Tuesday, November 9, 2010

Pahlawan Sejati


Rasanya sukar memisahkan arti pahlawan dengan cinta. Karena cinta, maka seseorang mampu bertindak melampaui batas-batas kepentingan diri sendiri dan bahkan harga diri, supaya yang dicintai menjadi bahagia, bebas, dan sepenuhnya menjadi utuh. Semangat cinta yang sejati yang mendasari perbuatan kepahlawanan menyingkirkan diri sendiri dan melahirkan pengorbanan bagi kepentingan yang dicintai. Tindakan yang didasari oleh cinta membedakannya dengan tindakan yang dikerjakan karena sekedar kewajiban atau rutinitas belaka, atau karena dipaksa oleh keadaan.

Figur-figur yang melenyapkan kepentingan diri supaya pihak lain bahagia dan selamat banyak kita jumpai di keseharian kita. Selain pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang memberi kita hidup dan kebebasan, kita juga menemukannya di dalam diri seorang ibu yang menaruh kasih setiap waktu tanpa kenal lelah, dan seorang ayah yang bekerja siang malam bagi kepentingan keluarga. Pada diri para relawan yang meninggalkan kenyamanannya sehari-hari untuk pergi ke daerah bencana dan menyerahkan waktu dan tenaganya membantu para pengungsi, bahkan hingga kehilangan nyawa seperti dua relawan yang membantu para pengungsi Merapi. Pada diri para misionaris yang melupakan kestabilan hidup normal untuk mewartakan Injil di pedalaman atau hidup di tengah masyarakat miskin untuk menjadi penolong. Pada pengabdian seorang guru yang mengajar dengan penuh semangat dan dedikasi walau penghasilannya pas-pasan. Pada seorang sahabat yang selalu menyediakan waktu dua puluh empat jam sehari bagi sahabatnya. Dan juga pada diri seseorang yang karena kerendahan hatinya merelakan tuduhan, kesalahpahaman, atau fitnah tentang dirinya, berserah dalam keheningan demi keselamatan banyak orang, sambil menantikan keadilan. Dan mungkin pada kita sendiri, saat kita mempunyai kerelaan dan kerendahan hati untuk selalu mengampuni sesama yang menyakiti hati kita karena terbuka terhadap kemungkinannya untuk berubah.

Motivasi oleh cinta yang tulus melahirkan sifat dasar lain dari seorang pahlawan, yaitu bahwa sang pelaku tidak menganggap dirinya pahlawan dan tidak mencari pujian atau penghargaan ketika melakukan pengorbanan bagi sesamanya. Pengorbanan itu dilakukan dengan sukacita dan kerelaan tanpa mengharapkan balasan apapun. Pengorbanan itu sendiri telah membuatnya bahagia terutama saat melihat yang dikasihi berbahagia, sehingga ia tidak memikirkan atau membutuhkan apresiasi apa-apa. Semua lahir karena kekuatan cinta.

Melihat atau mengalami cinta mereka yang berkorban dan melupakan diri sendiri dengan tulus agar sesamanya selamat dan bahagia membawa hati kita kepada sosok pahlawan cinta sejati yang menjadi sumber sukacita iman kita semua dalam pengorbanan Kristus. Dia memberikan diri-Nya seluruhnya di kayu salib demi pembebasan umat manusia dari perbudakan dosa dan kematian. Model semangat cinta Yesus Kristus yang memberikan diri sehabis-habisnya hingga titik kehilangan nyawa supaya yang dicintai memperoleh hidup, membuat kita mempunyai gambaran murni akan arti pahlawan dalam hidup kita. Tuhan Yesus memberikan diri-Nya dengan bebas dan rela, Ia menyongsong salib yang berat itu untuk dipikul-Nya, disertai dengan cinta yang penuh kepada Bapa dan kepada manusia. Hal itu dikatakan-Nya dengan jelas dalam Yohanes 10 : 17-18, “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku”. Tugas dari Bapa-Nya disambut-Nya dengan kerelaan dan kebebasan sepenuhnya. Bagi kita sahabat-sahabat-Nya, Ia adalah seorang pembela dan penolong, seorang gembala yang tidak sekedar menjaga kawanan domba-Nya, tetapi bahkan dengan rela memberikan hidup-Nya bila domba-domba-Nya dalam bahaya. “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yohanes 10 : 10 – 11a).

Yesus mengatakan semuanya itu supaya kita memahami keselamatan dan kehidupan yang akan kita terima bila kita menerima pengorbanan-Nya dan menjadikannya model bagi hidup kita sendiri. Dia mengatakan semuanya itu agar kita menjadi satu dengan-Nya dalam misi keselamatan dunia dan mampu berdiri tegak dalam semua situasi kehidupan. “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu, segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku (Yohanes 15 : 14-15).

Di dalam segala bentuk pergumulan hidup, tiada yang lebih menentramkan hati selain janji Putra Allah sendiri untuk selalu datang melindungi dan membela kita. Apapun keadaan kita, walaupun kita masih selalu berdosa dan bahkan di saat kita sedang mencari jalan kita sendiri, Dia selalu peduli dan menunggu kita dengan tongkat dan gada-Nya yang meneguhkan kita. “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23 : 4).

Di dalam hati seorang pahlawan sejati, tercermin kepahlawanan Kristus di kayu salib, pengorbanan oleh karena cinta semata, tidak mengharapkan apapun yang lain selain kebaikan dan keselamatan yang dicintai. Dengan senantiasa menyerap teladan kepahlawanan Kristus dalam penderitaan salib-Nya, kita dimampukan untuk juga menjadi pahlawan-pahlawan iman dan kehidupan, yang tulus berkorban bagi sesama, meluap dari rasa syukur dan cinta kepada Sang Putra, memberikan diri dengan bebas dan sukacita, tanpa mengharapkan balasan apa-apa. Dan sebagaimana kita menghargai jasa-jasa para pahlawan bangsa dengan perbuatan yang nyata untuk mengisi kemerdekaan dengan kinerja dan usaha membangun masyarakat dengan semangat kebaikan dan keadilan, demikian juga kita menghormati dan mensyukuri pengorbanan Kristus di kayu salib bagi kita dengan setia bertekun dalam iman dan pengharapan dan tak lelah-lelahnya berjuang menghasilkan buah-buah kasih bagi sesama dan bagi kemuliaan-Nya, bahkan di saat tak seorangpun memberikan apresiasi. Saat ini mari kita ingat dan doakan pula jasa para pahlawan yang telah memberikan hidupnya bagi sesama, baik para pahlawan bangsa, pahlawan keluarga, maupun pahlawan iman, khususnya mereka yang sering terlupakan.

-uti, Houston 8 Nov 2010-

Monday, November 8, 2010

Belajar untuk bahagia


Belajar ? Untuk bahagia ? Mengapa untuk merasa bahagia saja kita harus belajar ? Karena kata orang bahagia itu perjalanan, a journey, bukan tujuan, not a destination. Waktu masih kanak-anak, kita sangat mudah merasa bahagia, kita bahagia untuk hal-hal yang sederhana. Setelah dewasa, kita terpaku pada standar-standar dunia untuk bisa merasakan bahagia. Kita tidak selalu sadar bahwa bahagia yang sejati itu bukan ditentukan standar masyarakat. Bahagia kalau uangnya banyak, bahagia kalau sukses, bahagia kalau statusnya terpandang, bahagia kalau istrinya cantik atau suaminya pintar, bahagia kalau semuanya lancar dan sesuai harapan kita. Dan seterusnya. Tapi kebahagiaan yang sesungguhnya mestinya tidak bergantung kepada semua itu. Kalau semuanya itu diambil dari kita, atau tidak menjadi milik kita, apakah kita lantas menjadi tidak bahagia ? Semudah itukah kita menyerah untuk tidak lagi bahagia ? Rasanya Sang Hidup ingin kita selalu bahagia, dan menciptakan kita untuk bahagia, sejak awal kta diciptakan. Seperti halnya hidup, bahagia itu diberikan-Nya dengan cuma-cuma, tanpa alasan, tanpa syarat. Semata karena cinta-Nya kepada kita, karena Dia ingin kita menjadi mitra-Nya untuk menjadikan dunia ciptaan ini semakin penuh cinta. itu saja.

Kalau rasa bahagia adalah bila harus begini atau harus begitu...baru bahagia kalau saya begini atau kalau kamu sudah begitu....berarti untuk bahagia yang sesungguhnya, memang aku masih perlu belajar. Sebab bahagia yang dari Sang Hidup itu adalah bukan “bahagia kalau....” , melainkan “bahagia karena.....” yaitu bahagia karena bersyukur, bahagia karena diberi hidup. Karena mencintai proses-proses kehidupan. Karena terbuka kepada kemungkinan. Karena selalu penuh harapan. Apakah bahagia ku sudah bahagia yang sejati ? Bahagia yang sejati sudah kualami bila aku bisa tetap memilih untuk bahagia sekalipun hidup sedang tidak berjalan sperti yang kuinginkan, bahkan di saat dunia ada derita dan kekecewaan. Bahagia karena cinta Sang Tujuan, dan bahagia karena selalu ada harapan, kepada Sang Pemelihara Kehidupan.

