Tuesday, May 31, 2011

Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh


Kita tahu, bahwa kita sudah berpindah dari dalam maut ke dalam hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut. (1 Yoh 3 : 14)

Manusia tentu gembira dengan kesembuhannya dari suatu keluhan atau rasa sakit. Tetapi sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah merasa lebih senang kalau saya sakit. Walaupun sudah sembuh, saya berpura-pura masih sakit. Saya mengatakan kepada Ibu (dan kepada diri saya sendiri) bahwa badan saya masih terasa tidak enak, walaupun saat itu sebenarnya saya mulai pulih dan sehat. Alasannya (yang hanya saya sembunyikan dalam hati saya), saya malas kembali ke bangku sekolah. Saya menemukan betapa nikmatnya berbaring santai di tempat tidur, makan diantar, dibelikan apa saja yang saya inginkan, dan tidak perlu bangun pagi-pagi. Daripada duduk di dalam kelas yang melelahkan dan kadang membuat saya bosan, atau tegang ketika harus menjawab soal-soal yang sukar dari guru yang galak. Setelah peristiwa itu berlalu beberapa waktu dan saya sudah kembali bersekolah, tiba-tiba saya sadar betapa bodohnya saya. Jutaan anak miskin seusia saya merindukan untuk bisa mengecap bangku sekolah tetapi tidak mampu karena tidak punya uang untuk membayar biayanya. Sekolah, walaupun memang lelah, membuat saya mengerti banyak hal, dan yang lebih penting saat itu, saya bisa bertemu teman-teman sebaya dan bermain sepuas-puasnya dengan mereka. Apalagi ketika salah satu teman saya kemudian juga sakit, agak serius. Saya menyadari lagi betapa nggak enaknya sakit itu; badan lemah, nafsu makan hilang, tidak bisa bermain. Oh, betapa menggelikan dan konyol pilihan saya untuk tetap sakit ketika itu, di samping perasaan bersalah karena telah berbohong kepada Tuhan, Ibu, dan diri saya sendiri.

Sekarang saya tidak bisa segera tertawa kalau mengenang kekonyolan saya sewaktu kecil itu, karena sebagai orang beriman, ternyata dalam kehidupan ini, saya juga masih sering memilih untuk menjadi orang sakit daripada orang yang sudah disembuhkan dan dipulihkan Tuhan. Melalui derita salib-Nya yang begitu menyakitkan, Tuhan sudah membebaskan saya. Saya seperti seekor domba yang tersesat karena hanya mengikuti keinginan pribadi, namun Tuhan yang bangkit di hari Paskah yang cerah, sudah menemukan saya lagi. Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu (1 Petrus 2 : 24-25). Tetapi tantangan kehidupan ini memang tak ada habisnya. Ketika kita bahkan belum selesai berperang dengan kelemahan diri sendiri, pada saat yang sama kita juga harus berhadapan dengan Si jahat yang terus menerus memanfaatkan kelemahan kita untuk menjauh dari Allah dan memusuhi sesama. Itulah sebabnya dalam kehidupan sehari-hari, sepertinya saya masih saja ‘memilih’ menjadi orang tersesat. Betapa menyedihkan pilihan itu; orang merdeka yang tidak sadar dengan kebebasannya, orang sehat yang masih saja merasa dirinya sakit, orang yang telah pulang yang menempatkan dirinya sebagai orang tersesat. Apakah memang demikian? Ya, kalau saya membiarkan kemarahan menguasai diri saya ketika seorang teman menyinggung perasaan saya. Ketika saya tidak mengendalikan iri hati melanda kala ada anggota keluarga yang mengalami berkat melimpah dari Tuhan. Ketika saya mengabaikan tetangga saya yang sedang sakit dan kesepian. Ketika saya tidak menjaga mulut saya dari kecenderungan menghakimi orang lain yang sedang jatuh ke dalam dosa, atau menilai situasi hidup yang tidak sesuai harapan dengan celaan yang berkepanjangan. Ketika saya tidak menahan diri untuk diam dan mengalah saat adu argumen dengan sesama menjadi hangat. Ketika saya menyalahkan Tuhan pada saat terjadi peristiwa musibah tak terelakkan, seolah-olah tidak ada harapan lagi sama sekali. Ketika saya malas dan tidak disiplin dengan waktu, atau ketika saya menikmati sesuatu yang bukan hak saya.

Ya, sikap-sikap saya tidak selalu mencerminkan bahwa saya orang yang merdeka, orang yang sudah ditebus dengan darah yang mahal, orang yang sudah ditemukan kembali oleh Bapa untuk menikmati hadirat-Nya yang damai, yang sudah disembuhkan sepenuhnya dari belenggu dosa. Betapa ruginya saya. Padahal oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh. Tetapi terbelenggu dalam dosa dan kebiasaan yang buruk mungkin terasa lebih nikmat, ya dosa memang nikmat. Dan hidup benar itu memang berat. Kita perlu berjuang sekuat tenaga untuk menghayati hidup orang yang merdeka, orang yang tidak lagi mengarahkan perhatian kepada dunia tetapi berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus (Filipi 3 : 14). Seperti saya di waktu kecil, yang merasa enak dengan keadaan sakit yang stagnan, tidak berbuat apa pun, hanya tidur, makan, mendapatkan apa yang diinginkan. Kenapa saya harus repot-repot duduk di bangku sekolah, bangun pagi, mengerjakan PR, berlatih mengerjakan soal yang sukar, dan bergaul dengan teman sebaya. Bukankah lebih enak menjadi sakit dalam dosa, daripada berlelah-lelah belajar memperoleh harta kehidupan kekal: saat saya belajar menahan diri untuk mengasihi sesama dengan lebih tulus, menghentikan kebiasaan saya yang buruk walaupun nikmat, dan melayani sesama yang menderita. Tetapi, saya dan Anda tahu pilihan yang mana yang akan membuat kita lulus ujian, yang membuat kita hidup, berkembang, dan akhirnya berbuah. Dan kemerdekaan Allah adalah kemerdekaan yang sungguh membebaskan, setiap kali kita membiarkan diri ditangkap oleh Allah, menyalibkan keinginan daging kita, mengosongkan diri, berdisiplin, dan membiarkan Allah mengisi hidup kita penuh-penuh.

Seorang teman saya pernah membaca*), konon salah satu kata-kata paling kuat di dunia ini adalah “saya juga” atau “me too”. Saat kita mendapati ada orang yang telah atau sedang mengalami suatu penderitaan atau kesukaran yang sama dengan yang kita alami, kita merasa mendapatkan kekuatan dan semangat yang luar biasa. Bila kita dihadapkan pada situasi yang sangat sukar atau tidak adil, sehingga kita ingin memilih untuk menjadi orang sakit dan sesat saja tetapi nyaman, daripada memilih untuk bertahan dalam hidup, hendaknya kita ingat bahwa Tuhan Yesus sudah lebih dulu mengalaminya bagi kita. Pengalaman ditolak, diacuhkan, dibuang, ditinggalkan orang-orang terdekat, bahkan disiksa dan dianiaya sampai mati tanpa belas kasihan sama sekali. Kesakitan dan penderitaan yang luar biasa. Kalau bukan karena cinta dan kerendahan hati yang sungguh sungguh tulus, tidak ada seorang manusia pun mampu menjalani apa yang dijalani Yesus bagi kita di jalan salib-Nya itu. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilir-bilurnya kita menjadi sembuh. (Yesaya 53 : 4-5).

