Friday, May 29, 2009

Ayahku, guruku, panutanku


PROLOG : Misa Sabtu sore di gereja St . John Cathedral baru usai. Gelap baru saja tiba saat aku melangkah keluar dari pintu gereja, walau jam tanganku sudah menunjukkan waktu pukul 19.30 malam. Sebuah bintang terang menampakkan dirinya di antara bangunan tinggi, menghias langit Kuala Lumpur yang mulai kelam. Cahayanya cukup untuk mengalahkan sinar lampu kota yang mulai semarak. Bintang itu seakan tersenyum kepadaku. Aku memandanginya berlama-lama, teringat hari istimewa yang baru akan berlalu di rumah orangtuaku nun jauh di sana. Hari ini adalah hari ulangtahun ayahku yang ke-70, tapi ada satu hal yang membedakannya dengan hari-hari ultahnya yang lain, yaitu bahwa hari ini ayahku resmi memasuki masa pensiunnya , setelah 41 tahun mengabdi sebagai dosen bahasa Inggris di IKIP Malang. Lebih dari separuh usia ayahku dihabiskannya sebagai seorang pendidik. Ada rasa rasa bangga, syukur, kenangan, juga kesedihan bercampur aduk jadi satu dalam hatiku saat ini, menyertai keinginan untuk berada di rumah bersama orangtuaku untuk ikut merayakan peristiwa penting ini.

Seluruh masa kecil dan masa remajaku diwarnai oleh karya ayahku sebagai seorang dosen. Dulu kalau ayahku pulang dari bepergian jauh untuk tugas, misalnya ke luar negeri, kedatangannya selalu disambut gembira oleh kami bertiga. Karena ayah tak pernah lupa untuk membawa es krim yang lezat untuk anak-anak. Waktu itu aku mengira bahwa es krim adalah suatu jenis barang oleh-oleh yang didapatkan ayah bila sedang berada di luar negeri. Aku tidak tahu bahwa ayah selalu membelinya di toko Avia di jl. Basuki Rahmat dalam perjalanan pulang ke rumah, setelah dijemput Pak Sunar, supir yang diberikan kantor untuk melayani ayah. Es krim adalah oleh-oleh yang hebat buatku, walau tak pernah merupakan satu-satunya hadiah. Kakakku laki-laki pernah mendapat sepur-sepuran dari Jepang, kakakku perempuan dan aku pernah mendapat baju bagus berwarna merah bata dari Kuala Lumpur. Model dan warnanya persis sama, (mungkin supaya kami berdua tidak bertengkar karena berebutan), sehingga kami memakainya bersama dan berfoto. Baju itu terasa gatal di kulit, tapi modelnya manis dan karena dari luar negeri, aku bangga memakainya.

Memasuki jenjang2 awal di sekolah dasar, tiba-tiba mobil Fiat abu-abu kebanggaan kami sekeluarga menghilang bersama dengan pak Sunar-nya yang lucu dan selalu berpeci itu sekalian. Bersamanya menghilang juga semua kenangan manis perjalanan kami ke rumah nenek di Jogja dan ke pantai Pasir Putih kesukaan kami. Ibuku bilang bahwa mulai saat itu ayah menempuh studi doktor, dan tidak ada mobil lagi, yang diberikan kepadanya karena jabatannya sebagai Pembantu Rektor saat itu. Ayahku lalu membeli sepeda motor baru sebagai moda transportasinya. Aku berpikir ayahku sedang belajar sambil terus bekerja. Tapi selebihnya tidak terlalu kupikirkan karena mulai saat itu kami merasakan keasyikan baru bermalam minggu naik turun bemo yang berisik untuk makan malam di luar sekeluarga.
Lalu bila hari Minggu tiba, ada 4 buah sepeda beriringan menyusuri jalan Ijen. Ayah ibuku berboncengan di depan, disusul kakak laki-lakiku di depan, kakak perempuan dan aku dengan sepeda mini. Kami mengeluh kalau tiba saatnya harus membersihkan sepeda. Kakakku perempuan mengomel karena kakinya jadi besar gara-gara harus mengayuh sepeda setiap hari ke sekolah. Itulah sebabnya saat giliranku tiba untuk naik sepeda ke sekolah, aku memilih berjalan kaki. Keputusan yang tidak banyak membantu karena ternyata kaki besar adalah bawaan dari ibu kami dan bukan persoalan mengayuh sepeda atau tidak.

