Monday, March 4, 2013

Melayani dengan sukacita: merespon inisiatif kasih Allah



Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. (Ibr 10 : 24)

Pulang sekolah di siang yang panas itu, Metta setengah berlari masuk ke dalam rumah. Perutnya lapar sekali, ingin segera menikmati makanan kesukaannya sambil membayangkan mereguk jus strawberry segar yang selalu disiapkan ibunya untuknya. Tanpa membuka sepatu dan berganti baju, ia segera menuju meja makan dengan antusias. Tetapi segera Metta merasa kecewa, karena tidak seperti hari-hari biasa, meja makan siang itu kosong, tidak ada sesuatupun di atasnya, apalagi hidangan kesukaannya. Metta ngambek, tidak mau menerima penjelasan ibunya bahwa pagi tadi, mendadak ada permintaan tolong yang mendesak dari saudara ibunya yang sedang sakit, sampai-sampai sang ibu belum sempat menyiapkan makanan untuk gadis kecilnya. Akhirnya sang ibu berinisiatif menggandeng tangan Meta dengan lembut dan mengajaknya ke dapur. Ibu mengajak Metta ikut menyiapkan makan siang bersama, agar ia mengenal jerih payah di balik suatu kemudahan dan belajar untuk menghargainya. Ibu membimbing Metta untuk ikut mengiris keju, mengocok telur, dan memblender strawberry. Metta segera merasa keasyikan, ia pun melupakan segala kekesalan hatinya dan tersenyum gembira. Saat hidangan akhirnya siap, Metta pun dengan sukacita dan kepuasan tersendiri menyantap hidangan lezat itu bersama ibunya. Dan sejak itu ia mengerti bahwa segala sesuatu yang ia nikmati seringkali didahului oleh suatu proses dan pengorbanan.


Seperti Metta yang menganggap makanan kesukaannya harus selalu otomatis tersedia di meja saat jam makan tiba, saya pun kadang terlupa untuk mengingat bahwa di balik banyak hal yang bisa kita nikmati dengan mudah kapan pun kita inginkan dan butuhkan, ada orang-orang yang mengusahakannya dengan peluh dan usaha. Beras untuk saya makan ada yang menanam dan menuainya dengan memeras keringat, koran pagi untuk saya baca sambil sarapan ada yang mengetik dan menyusunnya sambil mengorbankan waktu tidur malamnya, dan contoh lain. Karena pekerjaan itu merupakan sebuah profesi, mereka mendapatkan imbalan dan apresiasi untuk karya-karya itu. Namun bagi para ibu sebagaimana ibu Metta, atau para pekerja sukarela bagi kemanusiaan misalnya, seringkali tidak ada imbalan apa-apa, bahkan diketahui oleh orang lain pun tidak. Hanya kasih yang tulus dari hati yang terdalam kepada Tuhan dan sesama yang menggerakkan semua itu, dan pada saat itu, sukacita dialami tanpa harus mendapatkan pengakuan dari orang lain, sukacita karena telah menanggapi panggilan untuk merespon kasih Tuhan, yang telah senantiasa dicurahkanNya kepada manusia tanpa syarat.


Dapat menikmati dan mengalami kasih karunia Tuhan dalam perayaan Ekaristi setiap Minggu dan persekutuan bersama umat seiman juga sebenarnya adalah suatu kemewahan, mengingat ada umat beriman di daerah konflik, di daerah terpencil, atau yang mengalami tekanan dari orang beragama lain, sehingga tidak selalu bisa menikmati karunia Allah yang begitu besar dalam sebuah perayaan Misa. Juga di negara perantauan di mana semuanya masih serba asing dan baru bagi saya dan suami. Kadang-kadang karena rahmat Tuhan Yesus yang amat istimewa ini berjalan rutin dan selalu siap tersedia setiap Minggu, saya tidak selalu ingat bahwa semua sukacita dan kemewahan untuk bisa bersama rekan seiman dan sebangsa di negeri asing ini tidak terjadi dengan sendirinya. Ada teman-teman yang bangun dan berangkat lebih pagi untuk menjadi lektor, misdinar, kolektan, atau eucharist ministry. Meluangkan waktu untuk menyiapkan bahan mengajar bina iman anak, atau dengan segenap hati membersihkan dan membuka-menutup pintu gereja. Ada petugas koor dan pemazmur yang menyisihkan waktunya untuk berlatih, dan di tengah berbagai penyelenggaraan acara kebersamaan, ada yang menyiapkan acara dan hidangan. Dan secara jangka panjang, tentu ada mereka yang bersama-sama pastor merelakan tenaga, talenta, waktu dan pikirannya, untuk mengurus segala keperluan administrasi, mengelola keuangan, mendokumentasikan aneka kegiatan, menjalin hubungan dengan komunitas lain, memperhatikan berbagai kebutuhan umat, menyusun dan mengedit warta antar umat, dan akhirnya, mengkoordinasi semua itu hingga bermuara pada pemenuhan kebutuhan umat Tuhan dan kemuliaan Tuhan dengan sebaik-baiknya. Luapan syukur yang mewujud dalam tindakan melayani tanpa pamrih karena mengalami Tuhan yang telah selalu dan lebih dulu memberikan segala yang terbaik kepada manusia yang dikasihiNya. Sebuah persembahan bagi Tuhan Allah Bapa di Surga, yang selalu aktif berinisiatif menyapa manusia melalui Yesus Kristus Putera-Nya, dan yang memanggil kita untuk berbagai-bagai pekerjaan baik.


Faith in action is love, and love in action is service. By transforming that faith into living acts love, we put ourselves in contact with God Himself, with Jesus our Lord.” – Mother Teresa


Tulisan ini dipersembahkan bagi yang terkasih teman-teman pengurus ICF beserta Pst. Nestor atas kasih dan pelayanannya yang tulus dan setia, sehingga Brisbane segera menjadi rumah kedua kami di dalam perjalanan iman kami kepada Tuhan sejak hari kedua kami menginjakkan kaki di kota ini. Semoga Tuhan Bapa di Surga memberkati dengan kepenuhan cinta-Nya, dan memimpin kita meneruskan kebersamaan dan persaudaraan sebagai keluarga besar dalam rahmat dan bimbingan-Nya. (Triastuti)

No comments:

Post a Comment