Wednesday, May 20, 2009

Sebentuk perantauan bernama Hidup


Selama 37 tahun hidup di dunia, saya beberapa kali mengalami perubahan suasana baru yang cukup signifikan dalam perjalanan hidup. Yang pertama tentu saja saat saya berpindah dari rahim Ibu saya yang hangat, gelap, sunyi dan nyaman menuju ke sebuah tempat maha luas yang bising dan menyilaukan yang bernama dunia.


Kemudian di usia 18 tahun, saya berpindah dari kota kelahiran saya di Malang menuju kota Bandung untuk melanjutkan kuliah, di mana saya berpindah kos sebanyak tiga kali sebelum akhirnya lulus dan menempati rumah idaman di kota Serpong bersama pemuda yang saya kenal di tempat kos yang kemudian menjadi suami saya. Enam tahun di Serpong, ternyata suami saya mendapat tawaran kerja yang lebih baik di negeri jiran, Malaysia. Jadilah saya kembali berpindah ke kota Kuala Lumpur yang semakin memisahkan saya dari tanah kelahiran dan kedua orangtua saya yang sangat saya cintai.


Tak lama lagi, saya juga kembali harus berpindah menuju belahan dunia lain yang bahkan lebih jauh dan asing bagi saya. Milan, Italia. Wow, tak terbayangkan asingnya, walau pasti juga sangat menarik. Setiap kali saya harus berpindah domisili, perasaan yang selalu timbul dalam hati saya adalah sebersit kesedihan karena harus meninggalkan kehidupan dimana saya telah begitu terbiasa dan nyaman menjalaninya, sembari menikmati semua bentuk relasi dan persahabatan dengan sesama yang saya jumpai dalam setting lingkungan dan karakternya masing-masing di tempat saya berada.


Sekalipun tujuan baru selalu mengandung tantangan dan perkembangan hidup yang lebih baik, saya selalu merasa gamang dan khawatir membayangkan bahwa dunia baru yang akan saya jalani tidak seperti yang saya harapkan dan perkirakan. Tetapi bersamaan dengan perasaan sedih karena menghadapi perpisahan dengan teman-teman yang baik dan kehidupan yang menyenangkan, sebuah kesadaran muncul dan membawa saya kepada suatu perasaan syukur yang dalam. Kesadaran itu dibawa oleh sebuah pertanyaan terhadap perasaan berat saya kepada perubahan yang saya alami, “Mengapa setiap kali hendak meninggalkan suatu tempat dan bentuk kehidupan menuju kepada yang baru, saya selalu merasa sedih ? Bukankah itu berarti setiap kehidupan baru yang awalnya saya takutkan itu akhirnya selalu membuat saya bahagia dan merasa berat untuk meninggalkannya ? Bukankah itu berarti di tempat yang baru selalu akan ada sebentuk kehidupan lain yg juga penuh dengan dinamika yang manis dan persahabatan baru yang penuh berkat ?


Saya juga menyadari bahwa kehidupan sehari-hari ini pun selalu sarat dengan perpindahan, baik yang sederhana dan sementara maupun yang lebih permanen. Pindah dari keadaan damai ke perasaan gusar, pindah dari rasa bersahabat kepada rasa segan, pindah dari semangat yang menggebu kepada hari yang lesu, atau pindah dari keadaan sehat ke keadaan sakit, dst dan sebaliknya. Perubahan yang selalu terjadi sebagai bagian dari dinamika kehidupan itu rasanya tak terhindarkan dan pasti dialami oleh setiap insan. Ternyata hidup adalah benar-benar sebentuk perantauan.


Saat misa Kamis Putih di katedral St John usai, tim paduan suara gereja menyanyikan lagu penutup berjudul “In Remembrance”. Ketika Tuhan Yesus membasuh kaki para murid di malam terakhirNya di dunia dan memberikan teladan untuk saling melayani dengan rendah hati, lalu memecahkan roti lambang tubuhNya yang dikurbankan demi pembebasan kita dari dosa, Tuhan mengatakan supaya kita melakukan semua itu kembali sebagai peringatan akan Dia. Sebuah kenang-kenangan yang tak ternilai harganya dari Tuhan semesta alam kepada umat manusia ciptaanNya. Sebuah bukti hidup betapa kasihNya yang tanpa pamrih kepada manusia yang fana dan lemah itu tak terbayangkan besarnya. Sebuah bekal yang juga akan selalu menyertai setiap tahap perubahan dalam dinamika kehidupan kita, tak peduli betapapun berat dan menantangnya, menuju bentuk kehidupan baru yang penuh harapan dan aneka kemungkinan yang manis dan tak terlupakan.


Termasuk ketika perpindahan kita yang terakhir tiba yaitu dari kehidupan yang fana kepada perhentian akhir yang kekal bersama Bapa di surga, di mana Dia telah menantikan kita.


Kisah-kisah menyenangkan dari perjalanan hidup yang telah lalu tak akan terulang kembali, hanya kenangan manis yang akan selalu tinggal di hati saya. Namun kenangan terindah dari Tuhan kita Yesus Kristus setiap kali saya menyambut tubuhNya, merenungkan teladan dan wafatNya dan menyambut kebangkitanNya dari alam maut yang kita rayakan pada hari ini, akan senantiasa bersama saya dan kita semua tanpa mengenal batas waktu, tempat, dan keadaan …….melampaui maut dan kehidupan.


Kuala Lumpur, Maret 2008

No comments:

Post a Comment