Friday, May 29, 2009

Selembar kertas kosong


Suatu hari....
aku diberi
sebuah kertas kosong .........
guruku bilang
tulislah di sana ...
apa yang kau ketahui tentang ....
kehidupan.


Aku termenung memandangi kertas putih itu
tak satu kata pun
berhasil kutuangkan ke atasnya
guruku bertanya
apakah kesulitanmu .....
aku bilang
terlalu banyak hal di dalam kehidupan
aku tak tahu
darimana aku harus memulai

Lalu ia berkata
tulislah tentang dirimu sendiri
itulah wujud yang paling indah
dan paling ajaib
dari kehidupan ....

Ketika aku lulus bersekolah
dan berpisah dengannya
aku larut dalam perjalananku
dan melupakannya

sampai suatu hari ...
aku kembali disodori kertas putih kosong
namun kali ini oleh seorang mahluk mungil
yang hadir dari tubuhku,
jiwanya yang polos bak kertas putih itu
meminta hal yang sama
supaya aku menuliskan ....
kehidupan,
dan bagaimana ia harus menjalaninya
aku tertegun .....
tiba-tiba teringat olehku bapa guruku dulu

dan menulislah aku di situ ....
anakku, aku akan memberimu
sepasang sayap
untuk terbang ....
merentas cakrawala
merengkuh hidup

namun ...belajarlah sendiri
dengan caramu,
dengan ikhtiarmu
bagaimana..engkau akan terbang
ke manapun jiwamu menginginkannya...

dan tulislah sendiri di sini ...
semua kegembiraan perjalananmu
dan bagaimana engkau mengisi hidupmu
dengan aspirasimu sendiri

kelak kertas ini akan menjadi saksi
bagaimana engkau
menuliskan makna dan sejarah ....
hidupmu sendiri

terbanglah sebebas awan
seluas cakrawala
sebentang langit
sejauh ufuk ....

hingga kautemukan ...
indahnya kehidupan
di dalam engkau....
menjalaninya ....
dengan cinta dan harapan

san donato, 29 mei 2009

Kerinduan itu


Sekalipun kami telah mencoba untuk membiasakan diri
hidup tanpa kehadirannya….
kami tahu bahwa hati kami tetap menantikannya….
di persimpangan jalan asa ….

Dalam setiap tikungan tikungan doa…
kami menitipkan sebentuk cinta
yang kehangatannya ....
belum sempat tersampaikan

Di antara berkas-berkas mentari senja…
menyelusup kehangatan di antara dedaunan
di antara segenap usaha….
yang tampaknya sia-sia…
menyelusup kehangatan cinta
tangan-tangan kecil
menggapai kerinduan ...
tuk pulang ….
memeluk keriangan tawamu


san donato, medio Mei 2009

If I'm going to be a mother



I would never know whether I’ll be a mother ..
It might happen to me, just like any other women
or not….
but even though I will never be a one
I know that I have treasures belong to me forever
memories that will last to eternity ....
they are my precious memories with my lovely mother

she ain’t an ordinary mother ...
not to me ...
although she might be for anybody else

we used to walk together ...
through life ....
she is the one who always stands beside me
although sometimes she doesn’t agree with me
For reasons I never fully comprehend
I have very often...
found myself to be on the other side from hers
because I was and still am
her opinionated and fussy daughter ...

But eventually,
I’ll find her setting aside her own ego
to walk beside me, through sick and pain
light and darkness, joy and sorrow
no matter how much it may cost her..

we have walked through
a long and windy road
when I chose to study
a subject she has warned me
I might not to succeed.....
but she endured my struggle
and gave encouragement
whenever she could
whenever possible...

my gratefulness, thankfulness
for your patience and understanding...
will always be beyond words...
only God knows
how I thank you
and owe you, Mother

I remember some simple...
yet truly enjoyable moments
when we spent a lot of time
doing our favorite things together
in a really mutual understanding..
it is going shopping.....!

But she has also taught me
to find my own resources
like many examples she achieves
by her own effort and initiatives
and many talents
she continues to develop..
to be able to sustain herself
and being fully independent,
in material and spiritual

and she is the one in the house
teach me not to be too easy to judge..
always look at the brighter side..
everybody must have within them

She has always been faithful, persevere
in a lifelong struggle with her illnesses...
although I know sometimes she wants to give up..
I really desire she will just be as strong....
as she used to show me
in all kinds of tearful experience in our family..

she also always make herself available..
to listen to my stories..
and give advise wherever needed
without missing a single chance..
to share with others in need..
a sincere help and care..
food, financial aid, information, talent,
or simply yet powerful prayers

I don’t know whether I’d be a mother.....
in the future..
it might happen to me
just like any other women
or not…

But one thing I’ll know for sure..
gifts of life I will always treasure
and to be fully grateful..
having you as my mother…

For a great mother God has sent me to give me joyful, cheerful, complete, and sustainable life who has just celebrated her birthday on Jan 8, 2008, Sri Esti Wuryani Djiwandono. I miss you through all paths of my life, Mother….but even though you are not always present to cheer me and be always with me again like our olden days…I know that your life and love are always in my heart and sustain me to be a blessing for others, an everlasting hope you wish all your children to be, just like your life to all of us.

with much prayer, love, and admiration,

your daughter,

uti

A birthday serenade for my daddy


Daddy,
Your loving concern and caring
flowing endlessly like a fountain of love
quenches my thirsty soul

your deep faith and commitment
overflowing my empty heart
like the morning air I rejoice to breathe

your every step is my living inspiration
your every thought and wish
lead me to the wonder of life wisdom

I cherished every moment you walked by my side
In the journey of life, not always shone with joy and delight
yet you keep telling me to hold Him tight

when the life did not grant me
all the things I need
you convinced me it’s worth to be patient

It was you
when I recognized myself
pursuing virtues of life to its very fullness

It was you
when I saw I reached others
with a helping hand

I have seen you
In all the good deeds you imparted in me
to surrender my vanity and selfishness
for the sake of others

You have been a strong and constant
wonderful and inspiring example
in all choices always available in life
you have to decide every step of your way

I have seen your gritty determination
when it comes to choose
to serve Him in ultimate loyalty

you decided to counter every temptation
every challenges and obstacles
offering the best for Him by all means

your flawless marriage
your dedication to your job and study
your church community serving
your effort to praise health through exercise
there are all where your heart will always be

Life is always about making choices
and you have always been making an honored one
you constantly choosing what best for Him
in a world full of changing

you mould me by walking the talk

You took me to understand the secret of life
The words and ways of eternal life
Yes, you are the one who brought me to His acquaintance
a treasure I’ll hold every moment of my life

your prayer, your faith and perseverance
they all showed me what is the beauty
of being with Him, in Him, because of Him

you taught me what it feels to be His
once I’ve experienced Him
wherever life would take me
I will be like the fresh of a spring
I will be like a budding tree
and a flower ready to blossom in its time

I praise Him with all my heart and soul
beyond words and hymn ever exist in the world
that He has granted me a beautiful Dad like you

And I thank Him unceasingly
that He has been blessing you a truly rich and meaningful life
no description would ever enough

That He makes you lovingly
to be one of His wonderful instruments
and fulfilling every divine plan He designs for you…
….till the very end

I wish you will always be in a full bloom of His creation, in every age of your life

Selamat Ulang Tahun ke-71 buat Bapakku tercinta Michael Soenardi Djiwandono

Kuala Lumpur, August 28, 2006
With love and pray,
Uti & Yoyok

Ayahku, guruku, panutanku


PROLOG : Misa Sabtu sore di gereja St . John Cathedral baru usai. Gelap baru saja tiba saat aku melangkah keluar dari pintu gereja, walau jam tanganku sudah menunjukkan waktu pukul 19.30 malam. Sebuah bintang terang menampakkan dirinya di antara bangunan tinggi, menghias langit Kuala Lumpur yang mulai kelam. Cahayanya cukup untuk mengalahkan sinar lampu kota yang mulai semarak. Bintang itu seakan tersenyum kepadaku. Aku memandanginya berlama-lama, teringat hari istimewa yang baru akan berlalu di rumah orangtuaku nun jauh di sana. Hari ini adalah hari ulangtahun ayahku yang ke-70, tapi ada satu hal yang membedakannya dengan hari-hari ultahnya yang lain, yaitu bahwa hari ini ayahku resmi memasuki masa pensiunnya , setelah 41 tahun mengabdi sebagai dosen bahasa Inggris di IKIP Malang. Lebih dari separuh usia ayahku dihabiskannya sebagai seorang pendidik. Ada rasa rasa bangga, syukur, kenangan, juga kesedihan bercampur aduk jadi satu dalam hatiku saat ini, menyertai keinginan untuk berada di rumah bersama orangtuaku untuk ikut merayakan peristiwa penting ini.

Seluruh masa kecil dan masa remajaku diwarnai oleh karya ayahku sebagai seorang dosen. Dulu kalau ayahku pulang dari bepergian jauh untuk tugas, misalnya ke luar negeri, kedatangannya selalu disambut gembira oleh kami bertiga. Karena ayah tak pernah lupa untuk membawa es krim yang lezat untuk anak-anak. Waktu itu aku mengira bahwa es krim adalah suatu jenis barang oleh-oleh yang didapatkan ayah bila sedang berada di luar negeri. Aku tidak tahu bahwa ayah selalu membelinya di toko Avia di jl. Basuki Rahmat dalam perjalanan pulang ke rumah, setelah dijemput Pak Sunar, supir yang diberikan kantor untuk melayani ayah. Es krim adalah oleh-oleh yang hebat buatku, walau tak pernah merupakan satu-satunya hadiah. Kakakku laki-laki pernah mendapat sepur-sepuran dari Jepang, kakakku perempuan dan aku pernah mendapat baju bagus berwarna merah bata dari Kuala Lumpur. Model dan warnanya persis sama, (mungkin supaya kami berdua tidak bertengkar karena berebutan), sehingga kami memakainya bersama dan berfoto. Baju itu terasa gatal di kulit, tapi modelnya manis dan karena dari luar negeri, aku bangga memakainya.

Memasuki jenjang2 awal di sekolah dasar, tiba-tiba mobil Fiat abu-abu kebanggaan kami sekeluarga menghilang bersama dengan pak Sunar-nya yang lucu dan selalu berpeci itu sekalian. Bersamanya menghilang juga semua kenangan manis perjalanan kami ke rumah nenek di Jogja dan ke pantai Pasir Putih kesukaan kami. Ibuku bilang bahwa mulai saat itu ayah menempuh studi doktor, dan tidak ada mobil lagi, yang diberikan kepadanya karena jabatannya sebagai Pembantu Rektor saat itu. Ayahku lalu membeli sepeda motor baru sebagai moda transportasinya. Aku berpikir ayahku sedang belajar sambil terus bekerja. Tapi selebihnya tidak terlalu kupikirkan karena mulai saat itu kami merasakan keasyikan baru bermalam minggu naik turun bemo yang berisik untuk makan malam di luar sekeluarga.
Lalu bila hari Minggu tiba, ada 4 buah sepeda beriringan menyusuri jalan Ijen. Ayah ibuku berboncengan di depan, disusul kakak laki-lakiku di depan, kakak perempuan dan aku dengan sepeda mini. Kami mengeluh kalau tiba saatnya harus membersihkan sepeda. Kakakku perempuan mengomel karena kakinya jadi besar gara-gara harus mengayuh sepeda setiap hari ke sekolah. Itulah sebabnya saat giliranku tiba untuk naik sepeda ke sekolah, aku memilih berjalan kaki. Keputusan yang tidak banyak membantu karena ternyata kaki besar adalah bawaan dari ibu kami dan bukan persoalan mengayuh sepeda atau tidak.

