Tuesday, May 19, 2009

Renungan pagi bersama bajing, burung, dan biawak

Saya membuka mata dengan malas. Pagi baru saja merekah. Rasa kantuk masih terasa memberati kelopak mata. Saya teringat semalam saya tidur agak larutsetelah mengikuti Misa Arwah Para Kudus di Madonna Heights Chapel. Setelah misa usai, saya dan suami bertemu Mary, ketua BEC (lingkungan) kami dan dia mengajak kami melihat bagaimana caranya membereskan dan menyiapkan peralatan Misa di sakristi supaya kami bisa ikut bertugas saat BEC kami mendapat giliran menyiapkan Misa. Suster Catherine dari Sisters of The Good Shepherd memberi kami pengarahan bagaimana melakukan tugas-tugas sederhana tapi penting itu.

Perlahan-lahan rasa kantuk dan malas saya sirna, ketika mata saya menangkap cahaya mentari pagi yang hangat berwarna kuning muda, menyusup lembut di antara bidang-bidang tingkap kayu jendela, seolah menyapa saya selamat pagi. Seketika saya teringat pada Yesus yang telah melindungi perjalanan tidur saya sepanjang malam. Saya lantas duduk dan berdoa, “Selamat pagi Yesusku. Aku gembira Kau beri aku sebuah hari yang baru lagi hari ini. Seperti seorang kanak-kanak dengan bingkisan ulangtahun yg masih terbungkus indah dan rapi di tangannya, aku tak sabar melihat apa yang sudah Kau sediakan bagiku di hari yang baru ini. Aku menantikan petualangan apapun yang Kau siapkan bagiku hari ini, dan seperti hari-hari yang telah berlalu, aku mau Engkau selalu menggenggam tanganku untuk melewati hari ini bersamaMu.” Setelah mengucapkan “amin”, saya segera beranjak dari tempat tidur, untuk melakukan ritual pagi yang sangat saya nikmati.

Sebuah kebiasaan yang saya lakukan semenjak kami hidup di Malaysia, dan tinggal di apartemen di jantung kota Kuala Lumpur. Apartemen kami dikelilingi rimba gedung berbagai bentuk, termasuk raksasa Petronas TwinTowers yang menjulang tinggi tak jauh dari kami. Seperti juga yang banyak terjadi di sudut-sudut kota, di depan apartemen kami juga sedang dilakukan pembangunan gedung pencakar langit untuk apartemen dan perkantoran berlantai 40.

Sebentar lagi bila matahari sudah semakin tinggi, para tukang bangunan akan mengaduk semen, mengelas, dan menggerus tanah untuk pondasi dan pemasangan tiang pancang dengan berbagai alat berat, menghasilkan suara yang memekakkan telinga. Keributan itu akan memenuhi pagi dan kemudian sepanjang hari hingga matahari pulang ke peraduannya. Itulah sebabnya sepercik damai dan keheningan sesaat diawal hari adalah suatu berkat yang sayang untuk saya lewatkan.

Apartemen kami adalah salah satu kondominium tertua di Kuala Lumpur, dibangun sekitar 30 tahun yang lalu. Kini ia semakin terjepit di antara gencarnya pembangunan gedung baru yang bermunculan. Ia seperti sebuah oase di tengah padang belantara modernisasi. Walaupun tampak kuno, bangunannya berbentuk unik dengan taman yang luas dan asri di tengah-tengahnya. Taman besar inilah yang membuatnya istimewa dan membedakannya dengan apartemen lain yang bertebaran di sekitarnya. Di taman itu ditanam pohon-pohon rindang aneka bentuk yang menyejukkan mata dan menyegarkan udara. Di dahan-dahannya bersarang aneka jenis burung dengan berbagai suara merdu bagaikan simphoni pagi membangunkan para penghuni. Sebuah pohon menyajikan bunga-bunga kuning yang bermekaran pada saat-saat tertentu. Dari balik jendela lebar di ruang tamu, saya menikmati semua pemandangan itu dengan syukur dan gembira.

Kemudian jantung saya terasa berdetak lebih cepat saat penghuni taman yang paling membuat saya terpesona, muncul dari semak-semak. Penghuni istimewa itu adalah seekor biawak yang cukup besar. Ia berjalan dengan keempat kakinya yang kuat dan lebar, melintasi taman dengan tenang. Langkahnya lambat dan anggun. Burung-burung berdatangan hinggap di dekatnya, entah mengapa. Mungkin mereka heran melihat kehadirannya, seperti juga saya. Selama hidup saya, biawak adalah binatang yang hanya saya jumpai di kebun binatang. Tak habis pikir di kotamodern seperti Kuala Lumpur masih ada binatang liar seperti biawak hidup bebasdi habitatnya. Sampai kapan mereka akan bertahan ? pikir saya dengan cemas.