Ketika kita merasa hidup tidak berpihak pada kita, ketika semua orang terasa membelakangi kita, ketika kesedihan hidup datang tanpa diundang, ketika kita jatuh terus ke dalam kelalaian dan kedosaan, semoga kita tidak putus asa dan kehilangan harapan. Ingatlah akan Yesus, yang selalu berjalan di samping kita, dengan salib di pundak-Nya, membisikkan dalam hati kita, “Aku juga, Aku juga telah mengalaminya, dan Aku telah mengalahkannya” dan oleh karena itu Ia melanjutkan “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia." (Yoh 16 : 33b). Kala saya hitung berapa kali Tuhan Yesus mengatakan “jangan takut” kepada para murid di dalam seluruh Injil, saya menemukan Yesus mengatakannya empat belas kali dalam berbagai kesempatan yang berbeda. Bila kata-kata dari Tuhan itu juga dicari di dalam Kisah Para Rasul dan Kitab Wahyu, jumlahnya delapan belas kali.
Pilihan kembali Tuhan letakkan di tangan kita. Hari raya Paskah akan selalu datang dan datang lagi, tetapi makna sejati dari peringatan Paskah yang berkemenangan itu baru terjadi saat kita memilih untuk memiliki jati diri sejati sebagai manusia yang sembuh, utuh, mulia, dan berkelimpahan di dalam Dia. Dia yang sudah menebus kita dan menemukan kita kembali lewat penderitaan dan kebangkitan-Nya dari alam maut.
Selamat Paskah, kiranya kasih Tuhan Yesus yang menyembuhkan, memulihkan kita semua. (uti)

*) Terimakasih kepada Pak Lucas Nasution yang berbagi pengetahuan itu kepada saya

Saat Listrik Padam


Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasihNya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit, hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan Allah adalah Allah yang adil, berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia (Yesaya 30 : 18).

Semalam listrik di rumah orangtua saya padam selama kira-kira satu setengah jam. Sejak saya masih kecil, listrik PLN di kota kelahiran saya ini memang cukup sering padam. Saat listrik mati di malam hari, nyaris tidak ada sesuatu yang berarti yang bisa dilakukan. Kecuali jika ada mesin pembangkit listrik portable yang bisa memberikan energi listrik cadangan dan membuat peralatan listrik, terutama lampu, bisa menyala. Maklum hampir seluruh kegiatan hidup manusia modern ditopang oleh energi listrik. Jangankan internet, membaca buku atau koran saja kurang bisa karena tidak nyaman dilakukan dalam penerangan cahaya pengganti yang biasanya minim. Maka di rumah, satu-satunya yang bisa dilakukan dengan nyaman hanyalah duduk-duduk sambil mengobrol sekeluarga di ruang tengah dalam keremangan cahaya lampu darurat yang terangnya terbatas. Sambil menunggu lampu menyala kembali dan dengan harapan menyala dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“Terpaksa” duduk bersama dalam keremangan tanpa bisa melakukan hal lain kecuali mengobrol, ternyata terasa sangat mengasyikkan bagi saya. Kisah-kisah kenangan masa kecil, humor-humor keluarga, dan aneka pembicaraan hangat antar anggota keluarga segera mengalir. Aneka percakapan segar yang jarang sempat menemukan momennya dalam kesibukan masing-masing anggota keluarga sehari-harinya. Kegelapan yang di waktu kecil sering membuat saya jengkel terhadap PLN, (karena di masa kecil, malam hari adalah saatnya belajar dan membuat PR), malam itu malahan nyaris saya syukuri.

Kemudian, tak lama listrik PLN pun kembali menyala. Dalam waktu singkat, momen kehangatan berkumpul tadi seketika berakhir. Setelah lampu menyala, semua kembali terserap ke kesibukan masing masing, Ibu melanjutkan melihat acara kesayangannya yang tadi sempat terputus di televisi, dan Bapak segera melanjutkan kesibukannya mengoreksi pekerjaan mahasiswanya di depan laptop. Saya terhenyak menyadari diri saya sendiri masih termangu-mangu rindu di ruang tengah, sendirian, masih ingin melanjutkan obrolan seru kenangan masa kecil yang seketika terhenti ketika lampu menyala lagi. Tetapi tidak ada siapa-siapa lagi di dekat saya. Saya menyadari dengan heran bahwa untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merindukan listrik PLN mati.

Tuntutan dunia modern yang memacu semua orang terlibat dengan aktif di dalamnya dan diiringi tuntutan ekonomi keluarga, kadang-kadang membuat anggota-anggota keluarga tanpa disadari kehilangan momen-momen penting untuk saling mendengarkan, dan saling menguatkan satu sama lain. Apalagi bila acara makan bersama bukan menjadi budaya di keluarga itu. Anak-anak dan pra-remaja merindukan untuk bisa mengobrol berlama-lama menceritakan aneka pengalaman hidupnya kepada orangtuanya; para istri atau suami rindu untuk curhat lebih banyak kepada pasangan hidupnya. Momen-momen kebersamaan dan kebiasaan untuk saling mendengarkan dan bertukar kisah, membuat hidup sebagai keluarga mempunyai makna yang dalam. Kebersamaan ini memberikan keseimbangan dalam jiwa kita, dan merawat kesehatan mental kita sebagai anggota masyarakat, yang penuh dengan tantangan dan dinamika yang kadang tidak mudah untuk dihadapi. Orangtua mempunyai banyak kesempatan emas untuk memberikan pengajaran akan nilai-nilai hidup yang berharga kepada anak-anaknya, manakala aktivitas saling bercerita dan saling mendengarkan sudah menjadi kebiasaan di dalam keluarga. Tetapi jaman sekarang, kalaupun listrik mati, mungkin para remaja masih akan sibuk ber-SMS ria dengan kawan-kawannya atau sibuk bermain-main dengan aneka games yang tersedia di telepon genggamnya dan anak-anak masih bisa sibuk dengan alat permainan anak-anak masa kini sejenis Nintendo-DS portable bertenaga baterai.

Kalau berinteraksi dengan intensif antar anggota keluarga saja sering tidak terlalu sempat, bagaimana halnya dengan membina relasi aktif interaktif dengan Tuhan? Pada saat kita sedang begitu sibuk mengerjakan aneka persiapan untuk pelayanan dan pekerjaan di Gereja, bagaimana seandainya Tuhan yang kita layani ternyata hanya duduk di sudut memperhatikan kesibukan kita sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, berkata dengan rindu kepada kita, “Martha, Martha, engkau begitu khawatir akan banyak perkara. Duduklah saja di sini di dekatKu dan marilah menyegarkan dirimu dengan aliran kasihKu yang selalu rindu untuk Kucurahkan kepadamu”. (Bdk. Lukas 10 : 38-42). Atau saat kita sedang dilanda rasa malas untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci dan enggan meluangkan waktu lebih banyak untuk berdoa, Tuhan memandang kita dengan sedih sambil berkata,” Tidak dapatkah engkau berjaga bersamaKu satu jam saja? “ (Bdk. Markus 14 : 37-38). Cinta kasih kepada sesama manusia seperti diri kita sendiri adalah sangat penting dan merupakan perintah Allah sendiri. Tetapi mencintai Allah harus tetap menjadi prioritas yang utama. Justru dari cinta yang murni kepada Allahlah, cinta kita kepada sesama menemukan motivasi yang tepat dan kekuatan yang selalu terbarui. Urutannya jelas di dalam perintahNya mengenai hukum yang pertama dan utama. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22 : 37-39).

Saya teringat homili romo di gereja yang saya kunjungi hari ini: orang yang tidak peduli dengan kebutuhan sesamanya disebut egois. Orang yang peduli dan selalu membantu sesamanya tanpa memikirkan tentang Allah disebut humanis. Menjadi humanis sangat baik, tetapi belum cukup. Karena Allah yang menciptakan kita dan memelihara kita yang berhak atas kasih dan pujian serta penyembahan dan pelayanan kita yang mula-mula di atas segalanya.