Kulihat ayahku berhenti berkata-kata, ia tampak tercekat, dan melanjutkan kalimatnya dengan bergetar. Ayahku menangis, pikirku. Hari itu ayahku telah berhasil menyelesaikan studi doktornya dengan baik dan sangat memuaskan. Aku tidak tahu persis mengapa ayahku menangis. Aku hanya berdiri dengan kaku di samping kedua kakakku, yang juga tampak kaku seperti kawat, serta ibuku yang cantik memakai sanggul dan kebaya. Kami sibuk menerima ucapan selamat dari orang-orang di jurusan bahasa Inggris yang mengantri untuk bergantian menyalami kami. Diam-diam aku merasa bangga juga, walau tidak tahu persis apa yang telah dicapai ayahku. Namun aku tahu Ayah telah mencapai sesuatu yang amat penting dan bernilai, sehingga orang banyak datang dan menyalaminya. Aku mengerti Ayah telah berhasil mencapai sesuatu yang berharga yang telah dicapainya dengan kerja keras.
Sejak hari itu, bila hari Natal tiba dan kartu-kartu natal berdatangan, aku melihat gelar Dr. di depan nama ayahku di amplop kartu. Ayahku tampak bangga melihatnya, demikian juga aku. Perlahan-lahan keadaan ekonomi orangtuaku menjadi lebih baik lagi sehingga ayah bisa membeli sebuah minicab baru. Walau mobil kecil itu tidak lincah tapi hari-hari ceria kami di Pasir Putih kembali lagi bersamanya.

Hari-hari terus berlalu, aku mulai mendapat gambaran yang jelas dan indah tentang profesi ayahku. Entah karena pengaruh lingkungan keluarga atau yang lain, kelas 4 sekolah dasar aku mulai suka main guru-guruan. Bila libur sekolah tiba, aku asyik mengatur bangku-bangku kecil di depan sebuah papan tulis kecil yang dibelikan ayahku untuk kami belajar. Aku mengajak seorang teman bermainku dan seorang anak tetangga untuk duduk tenang di sana dan menjadi muridku. Aku sibuk menyiapkan bahan pengajaran dari buku lamaku dan memberikan mereka latihan di papan tulis untuk dikerjakan di buku mereka. Setelah beberapa waktu aku membuat rapor untuk mereka berdua dan mengumumkan siapa juara kelasnya. Hadiah yang kusiapkan berupa botol-botol kosong bekas kosmetik milik ibuku. Aku merasa sangat senang dan puas saat itu.

Kami mempunyai kamar belajar yang saling berdampingan dengan kamar kerja orangtuaku. Di tengah kesibukan ayahku belajar dan bekerja, ia masih menyempatkan diri untuk memeriksa ulangan harianku di sekolah serta sesekali memberiku latihan untuk membaca sebuah teks bahasa inggris. Bila hari penerimaan rapor tiba dan aku muncul menjadi juara kelas serta kebetulan ikut ayahku ke ruang kerjanya di kantor, ia akan memberitahu staf di kantornya bahwa aku juara kelas. Mereka menyalamiku sambil memujiku. Tentu saja aku gembira.
Saat di bangku SMP, ketika aku berjalan kaki bersama teman menuju sekolah, kadang mobil ayahku melintas- saat itu mobil ayah sudah sedan Ford Laser yang keren, karena jabatannya yang sudah semakin tinggi di kantor- di tengah perjalananku. Maka aku pun segera meloncat masuk ke dalam mobilnya dan pulang bersamanya. Lalu saat makan di luar sekeluarga di malam minggu, aku dan kedua kakakku sering berkelakar untuk mencari restoran yang ada mahasiswanya ayah, karena kemungkinan besar kami akan makan gratis.

Aku juga senang mendengar cerita ayah bahwa ia termasuk seorang dosen yang sangat disegani karena cara mengajarnya yang ’killer’. Julukan itu diberikan oleh para mahasiswa yang tidak siap untuk mengikuti kelasnya karena tidak mempersiapkan diri. Pertanyaan dan umpan dari ayahku tentu saja tidak bisa dikembalikan dengan baik oleh mereka yang tidak siap. Cara mengajar dan memberi tes ayahku pun sangat efisien sehingga ia tidak pernah terlambat menyerahkan nilai murid-muridnya pada waktunya.
Kurasa sikap ayah yang fair dan demokratis juga terbawa dalam mendidik anak-anaknya. Sikap demokratisnya lah yang mendorong aku untuk meninggalkan rumah dan melanjutkan sekolah di luar kota sekalipun kemampuanku dan jurusan yang kuambil masih mengandung banyak kontroversi. Ayah mendorongku untuk mengikuti keinginan hati dan mengambil keputusan yang berani. Aku ingat aku sering kesal pada dosen-dosen di kampusku yang seringkali sangat lama memberikan hasil ujian akhir, bahkan hingga pendaftaran semester baru sudah dimulai. Keterlambatan itu justru sering dilakukan oleh para profesor yang dikenal dengan istilah ‘dewa’ oleh mahasiswa. Aku ingat ayahku yang saat itu juga sudah seorang professor, dan aku bangga karena aku tahu bahwa kedisiplinannya tidak akan pernah mempersulit mahasiswa seperti yang aku alami di almamaterku.

Saat yang paling menyenangkan ketika aku sedang kuliah adalah ketika ayahku kebetulan ada rapat di kota tempatku belajar. Itu adalah kesempatan untuk bersama-sama dengan ayah yang kurindukan, sekalipun hanya beberapa hari saja. Itu juga berarti mandi air panas,tidur di tempat tidur empuk berpendingin ruangan, dan sarapan pagi. Semua kemewahan yang tentu saja tidak aku temui di tempat kost. Aku berdiskusi dengan ayah di hotel dan pernah menyelesaikan tugas kuliahku di kamar tempat ayah menginap. Aku sedih kalau sudah tiba saatnya ayah pulang. Aku melepasnya pergi di depan tempat kostku dan melihat taksi yang membawa ayahku menghilang di tikungan jalan.
Namun kesedihan yang cukup mengesan adalah saat akhirnya aku diwisuda dan ayah harus berada di luar gedung wisuda bersama kakak perempuanku. Tempat itu juga disediakan bagi puluhan orangtua mahasiswa lainnya yang anak-anaknya menyelesaikan masa studi lebih dari 5 tahun. Entah apa yang dipikirkan ayahku saat itu, aku tidak berani bertanya kepadanya. Bagaimanapun, masa2 kuliahku memberiku pelajaran hidup yang tak ternilai.

Setelah aku bekerja dan menikah, aku tinggal di ibu kota bersama suamiku. Akhirnya aku menjadi guru seperti cita-cita masa kecilku. Aku senang sekali karena ayah masih sering datang karena tugas-tugasnya sebagai ketua proyek penelitian mengharuskannya untuk datang ke ibu kota. Kami akan jalan-jalan bertiga ke pertokoan, mencari sesuatu untuk ibu, dan berburu makanan enak di restoran sekitar tempat tinggal kami. Bila sore tiba dan ayah sudah luang, aku suka bersepeda berdua dengannya mengelilingi telaga yang indah yang terletak di area perumahan tempat tinggalku. Kenangan masa kecil seolah kembali bersama kicauan burung sore, diiringi riak-riak air telaga yang berkilauan ditimpa cahaya matahari senja.
Aku bangga dan senang karena ayahku masih sangat sehat dan gesit di usianya yang mulai senja, serta masih terus dipercaya untuk menangani berbagai hal di kantornya. Aku yakin departemen tempat ayah bekerja sangat beruntung dengan adanya ayah di sana. Seringkali aku pun bertanya tentang masalah yang kujumpai dengan murid-muridku. Cara ayah mengajar dan membuat ujian juga menjadi inspirasi buatku saat mengajar.

Kebanggaanku pada ayah kembali memenuhi hatiku saat ayah diundang oleh sekolah tempatku mengajar untuk memberi ceramah tentang tes, bidang keahlian ayahku. Aku senang bila seluruh dunia dapat melihat siapa ayahku. Seorang pekerja keras yang kompeten di bidangnya, seorang yang penuh dedikasi dan disegani oleh koleganya, tidak berkompromi dengan hambatan baik dari dirinya maupun dari luar, dan tentu saja seorang inspirator bagi anak-anaknya, yang selalu muncul dengan ide-ide orisinil untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan.

EPILOG : Aku melangkah menuju jalan raya di depan gereja. Bintang terang yang tadi bersinar di atas kepalaku kini turut mengiringi langkahku pulang. Semua perjalanan karir yang panjang yang ditandai oleh prestasi dan dedikasi ayahku telah usai secara resmi hari ini. Apa yang sudah dijalani dan dicapai oleh ayahku di depan mataku sepanjang hidupku adalah seperti bintang terang yang kini sedang mengikutiku pulang. Ia jauh dan tidak tergapai, tetapi sinarnya menempuh jarak dan waktu menembus keabadian hidup. Kapanpun aku membutuhkan sinarnya untuk menerangi kegelapan jalanku, ia akan selalu di sana untuk memanduku menemukan tujuan akhir perjalananku.

THE GIFT : (diambil dari berbagai sumber)

Ayahku pernah bercerita awal karirnya sebagai guru dulu. Karena tidak punya uang, ia harus bersekolah guru dengan ikatan dinas. Ketika tiba saatnya ia diberitahu dimana ia harus bertugas, ayah membanting surat penugasannya. Di sana tercantum sebuah kota kecil di Kalimantan yang bahkan tidak tertera di peta. Kini, aku tahu bahwa ayah telah menuntaskan jalan yang diberikan Tuhan kepadanya dengan sangat baik. Memang tak ada yang kebetulan bagi anak-anak Tuhan yang dikasihiNya. Tuhan membimbing langkah ayahku sedemikian ajaib dan indah hingga kini kami semua dapat menikmati sebuah lukisan Tuhan yang sangat indah yang telah paripurna dengan ayah sebagai kuasNya. Seperti seorang hamba yang melaporkan apa yang telah dibuatnya dengan talenta yang sudah diberikan oleh tuannya, aku tahu bahwa Sang Tuan kelak akan berkata kepada ayahku “Masuklah dalam kerajaanKu hai hambaKu yang setia, karena engkau sudah mengembangkan talenta yang sudah Kuberikan kepadamu hingga berbuah berkali-kali lipat. Kini nikmatilah kebahagiaan bersama Ku”

Beranjak tua dan pensiun mungkin merupakan tugas tersulit yang harus dihadapi dalam hidup ini. Tetapi sebenarnya ia hanyalah satu lagi langkah peralihan hidup. Ketika kita lahir, kita beralih dari hidup dalam kandungan ke hidup dalam keluarga. Ketika kita masuk sekolah, kita beralih dari hidup dalam keluarga ke hidup dalam komunitas yang lebih besar. Ketika kita menikah, kita beralih dari dari hidup dengan banyak pilihan ke hidup yang terikat ke satu pribadi. Ketika kita pensiun, kita beralih dari hidup dengan pekerjaan yang jelas menuju hidup yang menuntut kreativitas dan kebijaksanaan. Itulah seabnya ada sebuah perumpamaan yang mengatakan “beranjak menjadi tua bukanlah tugas untuk para pengecut” .

Bagi anak-anak Tuhan, ada satu hal yang takkan pernah menjadi tua dan usai, yaitu kasih Tuhan. Dia mengatakan kepada kita : “ Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu .” (Yesaya 46:4)
Selamat menikmati masa pensiun, ayahku tercinta. Semoga engkau akan terus berbuah di dalam Tuhan dan menikmati damai sejahtera dalam karya-karyamu yang masih terus menanti curahan bakat dan kemampuanmu. Semoga Tuhan selalu melengkapimu dengan kesehatan, kegembiraan, kebijaksanaan dan iman.

“Mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah kita . Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar“ (Mazmur 92 : 14-15)

Kuala Lumpur, 29 Agustus 2005
“Buat ayahku tercinta Michael Soenardi Djiwandono
di hari pensiun dan ultahnya yang ke-70 , 27 Agustus 2005”
Yang selalu bangga dan selalu mengasihimu, Uti

Ayahku, kadoku


Saat hari ulang tahun ayahku….
adalah saat aku mengingat ……………..
akan sebuah kado ….berbungkus warna-warni, berpita emas.
Isinya penuh dengan mutiara
dan permata ratna mutu manikam.
Kotaknya gemerlapan……pitanya berkilauan
kualitasnya istimewa.

Aku mendapatkannya di depan mataku……….
sesaat setelah aku lahir ke dunia ini.
Kado itu kubawa ke mana pun aku pergi……kujaga dengan hati-hati…
dan dengan segenap cinta…

Tahun demi tahun yang berlalu,
tidak membuatnya jadi kusam, ..ataupun lapuk.
Ia tahan segala cuaca, selalu awet,… bahkan semakin bersinar ……………
sampai-sampai cahaya sinarnya itu berpendar ke sekelilingnya.
Karena kado itu selalu bersamaku, …dan selalu menemani tiap langkahku………..
maka aku dapat melihat dan membukanya
kapan pun aku mau ……….atau perlu.

Saat hari ulang tahun ayahku ………….
adalah saat aku mengucapkan syukur tidak terhingga….
kepada Tuhan Maha kasih ….
yang telah memberikan kado istimewa itu kepadaku.
Begitu istimewanya, ………begitu berartinya bagi hidupku..…
Hingga rasanya seribu ucapan terima kasihku padaNya….
tak akan pernah cukup.

Saat hari ulang tahun ayahku tiba,
hari ini….dengan hati-hati…… kukeluarkan ia …………dari tempat penyimpananku.
Oh lihatlah….betapa indah cahayanya, sedikitpun ia tak menjadi usang
justru semakin indah, makin terang, …….hingga menyilaukanku.

Ingatanku melayang …
Berkilas pada perjalanan hidupku bersama kado itu….
Dulu saat aku lahir, kertas pembungkusnya masih polos,
dan isinya masih agak kosong……pitanya sederhana.
Saat itulah aku mengenal ….Ayahku.

Seiring waktu berjalan, kado itu mulai terisi………oleh mutiara.
Mutiara pengorbanan dan kasih sayang ayahku……..membesarkan diriku.
Ketika aku mulai dapat berbicara, membaca dan menulis
ayahku mulai mengajarkan…ilmu pengetahuan dan kebaikan hidup….
saat itulah…pita pembungkusnya berubah menjadi emas

Hari-hari selanjutnya…
yang kujalani bersama ayahku…membuat kado itu makin berisi.
Cinta kasih dan perhatian ayahku kepadaku……
mengisi kado itu dengan butiran-butiran permatanya yang pertama.
Cerita-cerita dan kelucuan ayahku…
membuat pembungkusnya memunculkan semburat warna-warni.

Masa-masa ayahku meluangkan setiap waktunya yang sibuk…
untuk bermain bersamaku…dan bercerita tentang masa kecilnya yang jenaka
menambah isi kado itu dengan permata lainnya…. dan mutiara berharga,….
sehingga akhirnya……..kado itu mulai mengeluarkan cahaya.

Cahaya kado itu semakin terang…..bersamaan dengan kerja keras ayahku
untuk berusaha mendapatkan karir yang terbaik bagi keluarga.
Bersamaan dengan kasih ayahku kepada ibuku…..
yang selalu diusahakannya tetap berkilau……hingga aku belajar untuk mencinta.
Bersamaan dengan semua keteladanan dan keteguhan prinsip ayahku
dalam pekerjaannya…. serta semua perhatian dan kepeduliannya kepada sesamanya….
Akhirnya nilai kado itu telah tak terkirakan lagi.

Akhirnya aku pun memasuki masa dewasa
Kado itu membuat aku dapat memasuki masa ini….
penuh dengan rasa aman dan bahagia…..yang kualami bersama dalam keluarga.
Rasa aman dan bahagia itu……………
memberiku segenap rasa percaya diri ……….
hingga aku jadi manusia dewasa seutuhnya.
Aku utuh dan sempurna…….bersama kado itu dalam pelukanku.

Aku ingat…saat kado itu benar-benar bersinar
warna-warninya sempurna….. pitanya berkilau
saat ayahku memberiku kebebasan
untuk memilih jurusan pendidikan yang kusukai….. sejak ku masih kecil…
dan membebaskanku ….memilih pasangan hidupku.
Ayahku membebaskanku….untuk memilih cara hidupku..
sambil terus mengawasi dan memberikan nasehatnya…..bila kupinta

Kado itu adalah perjalanan hidupku bersama ayahku.
Ia adalah bukti nyata dari kasih Tuhan kepadaku.
Kapanpun aku memerlukan kekuatan dan inspirasi,…….
atau penerang dalam kegelapan hidupku…..dan hiburan dalam dukaku…
aku akan mengambil dan membuka kado itu kembali…..dan aku…
akan menjadi kuat dan tegak lagi berdiri.
Ayahku, kadoku…. adalah harta milikku yang terindah……tak ada apapun juga……
dapat mengambilnya dari padaku.

Buat ayahku Michael Soenardi Djiwandono,
di hari ulang tahunnya yang ke 69.
Aku tak kan pernah menjadi seperti ini
bila bukan engkau yang menjadi ayahku.

Serpong, 27 Agusutus 2004

With love and pray, Uti

Yang terindah dari Ibuku


entah sudah berapa banyak waktumu…..
tersita untuk menolong dan membesarkan aku

Hingga aku jadi tumbuh dan kuat seperti sekarang

entah sudah berapa banyak tenagamu…..
tercurah untuk menjaga dan merawatiku

Hingga aku jadi utuh sempurna sebagaimana kini

entah sudah berapa malam tidurmu tak jenak….
karena menjagaku di waktu sakit

Hingga aku jadi sehat jiwa dan raga sampai kini

entah sudah berapa banyak kesabaranmu….
habis untuk menghadapi kenakalan dan perlawananku
Hingga kini aku jadi dewasa dengan belajar bertoleran dan menahan diri

entah sudah berapa dalam pikiranmu tercurah….
karena memikirkan semua tantangan hidup yang mesti kulalui
Hingga aku jadi merasa didukung dan dipahami

entah sudah berapa kalimat dan nasehatmu….
terucap keluar untuk membuatku mengerti hidup
Hingga kini aku jadi sahabat kehidupan


entah sudah berapa tetes air matamu mengalir di pipi….
menghadapi kesulitan dalam membesarkanku
Hingga kini aku belajar menjadi manusia berpengertian


entah sudah berapa bait doamu terucap….
untuk menyerahkan aku ke dalam pemeliharaan Tuhan
Hingga kini aku merasakan sukacita akan kasih Tuhan sepanjang waktu

IBU, Pengorbananmu tak terhitung…Pengertianmu tak terukur…
Bagiku anakmu….hingga aku jadi manusia seutuhnya…

Mungkin orang akan berkata…
Memang sudah sedemikianlah tugas seorang Ibu terhadap anaknya..
Tapi bila tidak dengan cinta dan kerelaan Ibu melakukannya..
Maka tidak akan banyaklah artinya bagiku


Terimakasih Ibu, atas semua cintamu......yang sangat berarti bagiku..
Akan selalu kukenang dan kusyukuri…di dalam hatiku.

Serpong, 8 Januari 2004
Untuk Ibuku tercinta Sri Esti Wuryani Djiwandono yang berulangtahun ke-62
Semoga Tuhan selalu melimpahkan segala berkat yang Ibu perlukan sehingga Ibu selalu merasakan damai sejahtera dan sukacita dalam Dia. Amin.

How we remember you


kupersembahkan untuk Bapak Ibuku yang terkasih,
“How We Remember You”

Pada hari yang bahagia ini, tepatnya pada hari ulang tahun perkawinan B-I yang ke-37 tahun, 14 Mei 2003, kami berdua ingin sejenak meluangkan waktu untuk mensyukuri rahmat karunia Tuhan, terutama karena DIA telah menyelenggarakan sebuah perkawinan yang indah dari B-I berdua.

Khususnya kami merasa bahagia dan bersyukur karena melalui perkawinan indah itu, kami jadi punya orangtua yang begitu istimewa dan penuh kasih seperti B-I. Dengan segala kelebihan dan kekurangan B-I, kami merasa bahwa B-I adalah orangtua yang paling komplit sedunia. Komplit dalam hal ini kami maksud adalah B-I telah membuat kami menjadi manusia yang seutuhnya. B-I memberikan semua kebutuhan kami, mulai dari yang ragawi sampai yang rohani, tanpa lalai seharipun dan tanpa pamrih sedikitpun.

B –I mengayomi, melindungi, memberi teladan, merawat, memperdulikan, memberi kesempatan, mengarahkan, membiarkan supaya mengerti sendiri (good way of lesson, by the way), mengingatkan, memberi kebebasan, menghargai, dan akhirnya..melepaskan.

Kami mengagumi semua itu dan seringkali tak tahu lagi bagaimana harus berterima kasih. Kiranya tepat pepatah yang mengatakan “…….butuh tinta sebanyak lautan,…..butuh kanvas seluas langit….untuk melukiskan cinta dan pengorbanan kalian, Bapak dan Ibu, kepada kami anak-anakmu……” (satu hal yang Uti ingat dari sekian banyak kasih dan pengertian B-I…waktu kuliah di Bandung, walau kuliahnya nggak bener, hasilnya jelek, dan bikin was-was,…belum pernah satu bulan pun selama 8 tahun Uti di Bandung, Ibu terlambat mengirim uang. Not a single month. Selalu tiba sebelum atau pas tanggal 25). Your love is so real like the sun rises in the east.

Entah seberapa jauh B-I sudah melihat atau merasakan, tetapi mungkin tidak pernah menduga betapa cinta dan teladan B-I telah menginspirasi kami begitu rupa, baik dalam berkarya, bergaul, berrelasi sebagai suami istri, bersosialisasi dengan orang lain dari segala latar dan kepribadian, dan juga kami ingin memelihara inspirasi itu sampai kami punya anak-anak sendiri kelak, kalau Tuhan menghendaki.

Karena sulit untuk menggambarkan betapa B-I menginspirasi kami, dan selalu memenuhi hati dan jiwa kami, kami akan kutipkan sebait syair dari lagu Michael Franks, untuk mewakili perasaan kami, yang berjudul “How I Remember You” . Lagu itu nampaknya dibuat untuk seorang kekasih. Tepat juga dalam hal ini, karena B-I adalah kekasih hati kami berdua, yang cintanya tak mengenal musim, selalu manis tuk dikenang sepanjang waktu :

A chorus of sparrows in summer…...is how we remember you
A fire of maple in autumn…..is how we remember you
The silence of snowfall in winter…….is how we remember you

HAPPY 37th ANNIVERSARY, BAPAK IBU TERCINTA
May you two always have an everlasting love…………

To our wonderful parents with love and pray, Yoyok & Uti

Wednesday, May 27, 2009

Happy Ascension Day


Perpisahan umumnya tidak mengenakkan, terutama perpisahan dengan orang yang dekat. Perpisahan dengan orang yang kita sayangi dan telah banyak memberikan arti dalam hidup kita. Sampai ada kalimat populer yang sering kita dengar, ‘bukan perpisahan yang kusesali, melainkan perjumpaan’. Karena perjumpaan yang telah menghangatkan dan menggembirakan hati, pada saatnya akan melahirkan kesedihan, yaitu saat orang yang telah membawa semua kegembiraan itu pergi dari kehidupan kita. Kalau bukan karena pindah kerja atau domisili, ya karena kematian.