Kulihat ayahku berhenti berkata-kata, ia tampak tercekat, dan melanjutkan kalimatnya dengan bergetar. Ayahku menangis, pikirku. Hari itu ayahku telah berhasil menyelesaikan studi doktornya dengan baik dan sangat memuaskan. Aku tidak tahu persis mengapa ayahku menangis. Aku hanya berdiri dengan kaku di samping kedua kakakku, yang juga tampak kaku seperti kawat, serta ibuku yang cantik memakai sanggul dan kebaya. Kami sibuk menerima ucapan selamat dari orang-orang di jurusan bahasa Inggris yang mengantri untuk bergantian menyalami kami. Diam-diam aku merasa bangga juga, walau tidak tahu persis apa yang telah dicapai ayahku. Namun aku tahu Ayah telah mencapai sesuatu yang amat penting dan bernilai, sehingga orang banyak datang dan menyalaminya. Aku mengerti Ayah telah berhasil mencapai sesuatu yang berharga yang telah dicapainya dengan kerja keras.
Sejak hari itu, bila hari Natal tiba dan kartu-kartu natal berdatangan, aku melihat gelar Dr. di depan nama ayahku di amplop kartu. Ayahku tampak bangga melihatnya, demikian juga aku. Perlahan-lahan keadaan ekonomi orangtuaku menjadi lebih baik lagi sehingga ayah bisa membeli sebuah minicab baru. Walau mobil kecil itu tidak lincah tapi hari-hari ceria kami di Pasir Putih kembali lagi bersamanya.

Hari-hari terus berlalu, aku mulai mendapat gambaran yang jelas dan indah tentang profesi ayahku. Entah karena pengaruh lingkungan keluarga atau yang lain, kelas 4 sekolah dasar aku mulai suka main guru-guruan. Bila libur sekolah tiba, aku asyik mengatur bangku-bangku kecil di depan sebuah papan tulis kecil yang dibelikan ayahku untuk kami belajar. Aku mengajak seorang teman bermainku dan seorang anak tetangga untuk duduk tenang di sana dan menjadi muridku. Aku sibuk menyiapkan bahan pengajaran dari buku lamaku dan memberikan mereka latihan di papan tulis untuk dikerjakan di buku mereka. Setelah beberapa waktu aku membuat rapor untuk mereka berdua dan mengumumkan siapa juara kelasnya. Hadiah yang kusiapkan berupa botol-botol kosong bekas kosmetik milik ibuku. Aku merasa sangat senang dan puas saat itu.

Kami mempunyai kamar belajar yang saling berdampingan dengan kamar kerja orangtuaku. Di tengah kesibukan ayahku belajar dan bekerja, ia masih menyempatkan diri untuk memeriksa ulangan harianku di sekolah serta sesekali memberiku latihan untuk membaca sebuah teks bahasa inggris. Bila hari penerimaan rapor tiba dan aku muncul menjadi juara kelas serta kebetulan ikut ayahku ke ruang kerjanya di kantor, ia akan memberitahu staf di kantornya bahwa aku juara kelas. Mereka menyalamiku sambil memujiku. Tentu saja aku gembira.
Saat di bangku SMP, ketika aku berjalan kaki bersama teman menuju sekolah, kadang mobil ayahku melintas- saat itu mobil ayah sudah sedan Ford Laser yang keren, karena jabatannya yang sudah semakin tinggi di kantor- di tengah perjalananku. Maka aku pun segera meloncat masuk ke dalam mobilnya dan pulang bersamanya. Lalu saat makan di luar sekeluarga di malam minggu, aku dan kedua kakakku sering berkelakar untuk mencari restoran yang ada mahasiswanya ayah, karena kemungkinan besar kami akan makan gratis.