Mengerjakan hal-hal yang baik bagi sesama dan keluarga serta melayani Gereja-Nya tanpa secara khusus menyediakan waktu berdiam di hadapanNya sambil membuka diri untuk mengetahui apa yang Dia sebenarnya kehendaki dari kita, bisa membuat perjalanan kita untuk sampai kepada Tuhan terbelokkan ke arah yang tidak tepat. Mungkin analoginya seperti membuat kunjungan ke sebuah panti jompo, sambil membawa aneka hidangan lezat dan mahal yang sudah kita persiapkan dengan penuh kasih dan semangat, untuk bisa dinikmati para lansia yang akan kita kunjungi. Sesampainya di sana, ternyata hidangan lezat aneka rupa yang sudah kita persiapkan tidak bisa dinikmati oleh mereka, karena ternyata sebagai lansia mereka mempunyai banyak pantangan makanan demi menjaga kesehatan mereka yang sudah semakin rawan di usia lanjut.

Ketika Yesus memperhatikan bahwa para murid sangat sibuk dan bahkan sampai tidak sempat makan, Dia berkata, “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!” (Markus 6 : 31). Setelah itu Yesus dan para murid kembali mendapatkan kekuatan untuk mengajar dan akhirnya terjadi mukjizat menggandakan roti dan ikan. Saya lantas teringat bahwa berhenti secara rutin untuk meluangkan waktu hanya bagi Tuhan dan bersama Tuhan dalam kehidupan doa dan Firman adalah sumber energi bagi hidup beriman dan pelayanan kita. Seperti saat kita tidur, kita tidak melakukan apa-apa, merelakan waktu-waktu kita yang berharga untuk berbaring diam, memejamkan mata, dan terlelap dalam tidur. Setelah bangun, kita menjadi segar kembali dan siap bekerja lagi dengan kekuatan dua kali lipat lebih efisien daripada saat kita memaksakan diri untuk terus bekerja karena merasa sayang membuang waktu untuk berhenti demi istirahat. Dalam berhenti sejenak demi relasi kita dengan Allah, kita akan mendapatkan terang untuk memurnikan motivasi-motivasi kita dan terus belajar untuk hidup dalam kerendahan hati dalam kebergantungan sepenuhnya kepada Tuhan. Demikian Allah berkata, Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah” (Mazmur 46 : 11). Tanpa diam dan berhenti, bisa-bisa kita melupakan tujuan perjalanan hidup kita yang sesungguhnya yaitu untuk melakukan kehendak Allah dan mengasihiNya dengan segenap hati tanpa mengikuti kemauan dan hikmat kita sendiri yang serba terbatas ini.

Maka jika kita mendapati diri kita dalam kemacetan lalu lintas yang menjemukan, atau terjebak dalam situasi hidup di mana segala sesuatu tidak berjalan seperti yang kita harapkan, bersyukurlah dan nikmatilah, karena mungkin itu adalah saat dimana Tuhan yang sedang rindu memanggil kita dan mengijinkan ‘listrik padam sejenak’, supaya kita mengalami kembali betapa hangatnya berdiam di hadapan Tuhan dan betapa nyamannya mendengarkan Dia berbicara dan sekali lagi menyatakan kasih dan berkatNya yang tidak berkesudahan kepada kita. (uti)

Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasehat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam. Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil (Mazmur 1 : 1-3).

Bunda Maria, Bunda Allah, Bundaku


Kata Maria, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1 : 38)

“Maaf, Pak, untuk bisa membuka informasi rekening Anda di bank kami, kami harus bertanya dulu kepada Bapak sebuah pertanyaan ini: “Siapa nama ibu kandung Bapak?” Saya ikut mendengarkan percakapan gadis pegawai customer service sebuah bank itu dengan ayah saya. Saya mendengar Ayah bukannya menjawab pertanyaan itu, melainkan malah ganti bertanya (ayah saya memang sangat hobi mempertanyakan segala sesuatu), “Kenapa ya Mbak, pertanyaan yang menjadi kode rahasia itu selalu nama ibu kandung, mengapa bukan yang lainnya; nama ayah kandung, misalnya?” Gadis customer service itu menjelaskan dengan sabar, “Ya Pak, ibu kandung yang melahirkan kita itu kan pasti hanya satu ya Pak, sedangkan ayah kan tidak. Ayah bisa lebih dari satu, atau bahkan tidak diketahui,” urainya sambil tersenyum. Saya yang tidak ikut bertanya, menjadi tercenung mendengarnya, sehingga saya jadi ikut manggut-manggut menyadari kebenaran jawaban gadis pegawai bank itu. Alangkah personal dan indahnya karunia Tuhan dalam hidup manusia melalui seorang ibu. Seseorang yang tidak punya apa-apa sekalipun pasti mempunyai ibu yang melahirkan dan membesarkannya.



Beberapa waktu lalu saya sempat mengikuti sekilas di televisi, upacara pernikahan putra mahkota Kerajaan Inggris, Pangeran William, dengan kekasihnya, Kate Middleton. Dalam beberapa ulasan seputar pernikahannya, dibahas pribadi Pangeran William yang sederhana dan tidak mengundang banyak kontroversi sebagaimana sering terjadi pada seorang selebriti muda dunia. Rupanya pribadinya yang santun itu tidak lepas dari pengaruh ibu dari Pangeran William yaitu mendiang Putri Diana, yang melahirkan dan membesarkannya dengan semangat kesederhanaan dan kepedulian kepada orang kecil dan sering mengajaknya melihat kehidupan orang-orang biasa di luar lingkungan kerajaan. Terutama di masa kecil Pangeran William ketika ibunya masih hidup dan dekat dengannya. Latar belakang dari cara ibunya membesarkannya itu pula yang nampaknya kemudian mendasari pilihannya kepada seorang Kate, yang bukan berasal dari keluarga bangsawan, sebagai pasangan hidupnya. Latar belakang yang mungkin Pangeran William sendiri tidak selalu menyadarinya, sesuatu yang terpendam di bawah sadarnya, namun membentuk hidupnya begitu rupa, dengan indahnya. Di balik senyumnya yang santun, baik disadarinya ataupun tidak, Pangeran William membawa semua teladan kasih dan pengajaran ibunya dalam segala keputusan hidupnya.



Walaupun banyak orang menandai hari Ibu dan merayakan secara khusus ulang tahun ibu sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap kasih dan pengabdiannya membesarkan kita, dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak selalu menyadari betapa besarnya peran hidup dan cinta seorang ibu di dalam hidup seorang manusia. Dari ibu yang melahirkan dan membesarkan kita, sesungguhnya kita belajar untuk mencintai dan menerima cinta dalam hidup ini, yang akan selanjutnya terus membentuk pribadi kita sebagai manusia dewasa seutuhnya di dalam masyarakat. Dari seorang ibu pula kita belajar mengenal berbagai fungsi-fungsi kehidupan untuk pertama kalinya, dan belajar memahami hidup dengan segala suka dukanya.