Semoga semua mahluk Tuhan berbahagia
Houston, Nov 5, 2010

Friday, November 5, 2010

Macet

Ketika komunikasi macet, jalanan macet, ide menulis macet, proses penyembuhan macet, proses menuju kebebasan macet, maka rasa frustasi yang mengalir, masuk ke dalam jiwa, merasuki tulang. Hati yang panas semakin gerah, jiwa yang lelah terasa ingin menyerah.

Daripada menyesali hal-hal yang kubutuhkan atau harapkan untuk berjalan kembali tetapi nyatanya tak kunjung bergerak, atau menyumpahi keadaan dan kecerobohan yang telah menimbulkan macet, lebih baik diam sejenak. Ada yang terlupakankah ? Tenang, tersenyum, berharap, dan sadar.

Mungkin selama ini ku sudah bergerak terlalu laju, sehingga tidak sempat mendongak menikmati kerlipan bintang di langit malam, atau tersenyum kepada matahari pagi yang memberi kehidupan. Mengulurkan tangan kepada anak-anak yang merindukan sapaanku. Dan menyapa jiwaku sendiri yang kering karena kerutinan. Mungkin hatiku sudah terlalu penuh dengan ambisi dan keinginan-keinginan duniawi, mungkin ini saatnya membersihkan nurani, memurnikan motivasi, menyadari pemeliharaan Ilahi, yang sesungguhnya tak pernah sepi. Hanya jarang mendapat apresiasi.

Macet memang menyebalkan, tidak ada ide, tidak ada kelanjutan, harapan menggantung, kepastian melayang. Macet membuat bahtera hidup terhenti, dan semua aspirasi seakan mati. Tetapi mungkin itulah saat yang tepat untuk meluruskan kemudi, mengistirahatkan kendali, dan menyelaraskan diri dengan kehendak Ilahi, supaya kita sungguh sampai ke tujuan kita yang hakiki.

Trimakasih macet.
-Houston, Nov 4, 2010-

Wednesday, September 29, 2010

Lanjutkan...!



Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Mat 16:24; 10:38).

Ketika Indonesia sedang dalam masa kampanye pemilihan presiden beberapa waktu yang lalu, slogan yang hanya terdiri dari satu kata, “Lanjutkan..!” yang menjadi moto salah satu calon, menjadi populer. Walau hanya satu kata, moto ini dengan cukup jelas mengungkapkan himbauan untuk meneruskan apa yang sudah dikerjakan oleh pencetusnya. Meneruskan. Di dalam tikungan kehidupan, ketika hidup tidak berjalan mulus sesuai dengan harapan kita, kata itu kadang-kadang terasa begitu sulit dan berat untuk dilakukan.

Suatu hari saya sedang menatap ibu saya yang sedang bercerita tak henti kepada saya sejak hampir setengah jam yang lalu. Kisahnya seolah tak berujung. Saya tidak berani memotong cerita yang sedang ia sampaikan. Karena di telinga saya, apa yang ia sampaikan bukan hanya sekedar kisah, melainkan sebuah balada kesedihan hati seorang ibu yang terulang lagi dan lagi. Saya berusaha meredam kesedihan saya karena cinta saya kepada ibu saya, sambil merasakan ketidakberdayaan saya sendiri menyaksikan kekecewaan itu lagi di matanya, dan di hatinya. Kisah semacam itu bukan hal yang pertama kali saya dengar, hadir dalam kerangka peristiwa yang berbeda-beda, namun semuanya mempunyai muatan yang sama. Kesedihan dan kekecewaan seorang ibu karena sikap tidak peduli seorang anak kepada perasaan dan kebutuhan ibu dan ayahnya. Anak itu adalah kakak kandung saya sendiri, yang juga telah cukup lama meninggalkan gereja. Sikap acuh dari kakak saya yang tinggal satu kota dengan orangtua kami, ditambah sikap yang kurang lebih sama dari istri kakak, terhadap ayah dan ibu kami, sudah menjadi kisah lama keluarga kami, yaitu ayah ibu dan kami bertiga bersaudara. Bertahun-tahun saya, seorang kakak saya yang lain serta ayah dan ibu berdoa untuk kakak saya itu, sambil tetap berusaha mencurahkan cinta yang tulus.

Ternyata semakin lama kami makin menyadari bahwa proses pertobatan kakak saya juga adalah proses pertobatan dan pemurnian kami semua sebagai keluarga. Dalam perjalanan doa sekeluarga bagi pertobatan kakak saya itu, kami merasakan bimbingan Tuhan di dalam doa dan permenungan kami bahwa mengampuni kakak secara terus menerus dan selalu berusaha memahami pilihan-pilihannya, akan lebih banyak memberi kemungkinan pertobatan kepada kakak dan keluarganya, dan membuahkan kedamaian di hati kami sendiri. Apalagi kami sendiri belumlah sempurna, masih harus selalu memperbaiki diri di sana sini. Harapan kami untuk kakak seyogyanya adalah untuk kebaikan dirinya dan bagi Tuhan, dan bukan untuk memenuhi ego kami dan kebutuhan kami sendiri untuk dikasihi. Bagaimanapun, berusaha selalu mengerti dan mengampuni untuk memberikan contoh keluhuran kasih Bapa, adalah perjuangan yang berat. Sebuah komitmen yang harus diperbarui lagi hari demi hari. Dan saya merasakannya ketika masih kembali harus mendengarkan ibu saya menceritakan keluhannya seputar sikap dan hati kakak yang dingin terhadap cinta Tuhan dan orangtuanya. Kisah yang seolah tak ada akhirnya. Di akhir pembicaraan ibu dan saya, kami selalu berusaha datang kepada Tuhan dan untuk kesekian kalinya memohon kekuatan untuk terus mengampuni, terus mengerti. Walaupun kami tidak tahu sampai kapan kami harus mengerti dan mengampuni kakak, setidaknya kami menyadari bahwa Yesus sudah berkata supaya kami mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali, dan itu kami yakini sebagai: tanpa batas. Di dalam Dia, kami menaruh harapan bahwa teladan kesabaran, tidak menghakimi, dan kasih sesuai teladan-Nya, kelak dapat membawa pertobatan yang sejati bagi kakak.

Meneruskan sikap hidup yang baik walaupun hidup terasa berat dan mengecewakan, bahkan kadang terasa tak terpikul, juga saya jumpai dalam kisah kehidupan lainnya. Teman saya yang selalu berusaha mengampuni suaminya yang selingkuh, teman lain yang berjuang tetap bekerja dengan baik di bawah tekanan bos yang sangat menuntut dan tidak perhatian kepada prestasi bawahan, perjuangan teman ayah saya melawan kanker tenggorokan yang telah membuatnya menderita berbulan-bulan lamanya - penderitaan yang bagi yang mendengarkan dan membayangkannya saja rasanya tak tertahankan lagi. Atau dalam kesetiaan seorang ibu yang harus selalu bangun di pagi hari melayani suami dan anak-anaknya dalam kesederhanaan dan kekurangan selama puluhan tahun, dan seorang tukang ojek korban PHK yang harus selalu bekerja di atas motornya siang dan malam demi sesuap nasi bagi keluarganya tanpa tahu kapan bisa kembali mendapatkan pekerjaan tetap yang lebih layak. Kisah-kisah itu juga ada dalam hal-hal yang lebih sederhana, namun tetap memerlukan kesabaran dan pengorbanan, misalnya bersabar menghadapi teman sekerja yang kurang giat bekerja dan tidak sepaham dengan kita, kemauan yang harus super teguh saat harus berdiet dan berolahraga dengan kedisiplinan yang tidak bisa ditawar lagi untuk menghindari suatu serangan penyakit turunan, meminjami (atau memberi) lagi dan lagi teman atau saudara yang memerlukan bantuan keuangan, terus berbuat baik dan bersikap baik sekalipun sering tidak dihargai atau disalahartikan, atau tetap berpikir positip dan penuh harapan di saat anak-anak kita belum juga menunjukkan kemajuan berarti di suatu bidang yang harus dikuasainya, sambil memurnikan motivasi kita sendiri bahwa apa yang kita usahakan adalah sungguh bagi kepentingan si anak dan bukan demi ego kita sebagai orangtua.

Pada suatu hari saat sedang mempelajari dokumen kursus katekis yang saya jalani, saya merasa terkejut menemukan sebuah teks di hadapan saya. Dengan pandangan mata nanar, saya membaca tulisan yang tertera di sana, “Jesus was hanging on the cross for 6 hours. Six hours in indescribable agony”. (Yesus tergantung di kayu salib selama enam jam. Enam jam dalam penderitaan yang tak tergambarkan). Hati saya tertegun. Saya panik, merasa sekian lama dalam hidup saya, saya mengira Yesus ‘hanya’ bergantung di kayu salib selama tiga jam sebelum wafat-Nya pada pukul tiga sore (Matius 27 ayat 46 dan 50). Saya segera mengecek Kitab Suci saya, saya buka di Markus 15:25, Hari jam sembilan ketika Ia disalibkan. Memang di Injil lain misalnya di Injil Yohanes tidak dinyatakan demikian (Yohanes 19:14). Dan tentu saja itu masih belum termasuk penderitaan akibat pencambukan dan penghinaan yang berlangsung sejak dini hari. Saya menelan ludah, merasa tenggorokan saya tercekat, menahan airmata yang tiba-tiba mendesak hendak keluar.

