang tak henti dan pendewaan ego yang selalu merasa diri paling benar juga membahayakan persatuan anak-anak Tuhan, yang seharusnya justru saling bergandengan tangan dan bahu membahu untuk membangun Kerajaan Allah di dunia. Musuh kita yang sebenarnya adalah si jahat, yang ingin merebut kita dan dunia ini dari tangan kasih Allah, musuh kita bukanlah sesama kita, bukanlah sekedar orang-orang yang berseberangan dengan kita. Mungkin jika himbauan Tuhan ini dibahasakan dalam gaya gaul anak muda jaman sekarang, himbauan ini akan melahirkan komentar yang berbunyi seperti ini, “Hare gene masih ragu-ragu juga? Masih debat kusir juga? Apa kata surga? “, (dan bukan hanya “apa kata dunia”…!)

Kini Yesus telah kembali ke Surga, supaya Roh Kudus yang dijanjikanNya dapat datang dan menyertai setiap tugas perutusan yang Tuhan ingin kita lanjutkan sebagai anak-anakNya dalam satu baptisan kudus. Tuhan memerlukan kita, Tuhan mempercayai kita, dan ia masih terus menantikan kita bergabung dalam tugas perutusan mulia itu untuk melanjutkan dan menuntaskan karya-karya keselamatan yang dirancangNya, untuk pergi dan menjadi saksi atas kasih dan keselamatan yang menjadi harapan umat manusia bagi kehidupan yang kekal. Melalui seluruh karya kasih dan pekerjaan Kristus selama hidup-Nya di dunia, Ia telah mengaruniakan banyak hikmat dan pengajaran yang menjadi kekuatan dan perlengkapan kita dalam memikul tugas mewartakan kabar gembira, melayani sesama di dalam kasih tanpa pamrih, sehingga melalui seluruh cara hidup kita, kita boleh turut mewartakan kabar kebebasan yang dibawa Tuhan kepada para tawanan, baik itu tawanan oleh karena kemiskinan rohani, tawanan oleh perbudakan dosa dan kebiasaan buruk, tawanan oleh rasa kecil hati karena perlakuan sesama yang sewenang-wenang. Pendeknya, kabar sukacita Kristus menjadi amanat kita, anak-anak yang telah diselamatkan oleh iman dan kasih kita kepada Dia, untuk digemakan ke seluruh pelosok kehidupan, dalam setiap langkah kita di mana pun berada.

Kita memang masih terus berjuang dengan pergumulan kita sendiri melawan dosa, kita juga masih bergumul dengan kepahitan-kepahitan hidup kita sendiri, kepedihan-kepedihan kita, dan harapan-harapan kita yang belum terpenuhi. Tetapi semua itu bukan halangan untuk terus maju membaktikan diri bagi karya nyata demi Kerajaan Allah yang kita cintai. Mengapa? Karena justru iman dan kasih kita dapat ikut bertumbuh dan dimurnikan melalui tugas-tugas perutusan kita itu. Marilah kita melihat kembali apa yang dinyatakan Rasul Paulus dalam Efesus 4 : 11-16, “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari padaNyalah seluruh tubuh, yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.”

Tuhan sudah memanggil kita, menugaskan kita, memperlengkapi kita, apakah kita masih membiarkan Dia menunggu? Tidak ada yang lebih indah daripada sebuah kesadaran bahwa Tuhan Raja Semesta Alam membutuhkan komitmen kita, menunggu keterlibatan kita. Berarti Dia mempercayai kita, untuk turut memikul tugas mulia yang tidak diberikan kepada sembarang ciptaan, dan pasti Ia sudah selalu mempersiapkan kita untuk melakukan tugas kepercayaan itu (dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya, Mark 16 : 20b). Betapa bahagianya kita karena Tuhan mempercayakan tugas mulia kepada kita, inilah kesempatan emas yang selayaknya kita manfaatkan sebaik-baiknya dan sehabis-habisnya untuk membalas cinta-Nya kepada kita, dan berdoa kepadaNya dengan penuh sukacita sebagaimana para murid, “Tuhan, aku siap, inilah aku, pakailah aku seturut kemampuan dan keunikan yang Kau berikan padaku, untuk mewartakan kasih-Mu dalam segala bentuk ketaatan dan pelayananku bagi sesama dan bagi Engkau. Betapa bahagianya aku menjadi mitra-Mu untuk menyatakan keselamatan-Mu kepada dunia ini, bantulah aku untuk setia dengan komitmen ini, dan menantikan dengan rindu setiap pagi, karuniaMu yang selalu mencukupkan dan memampukan, agar aku boleh membawa sebanyak mungkin jiwa untuk juga turut mengalami betapa indahnya cinta-Mu dan betapa indahnya rencana-Mu bagi setiap manusia, supaya boleh selalu berada bersama dengan Engkau, dan bersatu dengan Engkau, di dalam dunia saat ini, dan selamanya di dalam Rumah-Mu yang kekal. Aku mencintaimu, Tuhan. Aku mau bekerja bagi-Mu, hari ini dan seterusnya, sampai akhir, saat kelak Engkau memanggilku pulang. Terpujilah nama-Mu selama-lamanya, amin. (Triastuti)