Pada bulan Maria, Ibunda Yesus Kristus Tuhan kita, yang jatuh di bulan Mei ini, saya merenungkan keputusan Allah Bapa untuk memilih Maria, seorang gadis bersahaja yang berhati lembut dan penuh iman kepada Tuhan, untuk menjadi ibu kandung dari Yesus. Betapa tidak main-mainnya keputusan itu, betapa akan cermatnya Allah memilih manusia yang akan mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mengantar Sang Anak Manusia yang diutus untuk menebus dosa seluruh dunia dari maut dan dosa kekal. Betapa seriusnya tanggung jawab itu, betapa besar dan dalamnya peran itu, betapa Allah pasti telah memilih dengan cermat agar Anak Manusia dibesarkan di dalam teladan cinta yang penuh dan pengawasan penuh kasih sayang yang akan mengantarnya menjadi manusia dewasa yang memikul tugas semulia dan seagung itu. Ya, seorang manusia, dengan segala keterbatasan seorang manusia. Karena Yesus Kristus adalah sungguh manusia dan sungguh Allah. Ibu dari Penebus dunia tidak mungkin dipilih secara acak dan dipikul oleh siapa saja yang bersedia. Ibu Sang Penebus yang dengan tanggungjawab yang demikian besar membentuk Sang Putera menjadi manusia seutuhnya, dan mengantarnya menjalani penderitaan tak terperi di Kalvari, tentu tidak dipercayakan kepada sembarang manusia. Allah telah mempersiapkan Bunda Maria dengan penuh kecermatan, penuh cinta, bahkan sebelum Bunda Maria dilahirkan, yaitu dengan menyucikannya dari dosa asal, sebagai suatu bekal agung yang akan menyertai perjalanan hidup Putera-Nya ke dunia sebagai manusia, dan menyempurnakan misi agung-Nya sampai akhir.



Dan semua rencana Allah yang luar biasa indah dan mengagumkan itu hanya mungkin terlaksana, jika sang puteri bersahaja dengan kerendahan hati tak terkira, yang telah dipersiapkan Allah itu, berkata “ya”. Karena Allah harus bekerja atas dasar kehendak bebas manusia yang dikasihi-Nya. Seluruh hidup Bunda Maria adalah sebuah jawaban “ya” kepada Allah. Jawaban yang sangat teguh, walau kadang diucapkannya di tengah keraguan, kepedihan, kebingungan, dan ketakutan. Tetapi karena iman dan kasih Maria kepada Allah, ia bertekad untuk tetap dan selalu mengatakan “Ya, Allah, aku mau, aku siap, pakailah aku”. Dan demikianlah seluruh rencana Allah bagi keselamatan alam semesta dan kebahagiaan seluruh umat manusia menjadi kenyataan. Demikianlah jawaban “ya” seorang gadis bersahaja yang penuh ketaatan membuat kita mempunyai Penebus yang begitu luar biasa indah dan agung.



Dan sebagaimana kita begitu mencintai dan menghormati ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita dengan penuh pengorbanan, betapa Manusia Yesus yang bersifat jauh lebih mulia daripada kita, juga akan mencintai dan menghormati ibu kandung-Nya. Betapapun hal itu tidak sepenuhnya terungkap di dalam Kitab Suci. (Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu, Yoh 21 : 25). Bila kita mencintai seseorang, orang itu akan selalu ada di dalam pikiran kita, di dalam hati kita. Bahkan rasa cinta itu dapat membuat kita makin lama makin menyerupai orang yang kita cintai. Saya yakin Yesus sebagai Tuhan dan manusia, sangat menghormati dan mencintai ibunda-Nya. Dan tentu demikian juga sebaliknya, Bunda Maria kepada Yesus, Puteranya. Yesus menyimpan selalu di dalam hati-Nya, cinta dan penghormatan-Nya sebagai anak, kepada Bunda Maria, ibu-Nya. Seperti juga kita manusia kepada ibu kita, bahkan pasti lebih, karena Yesus adalah Manusia Cinta. Itulah sebabnya menjelang akhir hidup-Nya, saat nafas-Nya sudah tinggal satu-satu, Yesus masih ingin mengingat dan memperhatikan Bunda yang dicintai-Nya. Di sela-sela nafas-Nya yang semakin berat dan menyakitkan, Yesus menyempatkan diri berpesan dengan seluruh sisa tenaga-Nya, demi cinta-Nya kepada Bunda-Nya, demi cinta-Nya kepada manusia, demi supaya cinta Ibunda-Nya dan cinta-Nya sepenuhnya tercurah kepada manusia dengan sempurna, Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: "Ibu, inilah, anakmu!" Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya: "Inilah ibumu!" Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya (Yoh 19 : 26-27).



Cinta Yesus akan Bunda-Nya dan cinta-Nya akan manusia memenuhi pikiran-Nya, bahkan dan justru di saat paling kelam dan paling mencekam menjelang akhir nafas-Nya. Oh, betapa pentingnya dan berharganya bunda-Nya itu bagi-Nya. Dan Tuhan Yesus tidak hanya menyerahkan nyawa-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya, tetapi Ia juga menyerahkan bunda-Nya untuk menjadi bunda kita semua. Untuk mengasihi, mendoakan, menjadi teladan dan pelindung kita semua juga. Karena Yesus telah merasakan dan mengalami indahnya cinta bunda-Nya, ia ingin manusia yang dicintai-Nya juga mengalami dan memiliki cinta bunda-Nya itu. Itulah satu lagi bukti betapa amat sangat dalamnya cinta Yesus kepada kita, sehingga seorang ibu yang amat dikasihi-Nya pun tak lupa diberikan-Nya sebagai hadiah cinta untuk kita. Sungguh, tak ada cinta demikian besar dan sempurna yang pernah diterima oleh manusia selain dari cinta Tuhan Yesus Kristus yang total, segala-galanya, seluruh jiwa dan raga-Nya, seluruh milik-Nya yang paling berharga, untuk kita semua. Permenungan ini mencengkeram hati saya dengan keharuan yang amat sangat. Yesus yang mencintai saya dan ingin selalu saya cintai dengan lebih sungguh, amat mencintai bunda-Nya. Begitulah juga rasa cintaku kepada bunda Yesus yang kucinta. Demikianlah cinta Bunda Maria kepada Yesus Putera-Nya yang juga sangat mencintai kita, telah menyempurnakan cinta kasih Allah kepada manusia. Ya, Bunda Maria, Bunda Allah, Bundaku. (Caecilia Triastuti)

Monday, March 7, 2011

Ketika doaku belum terjawab



Sampai di mana kita dapat mempercayai Allah? Ketika hidup berjalan sama sekali tidak sesuai dengan harapan kita, atau saat sakit penyakit dalam berbagai wujud muncul dengan kesembuhan yang terasa begitu jauh, atau saat penderitaan hidup datang akibat sikap-sikap keras kepala dan kesombongan manusia yang begitu parah, apakah kita tetap dapat mempercayai Allah? Ketika doa-doa yang kita panjatkan siang dan malam terasa belum menampakkan tanda-tanda akan dikabulkan, apakah kita tetap setia berharap akan pertolongan Allah atau mulai mencari jawaban di dalam kekuatan-kekuatan lain yang tidak dalam perkenanan Tuhan?

Pada waktu seorang ayah membawa kepada Yesus anaknya yang kerasukan roh jahat sejak ia kecil sehingga membuat sang anak bisu dan tuli serta berkali-kali hendak dibinasakan oleh roh itu, Yesus menegur sang ayah, yang memohon dengan keragu-raguan terhadap kuasa Yesus, kataNya: “Katamu: Jika Engkau dapat? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!” (Markus 9: 23). Saya merenungkan kembali dalam doa saya selama ini apakah dalam hati saya juga mendahului permohonan saya kepada Tuhan dengan kata-kata “Jika Engkau dapat?” Tentu saja Tuhan dapat! Ia adalah Raja Semesta Alam! Sangat penting untuk senantiasa berdoa dengan penuh harapan kepada Allah dan membawa apapun yang kita butuhkan kepadaNya, dengan iman yang penuh bahwa Ia dapat berbuat apapun juga untuk menyelamatkan kita, yang mustahil bagi akal budi kita sekalipun. Tentang kapan dan bagaimana permohonan kita itu akan dikabulkan, itu adalah kebijaksanaan Allah, karena Dia tahu apa yang paling kita butuhkan, dan selalu memberikan yang apa terbaik dalam hidup kita, lebih dari yang kita tahu.