Yesusku, aku merasa malu dan sedih karena baru sekarang aku mengetahui bahwa Engkau menderita begitu lama untukku. Dalam kesendirian yang begitu mencekam, dan rasa sakit yang begitu dahsyat di seluruh bagian tubuh-Mu, Engkau tetap bertahan. Penderitaan, kesepian, dan kesakitan, yang tak mampu kupahami dengan nalar, dan tak mampu kuungkapkan dengan kata. Apa yang membuat-Mu begitu teguh untuk bertahan, Tuhan? Begitu berharganya kami sehingga Engkau begitu rela untuk menahan dan menjalani semua itu Tuhan. Jam demi jam yang merambat pelan dalam kesakitan dan kepedihan yang tak berhingga. Pasti terasa berabad-abad lamanya bagi Tuhanku. Pasti terasa berabad lamanya bagi ibuku menantikan pertobatan kakakku, bagi temanku untuk setia menantikan suaminya kembali kepadanya, bagi mereka yang sakit berat dan menantikan kesembuhan. Ya Bapa, mengapa Engkau tidak menghentikan semua penderitaan itu segera, mengapa harus enam jam Tuhan? Mengapa Engkau tidak segera memanggil Putera-Mu kembali ke Surga supaya penderitaan-Nya segera berakhir, cukuplah Ia telah setia melaksanakan amanat penderitaan itu, Bapa.

Secara manusiawi, kadang kita tidak memahami mengapa harus ada penderitaan. Kita juga kadang bertanya mengapa Tuhan seolah-olah membiarkan penderitaan terjadi dalam kehidupan. Dan sebagai manusia, kita ingin semua yang menyakitkan dan menyedihkan segera diakhiri. Sampai-sampai kita lupa pada kenyataan bahwa Tuhan mencintai kita sehabis-habisnya dan akan selalu menyayangi kita dan menjaga kita.

Saya terpekur di dalam keheningan hati saya. Kertas dokumen di tangan saya itu sudah basah oleh airmata. Dalam kekaburan pandangan, saya berlutut dan memandang salib Yesus yang tergantung di dinding kamar kerja saya. Kerendahan hati, cinta murni, dan belaskasihan-Nya kepada manusia, membuat Yesus bertahan hingga akhir. Ampuni aku Raja Semesta Alam yang kesakitan, aku begitu asyik dengan rasa sakitku sendiri sehingga aku lupa bahwa Engkau sudah selesai menjalani rasa sakit yang kekal itu dengan paripurna untukku. Kalau cinta-Mu kepadaku mampu membuat-Mu bertahan begitu gagah berani Tuhan, maka aku juga mau bertahan untuk tidak beringsut dari kaki salib-Mu.

Pada saat perhatian kita tidak terpusat kepada penderitaan, melainkan kepada cinta kasih Kristus yang selalu memikirkan kita dan memelihara kita sampai kekal, bahkan sampai melewati maut, itulah saat dimana kita menjalani penderitaan kita dalam harapan akan salib Kristus, dan hanya dengan cara menjalani penderitaan dalam harapan dan kesabaran oleh karena cinta-Nya itu, segala penderitaan dan kesukaran menemukan maknanya. Saat itu rasanya kita mendengar Tuhan Yesus berkata kepada kita sebelum Ia menanggung sengsara-Nya, “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamupun hidup.” (Yohanes 14: 18-19). Itulah juga mengapa para martir dan kudus di Surga yang terus bertahan bersama Yesus di saat hidupnya dulu, sanggup dan berani menghadapi pencobaan maut dan penderitaan yang dahsyat yang secara mata manusiawi tak terbayangkan akan mampu untuk dijalani.

Sebenarnya, jika kita menderita dengan iman dan persatuan dengan Kristus, kita mengambil bagian dalam kesengsaraan Kristus untuk menebus dunia, yang disebut oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II sebagai “redemptive suffering" (penderitaan yang membebaskan/menebus). "Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah." (Ibrani 12:2). Penderitaan dalam dunia yang dijalani bersama Kristus yang menderita, memungkinkan kita mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya di dalam kebangkitan-Nya. Karena menderita bersama Tuhan memberi kita kesempatan untuk dikuduskan dan dimurnikan. Itulah sebabnya menderita bersama Kristus dan di dalam Kristus menjadi penuh arti, karena kesabaran dan ikhtiar kita tidak akan pernah sia-sia. Dalam cinta dan kerahiman-Nya, Dia mengijinkan penderitaan kita alami, dalam pengertian-Nya yang Maha Menyelami, bahwa penderitaan yang kita jalani dengan sabar dan penuh cinta bersama Dia, akan membawa kita kepada kekudusan dan kesempurnaan yang telah Dia rencanakan indah sejak semula bagi masing-masing kita.

Salib Kristus telah mengubah kutuk menjadi berkat, sehingga belajar selalu bergantung kepada salib-Nya menyadarkan kita bahwa penderitaan bukanlah hukuman Tuhan, melainkan justru sebuah kesempatan untuk bergantung sepenuhnya kepada Dia, untuk membentuk karakter kita dalam kesabaran, kasih yang murni, keteguhan iman, serta keindahan harapan. Seperti tanah liat yang menyerahkan pembentukan dirinya dalam kerja keras pembentuknya, demikianlah kita menyatukan penderitaan kita dalam sengsara-Nya, di dalam doa, di dalam Kurban Ekaristi Kudus, di dalam cinta-Nya, sehingga kita menjelma menjadi bejana-bejana indah yang memuliakan Sang Pencipta. “..Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah sembuh” (1 Petrus 2:24). Sebagai seorang Penyembuh yang Terluka (a Wounded Healer), derita Yesus justru menjadi kekuatan kita. Luka-luka dalam enam jam penyaliban itu menunjukkan Tuhan yang luar biasa kerendahan hati-Nya, pengurbanan-Nya, dan cinta-Nya kepada kita. Maka bergantung terus kepada-Nya membuat kita bukanlah anak-anak biasa. Kita juga bisa menjadi luar biasa untuk meneruskan berjuang dalam kebaikan, dalam mengampuni, dalam memahami, dalam bekerja demi sesama dan keluarga, dalam berdisiplin diri, dalam memerangi kebiasaan buruk kita, dalam mengharapkan segala sesuatu yang baik terjadi pada waktu-Nya. Walaupun kadang perjuangan kita rasanya seperti tak berujung. Dan jawaban yang kita nantikan serasa belum pernah terlihat untuk sekedar mendekat. “Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah”. (Yesaya 40: 31)

Menderita bersama Kristus ibarat menyeduh daun teh, justru di dalam air panas mendidih, keharuman dan citarasa daun teh itu muncul keluar, dan bisa dinikmati. Bergantung pada Salib Kristus memunculkan keindahan sejati di dalam diri manusia. Dalam Kolose 1:24 Rasul Paulus mengatakan, "Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat." Dan di dalam Roma 5: 3-5 beliau mengatakan, ”Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita”. Ketahanan kita di dalam memaknai penderitaan kita di dalam salib Kristus, justru memampukan kita untuk berbuah. Tuhan Yesus menegaskan hal ini ketika Ia bersabda, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yohanes 12:24). Teladan kesabaran dan cinta kita, oleh karena salib-Nya, mampu menguduskan orang lain juga dan membawa pertobatan bagi sesama dan pada gilirannya, bagi pengudusan seluruh dunia. Itulah sukacita kebangkitan, sukacita yang disediakan-Nya bagi kita yang rela ambil bagian dalam derita salib-Nya dengan setia. "Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya." (1 Petrus 4:13).

Raja Semesta Alam yang sedang kesakitan di atas tahta-Nya yang berbentuk palang itu, enam jam penuh sengsara yang tak tergambarkan. Meski demikian, dalam derita-Nya saya mendengar Ia menyerukan dengan penuh kasih kelembutan, dan dengan tatapan mata penuh cinta, “Lanjutkan...! Aku tetap bertahan demi engkau, anak-Ku, dan Aku akan selalu menyertai-Mu”. O Tuhan yang menderita, Tuhan yang selalu memahami penderitaan manusia, yang selalu solider dengan derita dan kepahitan kami, demi cinta-Mu padaku, Tuhanku, demi penebusan seluruh dunia, aku juga rindu untuk selalu bertahan. Itulah sukacita dan pengharapanku, yaitu boleh ikut menderita bersama-Mu, menderita dalam cinta dan pengharapan. Dan kalau pun kita masih jatuh dan gagal untuk bertahan dan setia, kita tidak perlu sampai berputus asa, bangunlah lagi dan lanjutkan, Tuhan selalu menguatkan kita. Ingatlah selalu akan hal ini, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4 : 15) dan “Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.” (Ibrani 2 : 18).


Sambil membereskan dokumen-dokumen kursus, lamat-lamat saya bersenandung menyanyikan lagu “Trading My Sorrow” karya Darrel Evans yang saya kenal dalam sebuah persekutuan doa. Di hatiku, kudengar selalu Tuhan membisikkan dengan penuh kasih, ”Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29 : 11). Hati saya membalas-Nya dalam suka, ” Jesus, I trust in You..!”