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Ef 2 : 10).

Inilah Ibumu



Saya termasuk orang yang takut terbang. Saya rasa cukup banyak juga orang yang mempunyai rasa takut yang sama dengan saya. Sudah menjadi kebiasaan saya, begitu masuk kabin, setelah menaruh bawaan di tempat yang tersedia, duduk di kursi pesawat, dan memasang sabuk pengaman, saya lalu segera tenggelam dalam keheningan batin, telapak tangan menggenggam rosario dengan erat, menutupinya dari pandangan pramugari yang lalu lalang di lorong kabin menyiapkan para penumpang untuk berangkat. Walaupun mata saya terbuka, melihat ke luar jendela, atau pura-pura menyimak pramugari di tengah lorong kabin yang sedang sibuk memperagakan petunjuk keselamatan (yang saya memang sudah hampir hafal), tapi hati saya tertuju kepada Bapa dan kepada Bunda Maria. Saya berdoa memohon perlindungan dan keselamatan selama penerbangan yang akan saya lalui. Saya berpikir, kalau sampai ada apa-apa, setidak-tidaknya saya dalam keadaan berdoa. Butir-butir rosario yang mengalir di antara jemari membantu doa saya tetap fokus di antara kesibukan dan keramaian di sekitar saya. Dan sepanjang penerbangan, bersama doa Bunda Maria yang saya kasihi, rasa takut saya menjadi sangat terkendali dan terkuasai dengan baik. Begitulah, bisa dibilang, perasaan saya di atas pesawat yang sedang terbang di udara dan perasaan pada saat terbaring tanpa daya di atas brankar yang sedang didorong ke meja operasi adalah perasaan yang hampir mirip, yaitu perasaan pasrah penuh kepada pemeliharaan kasih Bapa. Pada saat-saat semacam itu, saya diajak menyadari kembali bahwa manusia yang sering merasa dirinya serba hebat ternyata sebetulnya tidak mempunyai kuasa atas hidupnya sendiri.

Sebagai orang dewasa, tentu saya tidak bisa lagi berlindung di balik punggung ibu saya jika ketakutan dan kekhawatiran melanda, seperti layaknya seorang anak kecil yang mendapat ketenangan dan kekuatan dengan berlindung di balik badan sang ibu ketika dirinya merasa tidak nyaman. Namun di dalam medan kehidupan, masih ada banyak ketakutan dan kekhawatiran yang seringkali muncul dan sukar dibendung. Ketakutan akan masa depan, kekhawatiran akan sakit penyakit, kesedihan karena berbagai kesukaran hidup, kepahitan karena perbuatan sesama yang menyakitkan, dan masih banyak lagi. Pada saat-saat yang genting dalam hidup, cobaan yang dirasakan berat kadang membuat manusia bertanya di manakah Tuhan. Ada gelitik tanya yang menggoda sanubari, seolah-olah Tuhan menutup telingaNya terhadap jeritan permohonan manusia dan meninggalkan kita sendirian. Tetapi salah satu benda yang membuat saya kembali sadar bahwa Tuhan begitu mencintai saya dan tidak akan pernah meninggalkan saya adalah rosario saya, dan kenangan saya kepada Bunda Maria, kepada siapa Tuhan Yesus berkata dari atas kayu salib, “Inilah anakmu” dan kepada Yohanes, “Inilah Ibumu”. Dan saat itulah saya menemukan ibu Tuhan saya yaitu Bunda Maria, menjadi kekuatan dan perlindungan saya dalam keadaan sedih, genting, kesepian, dan ketakutan.