Beberapa kali berpindah domisili dan negara, membuat saya sendiri merasa kenyang mengalami perpisahan dengan teman dan sahabat yang begitu baik dan menyentuh hati. Sering mengalami tidak membuat saya lantas menjadi ahli menghadapinya. Perpisahan dengan orang yang kita sayangi selalu terasa berat dan menyakitkan, kapan pun, dan di manapun. Untunglah teknologi komunikasi sudah semakin maju. Memelihara kontak secara cepat dengan sahabat yang tidak lagi bisa dijumpai secara fisik, selain lewat telepon dan email, sekarang ada facebook. Sarana komunikasi baru yang cukup fenomenal dalam sejarah peradaban manusia. Di situ, kabar kehidupan pribadi dan sehari-hari teman-teman kita, baik yang lama maupun yang baru, dapat dengan mudah kita akses kapan saja. Sekalipun begitu, sarana komunikasi yang ada tidak pernah dapat menggantikan nilai dan bobot perjumpaan secara fisik.

Bagaimanapun, saya berusaha belajar untuk membangkitkan kehangatan dan getaran rasa lewat perjumpaan fisik melalui sarana komunikasi yang ada. Itulah jalan saya untuk tetap dapat mengalami selalu kegembiraan dan arti perjumpaan yang telah pernah saya alami bersama orang yang terkasih tersebut. Atau bila perpisahan terjadi karena kematian, maka kenangan dan memori akan menjadi sarana untuk membuat kebersamaan dengan orang yang kita sayangi itu tetap hidup.

Hari ini dalam perayaan Yesus naik ke Surga, para murid akhirnya harus berpisah dengan Yesus. Setelah tiga tahun mengalami perjumpaan yang luar biasa dengan seorang yang kasih dan karismanya juga luar biasa mengubah hidup mereka, para rasul harus menyaksikan Sang Guru yang terkasih terangkat ke awan diiringi malaikat-malaikat surga.

Kini mereka didampingi oleh Roh Kudus yang akan melengkapi dan menyertai tugas pewartaan kasih itu ke berbagai penjuru angin. Saya membayangkan betapa gamang, sedih dan rindu para murid kepada Yesus. Tetapi seperti juga hasil dari sebuah perjumpaan, para rasul telah menjadi tidak sama lagi dengan saat mereka pertama kali berjumpa dengan Dia di pinggir danau. Kenangan akan pengajaran, pengorbanan, kasih, dan kehadiranNya di tengah mereka telah terpatri dalam sanubari dan mengubah hidup mereka secara total. Kini mereka melanjutkan hidup dengan segenap keyakinan dan tekad untuk mewartakan apa yang telah mereka saksikan dan telah membuat hidup mereka menjadi baru.

Saya merasa bahwa kata-kata yang diungkapkan oleh kedua malaikat setelah Yesus berangkat ke surga memberi mereka kepastian, bahwa perjuangan mereka tidak akan sia-sia, tetapi selalu penuh pengharapan. “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit ? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga” Dan berangkatlah mereka memenuhi panggilan perutusan yang diberikan Yesus. Mereka memberikan hidupnya untuk Tuhan dengan sukacita yang penuh, walau tantangan dan penderitaan menanti di depan.

Semoga perjumpaan saya dengan Yesus dan teladan kasihNya juga mengubah saya menjadi manusia yang baru yang selalu rindu untuk mewartakan kasih dan damaiNya kepada dunia. Bukan perpisahan yang kusesali, melainkan perjumpaan. Tetapi perjumpaan yang membuat kita sedih kalau berpisah, adalah perjumpaan berkat, perjumpaan syukur. Perjumpaan cinta. Maka sebenarnya penyesalan yang sesungguhnya terjadi, bila perjumpaan itu tidak mengubah apa-apa dari kita untuk menjadi lebih baik. Atau bila perjumpaan itu tidak membuat kita menjadi insan yang lebih mengasihi dan lebih dewasa.

San donato, 20 Mei 2009

Wednesday, May 20, 2009

Selamat hari raya Kabar Sukacita


Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil (Lukas 1 : 37)

Keponakan saya yang bernama Jojo, di usianya yang ke-empat dengan logat bicara yang masih cadel, sering mengatakan kalimat / frasa yang dia sendiri tidak tahu artinya, yaitu “ndak matuk akal” (tidak masuk akal). Mungkin karena ia sering mendengar ayahnya (alias kakak saya) mengatakan hal yang sama, maka ia gemar sekali mengucapkannya.

Anak-anak memang suka meniru. Apapun pembicaraan yang kebetulan didengar oleh Jojo, akan ditanggapinya dengan kalimat favoritnya itu. Kadang ia akan mengatakannya dengan mimik serius, seolah dia mengerti apa yang sedang dia katakan. Namun kadang dia mengucapkannya sambil berlari ke halaman dengan senyum yang lebar menggoda, membuat saya menjadi gemas, ingin menangkapnya untuk mengacak-acak rambutnya yang halus dan mencubit pipinya yang membal seperti kue bapau. Saya sendiri tidak tahu mengapa kakak saya sering mengatakan kata-kata itu sehingga Jojo menirukannya atau mengapa kata-kata itu yang paling menarik untuk Jojo sehingga menjadi frasa favoritnya. Biasanya saya tidak mampu berbuat lain selain tertawa tergeli-geli sampai lupa sendiri pada apa yang hendak saya katakan.

Saya tidak sering berada di dekat keponakan saya tersayang itu karena saya selalu merantau. Jauh di dalam hati saya selalu merasa rindu kepada Jojo dan ingin terus mengikuti perkembangannya. Seringkali bila saya mengalami situasi yang menjengkelkan atau berhadapan dg orang yang sulit, secara iseng saya bilang saja dalam hati ‘ndak matuk akal ini” dg logat Jojo, untuk menghilangkan kekesalan dan menghibur diri sendiri. Sering kekesalan saya jadi berkurang membayangkan wajah Jojo mengatakan kalimat favoritnya itu. Hati saya menjadi lebih tenang dan kepala menjadi lebih dingin. Kalimat itu sendiri pada saat saya mengingatnya tidak ada artinya tetapi kepolosan dan keceriaan Jojo serta kerinduan saya kepadanya membuat kata-kata itu seperti obat mujarab untuk mengusir keresahan.

Pagi ini di gereja, kepolosan dan ketidak mengertian Jojo sekali lagi menghiasi hati saya saat mendengarkan bacaan Injil mengenai kabar sukacita yang dibawa oleh Malaikat Gabriel kepada Bunda Maria. Kabar itu berisikan pemberitahuan bahwa Bunda akan mengandung seorang Putera dari Roh Kudus. Bunda belum bersuami saat itu. Saya membayangkan betapa bingung dan tidak paham nya Bunda saat mencoba mencerna pemberitahuan ini dengan akal budinya. Betapa mungkin secara manusiawi, Bunda akan berkata kepada malaikat Gabriel bahwa semua yang dikatakan kepadanya itu ‘tidak masuk akal’.

Saya sesekali berdiskusi dengan saudara seiman mengenai Allah, mengenai Tuhan, mengenai Kitab Suci, mengenai rencana Tuhan bagi manusia, dan kata-kata ‘tidak masuk akal’ sering mendominasi perdebatan dan diskusi kami. Mungkin terlalu banyak mengandalkan logika dan pikiran manusia yang terbatas membuat diskusi kami seringkali mentok dan buntu. Saya yakin bila Bunda Maria hanya mengandalkan logika manusianya maka beliau hanya akan berkutat pada ‘tidak masuk akal” dan rencana agung penebusan tidak bisa dilanjutkan. Tetapi apakah akal itu ? darimana akal itu berasal ? Seperti Jojo yang tidak paham apa artinya ‘tidak masuk akal’, berkutat dengan akal tidak membawa kita kemana-mana, mungkin hanya jalan di tempat saja.

Tetapi saya merasa bahwa Bunda berani melangkah lebih jauh daripada sekedar berhenti pada akal. Bunda menyadari ada yang jauh lebih tinggi nilai dan fungsinya daripada akal. Bunda memutuskan untuk berjalan selangkah lebih jauh dengan kacamata iman. Dan saya merasa bahwa di atas segalanya, Bunda Maria yang tetap tidak mengerti keseluruhan rencana Allah, menyediakan diri untuk menjadi mitra Allah untuk bekerja sama dengan Sang Pencipta yang Bunda imani dan kasihi, untuk membuat dunia dan kehidupan menjadi tempat yang lebih baik bagi manusia dan semua mahluk ciptaan.

Selamat memperingati hari raya kabar sukacita 25 Maret, yaitu kabar malaikat Gabriel kepada Bunda Maria bahwa Allah menjadi manusia, untuk bersama-sama dengan kita dan menjadi sama seperti kita kecuali dalam hal dosa.

San donato, 25 maret 2009

Hari Rabuku tanpa abu


Hari ini untuk pertama kalinya adalah Rabu Abu tanpa abu bagiku. Pagi-pagi aku dan suamiku bangun untuk bisa merayakan misa Rabu Abu di gereja Santa Barbara di dekat rumah. Seperti hari-hari yang lain, misa hari ini dihadiri tidak lebih dari duapuluhan umat. Setelah Homili dan bahkan Komuni selesai, semakin jelas bagi kami bahwa di gereja di Milan tempat kami bermukim ini tidak ada pembagian salib abu di hari Rabu Abu. Aku dan suamiku berpisah di halaman gereja karena ia harus ke kantor dan aku sendiri melangkah pelan kembali ke arah rumah kami.


Cuaca menjelang berakhirnya musim dingin menuju datangnya musim semi di hari-hari ini sangat cerah. Matahari tidak pernah lupa untuk mampir di langit yang biru menghamburkan cahayanya yang hangat dan ceria. Sambil menikmati pemandangan sekitar yang dipenuhi pepohonan yang belum mulai berdaun kembali, aku setengah melamun masih memikirkan absen-nya abu di perayaan misa yang baru saja kuhadiri.


Walaupun tidak ada abu, hari-hari di Milan saat musim dingin yang hampir berlalu ini begitu akrab dengan warna abu-abu. Tidak hanya pepohonan yang tidak berdaun dan hanya menampilkan batang dan rantingnya yang berwarna kelabu, tetapi juga pakaian musim dingin orang-orang dimanapun aku berjumpa selalu bernuansa abu-abu atau hitam dan coklat tua. Belum lagi sering absen-nya matahari karena selalu tertutup awan tebal atau hujan salju yang renyai. Mungkin orang di sini sudah kenyang dengan warna abu di musim dingin sehingga tidak merasa perlu adanya abu di hari Rabu Abu, pikirku mencoba bercanda dengan diri sendiri.


Teringat saat pelajaran menggambar di sekolah dulu, aku bisa mendapatkan warna kelabu dengan mencampurkan warna putih dengan warna hitam. Semakin banyak warna hitam yang aku campurkan, semakin gelap warna kelabu yang dihasilkan.


Pergulatan batin manusia juga selalu ditarik ke dua arah putih dan hitam, negatif dan positif, mudah dan sulit, sukacita dan dukacita, dingin dan ramah, optimis dan pesimis, rajin dan malas, pelit dan murah hati. Walau tentang baik dan buruk kadang tidak selalu bisa diambil batas yang jelas. Banyak hal berada di wilayah abu-abu. Mungkin karena kita tidak pernah sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih tetapi selalunya komposisi dari keduanya.