Trading My Sorrow

I'm trading my sorrow
I'm trading my shame
I'm laying it down for the joy of the Lord

I'm trading my sickness
I'm trading my pain
I'm laying it down for the joy of the Lord

Chorus:
And we say yes Lord, yes Lord, yes yes Lord
Yes Lord, yes Lord, yes yes Lord
Yes Lord, yes Lord, yes yes Lord Amen

I'm pressed but not crushed, persecuted not abandoned
Struck down but not destroyed
I'm blessed beyond the curse, for his promise will endure
And his joy's gonna be my strength

Though the sorrow may last for the night
His joy comes with the morning

Friday, July 23, 2010

Seperti seorang anak kecil


Manusia, yang selalu memiliki sifat ingin tahu, mempunyai harapan dan kerinduan untuk mengenal Tuhan, mengalami Tuhan, mendengar Dia berbicara, bahkan kalau bisa melihatNya dengan mata kepala kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Maka topik diskusi mengenai Tuhan selalu terasa menarik. Walaupun diskusi tentang Tuhan kadang berujung pertanyaan yang tetap menggantung. Tak jarang bahkan saling bersitegang karena peserta diskusi seringkali tidak mempunyai dasar tentang pengalaman akan Tuhan,dan saling berbantah seputar asumsi-asumsi yang mereka buat sendiri. Apalagi jika peserta diskusi saling merasa lebih pintar dari pihak lain.

Di jaman yang semakin modern ini dimana semakin banyak orang melupakan Tuhan, masih banyak sekali orang, beragama maupun tidak, disadari atau tidak, merindukan pengalaman menemukan Tuhan dan melihatNya menyatakan DiriNya. Kita menebak-nebak bagaimana seandainya Tuhan ada di saat tertentu dan peristiwa tertentu dalam hidup ini, terutama saat terjadi kesukaran hidup. Kita bertanya di mana Tuhan di saat terjadi suatu peristiwa yang menyedihkan atau jahat, dan berbagai pikiran kerinduan untuk melihat, mendengar, dan mengalamiNya. Dalam benak kita, tentunya kita memikirkan bagaimana seharusnya (menurut harapan kita sebagai manusia) Tuhan itu menyatakan diriNya. Tetapi apakah Tuhan memang memilih atau mempunyai cara dan sarana yang sama dengan yang kita pikirkan atau harapkan untuk menyatakan DiriNya kepada kita ? Saya merasa hal ini sangat penting untuk dicermati, karena sesungguhnya Tuhan sangat rindu untuk menyatakan DiriNya kepada kita dan selalu berusaha untuk mengungkapkan kasihNya kepada kita di dalam hidup ini. Dia sangat setia dan rindu selalu bersama kita. Allah Bapa berkata kepada nabi Yeremia, “Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau, dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kau ketahui “ (Yeremia 33:3).

Bagaimana kita mampu menerima pernyataan kasihNya dan segala hal mengenai kebijakanNya, baik dalam suka maupun duka hidup ini ? Dalam Matius 11 : 25-26, Tuhan Yesus mengatakan kepada BapaNya, “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu”. Tentu Tuhan Yesus tidak bermaksud mencegah kita menjadi pandai dan bijak supaya dapat memahami Tuhan. Tetapi menjadi ‘kecil’ membuat kita mampu dan siap untuk memahami kebenaranNya dan kebesaranNya.

Apakah arti menjadi kecil ? Mempunyai kerendahan hati, kemurnian motivasi, dan keterbukaan hati seperti seorang anak kecil. Inilah tantangannya. Walaupun oleh karena pengetahuan dan pengalaman hidup kita merasa pandai dan bijak, kita memerlukan sikap seperti seorang anak kecil dalam menghayati iman dan kasih kita kepada Tuhan. Kepada para murid, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga”. Kita memerlukan kualitas seorang anak kecil supaya kita bisa berjumpa dengan Tuhan, mengerti kehendakNya, dan mengalami Dia sepenuhnya.

Walaupun kita bukan anak kecil lagi, kita selalu bisa memilih untuk mempunyai kualitas seorang anak kecil, apalagi semua dari kita pernah menjadi anak kecil. Belajar untuk menjadi ‘kecil’ tidak sukar karena sedari awal kehidupan, kita telah memiliki sifat itu. Seorang anak kecil menaruh kepercayaan penuh. Bukan berarti ia tidak mempertanyakan segala sesuatu, tapi ia merasa aman dan nyaman bersama orang yang ia percaya. Walaupun tidak semua hal yang ingin ia ketahui ia dapatkan jawabannya, dan tidak semua hal yang ia inginkan bisa ia dapatkan, ia merasa tenang, karena ia percaya sepenuhnya kepada orang yang dikasihi dan dikenalnya. Ada ‘trust’, dan tidak hanya sekedar ‘believe’ di sana.

Setelah kita semakin dewasa, kita berusaha segala sesuatu harus ada di dalam kontrol kita. Kadang kita lupa sebagai anak-anak dulu, kita menyerahkan segalanya kepada orang tua kita, pihak kepada siapa kita meletakkan rasa percaya , trust kita. Sebagai seorang anak kita tahu dan sadar secara insting bahwa kita tidak selalu bisa mengontrol segala sesuatu sesuai kemauan kita. Ada sikap berserah di sana.
Seorang anak kecil bersikap polos, selalu menaruh pikiran positif kepada orang lain, tidak berprasangka buruk, karena dalam alam kesadarannya ia tahu ia bahwa ia tidak mempunyai seluruh pengetahuan yang memadai untuk bisa menghakimi seseorang atau sesuatu begitu saja.

Anak-anak mudah sekali terkagum-kagum. Saya pernah melihat seorang tukang sulap yang sedang beraksi di depan sejumlah anak-anak. Saya terkesan melihat rasa tercengang yang murni di wajah anak-anak itu. Menghargai segala sesuatu dengan rasa kagum yang tulus membantu anak-anak selalu merasa gembira dan bersyukur atas apapun yang diberikan kehidupan kepadanya. Maka anak-anak menjadi sangat mudah dibuat bahagia dan merasa bahagia. Tawa riang anak-anak bukan datang dari segala sesuatu yang serba sophisticated tetapi karena kehadiran dan kasih sayang orang-orang yang ia percayai dan cintai.

Seorang anak kecil bersikap ada adanya, tidak “jaga image” (jaim). Anak-anak tidak munafik. Mereka tidak menampilkan sesuatu yang sesungguhnya bukan jati dirinya. Apalagi sampai berusaha dengan segala cara untuk sekedar tampil baik. Anak-anak bebas menjadi dirinya sendiri. Tidak perlu menjadi terkenal atau harus dikenal karena kelebihan-kelebihannya, karena mereka bahagia dengan dirinya sendiri.
Ciri khas anak-anak adalah ketidakberdayaan, karena kemudaan dalam segala sesuatu. Akibatnya, hidup mereka menjadi lebih sederhana, sebab mereka cenderung menerima, menikmati, dan mensyukuri, apa yang ada. Dalam hal kepemilikan, anak-anak umumnya juga tidak serakah. Kalau bisa cukup dengan satu, mereka tidak perlu lima, selama mereka masih bisa menikmatinya, dan mereka cenderung selalu bisa menikmati, karena kesederhanaan hati mereka.

Seperti juga anak-anak kita dan kita sendiri di waktu kecil, anak-anak memang tidak selalu menurut kata orangtua. Namun hal itu bukan dilakukannya karena ingin melawan atau menyakiti orangtuanya, namun karena ia masih belajar menyesuaikan diri dengan berbagai bidang kehidupan yang masih baru baginya sambil merasakan dorongan-dorongan alamiah dalam dirinya. Tidak menurut karena sedang bertumbuh tidak sama dengan memberontak karena kesombongan dan keras kepala.

Anak-anak adalah tempat kita belajar kerendahan hati. Secara alamiah, di antara kehidupan bersama orang dewasa, anak-anak memang tidak punya apa-apa untuk membuat mereka merasa superior. Kerendahan hati membuat anak-anak tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Mereka mudah memaafkan, tidak cepat iri hati, dan mau mengerti, walau kadang harus ngambek duluan. Maka mudah dipahami bila sifat rendah hati itu juga membuat anak-anak tidak bersikap sok pintar dan merasa tahu segalanya. Dalam kepolosannya, anak-anak mau mendengarkan orang lain, menghargai pendapat dan pengalaman orang lain, dan tidak berusaha mendominasi atau mengintimidasi orang lain dengan pikiran-pikirannya.

Tentu saja anak-anak juga bisa merasa iri hati, tetapi karena sekali lagi, mereka manusia bebas yang gembira dengan dirinya dan tidak stres oleh hal-hal di luar kemampuannya untuk mengontrol keadaan, mereka lebih mudah menerima dan mengakui kelebihan orang lain.

Di saat hidup berjalan tidak sesuai dengan harapan, anak-anak akan menangis, tetapi tidak berkepanjangan, karena ia akan segera menemukan hal-hal baru yang menarik perhatiannya dan membuatnya asyik lagi di dalam situasi baru yang dihadapi, sehingga pada dasarnya anak-anak sangat mudah menikmati hidup. Fleksibilitas mereka sangat tinggi.

Anak-anak adalah guru kehidupan yang penuh belas kasihan. Mereka mudah merasakan empati yang dalam kepada binatang yang terluka, sekecil dan segeli apapun binatang itu. Bahkan seringkali merasa simpati kepada boneka atau mainannya sendiri yang telah patah.

Dan akhirnya, anak-anak sangat mudah memaafkan dan melupakan. Walau ia juga menangis kalau disakiti, tetapi keterbukaan hatinya membuatnya segera bisa berbaik kembali dan melupakan kesalahan orang lain. Banyak kesedihan datang dalam hidup karena sikap tidak mau memaafkan. Damai Tuhan sulit untuk hadir di dalam kekerasan hati yang menolak untuk mengampuni.