Semua yang Yesus katakan selama hidup-Nya di dunia mempunyai makna mendalam bagi kehidupan dan keselamatan umat manusia. Dan salah satu kata-kata terakhirNya di atas palang kesengsaraan yang tiada taranya itu sebelum Dia meninggal dunia adalah bukti otentik bahwa penyertaanNya kepada manusia, tidak akan pernah berhenti. Penyertaan yang dirancangNya bagi manusia yang dipercayakanNya kepada ibu-Nya adalah sungguh mengagumkan, karena figur ibu adalah figur pertama yang dikenal oleh manusia dalam hidupnya, figur yang melindungi, figur yang akan berbuat apa saja bagi keselamatan anak-anaknya. Bagi Yesus, menyerahkan ibuNya tentu merupakan suatu bentuk kasih yang amat dalam. Ia ingin agar kasih sayang seorang ibu yang sudah dialamiNya sendiri dari Bunda Maria sepanjang hidup-Nya sebagai manusia, juga dapat kita alami dan rasakan sepenuhnya, terutama di saat-saat paling genting dalam kehidupan manusia, sampai maut menjemput. Maka, doa Salam Maria di bagian akhir berbunyi, “…doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati”. Manusia lahir melalui seorang ibu, dan di dalam Yesus melalui bunda-Nya, saat manusia mati, ia berada dalam penjagaan doa ibu-Nya sendiri, yaitu Ibu Maria. Betapa dalamnya cinta Tuhan Yesus kepada manusia!

Seberapa dalamnya kita menghayati sepotong kalimat lirih yang Tuhan Yesus bisikkan di atas palang penderitaan itu, sebelum nafas terakhir-Nya? Kata-kataNya yang lembut penuh kedalaman cinta yang tak terbatas itu berbunyi, “Inilah ibumu”. Untuk selama-lamanya, kata-kata Yesus itu menjadi bukti hidup dan otentik bahwa Tuhan selalu memikirkan kita, selalu ingin hadir bagi kita, dan selalu ingin melindungi kita terutama di saat-saat genting dan sulit dalam hidup, saat-saat yang penuh ketidakpastian, saat manusia merasa Tuhan seperti tidak ada, saking gelapnya jalan yang sedang dilalui. Tetapi Tuhan selalu ingin kita sadar dan mengerti bahwa Ia selalu ada, dan menyertai kita dengan kasih yang tak terpahami. Di dalam perlindungan kasih dan doa seorang ibu, yaitu Ibu-Nya sendiri, yang mengandungNya selama sembilan bulan di dalam rahimnya, dan yang mengandung sabda dan kehendak Bapa dengan penuh ketaatan selama seumur hidupnya, Yesus ingin kita senantiasa merasakan ketenangan, kekuatan, dan ketegaran. Yesus ingin kita selalu merasa dicintai, dan jangan pernah takut lagi. “Inilah ibumu”, bisikNya dengan lembut, dan sejak saat itu, saya tahu bahwa sesungguhnya saya tidak perlu takut apa-apa lagi. (Triastuti).

Kesedihan cinta yang memberi hidup



“Tak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabat-Nya” (Yoh 15:13).

Di dunia ini pasti tidak ada orang yang tidak pernah bersedih. Bermacam-macam penyebabnya. Kadang kesedihan begitu mencengkeram jiwa sehingga manusia tidak lagi mempunyai harapan dan bahkan ingin hidup ini berakhir saja. Dari sekian banyak kesedihan, kesedihan karena cinta mungkin merupakan jenis kesedihan yang paling banyak dan paling dalam yang dialami oleh manusia, karena manusia senantiasa ingin dicintai dan ingin mencurahkan cinta. Cinta adalah denyut nadi kehidupan. Cinta adalah hakekat kehidupan, asal mula kehidupan yang ditiupkan Allah di bumi ini. Manusia ada karena cinta Allah yang menciptakannya. Dan manusia dapat kembali kepada Penciptanya juga karena cinta-Nya. Kesedihan karena cinta yang dialami manusia bukan hanya terjadi karena penolakan atau karena kurangnya cinta, tetapi juga karena merasa mengalami cinta yang begitu besar sehingga kerinduan dan perasaan dicintai itu membuat air mata keharuan mengalir deras, menyentuh jiwa yang terdalam, bahkan tidak jarang melahirkan transformasi dalam hidup manusia sehingga lahir karya-karya besar yang merupakan buah-buah mencintai dan dicintai.

