Wednesday, May 20, 2009

Hari Rabuku tanpa abu


Hari ini untuk pertama kalinya adalah Rabu Abu tanpa abu bagiku. Pagi-pagi aku dan suamiku bangun untuk bisa merayakan misa Rabu Abu di gereja Santa Barbara di dekat rumah. Seperti hari-hari yang lain, misa hari ini dihadiri tidak lebih dari duapuluhan umat. Setelah Homili dan bahkan Komuni selesai, semakin jelas bagi kami bahwa di gereja di Milan tempat kami bermukim ini tidak ada pembagian salib abu di hari Rabu Abu. Aku dan suamiku berpisah di halaman gereja karena ia harus ke kantor dan aku sendiri melangkah pelan kembali ke arah rumah kami.


Cuaca menjelang berakhirnya musim dingin menuju datangnya musim semi di hari-hari ini sangat cerah. Matahari tidak pernah lupa untuk mampir di langit yang biru menghamburkan cahayanya yang hangat dan ceria. Sambil menikmati pemandangan sekitar yang dipenuhi pepohonan yang belum mulai berdaun kembali, aku setengah melamun masih memikirkan absen-nya abu di perayaan misa yang baru saja kuhadiri.


Walaupun tidak ada abu, hari-hari di Milan saat musim dingin yang hampir berlalu ini begitu akrab dengan warna abu-abu. Tidak hanya pepohonan yang tidak berdaun dan hanya menampilkan batang dan rantingnya yang berwarna kelabu, tetapi juga pakaian musim dingin orang-orang dimanapun aku berjumpa selalu bernuansa abu-abu atau hitam dan coklat tua. Belum lagi sering absen-nya matahari karena selalu tertutup awan tebal atau hujan salju yang renyai. Mungkin orang di sini sudah kenyang dengan warna abu di musim dingin sehingga tidak merasa perlu adanya abu di hari Rabu Abu, pikirku mencoba bercanda dengan diri sendiri.


Teringat saat pelajaran menggambar di sekolah dulu, aku bisa mendapatkan warna kelabu dengan mencampurkan warna putih dengan warna hitam. Semakin banyak warna hitam yang aku campurkan, semakin gelap warna kelabu yang dihasilkan.


Pergulatan batin manusia juga selalu ditarik ke dua arah putih dan hitam, negatif dan positif, mudah dan sulit, sukacita dan dukacita, dingin dan ramah, optimis dan pesimis, rajin dan malas, pelit dan murah hati. Walau tentang baik dan buruk kadang tidak selalu bisa diambil batas yang jelas. Banyak hal berada di wilayah abu-abu. Mungkin karena kita tidak pernah sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih tetapi selalunya komposisi dari keduanya.


Dalam masa masa berpantang dan berpuasa ini warna abu mengingatkanku untuk mengatur keseimbangan komposisi hitam dan putih yang menjadi pilihan-pilihanku setiap hari. Warna-warna hitam kegelisahan, iri hati, kemalasan, kesombongan, kehilangan harapan, diimbangi dengan warna-warna putih cerah dari kemurahan hati, belaskasihan, solidaritas, harapan, kasih pengampunan dan pengorbanan.


Pergulatanku setiap hari untuk memadukan dua warna yang berbeda ini akan menghasilkan komposisi warna yang akhirnya akan mewarnai seluruh hari-hariku dan relasiku dengan sesama dan Tuhan. Semuanya kembali kepada diriku. Kadang memilih untuk mencampurkan lebih banyak warna putih sangat berat dan ‘makan hati’ , tetapi aku teringat kepada perumpamaan yang diberikan Yesus kepada para murid, “Demikian pula hal Kerajaan Surga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, ia pun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu”.


Bagaimanapun beratnya, keputusanku dan kesadaranku untuk mencampurkan lebih banyak warna putih setiap hari mengantarkanku kepada harta mutiara yang terindah yang tersembunyi yang hanya bisa ditemukan dalam warna abu-abu muda yang tidak terlalu banyak warna hitamnya.


San donato, 25 Februari 2009

1 comment:

  1. INi yang sering juga ku jumpai di kehidupan sehari-hari: bagaimana menyikapi hidup yang kadang-kadang abu-abu, walaupun hati nurani senantiasa mengidamkan yang putih. Thanks for posting.

    Patrisius

    ReplyDelete