Apa yang sebenarnya paling saya butuhkan dalam hidup ini? Keinginan kita selalu berubah, kebutuhan kita juga demikian, seiring dengan dinamika dan perkembangan hidup kita. Apa yang dulu penting bagi kita sekarang tidak lagi, atau sebaliknya. Kita juga umumnya meminta supaya dijauhkan dari segala kesusahan, padahal sesungguhnya ada banyak sekali hadiah kehidupan, ketekunan, dan tahan uji, tersembunyi di dalam kesusahan hidup, yang membuat kita menjadi semakin tangguh, penuh iman dan kasih, serta bijaksana. Hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh jiwa kita yang kering. Kita sering tidak tahu apa yang tepat bagi kita, dan bahkan kadang kita tidak tahu apa yang sebaiknya kita minta. Karena itulah, Tuhan tidak selalu mengabulkan doa kita, dan kadang Ia menunda sampai kita siap menerima jawaban doa-doa kita. Karena itulah, apa yang sesungguhnya kita perlukan sebenarnya adalah hikmat untuk bisa menghadapi hidup dengan kepercayaan yang teguh akan penyelenggaraanNya, apapun yang terjadi. Karena itulah, mengetahui apa yang sebetulnya paling kita butuhkan, inilah jawaban Tuhan atas doa-doa yang kita persembahkan dengan tulus kepadaNya, apapun itu, yaitu “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di Surga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya." (Lukas 11: 13b). Dan apa yang dilakukan oleh Roh Kudus bagi kita? Dia akan berdoa bagi kita dengan keluhan yang tidak terucapkan, bagi kebutuhan-kebutuhan jiwa kita yang sebenarnya, yang sering tidak kita sadari, sebab kita rancu dengan pengaruh riuh rendahnya dunia ini dengan segala kemegahan semu yang ditawarkannya, dan dengan segala norma-norma yang menjadi ukuran kebahagiaannya.... Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. (Roma : 8 – 26).

Ketika kita merasa ditinggalkan, saat kita merasakan sedih menyayat karena merasa sendiri di dalam penderitaan hidup, kita patut ingat akan kesepian dan kesedihan Yesus saat berdoa di Taman Getsemani. Bapa memang tidak mengabulkan doa permohonan Yesus untuk mengambil cawan yang hendak diminumNya, karena rencana agungNya harus digenapi. Tetapi seorang malaikat diutusNya untuk menguatkan Yesus di dalam kesengsaraanNya dan ketakutanNya sebagai manusia. “Ya BapaKu, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari padaKu, tetapi bukanlah kehendakKu melainkan kehendakMulah yang terjadi” Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepadaNya untuk memberi kekuatan kepadaNya. (Lukas 22 : 42-43).

Akhirnya, penghiburan Allah adalah sumber kekuatan kita yang tidak pernah kering. Saat kita merasa bahwa kesulitan hidup datang dan pertolongan seolah tak kunjung tiba, baiklah kita membaca kembali pernyataan Allah kepada umatNya, Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan Engkau (Yesaya 49 : 15) dan di dalam kesempatan lain Ia berfirman pula, Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau." (Ibrani 13 : 5b). Dua kali Tuhan menggunakan kata “sekali-kali” atau yang artinya sebetulnya adalah “tidak akan pernah” meninggalkan kita. Justru di dalam kesukaran, kita akan semakin banyak mengalami penghiburan dan penyertaan Allah yang membuat jiwa kita sungguh dipuaskan dan terkagum-kagum akan kuasa kasih setiaNya. “Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang,agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilanNya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukanNya bagi orang-orang kudus, dan betapa hebat kuasaNya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasaNya” (Efesus 1 : 18-19).

Dan inilah seruan Yesus ketika Ia mengutus kita untuk hidup mewartakan Dia, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir jaman” (Markus 28 : 20b). Jika Raja Semesta Alam berjanji, kita tahu bahwa janji itu tidak main-main. Tinggal apakah kita bersedia untuk tetap tenang percaya penuh pengharapan seperti Bapa Abraham dan Bunda Maria, dalam teladan iman mereka, tetap percaya sekalipun melangkah dalam segala ketidakpastian dan ketidakmengertian. Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH, Yang Mahakudus, Allah Israel: "Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu." (Yesaya 30 : 15).

Iman adalah kunci menuju kepenuhan penyelenggaraan Allah, penggenapan janjiNya, dan rencana agungNya dalam hidup kita. Begitu pentingnya iman itu sehingga pertanyaan Yesus kepada kita masing-masing adalah seperti yang tertuang dalam perumpamaan tentang hakim yang tak benar “Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihanNya yang siang malam berseru kepadaNya? Dan adakah Ia mengulur-ulur waktu sebelum menolong mereka? Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka. Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" (Lukas 18 : 7-8).

Bagaimana tanggapan kita terhadap pertanyaan Yesus ini? Allah sesungguhnya sudah banyak memberikan jawaban dan janji akan penyertaanNya, melalui FirmanNya, dan melalui ajaran Tuhan kita Yesus Kristus, PuteraNya. Tinggal bagaimana kita merespon jawaban Allah itu dengan iman di dalam keseharian kita dalam hidup ini. Tetap percaya teguh kepadaNya, dan dengan setia penuh semangat, tetap melakukan pekerjaan-pekerjaanNya dengan penuh kasih, kesungguhan, dan harapan, sekalipun di dalam berbagai-bagai kesukaran dan tantangan hidup. Itulah sesungguhnya respon kasih dan persembahan kita yang sejati kepada Tuhan. Mari kita membaca surat cinta Tuhan Yesus Kristus kepada kita, perihal pengabulan doa, yang Ia nyatakan melalui Filipus: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa; dan apa juga yang kamu minta dalam namaKu, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak. Jika kamu meminta sesuatu kepadaKu dalam namaKu, Aku akan melakukannya” (Yohanes 14: 12-14). (uti)

Resolusi tahun baru bersama Allah


Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: “Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,” dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku. (Mazmur 32:5).

Bernostalgia umumnya terasa mengasyikkan. Khususnya jika yang dikenang adalah saat-saat yang menyenangkan dalam hidup. Biasanya manusia memerlukan momen tertentu untuk menandai sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Saya juga sering menggunakan momen tertentu untuk bernostalgia, misalnya melalui menikmati makanan spesial, melihat foto-foto lama, sambil mendengarkan musik lama, atau dalam acara kebersamaan seperti reuni dan momen pergantian tahun. Umumnya saya hanya memelihara kenangan akan peristiwa-peristiwa kehidupan yang manis dan menyukakan hati. Kenangan akan pengalaman kesedihan, kegagalan, penolakan, atau kesepian, cenderung ingin saya lupakan. Memang segala hal yang berkaitan dengan pengalaman yang pahit seringkali ingin kita singkirkan jauh-jauh. Bahkan peristiwa konyol atau kesalahan yang terjadi karena kelalaian dan kebodohan saya juga rasanya ingin saya lupakan dan kubur dalam-dalam supaya seolah-olah tidak pernah terjadi.

Tetapi di awal sebuah tahun yang baru, ada baiknya kenangan akan peristiwa yang tidak mengenakkan juga saya ingat dan renungkan kembali, supaya saya dapat belajar dari kesalahan yang pernah saya lakukan dan menjadi lebih berhati-hati untuk tidak jatuh ke dalam kelalaian yang sama. Memutuskan untuk belajar dari kesalahan adalah juga bentuk sebuah usaha untuk bertumbuh menjadi lebih baik. Walaupun mungkin pahit, barangkali hal ini juga merupakan sebuah keterbukaan dan kerendahan hati untuk bersedia diubahkan dan dibentuk oleh Tuhan supaya kita dapat hidup semakin dekat dengan Dia, semakin menyerupai Dia, sebagaimana kita temui dalam surat Rasul Paulus kepada umat di Roma, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2). Tak seorangpun dari manusia yang hidup di dunia ini yang sudah mencapai kesempurnaan. Kita selalu mempunyai sisi-sisi lemah dan kebiasaan-kebiasaan yang mendatangkan dosa yang perlu untuk diperbaiki. Kadang saya merasa bahwa Tuhan justru memakai kesalahan, kegagalan, dan kekonyolan saya untuk membantu saya menjadi lebih kuat dan dewasa dalam iman, lebih bertekun untuk mau berubah dari kelemahan-kelemahan saya, asalkan saya terbuka untuk mau menerima dan mempelajarinya.