Tujuh sabda Kristus yang terakhir di kayu salib menggambarkan betapa hati-Nya yang terluka dalam kesakitan badan dan jiwa yang tak terperi itu hanya dipenuhi oleh cinta dan cinta semata, baik kepada Bapa maupun kepada manusia. Dalam kesendirian yang begitu mencekam dan kehinaan yang paling dalam yang mungkin terjadi pada seorang manusia, hati Yesus begitu penuh dengan pengampunan dan kerinduan akan keselamatan jiwa-jiwa manusia yang dikasihiNya tanpa batas. Saat-saat merenungkan ketujuh sabda kudus itu, kemudian saat-saat pembacaan Passio (kisah sengsara Tuhan), dan saat-saat Konsekrasi di mana roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah-Nya yang nyata supaya bisa selalu bersama kita, adalah saat-saat yang sering menyentuh kerinduan cinta yang terdalam di hati saya. Betapa dalam Tuhan mencintai saya dan Anda. Pada saat-saat itu, seringkali air mata mengalir tanpa dapat dibendung. Kalau ada pepatah bahwa cinta itu buta, demikianlah saya merasakan bahwa Cinta Kristus kepada manusia itu ‘buta’. Karena Ia adalah sumber cinta dan Sang Cinta itu sendiri, maka cinta Yesus adalah cinta tulus yang selalu penuh pengertian, tidak menghakimi, penuh kesabaran, selalu mengampuni, selalu mengerti, selalu membebaskan, selalu menerima apa adanya. Maka betapapun kelamnya dosa dan kesalahan yang sudah dibuat manusia, betapapun gagalnya seorang manusia itu dianggap oleh dunia, betapapun rusaknya citra diri manusia itu di mata lingkungannya bahkan di mata diri manusia itu sendiri akibat dosa, Yesus hanya melihat tidak lain dari kebaikan, kemungkinan akan perubahan, dan harapan yang indah.

Karena cinta-Nya yang selalu mampu melihat kebaikan dan harapan itu, maka sekalipun di dalam diri seorang pendosa yang menurut kacamata manusia sudah tidak ada harapan lagi, termasuk diri saya sendiri, termasuk Zakeus (Luk 19 :1-10), termasuk Lewi si pemungut cukai (Luk 5 : 27-32), Yesus selalu hanya menawarkan pengampunan dan cinta, tak ada yang lain. Maka Maria Magdalena menangis dengan sedih di depan kubur Yesus yang kosong. Tak ada cinta yang begitu besar yang pernah diterimanya dari manusia di dalam hidupnya, seperti cinta Yesus kepadanya. Sebagai seorang pelacur yang harga dirinya sudah tidak ada, dianggap sampah masyarakat, dan nyaris dilempari batu saat kedapatan berzinah, ia mengalami bahwa Yesus yang kepadaNya ia dibawa, hanya mengatakan, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang“ (Yoh 8: 11b). Ia kembali mengalami cinta Yesus yang menyembuhkan, saat dilepaskan dari tujuh kekuatan jahat yang membelenggunya (Luk 8 : 2). Begitulah kekuatan dosa mengancurkan manusia. Ketika orang lain sudah menganggap seseorang tidak ada harganya lagi, sebegitu rupa bahkan sampai diri sendiri pun sudah tidak bisa lagi menghargai diri, Tuhan masih selalu bisa melihat secercah harapan dan kebaikan, kemungkinan kehidupan dan perubahan. Harga diri yang sudah hancur dipulihkan oleh cinta kasih pengampunan Kristus sehingga Maria Magdalena dan kita semua, menjadi manusia baru yang penuh semangat cinta, pertobatan, dan buah-buah kehidupan yang baru. Saya membayangkan betapa dalam kesedihan cinta seorang Maria Magdalena mendapati kubur Orang yang telah memberinya arti hidup yang baru itu kosong. Tetapi kesedihannya tidak lama, karena Yesus segera mendapatkannya lagi dengan suatu pesan yang dahsyat, bahwa kekuatan cinta tidak untuk dihalangi dengan apapun juga, termasuk maut.

Kesedihan cinta juga dialami oleh Petrus ketika ayam berkokok sesaat setelah penyangkalannya yang ketiga bahwa ia mengenal Yesus. Saya membayangkan bahwa sebelum Petrus berlalu dengan perasaan galau, tak berharga, sedih dan malu, mata hatinya bersitatap dengan pandangan mata Yesus, dan di sana, Petrus tidak menemukan sedikitpun pandangan mata menuduh, pun sedikitpun tiada pesan semacam, “Nah, kan… apa kubilang…”. Tidak sama sekali. Pandangan Tuhan kepada Petrus hanya pandangan cinta dengan satu pesan,”Aku tetap, dan akan selalu, mengasihimu”. Lalu Petrus pergi ke luar dan menangis dengan sedihnya (Luk 22 : 62). Hancurnya hati Petrus mungkin juga sering kita rasakan manakala kita membiarkan kekuatan ego dan dosa membuat kita seolah-olah menjadi orang yang tidak mengenal Allah karena perbuatan tanpa kasih yang kita lakukan.