Aku juga senang mendengar cerita ayah bahwa ia termasuk seorang dosen yang sangat disegani karena cara mengajarnya yang ’killer’. Julukan itu diberikan oleh para mahasiswa yang tidak siap untuk mengikuti kelasnya karena tidak mempersiapkan diri. Pertanyaan dan umpan dari ayahku tentu saja tidak bisa dikembalikan dengan baik oleh mereka yang tidak siap. Cara mengajar dan memberi tes ayahku pun sangat efisien sehingga ia tidak pernah terlambat menyerahkan nilai murid-muridnya pada waktunya.
Kurasa sikap ayah yang fair dan demokratis juga terbawa dalam mendidik anak-anaknya. Sikap demokratisnya lah yang mendorong aku untuk meninggalkan rumah dan melanjutkan sekolah di luar kota sekalipun kemampuanku dan jurusan yang kuambil masih mengandung banyak kontroversi. Ayah mendorongku untuk mengikuti keinginan hati dan mengambil keputusan yang berani. Aku ingat aku sering kesal pada dosen-dosen di kampusku yang seringkali sangat lama memberikan hasil ujian akhir, bahkan hingga pendaftaran semester baru sudah dimulai. Keterlambatan itu justru sering dilakukan oleh para profesor yang dikenal dengan istilah ‘dewa’ oleh mahasiswa. Aku ingat ayahku yang saat itu juga sudah seorang professor, dan aku bangga karena aku tahu bahwa kedisiplinannya tidak akan pernah mempersulit mahasiswa seperti yang aku alami di almamaterku.

Saat yang paling menyenangkan ketika aku sedang kuliah adalah ketika ayahku kebetulan ada rapat di kota tempatku belajar. Itu adalah kesempatan untuk bersama-sama dengan ayah yang kurindukan, sekalipun hanya beberapa hari saja. Itu juga berarti mandi air panas,tidur di tempat tidur empuk berpendingin ruangan, dan sarapan pagi. Semua kemewahan yang tentu saja tidak aku temui di tempat kost. Aku berdiskusi dengan ayah di hotel dan pernah menyelesaikan tugas kuliahku di kamar tempat ayah menginap. Aku sedih kalau sudah tiba saatnya ayah pulang. Aku melepasnya pergi di depan tempat kostku dan melihat taksi yang membawa ayahku menghilang di tikungan jalan.
Namun kesedihan yang cukup mengesan adalah saat akhirnya aku diwisuda dan ayah harus berada di luar gedung wisuda bersama kakak perempuanku. Tempat itu juga disediakan bagi puluhan orangtua mahasiswa lainnya yang anak-anaknya menyelesaikan masa studi lebih dari 5 tahun. Entah apa yang dipikirkan ayahku saat itu, aku tidak berani bertanya kepadanya. Bagaimanapun, masa2 kuliahku memberiku pelajaran hidup yang tak ternilai.

Setelah aku bekerja dan menikah, aku tinggal di ibu kota bersama suamiku. Akhirnya aku menjadi guru seperti cita-cita masa kecilku. Aku senang sekali karena ayah masih sering datang karena tugas-tugasnya sebagai ketua proyek penelitian mengharuskannya untuk datang ke ibu kota. Kami akan jalan-jalan bertiga ke pertokoan, mencari sesuatu untuk ibu, dan berburu makanan enak di restoran sekitar tempat tinggal kami. Bila sore tiba dan ayah sudah luang, aku suka bersepeda berdua dengannya mengelilingi telaga yang indah yang terletak di area perumahan tempat tinggalku. Kenangan masa kecil seolah kembali bersama kicauan burung sore, diiringi riak-riak air telaga yang berkilauan ditimpa cahaya matahari senja.
Aku bangga dan senang karena ayahku masih sangat sehat dan gesit di usianya yang mulai senja, serta masih terus dipercaya untuk menangani berbagai hal di kantornya. Aku yakin departemen tempat ayah bekerja sangat beruntung dengan adanya ayah di sana. Seringkali aku pun bertanya tentang masalah yang kujumpai dengan murid-muridku. Cara ayah mengajar dan membuat ujian juga menjadi inspirasi buatku saat mengajar.

Kebanggaanku pada ayah kembali memenuhi hatiku saat ayah diundang oleh sekolah tempatku mengajar untuk memberi ceramah tentang tes, bidang keahlian ayahku. Aku senang bila seluruh dunia dapat melihat siapa ayahku. Seorang pekerja keras yang kompeten di bidangnya, seorang yang penuh dedikasi dan disegani oleh koleganya, tidak berkompromi dengan hambatan baik dari dirinya maupun dari luar, dan tentu saja seorang inspirator bagi anak-anaknya, yang selalu muncul dengan ide-ide orisinil untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan.