Dalam masa masa berpantang dan berpuasa ini warna abu mengingatkanku untuk mengatur keseimbangan komposisi hitam dan putih yang menjadi pilihan-pilihanku setiap hari. Warna-warna hitam kegelisahan, iri hati, kemalasan, kesombongan, kehilangan harapan, diimbangi dengan warna-warna putih cerah dari kemurahan hati, belaskasihan, solidaritas, harapan, kasih pengampunan dan pengorbanan.


Pergulatanku setiap hari untuk memadukan dua warna yang berbeda ini akan menghasilkan komposisi warna yang akhirnya akan mewarnai seluruh hari-hariku dan relasiku dengan sesama dan Tuhan. Semuanya kembali kepada diriku. Kadang memilih untuk mencampurkan lebih banyak warna putih sangat berat dan ‘makan hati’ , tetapi aku teringat kepada perumpamaan yang diberikan Yesus kepada para murid, “Demikian pula hal Kerajaan Surga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, ia pun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu”.


Bagaimanapun beratnya, keputusanku dan kesadaranku untuk mencampurkan lebih banyak warna putih setiap hari mengantarkanku kepada harta mutiara yang terindah yang tersembunyi yang hanya bisa ditemukan dalam warna abu-abu muda yang tidak terlalu banyak warna hitamnya.


San donato, 25 Februari 2009

Takut


(terimakasih untuk sahabatku Lita dan kakakku Santi yang telah menginspirasiku untuk menuliskan ini..)

Kalau dipikir-pikir dan dirasa-rasa lagi dengan jernih, ternyata manusia boleh dikata selalu hidup dalam ketakutan. Dari sekian banyak emosi natural manusia yang sifatnya netral yaitu sedih, marah, kecewa, takut (cemas), maka rasa takut yang tampaknya paling sering mendominasi perasaan manusia.

Takut mati, takut tua, takut sakit, takut bencana alam, takut kehilangan orang yang dicintai, takut nggak lulus ujian, takut kehilangan atau nggak dapat pekerjaan, takut terpeleset saat jalan di atas jalanan bersalju atau kamar mandi yang licin, takut dikhianati pacar, takut terbang, takut keracunan, takut bangkrut /usahanya gagal, takut nggak dapat pasangan hidup, takut nggak punya anak dan kesepian di hari tua, dan masih panjang lagi daftar ketakutan itu kalau dilanjutkan. Jika kita membaca surat kabar atau melihat TV, entah berapa kali kata takut itu akan kita jumpai.

Kalau rasa takut itu berusaha dijauhi, adanya hanya menipu diri. Karena rasa takut itu tetap ada dan tidak bisa diingkari. Paling hanya mengalihkan sebentar perhatian kepada rasa takut sesudah itu ia muncul lagi dan harus kita hadapi kembali. Yesus juga mengalami rasa takut yang sangat saat berdoa di Taman Getsemani. Rasa takutNya sebagai manusia karena mengetahui akan menghadapi suatu penderitaan yang besar. KeputusanNya untuk tetap maju menyongsong salib menunjukkan bahwa ada celaka-celaka dan derita-derita yang tidak untuk dihindari walaupun rasa takut itu pada mulanya adalah untuk menghindarkan manusia dari celaka / derita.

Teori mengatakan bahwa rasa takut adalah bagian dari karunia alam sebagai mekanisme pertahanan diri dan sarana survival untuk bertahan hidup. Kenyataannya rasa takut itu sendiri sering begitu melumpuhkan sampai rasanya kita tidak berani bergerak apapun dan kemanapun dan menjadi sangat pasif untuk menghindari resiko yang kita takutkan itu terjadi. Jika demikian reaksi kita, maka hilanglah fungsi rasa takut itu sebagai alat untuk survive. Sebaliknya, ia membuat kita mati sebelum waktunya, menjadi renta tiba-tiba padahal umur baru kepala tiga dan badan merasa sakit dan tak berdaya sebelum sakit sungguhan.

Berarti rasa takut yang sifatnya netral dan karunia alam itu harus disikapi sedemikian supaya fungsinya sebagai alat pertahanan diri dan survival bisa terus berjalan dan justru kita mendapat manfaat dan gaya dorong untuk hidup dan berkembang dari rasa takut yang disikapi dengan sepatutnya.

Rasa takut yang sewajarnya membuat kita berhati-hati dan penuh perhitungan yang akan menyelamatkan kita dari bahaya. Jika kita tidak mempunyai rasa takut, kita akan cenderung lengah dan tidak menyadari adanya bahaya sehingga memudahkan kita mengalami celaka. Tanpa rasa takut, saya akan berjalan dengan langkah-langkah lebar dan cepat di atas jalanan yang licin sehingga saya bisa terpeleset dan jatuh. Rasa takut adalah sarana untuk menyelamatkan, yang sepatutnya menjadi sahabat kita dan tidak perlu dijauhi. Seperti halnya rasa takut akan Tuhan, hal itu bukanlah suatu sikap untuk dicemooh dan dianggap usang. Takut kepada Yang Membuat Hidup akan membuat kita tidak semena-mena jadi manusia karena sadar ada Yang Lebih Besar daripada kita.

Bagaimana mengolah rasa takut sehingga ia menjadi konstruktif dan membuat kita selamat dan tetap semangat menjalani hidup?

Pada saat saya merasa takut dan merasa lumpuh karena dikuasai olehnya, saya biasanya akan datang kepada Tuhan dan berdoa. Setelah berdoa, rasa takut saya itu biasanya tidak hilang, tetap saja takut, tetapi biasanya timbul suatu cara baru untuk melihat dan menyikapinya. Saya sadar bahwa saya tidak punya kendali atas apapun juga, bahkan atas tubuh saya sendiri, sebaik-baiknya saya menjaganya. Semua hal bisa terjadi di luar harapan saya dengan sewaktu-waktu dan saya hanya akan menontonnya terjadi dengan penuh ketakutan dan kecemasan.

Tetapi melalui doa dan berjumpa dengan Tuhan di dalam keheningan, sambil mengingat kembali kata-kata Yesus yang selalu bergema di hati kita, “Jangan takut, karena Aku telah mengalahkan dunia”, maka saya mengumpulkan kekuatan untuk mulai mengendalikan rasa takut yang tetap ada itu.

Yang membuat saya memutuskan untuk bangkit dari ketakutan itu, karena saya menyadari bahwa Tuhan tahu bahaya-bahaya apa yang mengintai anak-anakNya dan karena Ia tahu, maka Ia memegang kendali sepenuhnya atas semua bahaya itu. Saya akan tetap takut untuk hal-hal dan kemungkinan- kemungkinan menyeramkan yang terjadi di luar kendali saya. Tetapi Tuhan sudah berkata jangan takut dan itu berarti Ia sudah memegang kendali atas segala hal sehingga saya akan melanjutkan hidup saya dengan tenang dan menghadapi rasa takut saya sebagai teman untuk membuat saya selalu bersikap rendah hati, waspada, dan memperhitungkan segala sesuatu secara sehat.

Dan seandainya terjadi juga apa yang saya takutkan, maka penderitaan Yesus dan para martir kudus mengingatkan saya bahwa ada penderitaan penderitaan yang tidak harus dihindari.


San Donato, Jan 14 2009

Sepatu kerendahan hati

Terjadilah padaku menurut perkataanMu (Lukas 1 : 38)

Kata-kata yang diucapkan Bunda Maria dalam menanggapi kabar yang kudus Malaikat Gabriel untuk mengandung Putera Allah bagi keselamatan manusia, lahir dari kerendahan hati yang amat dalam dari Bunda Maria di hadapan Tuhan. Kata-kata itu sebetulnya bentuk lain dari kalimat, “Ya, Tuhan, ya, aku menurut, apapun yang Engkau ingin aku lakukan dan lalui, jadilah itu, Engkau tahu apa yang Engkau lakukan, Engkau yang selalu mencintai manusia dan menginginkan kebaikan yang sepenuhnya bagi manusia.”

Kerendahan hati Bunda juga membuatnya mampu mempercayai sepenuhnya kuasa penyelenggaraan Allah walaupun kadang ia sendiri tidak selalu mampu memahami jalan-jalan yang harus ia lalui untuk menggenapi rencana agung Allah menyelamatkan dunia dari kegelapan dosa dan kematian. Kerendahan hati itulah yang membuat Bunda memutuskan untuk pasrah dan taat sepenuhnya untuk bekerja sama dengan Allah mengemban tugas yang amat mulia sekaligus sama sekali tidak ringan dan menuntut banyak pengorbanan itu.


Betapa banyaknya yang dapat aku pelajari dari sebuah sikap kerendahan hati. Betapa sikap itu membuatku menghayati keindahan hidup ini walaupun ada banyak suka duka, tantangan dan penderitaan, kebimbangan dan kekecewaan di dalamnya. Kerendahan hati membuat aku meletakkan diriku pada perspektif yang berbeda dari sekedar selalu ‘berpusat pada diriku’.


Melulu memikirkan kepentingan, kemuliaan, kehormatan, kesenangan, dan kebutuhan diriku sendiri membuatku seperti berjalan dengan sepatu yang alasnya halus / rata di atas salju bercampur es yang licin. Aku jadi hanya berkonsentrasi pada cara bagaimana supaya aku tidak terpeleset. Aku jadi tidak mampu memandang ke arah lain, dan memikirkan apa yang menjadi kesedihan atau kebutuhan orang lain di sekitarku, karena mataku terpusat ke kakiku, langkahku, keseimbanganku, agar aku tidak terjatuh. Aku menjadi terlalu sibuk memikirkan kepentinganku, kekecewaan-kekecewaanku, kesedihan diriku sendiri, kegagalan dan penyesalan-penyesalan, dan kekhawatiranku akan masa depan.


Sikap kerendahan hati seperti memilih sebuah sepatu khusus dengan gerigi di alasnya sehingga langkahku di atas lapisan es menjadi stabil, mencengkeram, dan mencegahku terjatuh karena terpeleset. Baru saat itulah aku dapat melihat keindahan jalan-jalan yang kulalui, menikmati pemandangan, dan menyapa orang-orang yang kujumpai serta menawarkan bantuanku bagi orangtua yang sedang menyeberang jalan, karena aku tidak perlu lagi melulu mengarahkan pandangan dan keseimbanganku pada kakiku sendiri. Sepatu bergerigi itu akan melakukan tugasnya mencegahku terpeleset. Aku tidak perlu memikirkan kakiku sendiri lagi. Karena sejak semula aku ditakdirkan untuk menikmati perjalanan, mengemban misiku untuk berkonsentrasi pada pelajaran-pelajaran dan keindahan yang kujumpai sepanjang jalan kehidupan.


Memakai sepatu kerendahan hati, mengakui bahwa aku hanyalah sebentuk manusia ciptaan karena kemurahan dan belaskasihan Tuhan dan sesama, membebaskanku dari sikap malas, sombong, acuh tak acuh, dan kekecewaan terhadap hal-hal yang tak mampu kuubah serta harapan-harapan yang tak terpenuhi dalam hidup ini.


Kerendahan hati memampukanku melepaskan fokus hidup pada diri sendiri dan mulai menikmati kehidupan ini apa adanya dan mensyukuri setiap kesempatan dan anugerah di dalamnya yang tak ada habis-habisnya. Kerendahan hati mencegahku mengurangi arti keindahan hidup yang sesungguhnya dan mencegahku terpeleset jatuh kepada kesombongan dan sikap apatis.