Di antara sederetan resolusi tahun baru yang mungkin kita buat di awal tahun ini, mungkin mengenai studi, bisnis, pernikahan dan keluarga, kesehatan, atau pengembangan diri, saya merasa bahwa pembentukan karakter iman dan kasih saya kepada Tuhan adalah satu resolusi yang paling penting dalam kehidupan ini. Berapapun harganya, akan saya bayar, termasuk harga diri saya bila itu berhadapan dengan Yang Maha Memiliki. Karena kehidupan yang sedang kita jalani ini akan berlalu, dan tahun demi tahun yang terus berganti ini lama kelamaan akan berakhir. Hidup kita yang sebenarnya akan kita habiskan bersama Tuhan dalam tahun-tahun kekekalan di Rumah-Nya yang indah yang tak akan berkesudahan. Sesungguhnya tidak ada yang lebih penting bagi Tuhan selain pembentukan karakter kita supaya menjadi semakin kudus dan tak bercela di hadapan-Nya. Karena adalah kerinduan-Nya agar kita dapat selamanya bersama dengan Dia dan menikmati cinta kasih-Nya dengan sempurna, “ Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus (1 Kor 1: 8) dan, “Sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya ( Kol 1: 22).

Pagi ini seusai berdoa pagi saya memutuskan untuk menyapu rumah ibu saya yang lumayan besar. Sejak kembali hidup bersama kedua orangtua saya di Malang sebulan terakhir ini karena penugasan baru dari pekerjaan suami, baru hari ini saya mengambil tugas menyapu seluruh rumah. Pembantu ibu yang biasanya melakukan tugas ini baru saja keluar sehingga saya berinisiatif mengambil alih pelaksanaan pekerjaan rutin ini. Sambil memegang gagang sapu, saya berusaha tidak memikirkan luasnya ruangan yang harus saya sapu. Saya bekerja perlahan-lahan dengan sebaik-baiknya di dalam setiap ruangan satu demi satu sampai akhirnya tanpa saya sadari seluruh ruangan di rumah telah selesai saya sapu. Fokus kepada satu kelemahan untuk diperbaiki lebih mudah dan memberikan harapan daripada sibuk memikirkan betapa banyaknya kesalahan yang telah pernah saya buat dan betapa saya selalu jatuh dalam kesalahan yang sama. Hal itu hanya akan menimbulkan rasa putus asa dan perasaan malas untuk memulai. Tuhan kita adalah seorang Bapa yang sabar dan lemah lembut yang selalu mampu melihat kebaikan dan potensi-potensi yang baik dalam diri setiap anak-Nya betapapun besarnya kesalahan kita, asalkan kita mau datang kepada-Nya dan bertobat. Sejauh Timur dari Barat, demikian dijauhkan-Nya pelanggaran kita daripada kita (Mazmur 103 : 12). Yesus pun mengungkapkan karakter Bapa itu melalui kisah perumpamaan tentang anak yang hilang di dalam Lukas 15: 11-32.

Selanjutnya sambil menyapu saya menyadari bahwa gerakan yang pelan-pelan tetapi cermat membuat lebih banyak kotoran bisa saya kumpulkan ke dalam tempat debu. Kesabaran dan semangat tidak mudah putus asa sangat penting agar kita selalu mempunyai harapan untuk bangkit lagi. Di sudut-sudut yang sulit dijangkau, saya harus mengulurkan tangan lebih panjang dan berusaha lebih keras untuk menjangkau debu di sana. Kadang saya tidak menyadari bahwa beberapa kebiasaan saya ternyata membuat sesama saya merasa tidak damai dan saya gagal menampilkan wajah Allah yang ada di dalam diri setiap dari kita. Sifat dan kebiasaan seperti senang membantah jika ditegur, merasa diri yang paling tahu, kebiasaan menunda pekerjaan tertentu, atau iri hati dan kecenderungan menghakimi sesama, biasanya tersamar di sudut-sudut hati saya yang gelap, dan saya membutuhkan kerendahan hati untuk menyerahkannya kepada Allah agar Ia dapat masuk dan membersihkan sudut-sudut gelap itu. Pemazmur yang selalu rindu untuk bertobat juga mengungkapkannya sedemikian, “ Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku” (Mazmur 139 : 23)


Ketika saya memasuki dapur, segera terlihat kotoran khas dapur, yang muncul dari berbagai aktivitas memasak. Yang sering terdapat di sana adalah debu dan kotoran yang membandel karena bercampur dengan minyak atau bumbu dapur yang berjatuhan. Selain usaha ekstra, kadang saya membutuhkan juga alat bantu lain supaya kotoran yang membandel itu dapat dihilangkan, misalnya dengan bantuan pisau untuk mengerik noda yang telah lama melekat di lantai, atau kain pel yang basah untuk menghapus debu dengan sempurna. Seringkali kita tidak mampu dengan kekuatan kita sendiri untuk bangkit dari kebiasaan yang tidak membangun. Bergantung terus kepada pertolongan Allah yang mampu melunakkan hati sekeras apapun adalah sangat berkenan kepadaNya, sambil tak segan-segan mencari pertolongan sesama yang dapat membantu kita, membaca dan meresapi renungan iman, dan tentu tak jemu-jemu belajar dari Firman-Nya agar niat baik kita diasah dan dikuatkan dengan kuasa Firman Tuhan. “Dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah (Efesus 6 : 16-17).

Dan akhirnya, ada satu jenis kotoran yang terdapat di mana-mana di seluruh rumah yaitu bulu-bulu anjing si Kiko, anjing kesayangan keluarga kami. Kiko bebas berkeliaran di rumah sehingga bulunya yang kadang rontok dari badannya terdapat di hampir semua ruangan yang sedang saya bersihkan. Saya segera mengenali bulu-bulu itu, yang karena ringan dan banyak maka membutuhkan kesabaran mengumpulkannya supaya tidak terbang kemana-mana dan mudah dikumpulkan untuk dibuang. Sangat penting bagi saya untuk mengenali kesalahan yang masih berulang-ulang saya lakukan, serta kebiasaan buruk yang sukar saya tinggalkan, mungkin juga karena bawaan dari kepribadian saya. Kewaspadaan saya harus selalu ditingkatkan karena si jahat sering masuk dari pintu kelemahan saya yang sudah menjadi kekhasan saya itu untuk berbuat dosa lagi dan membuat saya semakin merasa terpuruk karena merasa sulit sekali berubah. Kalau perlu sebisa mungkin saya perlu menghindari waktu, tempat, dan kesempatan yang membuat saya mudah jatuh lagi ke dalam dosa yang sama. Allah selalu menyertai kita dan menguatkan kita untuk tidak menyerah kepada bujukan si jahat. Sesungguhnya kita tak pernah sendirian dalam berjuang, tinggal apakah kita mau mengklaim penyertaan Allah itu dengan penuh iman, “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis” (Efesus 6 : 11).