Jadi, bila kita merasakan bahwa Tuhan jauh dan penuh misteri, mungkin ini saatnya membiarkan Dia mengubah kita menjadi seperti seorang anak kecil lagi, sehingga kehadiranNya yang begitu nyata dalam kehidupan ini bagi kita masing-masing, terbuka jelas di hadapan kita. Bagaimana kita tahu bahwa kita telah berjumpa dengan Dia? Kedamaian. Pengalaman bersama Tuhan adalah pengalaman tentang kedamaian. Bila hati kita masih gelisah oleh berbagai hal, dan masih merasa terus ingin mengeluh dan berontak kepada sang hidup, mungkin kita memang belum sepenuhnya mengalami Dia. Dalam Lukas 10: 38-42, ketika Yesus berkunjung ke rumah Maria dan Martha, Maria duduk di kakiNya sambil terkagum-kagum mendengarkan Dia. Martha yang gelisah menegur Yesus yang tidak menegur Maria untuk membantunya. Yesus juga mengasihi dan menghargai Martha, tetapi Dia mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari padanya. Semoga kita terus memutuskan untuk memilih bagian yang terbaik untuk selalu dapat duduk di kakiNya dan menemukan kedamaian mengalami kebesaranNya.(uti)

Houston, 23 Juli 2010

Sunday, June 27, 2010

Menunda


Adalah baik untuk menyanyikan syukur kepada Tuhan, dan untuk menyanyikan mazmur bagi nama-Mu, ya yang Mahatinggi, untuk memberitakan kasih setia-Mu di waktu pagi, dan kesetiaan-Mu di waktu malam, dengan bunyi-bunyian sepuluh tali dan dengan gambus. Dengan iringan kecapi. Sebab telah Kaubuat aku bersukacita, ya Tuhan, dengan pekerjaan-Mu, karena perbuatan tangan-Mu aku akan bersorak sorai (Mazmur 92 : 2 – 5)

Terlambat memang tidak enak, karena efek negatifnya bisa sambung menyambung. Pagi tadi saya terlambat mengejar bis nomor 26 yang berangkat setiap pukul delapan lebih dua puluh tujuh menit, walau saya sudah berlari-lari dengan tas bergantung di pundak. Bis nomor 26 adalah bis yang akan membawa saya ke tempat kursus saya sehari-hari. Keterlambatan itu sebenarnya akibat berantai dari keterlambatan saya keluar dari rumah, untuk menaiki trem pukul delapan lebih duapuluh yang akan membawa saya sampai di stasiun bis tepat pukul delapan dua puluh lima. Dalam keadaan tidak terlambat, saya masih punya dua menit untuk berjalan ke platform bis nomor 26, dan saya akan sampai di kelas saya sebelum dimulai pukul sembilan tepat. Kelas saya memang selalu dimulai sangat tepat waktu. Bila sejak keluar rumah saya sudah terlambat, saya harus naik trem di jadwal lima menit berikutnya dan saya hanya bisa berdoa bis no 26 berangkat sedikit terlambat, yang sayangnya hal itu jarang terjadi. Terlambat masuk ke dalam kelas menimbulkan rasa jengah bagi diri sendiri dan mengusik konsentrasi teman-teman yang sudah berada di dalam kelas. Saya juga akan kehilangan petunjuk-petunjuk penting dari pembicara berkaitan sistem yang akan dipakainya saat mengajar atau tugas yang nanti akan diberikan. Dan rentetan kerugian ini masih bisa saya lanjutkan. Bekal makan siang yang saya siapkan secara terburu-buru tidak sempat saya tutup dengan baik di dalam kotaknya, sehingga ketika saya mengejar bis yang melaju, sebagian isinya tumpah di dalam tas dan mengotori tas kesayangan saya. Semuanya berawal dari terlambat keluar dari rumah.

Tentu saja waktu yang tersedia bagi saya tidak perlu sesempit itu, bila saya melakukan antisipasi waktu yang cukup sejak berangkat dari rumah, yaitu selalu mengusahakan untuk keluar rumah sejak pukul delapan tepat atau kurang. Ada sesuatu yang membuat antisipasi yang seharusnya saya lakukan itu gagal, yaitu kebiasaan menunda. Menunda untuk melakukan hal yang penting dan kegagalan memprioritaskan hal yang paling penting. Menunda, terutama hal-hal yang bersifat rutinitas dan kewajiban, apalagi bila hal itu sebuah pekerjaan yang memerlukan pengorbanan, memang godaan yang sering saya hadapi. Sebuah kegiatan yang kita sukai seringkali membuat kita menunda melakukan hal lain yang penting yang seharusnya kita prioritaskan untuk dikerjakan. Kecenderungan ini ditangkap di dalam Amsal 6 : 10, “Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring”.

Memang bukan mengantuk atau berlambat-lambat bangun dari tempat tidur yang membuat saya terlambat. Menempatkan prioritas kegiatan sangat berperan. Bila saya memilih untuk tidak membuka email atau Facebook, melihat foto teman-teman masa SMA yang baru saja mengadakan reuni, dan memilih segera mematikan komputer untuk segera bersiap berangkat, kemungkinan besar tidak akan ada adegan mengejar bis yang sudah terlanjur bergerak meninggalkan stasiun. Keputusan untuk bangkit dari kursi dan mematikan komputer atau menunda membuka internet di pagi hari adalah sebuah keputusan besar yang harus dibuat kebanyakan manusia di jaman komunikasi maya ini. Bila saya tidak segera mengambil keputusan tentang hal ini, waktu-waktu bersama keluarga dan bahkan waktu-waktu yang seharusnya menjadi milik Tuhan dalam doa pribadi menjadi taruhannya. Kemampuan mengatur waktu dan menempatkan prioritas perlu terus menerus saya pelajari di dalam pergerakan tekonologi komunikasi dan pergaulan dunia maya yang berkembang dengan luar biasa pesat selama sepuluh tahun terakhir. Facebook dan email dengan cepat telah menggantikan waktu-waktu doa pribadi di awal hari, atau merenggut kebersamaan bercengkerama bersama suami dan anak-anak. Sebuah terobosan teknologi komunikasi yang nyaris memutus komunikasi dengan orang terdekat di dalam keluarga. Ia mendekatkan teman yang terpisah waktu dan jarak. Tetapi kalau tidak hati-hati, ia juga sekaligus menjauhkan orang-orang yang berada di samping kita, yang seharusnya menjadi perhatian kita yang paling utama.

Bila hal-hal yang kita sukai atau yang kita anggap penting lebih mendominasi perhatian dan waktu kita daripada hal-hal yang seharusnya kita kerjakan dan itu menyangkut waktu-waktu doa, maka kebiasaan menunda menjadi serius. Mungkin ada kesalahan menempatkan prioritas di sana. Beberapa teman yang saya jumpai dalam sebuah kelompok doa bercerita bahwa mereka seringkali “merasa” tidak punya waktu untuk berdoa dan sejenak merenungkan Firman Tuhan sekalipun mereka ingin. Rasanya sulit sekali memasukkan waktu doa rutin ke dalam jadwal harian yang telah begitu padat dan mereka mengharapkan ada lebih dari 24 jam per hari supaya mereka lebih bisa mempunyai waktu luang untuk berdoa. Itulah masalahnya,mencari waktu luang untuk berdoa. Menunda sampai kita merasa semua pekerjaan sudah selesai untuk mulai berdoa. Tidakkah seharusnya berdoa dan menyediakan waktu khusus untuk Tuhan menjadi prioritas nomor satu yang mendahului kegiatan yang lain ? Kedekatan relasi yang kita bangun bersama Tuhan akan berbeda bila kita berdoa dan membaca FirmanNya di saat seluruh tubuh masih segar dan kondisi prima, dibandingkan kalau kita menempatkannya di waktu yang tersisa dari kegiatan rutin kita saat mata telah berat dan badan telah lunglai siap untuk tidur. Maka waktu untuk berdoa sesungguhnya bukan dicari, tetapi diciptakan.

Bentuk lain dari menunda adalah mengatakan pada diri sendiri, besok saya akan berdoa lebih baik dan menyediakan waktu khusus, karena hari ini saya sudah lelah sekali dan saya berjanji besok akan lebih baik. Bandingkan jika saya mengatakan demikian, hari esok belum menjadi milik saya, satu-satunya yang saya miliki adalah hari ini, saat ini. Maka saya akan berdoa sekarang juga, saat ini juga, dan begitulah kita katakan hal itu setiap hari, sehingga kita menjadikannya kebiasaan. Jika kita memilih sikap yang kedua,kita akan mendapati diri kita telah berhasil mempunyai waktu doa yang khusus sambil merenungkan FirmanNya di setiap hari.

Tuhan tidak pernah menunda-nunda berkatNya karena cintaNya kepada kita. Tuhan yang memberi kita hidup, Dia yang mengajarkan arti hidup karena cinta, oleh cinta, dan dalam cinta. Sesungguhnya Dia jugalah Pihak yang pertama kali menangis bersama kita saat kita menghadapi kepedihan dan penderitaan hidup. Dia sudah sepantasnya mendapat waktu yang terbaik dari seluruh hari, karena Dia jugalah yang telah memberikan kita hari dan kesehatan untuk melaluinya. Namun itulah cinta Tuhan. Dia tidak pernah menuntut. Dia menunggu kita memutuskan untuk memberikan waktu kita kepadaNya dengan kesadaran, kebebasan, dan cinta. Bukan dengan terpaksa atau karena sekedar merasakannya sebagai kewajiban dan rutinitas.