Seperti juga Bunda Maria yang melupakan mimpi-mimpi pribadinya dan menyerahkan semua keinginannya kepada kehendak Tuhan yang Maha Kasih demi kehidupan, demikian pula aku rindu untuk mulai menikmati kehidupan yang sesungguhnya yang sudah terpolusi oleh belenggu kesombongan dalam hidup yang penuh dengan kompetisi ini, luka-luka di hati, kekhawatiran akan masa depan, penyesalan atas kegagalan, dengan selalu memakai sepatu bergerigi pada kakiku, mempercayakan kestabilan langkahku padanya supaya aku tetap stabil dan bisa memfokuskan diri pada orang lain dan keindahan hidup ini.


Seperti Bunda Maria, aku ingin mempercayakan dan memasrahkan diriku sepenuhnya kepada Tuhan, yang telah membentukku sejak semula, percaya kemana Ia sedang membawaku dan bagaimana Ia sedang membentukku. Aku rindu untuk percaya sepenuhnya, dengan segenap kerendahan hati, bahwa Ia yang memberi hidup, tahu bagaimana menghandle dan membawaku tiba pada tujuan-tujuannya yang sebenarnya.

San Donato, five days before Christmas 2009

Kisah meja doaku


Hmm…dimana nanti aku bisa meletakkan meja doa ya ? ruang tamu ini sudah tampak penuh dengan sofa berbentuk huruf L dan 2 kursi santai berbentuk bundar itu. Rasanya tidak ada lagi tempat yang tersisa yang cukup nyaman buat meletakkan meja doaku. Bagaimana dengan kamar tidur ? Aku melongok ke dalamnya, berharap menemukan suatu sudut yang cukup lapang dan nyaman untuk aku bersimpuh di depan meja doa yang sudah aku beli beberapa waktu sebelum kepindahanku ke apartemen ini. Aku ingin meletakkannya di sudut yang paling nyaman dan teduh dimana aku dapat bersimpuh di depannya dan bercakap-cakap dengan penuh kehangatan dengan Tuhan serta mendengarkan Dia berbicara dengan lembut di dalam hatiku.

Di mana aku meletakkan Tuhan dalam hidup ini ? Di mana aku meletakkan diriku dan pikiran-pikiranku dalam menghadapi peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-hari ? Di sudut pikiran positif ? atau di kamar besar tempat pikiran negatif bersemayam ? Kamar itu besar sekali tetapi di dalamnya dingin dan gelap. Di kamar itu rasa curiga, iri hati, acuh tak acuh, dan sinisme menjadi hiasan dindingnya. Perabotannya adalah kejenuhan, kemalasan, rasa cepat menyerah, dan putus asa. Dindingnya didominasi warna ketakutan.

Ya..sayang sekali, jika aku memilih untuk sering berada di ruangan itu…berarti aku telah melewatkan saat-saat penuh kedamaian di mana meja doaku berada, yaitu di ruangan dimana Tuhan juga duduk di sana, dan menungguku untuk menikmati peristiwa kehidupan ini dengan hati yang gembira dan penuh syukur, hati yang selalu siap untuk memberi dan mengasihi, hati yang siap melupakan diri sendiri supaya orang lain bahagia. Itulah sebabnya kamar di mana meja doaku berada tidak memerlukan cahaya apapun sebagai penghangat dan penerangan, berada di sana bersamaNya membuat ruangan itu selalu cerah, hangat, dan bercahaya dengan sendirinya.

Hanya saja...kamar dimana meja doaku itu berada, tidak selalu mudah untuk dimasuki. Sebetulnya pintunya selalu terbuka lebar, tetapi anehnya aku tidak dapat masuk sebelum aku memakai pakaian ketaatan dan kerendahan hati. Dan pakaian itu hanya bisa kupakai jika aku melepaskan dulu egoku, kesombonganku, kesibukanku.

San Donato, malam minggu yang dingin di penghujung November

Kasih tak pernah gagal


“If you love until it hurts, there will be no more hurts, only more love”(Mother Teresa)

Mengapa kasih dikatakan “tidak pernah gagal”, dan “tidak akan berkesudahan ?” (1 Kor 13:8). Bukankah sudah banyak bukti bahwa mengasihi itu seringkali menyakitkan, dan sering juga menghancurkan ego seorang manusia normal. Apalagi jika yang dikasihi tidak balas mengasihi, atau bahkan malah balas menyakiti. Dalam hal ini apakah berarti kasih itu telah gagal? Kasih juga tak segan-segan menuntut pengorbanan yang tidak sedikit, bukan hanya waktu, tenaga, pikiran, dan uang, bahkan sampai menuntut seluruh kehidupan, kebebasan, dan bahkan nyawa.


Apakah rahasia di balik kasih, yang membuat kasih tak pernah gagal dan tak berkesudahan, melampaui norma-norma manusiawi kita ?

Kasih yang berpamrih, kasih yang timbul karena ada maunya, kasih karena sudah dikasihi duluan, mungkin tidak akan bertahan lama, karena pengharapan yang membebani perbuatan kasih itu. Dan pengharapan kepada yang fana seringkali sia-sia. Tetapi kasih yang bersumber dari Yang Maha Pengasih itu dilakukan semata-mata demi kasih itu sendiri, supaya ia bersinar di tengah kegelapan, bertegar di dalam kegalauan. Ia juga tidak mempersyaratkan apapun terhadap penerima kasih. Karena kasih yang sejati itu membebaskan. Free dan unconditional.

Kebahagiaan dari pelakunya adalah hanya bila ia bisa terus mengasihi tanpa mengharapkan apapun, tanpa membutuhkan apapun, tidak perlu balasan apapun, hanya butuh untuk lebih lagi mau mengerti, lebih lagi mau memberi, lebih lagi mau berkorban, supaya yang lain bahagia. Bahagianya hanya pada lebih lagi mengasihi…dan terus mengasihi...tanpa berkesudahan.


Milano, 19 Novembre 2009

Belajar dari kesederhanaan Bunda Maria



Dua hari setelah peringatan Bunda Maria Diangkat ke Surga dan bertepatan dengan perayaan Kemerdekaan Indonesia ke-63 tanggal tujuh belas Agustus 2008 yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi gereja Santa Maria di Nazareth di kota Venesia, yg dibangun sekitar thn 1670. Di dalamnya banyak patung orang kudus dan berbagai ukiran yang dipahat dengan sangat indah seperti umumnya gereja-gereja di Italia.


Di atas altar utama terdapat patung Bunda yang sedang tersenyum manis dengan sebuah mahkota raksasa berwarna emas bergantung di langit-langit. Di bagian samping kanan dari altar terdapat ruangan dengan fokus utama patung keluarga kudus dari Nazareth dan di bagian kiri altar terdapat ukiran dan patung yang menggambarkan ramalan Simeon bahwa sebuah pedang akan menembus hati Bunda Maria. Ukiran, pahatan, dan lukisan fresco yg sangat artistik di hampir seluruh bagian gereja dengan pilar-pilar marmer terpuntir berwarna merah marun yang cerah menjadikan gereja yang indah ini tambah memukau dan membuat saya tercenung sejenak menikmati dan mensyukurinya sebelum mulai berdoa dan mendaraskan rosario saya.

Bangunan gereja-gereja di Italia yg punya sejarah yang panjang merentang jaman selama ratusan bahkan ribuan tahun dengan kekayaan filosofi yang dalam di balik setiap dekorasinya yg bercitarasa seni tinggi memang sangat mencengangkan. Kekayaan seni dan keindahan daya imaginasi manusia dicurahkan secara total sebagai ekspresi rasa cinta dan hormat yang dalam kepada Sang Pencipta. Khususnya di gereja Maria di Nazareth ini, curahan keindahan bercitarasa tinggi itu dipersembahkan kepada seorang wanita bersahaja bernama Maria, yang melalui sikap pasrah, percaya, dan rendah hati yang total kepada Bapa, memampukan kita memiliki seorang Penebus yang sangat mulia, Yesus Kristus, sang Putera Allah sendiri, yang datang ke dunia sebagai wujud cinta Bapa yang tak terbatas kepada manusia.

Saya tercenung di dalam gereja, betapa kerendahan hati dan ketaatan Bunda Maria telah membuahkan bangunan seindah ini, yang bagaikan kebal terhadap panjangnya perjalanan waktu dan berbagai peristiwa besar di dunia (langit-langitnya yang berlukiskan fresco artistik sempat rusak terkena granat pada saat Perang Dunia I dan diperbaiki kembali hingga tetap utuh seperti sekarang). Saya kagum pada sebuah sikap kerendahan hati yang akhirnya melahirkan karya-karya seni mengagumkan sebagai tanda penghormatan yang setinggi-tingginya dari Tuhan dan manusia.

Bunda Maria yang sekarang berada di tempat yang paling tinggi bersama Bapa sudah melewati begitu banyak masa-masa yang sangat menegangkan dalam hidupnya, termasuk saat-saat yang membingungkan dan penuh dengan ketidakpastian. Namun Bunda bisa melewati semuanya dengan baik dan tetap fokus pada penyelenggaraan Allah, karena sikap jiwanya yang sederhana dan rendah hati, yang selalu belajar untuk percaya sepenuhnya kepada Allah, apapun yang terjadi, mengerti atau tidak mengerti, suka maupun tidak.

Saya ingat setiap kali menjumpai peristiwa-peristiwa besar dan mencengangkan dalam hidupnya, Bunda selalu menyimpan segala sesuatu di dalam hatinya dan merenungkannya. Sikap batin inilah yang membuat saya kagum. Saya merasa kebiasaan Bunda untuk masuk dalam keheningan jiwanya yang sederhana dan berserah sepenuhnya kepada Bapa adalah kunci mengapa Bunda selalu tegar dan mampu menyelesaikan panggilan Allah sampai akhir. Kedamaian yang Bunda miliki di dalam hatinya karena percaya sepenuhnya kepada Bapa membuat Bunda selalu berhasil mengatasi semua keraguan kemanusiawiannya. Kerendahan hati dan kesederhanaanlah yang membuatnya menjadi manusia yang merdeka dalam arti sesungguhnya, yang bebas dari cengkeraman ego manusiawi yang cenderung membawa manusia kepada ketamakan, iri hati, kesombongan dan ketidakpedulian, sehingga melupakan fokus panggilan hidup yang hakiki yg sudah diamanatkan oleh Tuhan.

Dalam keheningan hati manusia yang murni dan sederhana itulah sesungguhnya tempat Tuhan bersemayam. Tempat kita selalu bisa memurnikan lagi motivasi dan arah hidup kita yang sejati.

Terimakasih Bunda Maria, bisik saya sambil melangkah keluar dari gereja Santa Maria della Nazareth. Ada doa kerinduan dalam hati saya bahwa kedamaian dan keheningan hati Bunda yang sederhana itu boleh senantiasa menjadi suluh penerang bagi saya untuk membawa saya kepada kemerdekaan yang sesungguhnya di dalam Tuhan.


Milan, 18 Agustus 2008

Sebentuk perantauan bernama Hidup


Selama 37 tahun hidup di dunia, saya beberapa kali mengalami perubahan suasana baru yang cukup signifikan dalam perjalanan hidup. Yang pertama tentu saja saat saya berpindah dari rahim Ibu saya yang hangat, gelap, sunyi dan nyaman menuju ke sebuah tempat maha luas yang bising dan menyilaukan yang bernama dunia.