Firman di atas itu juga mengingatkan saya bila berhadapan dengan sesama yang sulit, bagaimana Allah tetap memandang setiap orang dengan penuh cinta, belaskasihan, pengampunan serta harapan. Maka saya pun harus belajar memandang sesama saya dengan penuh harapan akan kebaikan, betapapun sulitnya menemukan kebaikan itu. Tidak perlu kita menyerahkan diri kepada amarah dan kebencian atau dendam, karena sesama adalah teman-teman seperjuangan kita yang juga masih berjuang, yang harus kita rangkul untuk melawan musuh kita yang sesungguhnya…”karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Efesus 6 : 12). Kehidupan doa yang tekun juga tak pelak lagi sangat menopang niat saya untuk bertahan bersama Tuhan dan memberikan kepastian dalam keraguan, Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus (Efesus 6 : 18).

Setelah satu jam penuh menyapu, saya merasa lega dan puas telah selesai membersihkan seluruh rumah ibu saya. Saya ingin setia melakukan tugas rutin ini demi kebersihan dan kesehatan seluruh penghuni rumah. Demikian pula pemeriksaan batin, pertobatan, dan pembersihan diri menjadi rutinitas yang indah yang ingin saya lakukan menapaki tahun yang baru menjelang ini, agar seluruh jiwa saya sehat dan berkenan kepada Allah, yang menciptakan setiap dari kita indah, murni, dan berharga sejak semula. Tugas saya untuk memelihara kebersihan jiwa saya agar Dia nyaman bersemayam di dalamnya dan saya mampu menghasilkan buah-buah kasih dan kehidupan seperti rencana-Nya yang indah bagi setiap anak-anak-Nya.

Besok rumah tentu akan kotor lagi, dan tentu saya juga masih akan gagal dan jatuh lagi, tetapi saya ingat jati diri saya yang sebenarnya sebagai anak-anak Tuhan, saya tidak akan menyerah dan ingin selalu bersemangat untuk terus bergantung kepada Allah dengan kerendahan dan keterbukaan hati. Menjadi miskin dan rendah di hadapan Allah adalah kekuatan kita, “Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran (Kolose 3 :12). Allah yang Maha Mencintai, akan selalu menyertai kita. Amin.

Selamat tahun baru 2011, kiranya kasih dan kerahiman Allah Bapa bersama kita selamanya. (uti)

Tuhan sedang menunggu saya


Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Wahyu 3 : 20)

Membuat orang lain menunggu rasanya sama tidak enaknya dengan kalau kita menunggu orang lain. Ketika saya tidak menyelesaikan suatu kegiatan atau janji pada waktunya dan mengakibatkan orang lain menunggu saya, saya tidak hanya membuat kesal orang lain tetapi juga mengambil waktunya yang berharga, yang terbuang untuk menunggu saya. Tentu saja hal ini tidak berlaku pada seorang supir yang memang digaji untuk menunggu majikannya selesai berbelanja, misalnya. Tetapi bila yang menunggu kita selesai berbelanja itu adalah suami atau teman dekat saya, sesungguhnya saya sedang meminta pengertian dan pengorbanan mereka. Mungkin mereka juga menggerutu karena saya terlalu lama membuat mereka menunggu. Sebaliknya bila saya yang berada pada posisi menunggu, tentu saya juga resah, tetapi setidaknya saya tidak sedang merugikan orang lain.

Masa Adven adalah masa penantian kita akan kedatangan Kristus untuk hadir di tengah-tengah kita sebagai Sang Immanuel yang membebaskan kita dari semua belenggu kedosaan dan ikatan keduniawian kita. “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: “Sesungguhnya anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Immanuel” – yang berarti: Allah menyertai kita. (Matius 1: 22-23). Tuhan yang solider dengan kelemahan dan keterbatasan kita sebagai manusia dan menjadi sama seperti kita kecuali dalam hal dosa, menghantar kita kepada keselamatan yang sejati melalui hidup-Nya sebagai manusia dan penderitaan-Nya di kayu salib dalam wujud manusia Yesus. Namun keselamatan itu hanya dapat terjadi dengan sempurna bila kita senantiasa membuka diri untuk menerima anugerah pengampunan dan penebusan-Nya.

Maka kadang-kadang dalam masa Adven, saya lebih merasakan bahwa justru Yesuslah yang sedang menunggu saya untuk senantiasa datang kepada-Nya dan menyerahkan diri saya dibentuk sesuai dengan rencana agung-Nya. Namun Yesus menunggu dengan sangat sabar, Dia menunggu tanpa mengeluh, melainkan dengan penuh pengertian, dan cinta. Selama menunggu saya untuk berubah dari kebiasaan-kebiasaan saya yang tidak membuat saya sungguh-sungguh hidup, Tuhan Yesus bekerja melalui berbagai jalan cinta, supaya Dia dapat masuk ke dalam hati saya dan memberikan cinta-Nya yang kekal menjadi harta milik saya yang tak akan diambil oleh apapun juga. Kadang Dia memberikan saya teguran halus lewat perjumpaan, percakapan, atau bahkan konflik dengan orang lain. Kadang Dia mengijinkan suatu peristiwa tertentu terjadi dalam hidup saya supaya saya mampu melihat Dia lebih jelas lagi dan mengalami pekerjaan-pekerjaan-Nya yang penuh dengan cinta dan rancangan keselamatan. Bersikap terbuka dan mau berubah adalah kunci utama supaya Tuhan dapat bekerja dengan sepenuhnya dan dengan bebas di dalam diri kita untuk menerima dan mengalami rahmat penebusan-Nya.

Ketika membaca mengenai Yohanes Pemandi di Matius 3: 1-12, yang berseru-seru di padang gurun menyerukan pertobatan dan berbalik dari dosa dan kebiasaan yang buruk, dengan pakaian dari bulu unta dan ikat pinggang dari kulit hewan yang pasti sangat sederhana, sesaat ingatan saya melayang kepada pemandangan di sekitar pusat kota (down town) Houston di Amerika di mana saya pernah bermukim. Di down town area itu banyak dijumpai para homeless (kaum gelandangan) yang tidak mempunyai tempat berteduh. Mereka berpakaian sangat kumal dan seadanya. Jumlah mereka sebenarnya tidak banyak, namun penampilan mereka yang kontras dengan situasi sekitarnya yang dikelilingi gedung-gedung bertingkat, taman-taman kota yang cantik, dan jalanan yang rapih, bersih, dan mapan, membuat kehadiran mereka terasa menyolok. Kebanyakan masyarakat umum memandang mereka dengan perasaan tidak aman, karena khawatir mereka akan berbuat kekerasan untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun pada kenyataannya, sejauh yang saya alami, mereka tidak pernah mengganggu saya. Paling-paling hanya mendekat untuk minta uang satu dollar, dan kalau saya menggelengkan kepala karena kebetulan sedang tidak punya pecahan satu dollar, maka mereka akan menjauh dengan sopan. Hati saya tersentuh oleh kesederhaan dan kemiskinan mereka. Betapa dekatnya orang-orang seperti itu kepada Allah. Hidupnya hanya untuk hari ini, sedangkan hari besok ia bergantung sepenuhnya kepada Yang Punya Hidup.

Penampilan semacam itulah yang mungkin juga dijumpai dan dirasakan orang-orang Israel jaman dulu pada diri Yohanes Pemandi. Siapakah orang-orang yang tidak tertipu oleh penampilan fisiknya yang sangat sederhana itu, dan mampu melihat pesan yang dibawanya sebagai pesan kebenaran dari Yang Maha Kuasa? Siapakah mereka yang kemudian berbondong-bondong datang untuk dibaptis olehnya di Sungai Jordan sehingga mereka dapat menerima rahmat Allah sepenuhnya? Saya berpikir, pasti orang-orang itu adalah orang-orang yang hatinya selalu terbuka dan rendah hati, yang sadar bahwa dirinya masih jauh dari sempurna, dan oleh karenanya selalu siap dan mau untuk berubah. Orang-orang yang miskin di hadapan Allah. Yang bagaikan seorang homeless di downtown kota Houston, bergantung sepenuhnya pada kemurahan Allah di setiap hari yang baru, karena kemiskinannya.

