Wednesday, May 20, 2009

Sepatu kerendahan hati

Terjadilah padaku menurut perkataanMu (Lukas 1 : 38)

Kata-kata yang diucapkan Bunda Maria dalam menanggapi kabar yang kudus Malaikat Gabriel untuk mengandung Putera Allah bagi keselamatan manusia, lahir dari kerendahan hati yang amat dalam dari Bunda Maria di hadapan Tuhan. Kata-kata itu sebetulnya bentuk lain dari kalimat, “Ya, Tuhan, ya, aku menurut, apapun yang Engkau ingin aku lakukan dan lalui, jadilah itu, Engkau tahu apa yang Engkau lakukan, Engkau yang selalu mencintai manusia dan menginginkan kebaikan yang sepenuhnya bagi manusia.”

Kerendahan hati Bunda juga membuatnya mampu mempercayai sepenuhnya kuasa penyelenggaraan Allah walaupun kadang ia sendiri tidak selalu mampu memahami jalan-jalan yang harus ia lalui untuk menggenapi rencana agung Allah menyelamatkan dunia dari kegelapan dosa dan kematian. Kerendahan hati itulah yang membuat Bunda memutuskan untuk pasrah dan taat sepenuhnya untuk bekerja sama dengan Allah mengemban tugas yang amat mulia sekaligus sama sekali tidak ringan dan menuntut banyak pengorbanan itu.


Betapa banyaknya yang dapat aku pelajari dari sebuah sikap kerendahan hati. Betapa sikap itu membuatku menghayati keindahan hidup ini walaupun ada banyak suka duka, tantangan dan penderitaan, kebimbangan dan kekecewaan di dalamnya. Kerendahan hati membuat aku meletakkan diriku pada perspektif yang berbeda dari sekedar selalu ‘berpusat pada diriku’.


Melulu memikirkan kepentingan, kemuliaan, kehormatan, kesenangan, dan kebutuhan diriku sendiri membuatku seperti berjalan dengan sepatu yang alasnya halus / rata di atas salju bercampur es yang licin. Aku jadi hanya berkonsentrasi pada cara bagaimana supaya aku tidak terpeleset. Aku jadi tidak mampu memandang ke arah lain, dan memikirkan apa yang menjadi kesedihan atau kebutuhan orang lain di sekitarku, karena mataku terpusat ke kakiku, langkahku, keseimbanganku, agar aku tidak terjatuh. Aku menjadi terlalu sibuk memikirkan kepentinganku, kekecewaan-kekecewaanku, kesedihan diriku sendiri, kegagalan dan penyesalan-penyesalan, dan kekhawatiranku akan masa depan.


Sikap kerendahan hati seperti memilih sebuah sepatu khusus dengan gerigi di alasnya sehingga langkahku di atas lapisan es menjadi stabil, mencengkeram, dan mencegahku terjatuh karena terpeleset. Baru saat itulah aku dapat melihat keindahan jalan-jalan yang kulalui, menikmati pemandangan, dan menyapa orang-orang yang kujumpai serta menawarkan bantuanku bagi orangtua yang sedang menyeberang jalan, karena aku tidak perlu lagi melulu mengarahkan pandangan dan keseimbanganku pada kakiku sendiri. Sepatu bergerigi itu akan melakukan tugasnya mencegahku terpeleset. Aku tidak perlu memikirkan kakiku sendiri lagi. Karena sejak semula aku ditakdirkan untuk menikmati perjalanan, mengemban misiku untuk berkonsentrasi pada pelajaran-pelajaran dan keindahan yang kujumpai sepanjang jalan kehidupan.


Memakai sepatu kerendahan hati, mengakui bahwa aku hanyalah sebentuk manusia ciptaan karena kemurahan dan belaskasihan Tuhan dan sesama, membebaskanku dari sikap malas, sombong, acuh tak acuh, dan kekecewaan terhadap hal-hal yang tak mampu kuubah serta harapan-harapan yang tak terpenuhi dalam hidup ini.


Kerendahan hati memampukanku melepaskan fokus hidup pada diri sendiri dan mulai menikmati kehidupan ini apa adanya dan mensyukuri setiap kesempatan dan anugerah di dalamnya yang tak ada habis-habisnya. Kerendahan hati mencegahku mengurangi arti keindahan hidup yang sesungguhnya dan mencegahku terpeleset jatuh kepada kesombongan dan sikap apatis.


Seperti juga Bunda Maria yang melupakan mimpi-mimpi pribadinya dan menyerahkan semua keinginannya kepada kehendak Tuhan yang Maha Kasih demi kehidupan, demikian pula aku rindu untuk mulai menikmati kehidupan yang sesungguhnya yang sudah terpolusi oleh belenggu kesombongan dalam hidup yang penuh dengan kompetisi ini, luka-luka di hati, kekhawatiran akan masa depan, penyesalan atas kegagalan, dengan selalu memakai sepatu bergerigi pada kakiku, mempercayakan kestabilan langkahku padanya supaya aku tetap stabil dan bisa memfokuskan diri pada orang lain dan keindahan hidup ini.


Seperti Bunda Maria, aku ingin mempercayakan dan memasrahkan diriku sepenuhnya kepada Tuhan, yang telah membentukku sejak semula, percaya kemana Ia sedang membawaku dan bagaimana Ia sedang membentukku. Aku rindu untuk percaya sepenuhnya, dengan segenap kerendahan hati, bahwa Ia yang memberi hidup, tahu bagaimana menghandle dan membawaku tiba pada tujuan-tujuannya yang sebenarnya.

San Donato, five days before Christmas 2009

No comments:

Post a Comment