Kemudian di usia 18 tahun, saya berpindah dari kota kelahiran saya di Malang menuju kota Bandung untuk melanjutkan kuliah, di mana saya berpindah kos sebanyak tiga kali sebelum akhirnya lulus dan menempati rumah idaman di kota Serpong bersama pemuda yang saya kenal di tempat kos yang kemudian menjadi suami saya. Enam tahun di Serpong, ternyata suami saya mendapat tawaran kerja yang lebih baik di negeri jiran, Malaysia. Jadilah saya kembali berpindah ke kota Kuala Lumpur yang semakin memisahkan saya dari tanah kelahiran dan kedua orangtua saya yang sangat saya cintai.


Tak lama lagi, saya juga kembali harus berpindah menuju belahan dunia lain yang bahkan lebih jauh dan asing bagi saya. Milan, Italia. Wow, tak terbayangkan asingnya, walau pasti juga sangat menarik. Setiap kali saya harus berpindah domisili, perasaan yang selalu timbul dalam hati saya adalah sebersit kesedihan karena harus meninggalkan kehidupan dimana saya telah begitu terbiasa dan nyaman menjalaninya, sembari menikmati semua bentuk relasi dan persahabatan dengan sesama yang saya jumpai dalam setting lingkungan dan karakternya masing-masing di tempat saya berada.


Sekalipun tujuan baru selalu mengandung tantangan dan perkembangan hidup yang lebih baik, saya selalu merasa gamang dan khawatir membayangkan bahwa dunia baru yang akan saya jalani tidak seperti yang saya harapkan dan perkirakan. Tetapi bersamaan dengan perasaan sedih karena menghadapi perpisahan dengan teman-teman yang baik dan kehidupan yang menyenangkan, sebuah kesadaran muncul dan membawa saya kepada suatu perasaan syukur yang dalam. Kesadaran itu dibawa oleh sebuah pertanyaan terhadap perasaan berat saya kepada perubahan yang saya alami, “Mengapa setiap kali hendak meninggalkan suatu tempat dan bentuk kehidupan menuju kepada yang baru, saya selalu merasa sedih ? Bukankah itu berarti setiap kehidupan baru yang awalnya saya takutkan itu akhirnya selalu membuat saya bahagia dan merasa berat untuk meninggalkannya ? Bukankah itu berarti di tempat yang baru selalu akan ada sebentuk kehidupan lain yg juga penuh dengan dinamika yang manis dan persahabatan baru yang penuh berkat ?


Saya juga menyadari bahwa kehidupan sehari-hari ini pun selalu sarat dengan perpindahan, baik yang sederhana dan sementara maupun yang lebih permanen. Pindah dari keadaan damai ke perasaan gusar, pindah dari rasa bersahabat kepada rasa segan, pindah dari semangat yang menggebu kepada hari yang lesu, atau pindah dari keadaan sehat ke keadaan sakit, dst dan sebaliknya. Perubahan yang selalu terjadi sebagai bagian dari dinamika kehidupan itu rasanya tak terhindarkan dan pasti dialami oleh setiap insan. Ternyata hidup adalah benar-benar sebentuk perantauan.


Saat misa Kamis Putih di katedral St John usai, tim paduan suara gereja menyanyikan lagu penutup berjudul “In Remembrance”. Ketika Tuhan Yesus membasuh kaki para murid di malam terakhirNya di dunia dan memberikan teladan untuk saling melayani dengan rendah hati, lalu memecahkan roti lambang tubuhNya yang dikurbankan demi pembebasan kita dari dosa, Tuhan mengatakan supaya kita melakukan semua itu kembali sebagai peringatan akan Dia. Sebuah kenang-kenangan yang tak ternilai harganya dari Tuhan semesta alam kepada umat manusia ciptaanNya. Sebuah bukti hidup betapa kasihNya yang tanpa pamrih kepada manusia yang fana dan lemah itu tak terbayangkan besarnya. Sebuah bekal yang juga akan selalu menyertai setiap tahap perubahan dalam dinamika kehidupan kita, tak peduli betapapun berat dan menantangnya, menuju bentuk kehidupan baru yang penuh harapan dan aneka kemungkinan yang manis dan tak terlupakan.


Termasuk ketika perpindahan kita yang terakhir tiba yaitu dari kehidupan yang fana kepada perhentian akhir yang kekal bersama Bapa di surga, di mana Dia telah menantikan kita.


Kisah-kisah menyenangkan dari perjalanan hidup yang telah lalu tak akan terulang kembali, hanya kenangan manis yang akan selalu tinggal di hati saya. Namun kenangan terindah dari Tuhan kita Yesus Kristus setiap kali saya menyambut tubuhNya, merenungkan teladan dan wafatNya dan menyambut kebangkitanNya dari alam maut yang kita rayakan pada hari ini, akan senantiasa bersama saya dan kita semua tanpa mengenal batas waktu, tempat, dan keadaan …….melampaui maut dan kehidupan.


Kuala Lumpur, Maret 2008

Tuesday, May 19, 2009

Pohon Natal plastik kami


Libur natal dan tahun baruku baru saja usai. Walau sudah tiga minggu namun rasanya baru dua hari. Cepat benar berlalu liburan yang meriah ini, pikirku setengah menyesal. Dengan tatapan kosong aku memandangi tumpukan cabang-cabang pohon natal plastikku yang sudah seluruhnya kulepaskan dari pokoknya untuk siap dikembalikan ke dalam kemasan kardusnya, sampai setahun lagi mereka dikeluarkan pada natal tahun depan. Aneka lampion dan boneka gantung penghias pohon sudah selesai kurapikan dalam kotak kardus lain yang menjadi wadah penyimpanan mereka.


Pohon natal plastik ini hampir setua diriku usianya. Ayahku membelinya ketika aku masih kecil sekali. Walau kadang terkena kencing tikus selama hari-harinya di gudang penyimpanan rumah ayahku, ia tetap akan tampil dengan manis di rumah keluarga kami setiap pertengahan bulan Desember hingga pertengahan Januari di tahun yang baru. Pembantu ayahku yang juga merayakan natal akan mencucinya dengan sabar sebelum memasangnya menjelang natal. Kadang-kadang karena ia belum kembali dari rumah keluarganya untuk juga berlibur tahun baru, maka tugas membongkar pohon natal menjadi bagianku. Kami belum pernah mempunyai pohon cemara asli sebagai pohon natal keluarga. Dulu ayah mertuaku yang suka mencarinya dan memasangnya di rumah keluarga suamiku. Ayah mertuaku lebih mudah mendapatkan cemara asli karena ia tinggal di kawasan pegunungan di luar kota .


Sambil mulai menaruh cabang-cabang pohon itu ke dalam kotaknya, aku membayangkan seandainya pohonku adalah pohon asli tentu aku tak perlu melakukan ritual yang membosankan ini dan hanya tinggal menancapkan pohon cemara asli itu di tanah kosong di belakang rumah ayah ibuku. Tetapi karena pohon plastik ini selalu ada di ruang tamu keluarga kami selama lebih dari tiga puluh tahun, pasti ia telah banyak menyaksikan aneka peristiwa yang terjadi di keluarga kami baik suka maupun duka, yang aneh maupun yang biasa-biasa, serta segala perubahan yang terjadi dari natal ke natal. Seandainya pohon natal plastik ini punya misi menilai perubahan, perubahan macam apa yang dinantikannya ?


Aku teringat homili Romo Paul Klein, SVD, pada misa pagi Natal yang lalu, “Tak peduli berapa puluh kali Yesus lahir, bila Dia tidak lahir di dalam hatimu, sia-sialah itu semua”. Apakah puluhan hari natal yg kulalui telah membuatku puluhan kali lebih dekat dan percaya kepada kasihNya ? atau puluhan kali juga lebih mengasihi sesamaku dan lebih mencoba memahami dan mengampuni mereka ? Tuhan Yesus telah meninggalkan segala-galanya supaya Dia bisa bersama-sama denganku dalam dunia ini untuk mengarungi suka duka di dalamnya. Apa yang sudah aku upayakan agar kedatanganNya, dan kelak perjalanan sengsaraNya ke Golgota ini setidaknya mengubahku selangkah lebih dekat kepada keutamaan-keutamaan yang diteladankanNya?


Pohon natal plastik ini mungkin satu-satunya komponen natal yang tak berubah selama perayaan natal berlangsung di rumah orangtuaku selama lebih dari 30 tahun ini. Kami semua yang mengelilinginya sambil berdoa dan membuka kado bersama di bawahnya, pasti telah berubah, setidaknya berubah dalam hal bertambah tua. Tapi apakah perubahan dalam hal menjadi lebih toleran atau lebih tekun berdoa atau lebih suka mengalah juga terjadi ? Atau kurang lebih tetap sama seperti pohon natal plastik ini ? Dengan kebiasaan-kebiasaan jelek tetapi nikmat yang enggan untuk diubah dan diperbaiki ? Pohon natal ini tidak tumbuh, juga tidak berkembang, karena hanya terbuat dari plastik saja. Memang juga tidak rusak karena disimpan dengan baik, tetapi ya begitu-begitu saja penampilannya. Paling penampilan luarnya saja yang mengalami variasi, yaitu dari lampion-lampion hiasan yang bergantungan padanya, yang kadang-kadang berubah, tergantung mode lampion dan hiasan yang sedang in di pasaran.


Apakah natal yang kulalui setiap tahun membuatku berubah menjadi sedikit lebih baik lagi daripada diriku sebelumnya ? Ataukah natal tahun ini hanyalah rutin saja seperti natal-natal sebelumnya, seperti pohon plastik ini, yang hanya keluar masuk gudang melakukan rutinitas tugas yang dari dulu tetap menjadikannya sebongkah plastik berbentuk cemara?


Akhirnya pekerjaanku mengepak kembali cabang-cabang pohon natal plastik ini ke dalam kardusnya selesailah sudah. Aku mengikat kardus panjang itu dengan tali dan mengangkatnya kembali menuju ke gudang penyimpanannya. Sampai tahun depan, pikirku sambil menaruh kardus pohon natal itu di tempatnya. Semoga tahun depan saat kamu dikeluarkan kembali, akan kau lihat pertumbuhan lebih banyak lagi kasih, iman dan harapan dariku dan dari orang-orang yang mengelilingimu.


Kuala Lumpur, Jan 18 2008

Palungan


“Wah, sederhana banget palungannya”, bisikku kepada suamiku yang baru saja menyusulku duduk di sampingku. Ini adalah hari Minggu Adven pertama. Kami duduk di deretan bangku bagian tengah Madonna Heights Chapel untuk merayakan misa. Mata kami terarah pada sebentuk benda asing di bagian sisi kiri altar. Kehadirannya segera menarik perhatian kami, karena bagian itu biasanya kosong. Benda itu terdiri dari empat bilah papan yang dibentuk menjadi ruang persegi panjang dengan jerami kering diletakkan di atasnya. Ada ornamen bermotif batu bata di bagian atapnya. Selebihnya, belum ada apa-apa di dalamnya. Rupanya para suster Good Shepherd mulai mencicil membuat palungan di altar kapel ini untuk perayaan dan Misa Natal nanti. Melihat bentuknya sekarang, aku sudah bisa membayangkan betapa bersahajanya palungan itu kalau sudah jadi nanti. Suamiku menyahut dengan heran, “Lho, kok hare gene sudah buat palungan ya ?”