Seberapa pentingnya Tuhan dalam hidup saya juga tercermin dalam menghadiri perayaan Ekaristi. Alangkah baiknya berusaha untuk datang beberapa menit sebelum Misa dimulai, supaya bisa berdoa dan menyapaNya terlebih dulu secara cukup. Bahkan meluangkan waktu khusus di rumah sebelum berangkat untuk bersiap-siap secara rohani supaya saya sungguh siap dan layak berjumpa denganNya. Maka tidak menunda dan cermat menempatkan prioritas menjadi sangat penting dalam relasi saya dengan Tuhan. Seperti halnya penundaan saya berangkat ke tempat kursus membuat saya mengalami berbagai kerugian berantai, menunda waktu-waktu doa dan menunda membangun relasi yang intim dengan Tuhan membuahkan kerugian berantai yang mungkin tidak saya duga sebelumnya. Jika tiba-tiba saya mendapati hati dipenuhi iri hati, dendam, kurang belaskasihan, menghakimi, malas, korupsi waktu dan uang, hilangnya damai sejahtera dalam relasi dengan sesama, maka itulah saatnya saya perlu mengenali mungkin ada suatu penundaan serius yang sedang saya lakukan. Itulah saatnya saya datang kepada Tuhan tanpa menunda lagi. Saya jadi teringat kata-kata dari seorang kudus, saya lupa nama beliau, ini pesannya: “Orang-orang yang selalu berdoa sulit untuk jatuh ke dalam dosa. Sebab doa yang tak jemu-jemu menghindarkan kita dari kecenderungan untuk berbuat dosa.” (uti)

Thursday, May 20, 2010

Ibuku di Surga


Di negeri tempat saya tinggal, pada hari Minggu yang lalu, dirayakan Hari Ibu atau Mother’s Day. Di Indonesia Hari Ibu dirayakan di bulan Desember, namun di banyak negara Barat, hari untuk menghormati para ibu dirayakan di hari Minggu kedua di bulan Mei. Sejarah lahirnya peringatan ini adalah keinginan untuk menghormati figur seorang ibu dan menghargai jasa-jasa seorang ibu dalam melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, seringkali juga dalam situasi yang penuh dengan tantangan dan kesulitan. Perayaan yang indah yang juga dilakukan di komunitas Katolik tempat saya merayakan Misa hari Minggu menyadarkan saya kembali, betapa indah dan patut disyukuri arti dan peran seorang Ibu dalam kehidupan, yang sesungguhnya adalah mitra Allah sendiri dalam melanjutkan generasi manusia yang utuh dan berkelimpahan, sesuai citra Allah Bapa yang menjadikan manusia indah dan baik sejak semula, seturut gambarNya.

Karena saya sendiri belum lagi menjadi seorang ibu, setelah usia pernikahan saya yang telah melewati angka 11 tahun, kemudian ibu kandung saya sendiri yang sangat saya cintai sedang berjarak ribuan kilometer dari tempat saya hidup dan tinggal saat ini, sedangkan ibu mertua saya telah kembali ke rumah Bapa sejak suami saya masih di awal masa remaja, maka pada Hari Ibu ini saya ingin merenungkan karunia Ibu yang sangat istimewa dari Allah Bapa. Beliau berdiam di Surga. Saya sangat mensyukuri hadiah Allah Bapa ini. Bapa tidak hanya mengaruniakan PutraNya yang tunggal untuk menebus dunia, tetapi juga memberikan Bunda dari PutraNya, Yesus, menjadi Bunda yang selalu berdoa bagi saya dan semua umat manusia. Tuhan Yesus mengatakannya menjelang wafatNya di kayu salib. Yesus sebagai seorang manusia, memang selalu ingat akan orang lain, terutama yang sangat dikasihiNya. Ia tidak pernah memikirkan diriNya sendiri, padahal saat itu Ia sedang menderita luar biasa hebat di atas kayu salib. Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah, anakmu!” Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya : “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu, murid itu menerima dia di dalam rumahnya (Yoh 19 : 26 – 27).

Itulah Ibu Yesus Tuhanku yang telah dikaruniakanNya menjadi ibu saya juga. Sesuai amanat Yesus Tuhanku, saya pun menerima BundaNya di dalam rumah hati saya, untuk selamanya. Betapa indahnya. Saya tak akan pernah sendirian lagi di dalam perjuangan hidup dan iman saya. Seorang ibu yang tiada duanya, ibu Tuhan saya sendiri, selalu hadir menemani dan menguatkan saya. Dialah Ibu Maria, yang selalu ada di hati saya, menjadi teladan saya, dan setia menghantarkan doa-doa saya kepada Tuhan. Saya bersyukur dan memuji Tuhan bahwa di tengah kerinduan saya kepada ibu kandung saya dan kepedihan hati saya karena rindu untuk menjadi seorang ibu bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan, saya selalu merasakan kekuatan dan penghiburan dalam doa dan teladan bunda saya di Surga, Bunda Maria.

Sama halnya dengan kenangan-kenangan manis bersama ibu kandung saya, yang dapat saya gali lagi dari foto-foto maupun surat-surat dari ibu, atau ketika saya berbicara melalui telpon dengannya, saya juga mempunyai sarana untuk berjumpa dengan Ibu Maria di Surga. Saya menyapa dan berbicara dengan beliau melalui Doa Rosario saya setiap malam, dan saya senang sekali menggali lagi kenangan indah teladan kasih dan ketaatannya kepada Bapa, melalui Kitab Suci.

Kenangan akan ibu saya yang selalu memikirkan apakah semua anggota keluarga sudah tercukupi kebutuhan makan dan minumnya, tanpa memikirkan dirinya sendiri kadang juga belum makan, baik ketika sedang di rumah maupun saat sedang berlibur bersama, juga mengingatkan saya akan kepedulian yang sama dari Bunda Maria di dalam peristiwa perjamuan pernikahan di Kana, yang saya baca di dalam Yoh 2 : 1 – 11. Bunda Maria dengan naluri keibuan, kepedulian, dan kasihnya kepada sesama, segera mengetahui bahwa saat itu tuan rumah perjamuan sedang menghadapi kemungkinan mendapat malu karena kehabisan anggur. Tergerak oleh belas kasihan dan kepeduliannya, Bunda Maria segera mengatakan sebuah kalimat yang sangat dalam maknanya kepada PuteraNya. “Mereka kehabisan anggur” (Yoh 2 : 3).

Kalimat itu sangat singkat dan sederhana, namun maknanya amat dalam. Di sana ada kepedulian, kasih, dan iman yang begitu besar kepada Yesus, Puteranya, bahwa Puteranya itu dapat melakukan apa pun yang dianggapNya perlu, dalam waktuNya, dan dengan caraNya. Bunda yang sangat mengenal Puteranya, tidak perlu berkata-kata dengan panjang, mereka telah begitu saling memahami. Inilah kasih dan kepedulianku, lakukanlah apa yang perlu untuk mereka, Anakku. Hal itu ditegaskan Bunda Maria dengan melanjutkan kepada para pelayan perjamuan, “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” (Yoh 2 : 5). Dan Yesus, yang walau telah mengatakan kepada BundaNya bahwa waktuNya belum tiba, akhirnya memberikan instruksi kepada para pelayan, untuk mengisi penuh-penuh tempayan-tempayan pembasuhan dengan air. Yang kemudian secara mukjizat, telah menjadi anggur terbaik setelah dibawa kepada pemimpin pesta. Itu adalah mukjizat Tuhan yang pertama selama perjalanan karyaNya di tengah-tengah manusia. Kasih dan penghormatan Tuhan Yesus kepada ibuNya, telah mengubah keputusanNya untuk membuat mukjizat sebelum waktu yang dirancangNya tiba. Oh, betapa aku pun rindu menghormati dan mengasihi ibu Tuhanku.

Kepedulian dan kepekaan Bunda Maria melihat kebutuhan anak-anakNya di dalam kesulitan, dan mukijizat yang terjadi karena anak-anakNya patuh melakukan instruksi Bunda untuk melakukan apapun yang menjadi kehendak Allah (dan bukan kehendaknya sendiri), adalah kisah kenangan indah iman Bunda Maria dan keterlibatan Bunda di dalam seluruh pergumulan hidup anak-anak Tuhan termasuk saya, selama pengembaraan saya di dunia ini. Keindahan hidup dan mukijizat kehidupan akan terjadi bila saya mendengarkan kata-kata Bunda Maria, meneladan imannya, untuk selalu mendengarkan dan melakukan kehendak Tuhan. Maka Bunda Maria sesungguhnya selalu mengingatkan saya untuk beriman sepenuhnya kepada Tuhan dan membawa saya makin dekat kepadaNya untuk mengalami mukjizat-mukjizatNya. Bunda selalu peduli kepada kesulitan dan pergumulan manusia, dan membawanya kepada Puteranya. Inilah kasih dan kepedulianku, lakukanlah apa yang perlu untuk mereka, Anakku.