EPILOG : Aku melangkah menuju jalan raya di depan gereja. Bintang terang yang tadi bersinar di atas kepalaku kini turut mengiringi langkahku pulang. Semua perjalanan karir yang panjang yang ditandai oleh prestasi dan dedikasi ayahku telah usai secara resmi hari ini. Apa yang sudah dijalani dan dicapai oleh ayahku di depan mataku sepanjang hidupku adalah seperti bintang terang yang kini sedang mengikutiku pulang. Ia jauh dan tidak tergapai, tetapi sinarnya menempuh jarak dan waktu menembus keabadian hidup. Kapanpun aku membutuhkan sinarnya untuk menerangi kegelapan jalanku, ia akan selalu di sana untuk memanduku menemukan tujuan akhir perjalananku.

THE GIFT : (diambil dari berbagai sumber)

Ayahku pernah bercerita awal karirnya sebagai guru dulu. Karena tidak punya uang, ia harus bersekolah guru dengan ikatan dinas. Ketika tiba saatnya ia diberitahu dimana ia harus bertugas, ayah membanting surat penugasannya. Di sana tercantum sebuah kota kecil di Kalimantan yang bahkan tidak tertera di peta. Kini, aku tahu bahwa ayah telah menuntaskan jalan yang diberikan Tuhan kepadanya dengan sangat baik. Memang tak ada yang kebetulan bagi anak-anak Tuhan yang dikasihiNya. Tuhan membimbing langkah ayahku sedemikian ajaib dan indah hingga kini kami semua dapat menikmati sebuah lukisan Tuhan yang sangat indah yang telah paripurna dengan ayah sebagai kuasNya. Seperti seorang hamba yang melaporkan apa yang telah dibuatnya dengan talenta yang sudah diberikan oleh tuannya, aku tahu bahwa Sang Tuan kelak akan berkata kepada ayahku “Masuklah dalam kerajaanKu hai hambaKu yang setia, karena engkau sudah mengembangkan talenta yang sudah Kuberikan kepadamu hingga berbuah berkali-kali lipat. Kini nikmatilah kebahagiaan bersama Ku”

Beranjak tua dan pensiun mungkin merupakan tugas tersulit yang harus dihadapi dalam hidup ini. Tetapi sebenarnya ia hanyalah satu lagi langkah peralihan hidup. Ketika kita lahir, kita beralih dari hidup dalam kandungan ke hidup dalam keluarga. Ketika kita masuk sekolah, kita beralih dari hidup dalam keluarga ke hidup dalam komunitas yang lebih besar. Ketika kita menikah, kita beralih dari dari hidup dengan banyak pilihan ke hidup yang terikat ke satu pribadi. Ketika kita pensiun, kita beralih dari hidup dengan pekerjaan yang jelas menuju hidup yang menuntut kreativitas dan kebijaksanaan. Itulah seabnya ada sebuah perumpamaan yang mengatakan “beranjak menjadi tua bukanlah tugas untuk para pengecut” .

Bagi anak-anak Tuhan, ada satu hal yang takkan pernah menjadi tua dan usai, yaitu kasih Tuhan. Dia mengatakan kepada kita : “ Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu .” (Yesaya 46:4)
Selamat menikmati masa pensiun, ayahku tercinta. Semoga engkau akan terus berbuah di dalam Tuhan dan menikmati damai sejahtera dalam karya-karyamu yang masih terus menanti curahan bakat dan kemampuanmu. Semoga Tuhan selalu melengkapimu dengan kesehatan, kegembiraan, kebijaksanaan dan iman.

“Mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah kita . Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar“ (Mazmur 92 : 14-15)

Kuala Lumpur, 29 Agustus 2005
“Buat ayahku tercinta Michael Soenardi Djiwandono
di hari pensiun dan ultahnya yang ke-70 , 27 Agustus 2005”
Yang selalu bangga dan selalu mengasihimu, Uti

2 comments:

  1. Great, great, very moving piece of writing about our Dad. Yeah...

    ReplyDelete
  2. thank you Satis for your compliment...I just appreciate what God has given me so wonderfully in my life....in my own way

    ReplyDelete