Aku hampir tidak mendengar kata-katanya, kesederhanaan bakal palungan itu membuatku tercenung. Sangat kontras dengan suasana di pusat perbelanjaan yang kudatangi kemarin. Koridor utamanya penuh dengan ornamen aneka bentuk dan warna khas Natal seperti pohon cemara dengan ukuran raksasa, kembang gula berbentuk tongkat, snowman, sinterklas, pita merah dan hijau, lampion dan lonceng berwarna emas dan perak, boneka-boneka malaikat dan rusa kutub. Semua itu masih ditambah dengan hiasan lampu-lampu yang gemerlapan dan suara lagu-lagu Natal yang mengalun riang, membuat suasana terasa ceria. Sebuah pemandangan yang mewah dan semarak. Namun tanpa dapat kuhindari, ada rasa sepi menyeruak di hati di tengah semua kesemarakan itu. Kini, memandangi altar kapel dengan palungan setengah jadi yang sangat sederhana itu, entah darimana datangnya, hatiku justru terasa hangat. “Ada begitu banyak tempat yang lebih pantas di bumi ini, penuh dengan kesemarakan dan keindahan, dan semuanya itu milikMu juga, tetapi Engkau malah memilih untuk hadir di tempat seperti itu” bisikku dalam hati.


Memilih ? Benarkah Tuhanku dilahirkan di tempat yang sederhana, bahkan kotor dan berbau itu, atas pilhanNya sendiri ? Bukankah sebelum Ia dilahirkan, orangtuaNya masih berusaha untuk menemukan tempat yang lebih pantas ?


Pikiranku mengembara kepada para pemilik penginapan di Betlehem, yang mendapati pintu rumahnya diketuk di malam buta oleh seorang laki-laki, yang istrinya tampak hendak segera melahirkan. Apa yang akan kukatakan dan kulakukan seandainya aku berdiri di pintu itu pada saat itu ? Semua kamar di rumahku sudah penuh. Tubuhku sudah lelah setelah seharian bekerja, dan kelopak mataku begitu berat oleh rasa kantuk. Aku ingin segera kembali bergelung di kasur yang empuk tuk melanjutkan tidurku yang lelap. Sebetulnya hatiku trenyuh melihat sepasang suami isteri di hadapanku ini, yang tampaknya jauh lebih lelah dari pada aku. Mereka juga tampak sangat bersahaja, dan sang isteri nampaknya akan segera melahirkan setiap saat. Aku mengeluh, menyesali mengapa sering hal-hal yang tidak diharapkan justru harus terjadi pada saat yang sangat tidak tepat. Aku tercekat. Seandainya sang pemilik penginapan tahu siapa suami istri yang sedang mengetuk pintunya malam-malam itu. Seandainya ia tahu siapa bayi yang ada di dalam kandungan sang isteri itu.


Aku mengingat kembali saat-saat dimana aku menolak untuk membantu temanku yang membutuhkan pinjaman uang pada saat aku baru saja memasukkan uang penghasilanku ke tabungan di bank. Aku menolak karena aku tidak percaya bahwa ia akan mengembalikan pada waktunya. Aku bahkan tidak pernah bertanya padanya apakah ada sesuatu yang masih bisa aku bantu dengan apa yang ada padaku. Kututup pintu hatiku dan kuputuskan untuk mengatakan tidak. Atau saat aku menolak untuk mendengarkan keponakanku bercerita pengalamannya menjual kue kepada teman-temannya dengan alasan aku sudah lelah, padahal sebetulnya karena aku merasa jenuh sekali mendengarkan ceritanya yang itu-itu saja. Atau saat aku sedang beradu argumen dengan suamiku dan aku selalu ingin tampil sebagai pemenangnya, padahal aku tahu bahwa kadang-kadang aku memang salah. Tak terhitung berapa kali aku menutup pintu hatiku pada saat Tuhan ingin masuk dan berdiam di dalamnya. Seandainya aku tahu siapa yang aku hadapi pada saat-saat itu. Seandainya aku mau sedikit saja menyingkirkan kepentingan diriku sendiri dan kesombonganku. Seandainya pemilik penginapan tahu siapa bayi yang ada di dalam kandungan sang istri, pasti ia akan mencoba sekuat tenaga untuk menyediakan tempat istirahat, kamarnya sendiri jika perlu. Karena ia toh mungkin masih dapat mengetuk pintu tetangganya untuk meminjam kasur dan tidur di ruang tamu. Atau apa saja tapi pasti ada yang bisa dilakukannya. Tapi pintu itu telah terlanjur ditutupnya. Dan Tuhan telah terlanjur menemukan kandang hewan di belakang penginapan, dimana Ia hadir untuk bisa bersama-sama dengan manusia dan merasakan penderitaan-penderitaan manusia.


Seandainya aku berdiri di pintu itu, aku akan lari mendapatkan Bapa Yosef dan Bunda Maria yang bergerak perlahan menuju kandang. Aku akan berteriak menyatakan penyesalanku atas semua penolakanku dan merelakan tidur malamku yang nikmat, kasurku yang empuk, supaya mereka dapat menempatinya dan Tuhan Raja Semesta Alam dapat hadir dan memulai hidupNya sebagai manusia di rumahku. Tetapi semuanya sudah terjadi. Ketika keesokan harinya aku mencoba menjumpai keluarga kecil yang sederhana itu di kandang belakang penginapanku, mereka telah pergi. Rasa penyesalan yang hebat memenuhi hatiku.


Namun tiba-tiba ada suara di hatiku, “Aku memang harus lahir di sini, di kandang ini. Kandang ini akan mengingatkan kamu selalu, bahwa hatimu memang tidak sempurna, kadang ada bau yang tidak sedap dan kotoran di dalamnya. Tapi aku mau hadir di situ, supaya kamu tahu bahwa Aku akan selalu menunggumu di sana untuk membuatnya terang dan menyenangkan, sama seperti kandang yang kotor ini tadi malam begitu terang oleh kemilau cahaya surga dan riuh rendah oleh suara terompet surga dan nyanyian para malaikat. Sayang engkau tidak melihatnya. Tapi tidak apa, engkau masih dapat mengalaminya setiap saat. Yang perlu kau lakukan hanyalah bukalah pintu hatimu setiap saat, lebar-lebar. Aku telah mengetuknya dengan rindu setiap hari. Jangan tutup pintu itu. Bila kamu membiarkan Aku masuk dan menempati rumah hatimu, cahaya yang kau lewatkan tadi malam akan dapat kau nikmati lagi, setiap saat, dan Aku rindu untuk terus menyinarkannya bagimu, sebab Aku mengasihimu.”


Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku saat suamiku menyenggol lenganku untuk ikut berdiri. Rupanya Misa sudah dimulai. Aku mengusap mataku yang tiba-tiba basah dan berdiri menyanyikan lagu pembukaan. Aku berbisik dalam hatiku, “Yesusku yang solider, Yesusku yang penuh pengertian, aku tidak akan menutup pintu hatiku lagi. Aku membukanya lebar-lebar sekarang, masuklah Tuhan, aku pun teramat merindukanMu”


Kuala Lumpur, December 4, 2006

One day in imaging department


My heart pounding as I reached at one of the corridors in the D block of Pantai Medical Hospital. I have been in that room before. From the aisle I was walking, I could already see the red letters attached to its glass door. The font was in normal size, but for me it was like giant words on a banner wide enough to swathe me in a cloth of agitation. They were read “X-ray Department”.


Gasping air in heavy breath, I collected all my guts and pushed that glass door, letting myself move forward to the counter. A lady behind a long desk greeted me in friendly manner, eased my tensions. I was thankful of her being so warm, because I already felt cold in all of my organs. I handed her an envelope from my doctor with my cold fingers. She took a glance on it and replied cordially, “A pelvic examination, okay, please be seated, we will call you when the radiologist is ready”.


I knew she was going to say that. “Please be seated” could mean, “you may wait forever”, or “be prepare to kill the passing time with any means you can get, as creatively as you can...because it’s gonna be so long ” Hush up, I scolded myself for being such a moaner. “This is the time for repentance and contemplation”, I whispered to myself “Sit down and pray”, I heard a voice from my heart and I sat in silent, beginning to recite my prayer.


There were so many patients sitting and waiting patiently in the room. Almost all seats available in long couches and sofas were occupied. One of the couch was pink, my favorite color, and gave me a gleam of comfort. But they were taken. There was a man clasping a newspaper busy catching up with the latest news, or looking for a distraction. On the left side of me were two little children with their parents. The father grabbed the boy’s hand, rose from the couch and took a stroll around the room letting his little son discovering something around the room. I looked at the plain wall and was feeling sorry for the void I found there. I sighed in silent, failed to stave off my anxiety. Would have them paint the wall with beautiful pictures or enchanting paintings the boy would be having something more to learn, and this feeling of helpless may not tie me this tight.


There was a coffee table beside me with pamphlets, magazines, and brochures on it. The room was bright and cool, enough for me to browsing them but I preferred to stay in my prayer, relaxing my pounding heart. I gazed at two ladies on my right. The younger one might be the daughter and the older is the mother, but both of them were in steady gaze with empty looks. I quickly sensed the air of nervousness surround me when I realized almost all of patients’ faces were in the same mode. I felt guilty, “was I the one who brought the sense in the room?” Then I settled in my prayer again, waiting patiently.


Waiting patiently, just like my recent occupation, a patient. I guessed patients in imaging department were patient enough, not in a rush to be called their turn to the imaging room. We hope we can delay knowing what has really happened inside our body, and if that is going to be a bad news, better we wait in the room until eternity.


But, this is x-ray department. We are made to be truthful. Nothing can hide from its powerful energy. The rays can penetrate everything, dissecting flesh from the bones, inciting the fear emerge from the soul. I have always loved and adored honesty and transparency all my life, but not this kind of honesty and transparency.


Opposite to me were two old women. They seemed like ordinary housewives, and they were busy chatting with each other. I couldn’t follow their conversation although it was quite loud because they were in Chinese. But their bright faces enticed my attention. Unlike the faces of all the rest, theirs are so calm and relax; they talked with ease, laughed at each other stories so freely. Hey, ladies, why are you so different, and are going against the flow in this room? Or old people are more ready to prepare themselves to any possible findings in their bodies? Imaging room might become some matter of routine for some elderly, nothing may surprise them some more.


I was fascinated to feel the paradox happened before my eyes. Chuckles, giggles, and chortles from two old women in a room full of uncertainties and possible setback in life. Even though if the two women were there only for accompanying someone, I was already gripped on it and began to think something funny out of my gloominess. Cowardice won’t help any troubles, if not ruin it even worse.


The time went by; a group of young lads entered the room. I guessed they are foreign workers needed to complete their documents with some medical examinations, since I saw they held something like a passport in their hands. They all seemed similar to each other, looked healthy and humble. Wouldn’t it be faster and time saving if they just lining up in the x-ray room and letting the x-ray passing through their particular body parts and then they can get the result at once? This is a powerful ray, anyway. I began to enjoy my mischievous sense of humor and instead of shrinking in fear I found myself began to bloom in hope and naughtiness in the same time.


An x-ray session is not so bad, I think in some occasion people need to be put in a powerful ray that can light up all the darkness and hidden side of human being. What is seen from outside, sometimes doesn’t represent what is actually lying beneath. I can be wrong of what I perceive as a success, a kindness, a faith, or strength. A bogus success, pseudo hospitality, or a vulnerable strength will become distanced and waning, once it is challenged through some test and hardship, and are forced to reveal their true faces. Then I think a dose of x-ray once a year is advisable for me to get to the access of truth in life, when I can have all things in its reality, without any covers, masks, or pretence.


I almost forgot about my concern, when I lay down in the examination room, finally. Doctor put the ultrasound detector on my stomach and moved it around to catch any possible foreign growing inside my belly. Worries still lingered on me. But, I chuckled when I noticed the monitor screen displaying what the ultrasound looking through my belly, for I think I saw there, an image of Mr. Bean’s thin figure in his grey suit.
---------------------------------------------------------------------------------
Kuala Lumpur, while joining a writing workshop in British Council with Sharon Bakar, August 2006