Tuesday, May 19, 2009

Secuil renungan dari meja operasi


Salah satu hal yang paling menakutkan saya dalam menghadapi sebuah operasi adalah bagaimana seandainya saya tidak bangun-bangun lagi setelah melewati proses pembiusan total selama operasi dilakukan.


Saya sering menghibur diri sendiri dengan berbagai cara, seperti meyakinkan diri akan tingkat keahlian ahli anestesi yang menangani saya, atau mengingat bahwa jutaan orang dioperasi setiap harinya dan mereka juga pasti akan sadar setelah operasi selesai dan pengaruh bius hilang, atau saya akan mengingat selalu bahwa dalam keadaan tidur pun saya tidak menyadari apa-apa sampai saya bangun kembali. Bukankah hampir tidak ada perbedaan dalam proses ketidaksadaran di waktu kita tidur dengan di saat kita dibius, kecuali bahwa mungkin kita tidak mengalami mimpi ketika dibius karena seluruh fungsi tubuh di-nonaktifkan untuk sementara.


Sementara ? ops, tapi bagaimana kalau keterusan…ohlala, saya takut membayangkan itu. Entah mengapa keadaan tidak sadar itu terasa menakutkan. Bagaimana rasanya lepas dari dunia kesadaran yang saya ketahui dan pahami sehari-hari ? Saya tidak tahu apa, bagaimana, dan di mana saya saat tidak sadar itu, dan ketidaktahuan itu menakutkan. Sebenarnya saya menyadari bahwa ketakutan ini tak lain adalah rasa takut alamiah menghadapi kematian, di mana timbul kekuatiran bila pembiusan kebablasan maka saya akan melanjutkan perjalanan terus ke alam baka,..oh..seperti apa itu, siapkah saya ?


Hari yang ditetapkan dokter untuk mengoperasi saya akhirnya tiba juga. Berbekal 9 hari Novena di rumah dan doa dari keluarga serta banyak teman dan relasi, saya meletakkan semua ketakutan saya dalam tangan Bapa di surga. Setelah menjalani pengecekan darah dan puasa plus urus-urus untuk membersihkan apapun yang masih tinggal dalam perut saya, akhirnya saya didorong menuju ruang operasi. Suasana di sekitar saya terasa hening, walaupun banyak dokter dan perawat mondar-mandir di sekitar ruangan operasi, dengan baju khusus dan tutup kepala berwarna biru. Saya melihat suami saya melambai untuk terakhir kalinya sebelum ia lenyap di balik pintu yang menutup di hadapannya.


Sambil terus didorong di atas brankar, saya menatap langit-langit rumah sakit dengan lampu-lampu besar di atasnya. Saya merasa sendirian, sekaligus merasa tak berdaya. Saya mencoba pasrah. Rasa takut yang merayap saya usir dengan doa Bapa Kami yang saya daraskan tak henti-henti di dalam hati, dan mata saya berkaca-kaca saat saya sampai pada kalimat, “..dan ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun…” saya menyerahkan hidup saya kepadaMu Bapa, ampunilah dosa-dosa saya selama hidup saya di dunia ini, dan bila sesudah ini saya tidak lagi melihat dunia untuk pulang menghadapMu, saya mohon disiapkan dan diampuni, sebab walaupun saya mohon dengan sungguh bahwa saya akan sembuh dan hidup dan sehat setelah operasi ini, namun semuanya terjadilah menurut kehendakMu.


Memasuki ruang operasi yang dingin dengan berbagai alat yang asing (baca : menyeramkan) bagi saya, para perawat memindahkan tubuh saya dari brankar ke meja operasi dengan suatu pembaringan khusus. Nah, bagaikan seonggok daging di meja pembantaian, siaplah sudah saya dibedah. Ujung jari saya dijepit dengan pendeteksi detak jantung sehingga saya bisa mendengar suara detak jantung saya memenuhi ruangan operasi. Dokter anestesi meminta saya untuk tetap tenang dan rileks. Saya menurut, dan mendengar suara jantung saya berdetak dengan ringan pertanda saya sudah rileks dan pasrah benar. Tiba-tiba perawat memasang masker oksigen di wajah saya, dan itu membuat saya panik, karena saya merasa tidak dapat bernapas dengan bebas, dan saat itu saya mendengar detak jantung saya di ruangan berubah iramanya menjadi cepat, ya, saya berdebar-debar. Doa Bapa Kami saya daraskan semakin kencang dalam hati. Untunglah semua itu tak lama, dokter anestesi mulai menyuntikkan cairan bius ke pembuluh darah saya dan saya merasakan sendiri kepala saya berat dan kesadaran saya mulai hilang. Saya masih merasakan kepala saya terkulai ke kanan lalu semuanya lenyap dari indera saya dan saya tidak sadar lagi.