Demikianlah pandangan cinta itu terus menerus Tuhan Yesus nyatakan kepada Petrus setelah Ia bangkit dan kemudian mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus, sang batu karang. Di dalam cinta-Nya selalu ada kemungkinan baru, harapan baru, buah-buah yang baru.

Kekuatan cinta membuat kemungkinan dan harapan tidak akan pernah mati. Maka Kristus tidak dapat dibendung oleh kematian. Kebangkitan-Nya dari alam maut menunjukkan kepada manusia bahwa segala yang baik tidak dapat mati, dan tidak akan pernah mati. Cinta sejati dari Sang Penebus kepada manusia terlalu kuat untuk dihalangi oleh kematian.

Kalau Tuhan saja demikian, apalagi kita manusia berdosa. Semoga demikian juga cinta kita kepada sesama dan kepada Tuhan, tidak boleh ada apapun juga yang boleh menghalanginya, termasuk ego dan kesombongan kita, penghakiman-penghakiman kita, kedegilan hati kita, kekerasan hati kita, untuk tetap melihat kebaikan dan harapan pada diri sendiri, pada diri sesama, pada dunia. Yesus Kristus Tuhan kita sudah membuktikan bahwa kematian sekalipun tak akan pernah memadamkan cinta dan kebaikan. Tak ada apapun yang dapat menahan kekuatan cinta Tuhan. Cinta itu pulalah yang menghancurkan dominasi dosa dan maut yang mencengkeram manusia di atas bumi ini.

Jika saya berada di masa dan tempat di mana Yesus diadili dan disalibkan pada waktu itu, apa yang akan saya rasakan? Apa yang akan saya perbuat? Jika saya hanya menangis dengan pedih seperti wanita-wanita Yerusalem yang menangisi Yesus di jalan sengsara-Nya menuju Kalvari dan hanya berhenti sampai di situ saja, maka kesedihan cinta saya tidak akan membuahkan sesuatu yang besar. Namun bila kesedihan cinta itu disertai dengan sikap membuka diri terhadap karya Allah untuk mengubah saya, mempercayai Dia sepenuhnya, dan bertobat dengan sungguh-sungguh mengakui dengan rendah hati dosa-dosa saya, maka saya siap dibentuk dan dijadikan baru. Cinta yang berbalas memunculkan hidup yang baru dan membuka banyak kemungkinan. Cinta Tuhan kepada manusia yang dibalas dan ditanggapi dengan cinta pengorbanan tulus manusia bagi Tuhan dan sesama, membuat cinta itu berbuah dan memberi hidup. Bunda Teresa dari Kalkuta mengatakan, “Jika engkau mencintai begitu rupa sampai engkau terluka, maka tak akan ada lagi luka, melainkan hanya ada lebih banyak lagi cinta”. Semoga kebangkitan Kristus karena cinta menghasilkan buah-buah kasih yang nyata yang mengubah hidup saya dan sesama, sekalipun harganya adalah pengorbanan dan penyangkalan diri. Harga yang indah yang telah dibayar lunas oleh darah Kristus yang mahal di atas kayu salib. (Triastuti)

Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Rm 8: 38-39).

Memikul salib = berpegangan pada salib



Saya meletakkan gagang telepon dengan kesal, setelah sebelumnya mengakhiri percakapan dengan ketus. Kemudian saya tercenung, sesaat terbayang perasaan wanita yang menawarkan produk kepada saya tadi, dan seketika perasaan menyesal pun datang. Ya ampun, gagal lagi deh saya, pikir saya dengan sendu. Teringat tadi ketika bangun tidur, saya mengatakan kepada Tuhan dalam doa pagi, “Tuhan, hari ini saya hendak menyapa semua orang dengan lemah lembut dan tidak menghakimi siapapun juga”. Saya begitu bersemangat ketika menyampaikan tekad itu. Pasti Tuhan gembira bahwa dalam Masa Prapaskah ini, saya mengusahakan satu niat baik yang berbeda setiap hari untuk diusahakan sekuat tenaga, sehingga masa pantang dan puasa menjelang Paskah ini sungguh merupakan kesempatan untuk bertransformasi, berubah menuju pembaharuan budi, menyalibkan kebiasaan-kebiasaanku yang buruk bersama Yesus di kayu salib, supaya aku boleh ikut mati bagi dosa dan hidup bersama dan bagi Yesus. Tetapi kini saya merasa kecil dan malu. Semangatnya boleh, pikir saya, tapi baru dapat tantangan sedikit saja, sudah keok.