Episode pagi yang juga sangat saya gemari adalah kehadiran bajing-bajing yang berkejaran di batang pohon besar di dekat kolam renang. Mereka persis seperti tokoh bajing kartun Walt Disney yang saya lihat di televisi. Hanya saja yang ini adalah yang asli. Mereka begitu bebas, ceria, polos, dan menggemaskan. Saya menikmati semua pemandangan di depan mata saya dengan takjub. Sungguh bukan pemandangan biasa yang bisa saya peroleh dengan mudah di sela-sela kesibukan seharian. Saya menarik napas lega dan dalam, saya bahagia telah bertemu lagi dengan semua "kawan-kawan pagi" saya. Saya senang "mengabsen" mereka tiap pagi dan mengetahui bahwa mereka semua baik-baik saja.
Namun tak urung di hati ini menyelusup sebuah kekhawatiran, apa yang kelak akan terjadi dengan mereka semua? Apartemen saya ini mungkin akan tetap dipertahankan, namun dengan suara pembangunan gedung yang begitu bising, banyaknya pohon yang ditebang untuk menyediakan ruang, tidakkah kehidupan mereka akan terancam? Kemana mereka akan pergi, mencari makanan, berlindung, bermain, danberanak pinak. Bagaimana bila kelak kawan-kawan saya bajing, burung, pohon, danbiawak harus menjadi korban kemajuan dan kepentingan ekonomi ?

Lalu teringatlah saya kata-kata Yesus, “Perhatikanlah burung-burung gagak yangtidak menabur dan tidak menuai dan tidak mempunyai gudang atau lumbung, namun diberi makan oleh Allah” (Luk 12:24a). Dan “Siapakah yang karena kehawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya ? (Luk 12:25).

Saya membuka pintu depan dan berjalan-jalan di sekitar unit apartemen saya. Di bawah sebuah pohon sejenis melinjo di dekat lapangan badminton, saya menemukan banyak kulit buah pohon itu berserakan. Pasti para bajing yang memakan buah itu dan meninggalkan kulitnya yang keras. Apakah mereka juga khawatir kalau mereka tidak dapat lagi menemukan buah-buah kesukaan mereka itu esok hari ? Tiba-tiba sebuah tubuh coklat mungil berbuntut panjang dan berbulu, berkelebat dari balik pohon dan melesat ke arah semak-semak. Saya mulai merasa geli pada diri sendiri, karena mereka yang saya khawatirkan itu, sedang tenang-tenang menikmati hari ini dan menjalani hidup yang mereka miliki. Lalu mengapa saya masih berdiri di sini sekarang ? Saya termangu mengingat kekhawatiran saya sendiri akan begitu banyak hal yang belum terjadi di masa depan.

Saya teringat kisah gajah-gajah di Thailand yang beberapa saat sebelum tsunami telah berlarian ke arah hutan untuk menyelamatkan diri. Para binatang dilindungi oleh Allah. Mereka mempunyai mekanisme alam yang dibekalkan oleh Allah untuk menjalani hidup mereka dan mengatasi aneka tantangan alam. “Aku tahu semua kebutuhanmu, dan betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu !” Yesus berbisik lagi di telinga saya.

Untuk sesaat saya ingin sekali menjadi seperti bajing, burung, dan biawak. Hidup mereka begitu sederhana, mereka dipenuhi semua kebutuhannya oleh Allah, dan mereka tahu itu. Mereka tidak khawatir. Mereka begitu dekat dengan Allah, sedangkan saya justru berjarak dari Allah karena kekuatiran saya, yang sebetulnya merupakan bentuk keraguan saya kepada penyelenggaraanNya. Seperti bajing, burung, dan biawak, saya memutuskan untuk menjalani hari ini dan saat ini dengan syukur dan sepenuhnya. Saya tidak akan membiarkan kekuatiran hari besok melenyapkan sukacita saya hari ini. Hari ini adalah hadiah dari Tuhan yang akan saya Add Imagenikmati sepenuh-penuhnya. Bersama bajing, burung, dan biawak, saya akan menikmati dan mensyukuri, ...hari ini, saat ini, dengan segala kekayaan dan karunia yang ada di dalamnya.

Kuala Lumpur, awal November 2006

No comments:

Post a Comment