Saya merasa waktunya hanya singkat (operasi saya berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam), ketika saya mulai mendengar suara para perawat memanggil-manggil nama saya dengan keras, “Caecilia, Caecilia…” terus berulang-ulang. Saya masih merasa segala sesuatunya berputar dan berat, tetapi karena mereka terus saja memanggil, saya paksakan menjawab dengan bersuara dan saya terkejut sendiri mendengar suara saya yang mengerang dengan berat seperti suara binatang buas. Namun saya begitu lega dan bersyukur bahwa saya…masih hidup..! Saya telah berada di ruang pemulihan, saya sudah kembali ke alam kesadaran dan itu begitu melegakan saya. Walaupun seluruh tubuh terasa lemas, sakit dan mual, saya melanjutkan doa Bapa Kami saya dengan penuh syukur dan terimakasih kepada Bapa, sambil saya didorong kembali menuju kamar rawat inap saya dimana suami saya tercinta telah menanti.


Ketika kita datang dalam kehidupan ini, kita tidak memintanya. Hidup itu datang begitu saja dan kita menjalaninya dengan berbagai cara dan melalui berbagai jalan. Lalu saat kita sedang menikmati hidup dengan berbagai kemungkinan dan kesukaan maupun kesukaran di dalamnya, kehidupan itu pun bisa tahu-tahu berakhir begitu saja. Kita tidak tahu bagaimana dan kapan hidup itu akan selesai. Saya menyadari bahwa saya hidup karena belas kasihan, karena pemberian. Hidup saya itu diberi, bukan karena saya berhak memperolehnya. Saya harus merelakannya bila itu diambil kembali oleh yang memberi, tanpa harus ngotot untuk mempertahankannya dengan segala cara, atau menuntut agar hidup itu sesuai semua isinya dan caranya dengan kemauan saya. Bagaimanapun juga, saya tidak memilikinya karena kemauan saya, tetapi karena itu diberikan, dikaruniakan.


Bila saya diberi sebuah alat yang sangat berharga dan fungsional oleh seorang teman, dengan janji akan mengembalikannya kepada teman itu bila sewaktu-waktu dia membutuhkannya lagi, apa yang akan saya lakukan dengan alat itu ? Memakainya tanpa batas sesuka hati dan kurang peduli apakah masih akan berfungsi seperti semula saat teman memberikannya, atau… menjaganya dengan penuh kehati-hatian, memakainya sesuai dengan fungsinya, sehingga bila tiba waktunya saya kembalikan, ia adalah tetap alat yang berharga dan fungsional seperti saat saya mengenggamnya untuk pertama kalinya ?


Sekonyong-konyong saya merasa bahwa kesadaran yang saya agung-agungkan itu lebih menakutkan daripada ketidaksadaran yang baru saja saya alami selama di meja operasi. Pada saat saya sadar sepenuhnya dalam menjalani hidup, apakah cara saya menjalaninya menunjukkan bahwa saya sadar ? apakah kesadaran itu sebenarnya ? Saya begitu takut kehilangannya namun tahukah saya apa yang harus saya lakukan dengan kesadaran itu ?


Apakah saya sadar bahwa bila dengan penuh kesadaran saya membicarakan keburukan sesama di belakangnya, membiarkan iri hati menguasai persahabatan, tenggelam dalam kesombongan dan keserakahan, menghakimi/mencap sesama dengan semena-mena, bermalas-malasan membuang waktu, melalaikan kewajiban saya, atau merencanakan kejahatan terhadap sesama, adalah hal-hal yang telah membuat alat pinjaman itu rusak pelan-pelan karena tidak dipakai sebagaimana fungsinya dan sebagaimana seharusnya ? Bagaimana kalau tiba-tiba teman yang meminjamkannya memintanya kembali kalau di sana sini alat itu rusak atau cacat ? Ya kalau saya masih punya waktu buat memperbaiki kerusakannya, kalau tidak ? Sekarang bagi saya, kesadaran itu ternyata lebih menuntut keberanian daripada ketidaksadaran yang tadinya saya takutkan itu.