Pagi itu saya sedang banyak pekerjaan. Saat sedang sibuk membagi konsentrasi dan berjibaku membagi tangan saya yang hanya dua untuk mengurus beberapa kepentingan sekaligus, telepon berbunyi, dari seorang customer service bank di mana saya menabung. Ia memberikan informasi terkini mengenai produk-produk perbankan dan mengajak saya bicara sedikit mengenai investasi keuangan. Telepon yang amat sangat tidak penting, pikir saya, di saat pekerjaan sedang begitu menumpuk, ditambah uraian penjelasan staf bank itu, yang terpaksa harus saya dengarkan. Kelembutan bicara saya segera menguap entah ke mana dan saya menjawab penawaran staf itu dengan ketus, tanpa senyum, tanpa kasih sedikitpun. Saya gagal menahan diri dan berusaha tetap bersikap ramah, berusaha meluangkan waktu sedikit saja bagi sesama. Dengan kekasaran sikap saya itu, dalam hati saya telah menghakimi wanita itu seolah sebagai seorang customer service yang tak tahu sopan santun, padahal sebetulnya saya tahu, dengan sedikit kasih saja, saya akan berhasil mengerti dia sebagai seseorang yang sekedar tengah melakukan pekerjaannya. Kasih dan pengertian sesungguhnya selalu mampu mematahkan segala bentuk penghakiman negatif kepada sesama. Saya malu dan sedih bahwa janji saya pada Tuhan di awal hari itu segera menjadi teori belaka, padahal waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi, hari masih panjang, menanti saya membuktikan tekad-tekad saya berikutnya kepada Tuhan.

Menurut catatan saya, kisah niat baik yang dalam sekejap sudah gagal, karena pencetus yang sederhana, masih bisa panjang daftarnya. Kita mungkin mengalaminya juga. Niat untuk tidak bergosip mengenai kelemahan orang lain, yang segera runtuh ketika teman-teman sekantor mengeluhkan sikap salah seorang teman yang menyebalkan. Seolah-olah sikap seseorang yang menyebalkan menghalalkan saya untuk membicarakan keburukannya di belakang punggungnya. Atau gagal menahan laju mobil saya untuk memberi kesempatan pada pengendara sepeda motor yang hendak menyeberang. Gagal meredam nada tinggi suara saya saat si kecil menumpahkan makanannya secara tidak sengaja di atas meja. Gagal bersikap rendah hati dan mau mengakui kesalahan ketika orang serumah menegur saya. Dan masih banyak lagi. Lebih sering saya menganggap orang lain yang perlu diperbaiki, daripada mengintrospeksi diri untuk mengakui bahwa diri saya sendirilah yang sesungguhnya perlu untuk berubah dan diperbaiki. Kemudian, apakah aku telah memperhatikan apakah sesama di sekitarku membutuhkan sapaan kasih dan uluran tanganku, kadang kudapati diriku sibuk dengan urusan diriku sendiri saja. Kemudian apakah aku mampu mengenali perasaan iri hati dan mengendalikannya manakala orang lain lebih berhasil, apakah aku sudah mengendalikan diri untuk tidak terlalu larut dalam kesenangan duniawi misalnya dalam hal berbelanja atau menyantap makanan. Memang semua itu hanya hal-hal kecil saja, tetapi dari hal-hal kecil saya belajar untuk berdisiplin juga dalam hal-hal yang besar. Ketika kita setia dalam perkara kecil, Tuhan akan mempercayakan perkara yang lebih besar kepada kita (Mat 25:23). Lagipula, Yesus memanggil kita untuk menjadi sempurna, sama seperti Bapa di sorga adalah sempurna (Mat 5:48).

Demikianlah yang selalu saya alami bila saya hanya mengandalkan kekuatan dan hikmat saya sendiri, menjadi begitu mudahnya saya gagal dan jatuh lagi. Tadinya saya begitu bersemangat, merasa diri saya begitu penting, begitu yakin, bahwa peperangan hari itu akan menjadi milik saya. Saya lupa, bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud meminta saya untuk seorang diri saja dalam melawan dosa, dengan segala kesombongan saya, kebijaksanaan saya yang sempit, dan perbuatan kasih saya yang masih sering berpamrih. Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. (Filipi 2 : 12-13)

Begitu saya bertumpu pada kekuatan diri sendiri, tak makan waktu lama untuk menyerah kalah pada dominasi ego dan bujukan si jahat yang sigap memanfaatkan kelengahan saya setiap saat. Tetapi bersama Firman-Nya, bersama hikmat kasih-Nya yang sabar dan lemah lembut, saya lebih mudah mengerti akan situasi yang tidak enak dan sesama yang sulit, bahagia mengendalikan diriku bersama Dia. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Mat 11 : 29-30).