Yohanes Pemandi mungkin tidak mempunyai keelokan apapun secara fisik, namun hatinya yang selalu haus akan Allah dan tidak mengenal kompromi akan dosa, berani mempertahankan prinsip demi kebenaran dan kasih Allah, dengan mudah memikat hati siapa saja yang terbuka kepada panggilan Tuhan yang halus, yang datang dalam berbagai peristiwa hidup dan perjumpaan dengan sesama di dalam kehidupan kita. Tuhan Yesus masih selalu menunggu saya dan Anda, di masa Adven ini, dan di seluruh masa kehidupan kita. Kerinduan-Nya hanya satu, supaya Dia selalu bisa memeluk dan mencintai kita sepenuhnya, tidak hanya sejak di dalam hidup ini, namun sampai seterusnya kelak di dalam kekekalan. Semoga hati kita selalu terbuka dan siap untuk diubahkan oleh-Nya. Semoga kita tidak terlena oleh kemilaunya kehidupan dunia yang hanya sementara ini, tetapi mengarahkan hati dan budi kita selalu untuk mendengarkan suara-Nya dan mengalami pekerjaan-pekerjaan-Nya.

Adalah pilihan saya untuk mengikuti cinta dan kesabaran-Nya yang sedemikian halus. Kita bebas memilih jalan kita sendiri. Namun kesetiaan-Nya akan selalu menemani dalam setiap tantangan dan kesukaran saya untuk berubah. Setiap tetes air mata dan duka saya adalah kedukaan-Nya, dan setiap tawa ria hati saya karena sukacita bersama-Nya adalah kerinduan-Nya. Komitmen untuk selalu bersama Dia adalah komitmen yang harus saya buat setiap hari, setiap jam, setiap detik. Jika saya menyatakan persetujuan dan bersedia untuk bersama-Nya, Dia akan terus memampukan saya untuk mengatasi diri sendiri dan berjalan sepenuhnya bersama-Nya. Dengan kesabaran dan cinta yang tak terselami, Dia sedang menunggu saya…

Untuk memberikan perhatian yang tulus kepada sesama dan keluarga yang membutuhkan, sekalipun itu adalah waktu dan energi saya yang berharga untuk sekedar mendengarkan dan menemani mereka…

Untuk merelakan dengan cinta sebagian harta benda saya bagi saudara yang lebih membutuhkan…

Untuk mengampuni seorang teman yang sudah lama menyakiti hati saya dan sudah mencoba meminta maaf tetapi saya belum dapat sepenuhnya menerimanya kembali dalam hati saya…

Untuk memperbaiki pengaturan waktu doa saya di tengah kesibukan sehari-hari yang kian padat…

Untuk mengalah dengan penuh kesadaran dari kebiasaan-kebiasaan saya yang mengganggu kedamaian sesama di sekitarku….

Datang kepada-Nya di setiap awal hari yang baru adalah waktu-waktu terbaik untuk memohon terang-Nya menunjukkan bagian-bagian mana dari diri saya yang Tuhan rindu untuk saya serahkan kepada-Nya pada hari ini. Ini adalah pilihan dan kebebasan saya untuk dibentuk sesuai kerahiman-Nya dan kebijaksanaan-Nya, karena Ialah yang membentuk dan merancang saya, indah sejak awal hingga akhir. Tentu saja semua itu adalah pengorbanan dan penyangkalan diri bagi saya. Tetapi, memikul salib dengan penuh iman dan percaya sepenuhnya bersama Kristus adalah tanda cinta dan kesetiaan kita yang tak tertandingi nilainya di hadapan-Nya, yang akan selalu bersama kita sepanjang jalan salib kehidupan dan menunggu kita di rumah cinta-Nya yang kekal. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah (Ibrani 12:2). Tidak ada jalan yang lebih damai dan indah bagi sebuah rancangan selain daripada mengikuti keinginan Sang Perancangnya. Seorang Perancang yang tidak hanya merancang dengan cermat dan kerahiman, tetapi juga dengan cinta yang tidak tertandingi dalamnya dan pengorbanan yang melampaui hidup itu sendiri.

Jauh dalam lubuk hati, saya tidak ingin Tuhan menunggu saya terlalu lama. Walaupun saya tahu bahwa Ia sabar dan pengertian-Nya tidak ada batasnya, namun cinta-Nya kepada saya di atas kayu salib, membuat saya tidak rela kalau Tuhan harus menunggu saya berlama-lama. Tentu juga demikian dengan Anda. Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging. Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup. Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. (Roma 8 : 12-14). Hanya dengan selalu bersikap terbuka, siap untuk diubahkan dan dimurnikan dengan semangat kemiskinan di hadapan-Nya, kita dapat mengundang Dia, untuk dapat segera masuk ke dalam hati dan hidup kita, dan terus bekerja di sana menggenapi rencana-Nya yang penuh kasih dan keagungan, tanpa menunggu terlalu lama lagi.

Dalam suka dan duka dinamika perjalanan kehidupan, di tikungan-tikungan pergumulan dan tantangan, bahkan dalam keputusasaan dan harapan yang datang silih berganti dalam kehidupan, adalah sangat menghibur dan menguatkan hati menyadari bahwa Tuhan ada di dalam setiap momen-momen itu. Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab, semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya. (Roma 8: 28 – 30).

Oleh karena Dia adalah setia hingga akhir, maka adalah kekuatan dan sukacita kita untuk terus mengandalkan Dia, sehingga kita menjadi semakin serupa dengan Dia dan siap sepenuhnya untuk selalu bersama-sama Dia di dalam keabadian. Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah! Apabila melintasi lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air; bahkan hujan pada awal musim menyelubunginya dengan berkat. Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion (Mazmur 84 : 6-8). (uti)

Tuesday, January 4, 2011

He is still there...and always be


In the beginning.....
It was just me....and Him
It was so peaceful...so tender...so pure
No worries, no concern about things, no pretence, no insecurity...
Everything is just fine.

He made me so fine, so tender, so noble, so great,
but at the same time.... fragile, ....and beautiful.
From the very beginning, until the end.

When life begins, everything goes to its own direction
wildly, uncontrollable, unpredictable...
And I begin to change as well...
I begin to wound, split....and hurt.

But He is still at the same place in my heart,
with the same love ...
same disposition.

In His eyes...
I still and always will be ...the very same beauty, as if I am always new... from the beginning.
He is never distracted to look at me just as I am...
to unceasingly love me,
beautiful as I am from the beginning,
no matter what.
He loves me just the way I am
with all my weaknesses, failure, fragility....
He just loves and accepts,unconditionally.

He died for me...won't He do everything to save my soul and to help me to enter to His kingdom to be with Him again till eternity ?

If He loves everybody the same way,
why should I judge and hate others? No matter how difficult they may be...
Why should I lose hope in finding goodness in this world, good in others?

Sometimes....I miss that tender moment
a lot....
to be just with Him, just with myself...and Himself alone.
Just the two uf us....oh...how wonderful....
that will be my truest happiness...when I will be I, peace, pure, noble

It's to keep that real happiness...
to keep myself pure and noble,
to be just precious and as pure as from the start...
and not being discouraged by the world....
by my failures, mistakes, ..by the past.

Because He is still at the same place,
with the same love...
waiting and looking at me with the same look ...with the same loving care,
as precious as I could be from His hands.
He is not distracted, never waver...
He keeps loving me,
until eternity....
Letting me be just as I am,
beautiful as from the beginning...
till the very end.

Jesus, I love You...I miss You...I long for You desperately....for Yourself alone.

Malang, 3 Januari 2011