Sang Pemberi Kehidupan bisa saja “membuat saya tidak sadar” seperti saat saya di meja operasi itu. Dalam keadaan tidak sadar, tubuh saya sangat mudah diatur bukan, bagaikan robot yang tidak protes apa-apa. Perut saya bisa diiris dengan pisau tajam tanpa saya berteriak2 memberontak, jantung saya bisa tetap berdetak dengan tenang dan paru-paru tetap bernapas dengan normal sementara alat-alat operasi berkamera dan laser dimasukkan dalam lubang yang telah dibuat di perut saya untuk mengobati penyakit saya. Bandingkan bila operasi dilakukan dalam keadaan sadar, selain berbahaya, tentu tubuh saya akan berontak. Lha baru hidung dan mulut saya ditutup dengan masker oksigen saja detak jantung saya sudah berdetak cepat tak keruan. Saya pikir, lebih mudah diatur dalam keadaan tidak sadar, supaya 'alat pinjaman itu dipakai seperti kehendak peminjamnya dan dikembalikan dalam keadaan seperti si peminjam itu punya mau'


Namun, kenyataannya, Si Pemberi Hidup mau saya menjalani hidup saya dengan kesadaran penuh, supaya saya bisa memilih secara bebas dengan cara saya, bagaimana saya memakai alat pinjaman itu, dengan cara yang saya suka, karena Dia sayang pada saya dan menghargai saya. Walaupun Dia tahu bahwa dengan begitu saya mungkin tidak menghargai Dia dan alat pinjaman itu seperti yang Dia harapkan. Dia mengambil resiko bahwa pinjaman itu bisa dalam keadaan yang jauh dari baik saat dikembalikan kepadaNya nanti.


Toh, Dia tetap mengambil resiko itu. Dia bahkan sudah menyiapkan dan menempuh suatu cara yang sama sekali tidak mudah bagiNya, untuk membuat pinjaman itu dipulihkan lagi dari segala kekeliruan dan ketidaktepatan pemakaiannya selama dipinjamkan pada saya. Dia membayar dengan hidupNya supaya alat pinjaman yang bernama kehidupan itu dapat dipulihkan dan berfungsi sebagaimana maksud awalnya ia diciptakan. Dia menyerahkan keputusan itu kepada saya, dalam keadaan sadar, bukan tidak sadar, agar Dia tahu pasti bahwa hak-hak dan kebebasan saya tetap dihargai, dan bahwa pilihan saya untuk menjaga pinjaman itu dengan penuh tanggung jawab dan kehati-hatian adalah keputusan bebas saya karena saya sayang pada Dia, sebagaimana Dia sayang pada saya, dan bukan karena paksaan atau takut akan dihukum.


Saya memandangi luka-luka bekas jahitan pada perut saya yang kini telah mulai mengering. Nampaknya bekas jahitan itu akan tetap di sana untuk seterusnya, kecuali saya melakukan bedah plastik untuk menghilangkannya. “Biarlah itu tetap di sana , Bapa”, bisik saya dengan pelan,” supaya mereka mengingatkan saya bahwa hidupku ini adalah sebuah pinjaman yang sewaktu-waktu harus aku kembalikan. Dan aku ingin mengembalikannya dalam keadaan yang baik dan indah, utuh, sebagaimana Engkau memberikannya dalam keadaan seperti itu sejak semula padaku. Sebab aku sayang kepadaMu, Bapa, dan sebab aku berterimakasih atas hadiah bernama kehidupan yang telah Engkau karuniakan kepadaku”


“..namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diriNya untuk aku.”

( Galatia 2 : 20)


Kuala Lumpur , 28 Oktober 2007

2 comments:

  1. "Dia membayar dengan hidupNya supaya alat pinjaman yang bernama kehidupan itu dapat dipulihkan dan berfungsi sebagaimana maksud awalnya ia diciptakan"

    kadang saya berpikir begini:
    a) jika tidak ada kehendak bebas maka tidak ada cinta
    b) jika tidak ada cinta maka Allah tidak menjadi Allah (karena deus est caritas)
    c) maka harus ada kehendak bebas, harus ada cinta dan harus ada penyelemat

    kalau dipandang begini - siapa berhutang pada siapa ?

    ReplyDelete
  2. menurut saya memandang penyelenggaraan Allah hanya dalam kerangka hutang piutang adalah terlalu sempit dan terlalu menyederhanakan (kalau tidak bisa dibilang menganggap remeh)suatu karya Agung yang sangat besar dan mulia. Allah tidak memerlukan manusia ataupun dunia dan alam semesta, namun Allah menciptakannya dengan kehendak bebas dan cinta untuk berbagi keindahan dan kemuliaan dan menjadi mitra yang secitra yang denganNya

    ReplyDelete