Soal marah, memang ada kalanya saya juga harus marah bila situasi menuntut demikian, misalnya berhadapan dengan kemalasan atau ketidakadilan pada sesama, tetapi bersama Tuhan, saya marah dengan cara Tuhan, yang sangat jauh berbeda hasilnya bila saya marah dengan cara saya sendiri yang cenderung merusak dan melukai.

Minggu ini kita memperingati Tuhan Yesus yang lembut dan rendah hati, yang mengendarai seekor keledai memasuki kota Yerusalem, menyongsong dengan penuh kerelaan sengsara dan wafat-Nya di kayu salib, demi ketaatan-Nya kepada Bapa, demi cinta-Nya kepada kita. Tuhan sudah mati untuk saya, Ia telah menyerahkan segala-galanya supaya kita selamat dan bahagia, supaya kita belajar arti memikul salib dan menyangkal diri yang membawa kita kepada kemenangan dan kedamaian sejati. Semoga kita juga berusaha sekuat tenaga menyerahkan segala-galanya dalam kekuatan kasih-Nya, untuk memikul salib dan berubah oleh pembaharuan budi, supaya kurban Salib-Nya dan keselamatan yang telah disediakan-Nya bagi kita, mencapai tujuannya, menghasilkan buah-buah kehidupan, dan tidak sia-sia.

Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. (Yes 53 : 5) Ya, berpegang pada salib Yesus, dan hanya bersama Yesus, kita bisa ! (Triastuti)

Pilihan pengosongan diri



Supaya kita sungguh –sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan. (Galatia 5:1)

Manakah yang lebih enak, memiliki segala yang dibutuhkan dan bisa memperoleh semua yang diinginkan, atau mengalami keterbatasan dalam banyak hal sehingga merasakan pengalaman tidak mempunyai hal-hal yang didambakan dan tak berdaya mencegah kehilangan hal-hal yang dibutuhkan? Tentu saya kesulitan untuk menetapkan jawaban pada pilihan yang kedua. Bila pertanyaannya mana yang enak, pastilah saya memilih yang pertama. Tetapi dalam karunia Tuhan yang bernama hidup ini, ternyata ada hal-hal lain untuk diraih yang bukan hanya mengenai enak dan tidak enak. Dan hal-hal lain itu sebenarnya justru hal-hal yang paling penting di dalam kehidupan ini dan sesudahnya.

Di dalam masa puasa dan pantang seperti saat ini, ketika saya sedang menahan lapar dan membatasi berbagai keinginan hati saya untuk memuaskan kesenangan diri dan ego pribadi, saya digoda oleh beberapa pertanyaan yang mengusik. Misalnya, bukankah Tuhan sudah menciptakan berbagai kebaikan dalam makanan dan minuman, indra pencecap untuk menikmatinya, serta mengijinkan terbentuknya berbagai benda dan fasilitas yang indah untuk membuat hidup menjadi indah dan nikmat seperti yang Dia maksudkan bagi umat ciptaan-Nya? Mengapa harus menarik diri dari semua itu, apa manfaatnya?

Pada suatu hari saya membaca terjadinya peristiwa unik di sebuah desa di Spanyol yang bernama Sodeto. Di bulan Desember tahun lalu, seluruh penduduk desa itu memenangkan lotre dengan hadiah senilai hampir Rp 8,5 triliun, sehingga masing-masing penduduk mendapatkan Rp 1,1 miliar. Lotre memang sesuatu yang umum di banyak negara di Eropa, dan cukup populer di banyak kalangan di masyarakat. Di tengah sukacita seluruh desa, hanya satu orang yang bersedih, karena kebetulan saat itu ia tidak ikut membeli karcis lotre. Tetapi sukacita itu tidak berlangsung lama. Karena semua orang sudah kaya, maka tidak ada lagi yang mengusahakan tersedianya barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hendak ke toko membeli susu, pemilik toko menutup tokonya, merasa tidak perlu berjualan lagi karena sudah kaya. Hendak ke salon juga salonnya tutup semua. Keadaan serba berpunya dan merasa serba terpenuhi membuat saling melayani antar sesama tidak terjadi lagi.