Bunda Maria telah hadir sepanjang seluruh hidup Yesus, sejak Yesus dikandung di dalam rahimnya (Luk 1 : 31), hingga Dia wafat penuh derita di kayu salib (Yoh 19 : 25). Dan bersama para muridNya, Bunda Maria berdoa menantikan kedatangan Roh Kudus (Kis 1 : 14), menjelang peristiwa terbentuknya Gereja perdana di dunia ini. Bunda Maria yang selalu taat dan rendah hati, sesungguhnya adalah murid Yesus yang pertama, yang mengatakan “ya” kepada kehendak Allah. Keteguhan Bunda untuk terus berjalan dalam iman, adalah karena kebiasaan kudusnya untuk menyimpan segala sesuatu di dalam hatinya, dan merenungkannya. (Luk 2 : 19 dan Luk 2 : 51b).

Demikianlah juga sesuai amanat Puteranya, Bunda Maria senantiasa menemani perjalanan hidup dan pergumulan iman umat manusia, dengan doa dan teladannya yang kudus. Teladan ketaatan, kerendahan hati, dan kesetiaan. Itulah misi kudus yang diemban Ibuku di Surga, sejak awal kedatangan Tuhan ke dunia untuk menjadi sama dengan manusia, hingga kesudahannya, dimana Bunda Maria menghantar semua yang percaya dan mengasihi Yesus, Puteranya, untuk berkumpul kembali di Surga dan bersatu dengan Tuhan untuk selama-lamanya.

Thursday, April 29, 2010

Si Dia


Benarkah Dia bertahta dalam hati manusia
Sungguhkah Ia bersemayam di setiap keindahan alam
Dan berada di balik untaian kejadian yang pelik

Ataukah....

Ia menjadi nyata akibat buah pikiran manusia semata
Yang merindukan figur tuan atas semua kejadian?

Tetapi....

Darimanakah datangnya semua keteraturan alam?
Mengapakah terasakan kerinduan akan Dia di hati manusia?
Kemanakah jiwa-jiwa manusia yang tak sirna ketika sang maut tiba?
Bagaimana cinta dan pengurbanan kasih mampu bertahan dalam dunia yang merintih?
Untuk itu semua...tak mampu kutemukan jawabannya

Karena ....

Sesungguhnya tak untuk Dia dipertanyakan
Sesungguhnya materi dasarNya hanyalah cinta dan cinta
Dan cinta tidak dipertanyakan
tetapi dialami
dan dibagi

Demi cinta itu pula sudi Dia bersembunyi
Tuk membiarkan manusia sungguh bebas memilih tanpa berdalih
Bahwa seandainya tiada konsep tentang Dia sekalipun
manusia boleh melihat...melalui segala pengalaman yang terhimpun
semuanya baik saja berjalan selamat tertaat hukum sebab dan akibat

Namun bagi yang sungguh merana akan harkatNya
Ia selalu ada untuk dirasakan...sebab Ia hanya untuk dirasakan
Ia selalu ada untuk dialami....sebab Ia hanya untuk dialami

Bagaikan merasakan mencinta dan dicinta
tak ada di mana-mana, tetapi juga ada di mana-mana
Sebab itulah hakekatNya yang adalah cinta...
cinta ada tanpa perlu dicari-cari atau diciptakan
cinta tak kenal kata memaksa.
Cinta hanyalah semata-mata membebaskan...
bebas untuk justru mencari daripada dicari,
bebas untuk justru mengalami daripada dialami,
bebas untuk justru memberi daripada diberi.

Akhirnya...

Berhentilah aku mencari.
Kuputuskan...
diriku kuberikan..
untuk ditemukan...
oleh CintaNya.

dengan membiarkan diriku ditemukan...
aku menemukan Tuhan...

Houston, April 29, 2010
dua hari setelah hadir dalam seminar Science VS Religion di Houston Museum of National Science, dibawakan Dr Fransisco Ayala dan Dr George Coyne, dua ilmuwan terkemuka di bidangnya sekaligus seorang Katolik yang taat dan seorang Imam

Saturday, April 3, 2010

Kenang-kenangan Cinta Tuhanku


Lukas 22 : 19 Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kataNya: “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.”

Selama 38 tahun hidup di dunia, saya beberapa kali mengalami perubahan suasana baru yang cukup signifikan dalam perjalanan hidup. Yang pertama tentu saja saat saya berpindah dari rahim Ibu saya yang hangat, gelap, sunyi dan nyaman menuju ke sebuah tempat maha luas yang bising dan menyilaukan yang bernama dunia.

Kemudian di usia 18 tahun, saya berpindah dari kota kelahiran saya di Malang menuju kota Bandung untuk melanjutkan kuliah, di mana saya berpindah kos sebanyak tiga kali sebelum akhirnya lulus dan menempati rumah idaman di kota Serpong bersama pemuda yang saya kenal di tempat kos yang kemudian menjadi suami saya. Enam tahun di Serpong, ternyata suami saya mendapat tawaran kerja yang lebih baik di negeri jiran, Malaysia. Jadilah saya kembali berpindah ke kota Kuala Lumpur yang semakin memisahkan saya dari tanah kelahiran dan kedua orangtua saya yang sangat saya cintai. Ternyata petualangan saya tak berhenti di sana. Setelah tiga tahun bermukim di Malaysia, pekerjaan yang diterima suami kembali membuat saya berpindah menuju belahan dunia lain yang bahkan lebih jauh dan asing bagi saya, menuju Milan, Italia. Hidup masih terus mengajak saya pindah. Hanya empatbelas bulan saja di Italia, suami saya ditugaskan bekerja di Houston, Amerika. Dan sekarang, berjarak setengah bulatan bumi dari orangtua yang saya cintai dan tempat kelahiran yang saya rindukan, saya tetap tidak tahu apakah akan bisa tinggal agak lama di negeri Paman Sam ini, atau kembali harus packing dan angkat kaki lagi entah kemana, setelah bermukim beberapa waktu.

Setiap kali saya harus berpindah domisili, perasaan yang selalu timbul dalam hati saya adalah sebersit kesedihan karena harus meninggalkan kehidupan dimana saya telah begitu terbiasa dan nyaman menjalaninya, sembari menikmati semua bentuk relasi dan persahabatan dengan sesama yang saya jumpai di negara-negara yang berbeda itu. Selain persahabatan dengan sesama dari Indonesia di tanah perantauan, persahabatan dengan orang dari berbagai suku bangsa merupakan pengalaman yang sangat memperkaya. Persahabatan yang telah sempat terjalin begitu membahagiakan saya hingga bila tiba saatnya saya harus pindah, ada rasa berat di hati karena harus berpisah dengan teman-teman yang semakin lama telah semakin akrab itu. Persahabatan yang telah bersemi namun kemudian harus saya tinggalkan itu kadang-kadang bertahan sampai lama, sekalipun saya sudah berada di tempat baru, dimana saya akan berjumpa dan bersahabat lagi dengan teman-teman baru di tempat baru. Saya tetap berusaha menjaga persahabatan yang telah terjalin dari tempat sebelumnya, berusaha tetap saling berkirim kabar. Tapi tidak jarang hubungan pertemanan itu tidak bertahan dan sirna dengan sendirinya karena telah terpisah jarak yang begitu jauh, kesibukan di tempat baru, dan waktu. Bagaimanapun, saya berharap bahwa perjumpaan yang telah terjadi sungguh telah saling membuat kami menjadi lebih matang. Dan selalu layak untuk dikenang.

Sekalipun perpisahan membuat hati saya sedih karena rasa ketidakpastian di tempat baru, dan kerinduan kepada sahabat yang saya tinggalkan seringkali membayangi keberangkatan saya, ada satu hal yang membuat saya terhibur. Yang membuat saya tetap merasakan kehangatan persahabatan walau perjumpaan dan kebersamaan hidup itu telah berlalu. Yaitu kenang-kenangan dari para sahabat yang saya tinggalkan. Demikian juga biasanya saya akan membuat suatu tanda kenangan untuk mereka. Kami bertukar cenderamata, sebagai tanda kasih dan kenangan akan kebersamaan kami. Sebagai tanda bahwa perjumpaan yang telah terjadi sangat berarti, walau hanya dalam sepenggal babak kehidupan. Bentuk kenangan yang pernah saya terima dari berbagai sahabat di perantauan itu bermacam-macam. Mulai dari sepucuk surat, sebuah kartu yang ditandatangani beramai-ramai, kumpulan foto momen-momen kebersamaan kami, cincin, kalung, lukisan karikatur saya bersama suami, hingga sulaman cantik dengan tulisan nama saya dan suami. Semua benda kenangan itu selalu saya simpan baik-baik sehingga saya bisa selalu mengenang persahabatan yang terjadi dalam hidup saya. Seringkali dalam waktu luang, saya pandangi atau saya baca kembali, untuk mengobati kerinduan kepada sahabat-sahabat yang telah diberikan Tuhan dalam hidup saya. Namun karena seringnya berpindah negara, dan itu juga berarti pindah rumah, dengan segala kesibukan packing dan unpacking (meringkas barang dan membongkarnya lagi di tempat baru), seringkali saya terlupa dimana saya menaruh benda-benda kenangan itu. Saat saya ingin melihatnya lagi, tak jarang saya harus membongkar kardus atau mencari-cari di tumpukan buku dan file saya. Untuk hiasan sulaman dan karikatur, saya membingkainya dalam pigura untuk bisa dipajang di dinding sehingga saya bisa melihatnya setiap saat. Namun setiap kali saya berpindah, tentu saja pigura-pigura itu juga harus kembali diringkas dan dimasukkan ke dalam kardus. Biasanya perlu waktu beberapa bulan sebelum saya bisa membongkarnya dan memasangnya lagi di tempat yang baru.