Ketika Yesus Kristus Tuhan kita dengan sukarela menyerahkan segala kekuasaan yang ada pada diri-Nya sebagai Allah untuk mengalami ketidakberdayaan manusia ciptaan dalam berhadapan dengan dosa dan penderitaan, Tuhan mengajarkan kita untuk menggunakan kehendak bebas kita untuk tujuan yang tepat. Kalau mau, tentu Tuhan sangat leluasa untuk memilih jalan yang lebih mudah dan lebih enak untuk menebus dosa manusia. Tetapi justru keputusan-Nya secara bebas adalah untuk masuk dalam penderitaan manusia dengan segenap kehinaan dan pengosongan diri yang total. Tidak hanya sama dengan manusia, bahkan lebih rendah lagi, penuh nista dan kesengsaraan.

Memilih dengan bebas dan sadar untuk menahan diri terhadap segala kebiasaan yang berdosa dan membatasi untuk menyenangkan diri sendiri memberi saya kesempatan untuk mengenali diri sendiri. Pengekangan diri adalah awal dari benih-benih ketaatan kepada Sang Pencipta, karena kita dengan sukarela menyerahkan kesempatan untuk memanjakan diri menjadi sarana untuk memurnikan diri kita. Pada saat keadaan kita lapar, terbatas, dan tidak berpunya, hati kita diarahkan kepada kebutuhan kita yang sesungguhnya akan kasih setia Tuhan. Berbagai gelimang kesuksesan dan kemudahan hidup sering mengaburkan kerinduan jiwa kita yang sebenarnya untuk bersama dengan Tuhan. Kekayaan, kehormatan dan kecukupan hidup yang terlalu diagungkan dapat mengurangi kepekaan kita terhadap penderitaan sesama. Orang kaya dalam perumpamaan yang dikisahkan Yesus bukan dihukum karena kekayaannya, namun karena ia begitu tenggelam di dalamnya dan membiarkan kekayaannya itu membutakan mata hatinya terhadap penderitaan Lazarus yang terjadi di depan pintu rumahnya. Di saat berbagai keinginan dan ego diredam, kepekaan saya kepada keadaan sesama di sekitarku dipertajam. Merasakan penderitaan dan kekurangan adalah jalan masuk kepada kepedulian dan belas kasihan yang murni. Di dalam solidaritas saya kepada yang lemah, saya menjadi mudah bersyukur atas hal-hal yang kecil dan membuat saya lebih mudah untuk merasa bahagia. Dalam menahan diri untuk tidak menonjolkan diri, kerendahan hatiku diasah, dan kesombonganku ditundukkan, kehausanku akan pengakuan dan citra diri diubahkan menjadi kehausan akan cinta Tuhan. Akhirnya, sama ketika kita datang ke dalam hidup ini dengan tidak membawa apa-apa dan menyandang apa-apa kecuali kasih Tuhan yang menciptakan kita, kelak kita akan kembali kepada Tuhan dengan tidak membawa apa-apa pun juga kecuali bergantung sepenuhnya kepada kemurahan kasih dan kerahiman-Nya.

Tuhan membutuhkan kesediaan kita dan penyerahan kehendak bebas kita supaya rahmat-Nya dapat bekerja. Tuhan tidak pernah memaksa kita, tetapi kita tahu apa yang kita hadapi bila kita memilih untuk tidak bersama Tuhan. Bila kita belajar untuk taat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan, damai sejahtera dan sukacita akan menyelimuti kita, sukacita yang tidak sama dan tidak dapat diberikan oleh dunia ini, yang serba sementara dan menuju kepada kesudahannya. Masa Prapaska adalah masa penyadaran kembali tujuan hidup kita yang sebenarnya. Bersama Kristus yang dengan rela menyerahkan seluruh hidup-Nya supaya Ia dapat menyertai kita hingga selamat sampai ke rumah Bapa, marilah kita memilih dengan bebas untuk mengosongkan diri dan membiarkan diri kita dialiri sepenuhnya dengan kuasa kasih dan damai-Nya yang memberi hidup.

Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. (Yoh 14:3). Tuhan senantiasa rindu untuk bersama kita setiap saat, baik di dalam kehidupan sekarang di dunia ini, maupun (dan apalagi) di dalam kekekalan nanti. Kita hanya perlu mengatakan “ya” dengan taat dan memutuskan untuk memilih menggunakan kehendak bebas kita demi teladan cinta-Nya. (Triastuti)