Di malam saat Tuhan Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama para sahabatNya, saya meyakini bahwa Tuhan Yesus sebagai manusia juga merasakan kesedihan yang sangat dalam menghadapi perpisahan dengan para sahabatNya. Sekalipun pada saat itu murid-muridNya itu belum menyadarinya. Tapi Yesus mengetahui bahwa esok hari Dia akan wafat meninggalkan dunia dan sahabat-sahabatNya, dan dengan penderitaan yang hebat di kayu salib yang hina. Sebagai seorang manusia, saya turut merasakan betapa dalam kesedihan Tuhanku Yesus, walaupun pemahaman saya tak akan pernah sempurna. Namun di saat yang saya bayangkan akan sangat pedih, seperti kalau saya hendak meninggalkan suatu tempat dan berpisah dengan sahabat-sahabat saya, apalagi terpisah oleh sengsara dan kematian, Tuhanku Yesus Kristus justru masih sempat memberikan teladan yang teramat indah. Karena Dia begitu setia akan misi yang diembanNya dari BapaNya. Yaitu teladan untuk saling melayani. Untuk berani dan rela menjadi yang paling rendah demi kasih pelayanan yang tulus bagi sesama. Sehingga teladan kasih sejati yang Dia tinggalkan kepada para sahabatNya, disempurnakan oleh sikap pelayanan yang tulus dan kerendahan hati. Saya berharap, di saat perpisahan dengan sesama, saya juga meninggalkan teladan kerendahan hati, dan bukan kepahitan, kesombongan, atau kepentingan diri sendiri.

Tentu saja Yesus juga memberikan kenang-kenangan kepada para sahabatNya yang sebentar lagi akan ditinggalkanNya. Kenangan itulah yang memukau jiwa saya setiap kali saya merayakan Ekaristi dan menghayati dalamnya misteri cinta Tuhan. Hati dan jiwa saya tergetar, pada saat proses konsekrasi dimana Imam berdoa mohon rahmat Roh Kudus mengubah hosti dan anggur menjadi Tubuh dan DarahNya, seperti saat Yesus memecahkan roti bersama para murid di malam perjamuan terakhir itu. Kenang-kenangan yang Tuhan berikan adalah TubuhNya dan DarahNya sendiri. Bukan sekedar tanda mata hasil karya tangan dan pikiran, tetapi seluruh keberadaanNya. Dan saat itu, Dia sungguh hadir secara nyata. Lebih lagi, begitu dalam kerendahan hatiNya sehingga sudi hadir dalam rupa roti dan anggur yang bersahaja. Bentuk roti dan anggur untuk dimakan dan diminum itu adalah cara yang luar biasa yang dipilih oleh Tuhan Raja Semesta Alam untuk meninggalkan kenangan. DipilihNya berupa makanan dan minuman, supaya kenangan itu menyatu dengan kita, menjadi bagian dari kita. Dengan memakan Tubuh dan DarahNya melalui konsekrasi, TubuhNya menyatu dengan tubuh saya, dan DarahNya mengalir dalam darah saya. Betapa luar biasa caraNya memberikan saya kenang-kenangan. Saya hanya cukup melihat ke dalam diri saya bila saya merindukanNya, karena kenangan itu akan selalu bersama saya, di dalam saya. Saya tak perlu meringkasnya ke dalam kardus dan membongkarnya lagi di tempat baru, tak perlu khawatir kenangan itu terhilang atau terselip, sehingga tak bisa saya pandangi terus. Karena kenangan dariNya itu akan selalu di dalam saya, bersama saya, menyatu dengan saya, kemanapun saya pergi.

Peristiwa Perjamuan Malam Terakhir para murid bersama Yesus bagi saya adalah sebuah bukti hidup betapa besarnya kasihNya yang tanpa pamrih kepada manusia yang fana dan lemah ini. Ia ingin menjadi sama dengan kita dan mengalami derita sebagai manusia. Bahkan itu belum semua. Melalui penderitaan yang hebat yang Dia jalani dengan sadar dan rela hingga wafat, Ia ingin membuat kita memahami sepenuh jiwa dan raga, bahwa Ia begitu mencintai manusia. Tuhan begitu haus untuk mencintai kita. Nyawa kita begitu berharga bagiNya hingga nyawaNya sendiri tidak dihargaiNya dan tidak disayang-sayang olehNya. Dan malam terakhir sebelum Ia meninggalkan dunia ini, disediakanNya bekal teladan dan kenangan yang abadi yang teramat sangat indahnya bagi masing-masing dari kita, sahabat-sahabatNya. Hati saya menjerit oleh perasaan dicintai yang begitu dalam. Hati saya menjerit, mengingat bahwa saya merasa belum cukup berbuat sesuatu yang berarti untuk membalas cintaNya yang tulus dan dahsyat itu, bahkan lebih sering saya mengacuhkanNya dan menyakitiNya. Dalam hidup dan mati, baik di langit ataupun di bumi manapun, saya tahu saya tak akan pernah menemui sahabat yang begitu penuh cinta kepada saya seperti Dia.

Bekal kenangan itu yang juga akan selalu menyertai setiap tahap perubahan dan perpindahan yang masih akan terus terjadi dalam dinamika kehidupan kita, yang tidak selalu mulus dan manis, yang juga penuh tantangan dan kesukaran. Termasuk ketika perpindahan kita yang terakhir tiba yaitu dari kehidupan yang fana ini kepada perhentian akhir yang kekal bersama Bapa di Surga, di mana Yesus Tuhan telah menyediakan tempat bagi sahabat-sahabatNya yaitu kita semua, dan menantikan kita pulang. Yesus telah mengatakan hal itu kepada kita : “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ. ” (Yoh 14 : 2 - 4)

Kisah-kisah menyenangkan dari perjalanan hidup yang telah berlalu tak akan terulang kembali, hanya kenangan manis yang akan selalu tinggal di hati saya. Namun kenangan terindah dari Tuhan kita Yesus Kristus setiap kali saya menyambut tubuhNya, merenungkan teladan dan wafatNya, menghayati pengorbananNya, dan menyambut kebangkitanNya dari alam maut, akan senantiasa bersama saya dan kita semua, tanpa mengenal batas waktu, jarak, tempat, dan keadaan …….melampaui maut dan kehidupan.

EpilogYesus, Guru dan Sahabatku, seluruh hidupku tak akan pernah cukup untuk menyatakan cinta dan terimakasihku kepadaMu. Setiap buah pikiran, perbuatan, dan tindakanku seumur hidupku, tak akan pernah memadai untuk membalas semua cinta dan pengorbananMu. Tapi aku tahu bahwa CintaMu cukup untuk mengatasi semua keterbatasanku, aku tahu CintaMu mampu mengatasi ketidakberdayaanku. Terimakasih Yesusku, untuk CintaMu yang tak akan pernah mampu kuselami, biarlah aku hidup oleh karena Cinta itu. Biarlah dengan terus menghidupi dan menghayati CintaMu, hidupku boleh berubah. Berubah dari orientasi untuk diriku sendiri, menuju hidup demi Cinta. Menjadi karenaMu, untukMu, dan hanya untukMu. Bukan karena Engkau menghendaki aku berubah, karena Engkau selalu mencintaiku apa adanya, dan mencintaiku sejak sangat awal, hingga kekal. Aku rindu untuk berubah, karena aku mencintaiMu, dan hanya itu yang dapat aku lakukan untuk membalas CintaMu, walau itu tak akan pernah terasa cukup bagiku. Dan di akhir nafasku, ijinkan aku sekedar berbisik, “ Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” . Karena hanya bersamaMu, aku bahagia, dan hanya didalamMu, aku sungguh-sungguh hidup.

Uti
Houston, 27 Maret 2010

-Kisah ini terinspirasi oleh homili bertahun-tahun yang lalu yang dibawakan seorang Imam dari Surabaya (ordo CM), yang memberi kotbah indah di misa Kamis Putih di Gereja Misericordia, Jalan Jayagiri, Malang, Jawa Timur. Sayang sekali saya lupa nama Imam tersebut karena peristiwanya sudah sangat lama berlalu. Karena indahnya isi homili itu, walau kami semua lupa nama Imam itu, kotbahnya melekat dalam sanubari saya dan keluarga hingga hari ini.-

Tuesday, March 16, 2010

Belajar dari Pertengkaran


Benarkah pernikahan yang baik dan sehat adalah yang bebas dari pertengkaran ? Sekarang saya sadar bahwa jawabannya : tidak benar. Apakah saat sepasang suami istri bertengkar mereka merasakan cinta di antara mereka berkurang atau bahkan semakin menghilang ? Saya rasa tidak. Menurut saya, pertengkaran justru bisa membawa relasi suami istri ke tahapan yang lebih matang karena pertengkaran menjadi sarana untuk saling mengoreksi kelemahan dan saling terus menyesuaikan diri sehingga justru cinta berdua semakin matang dan dimurnikan.

Pertengkaran memang kalau bisa dihindari, tetapi kalau itu tidak terelakkan, kita bisa belajar dari pertengkaran dan menjadikannya sarana untuk saling mendewasakan. Pertengkaran sebenarnya hal yang wajar dalam relasi suami istri yang masih terus berkembang, dan seringkali tak terhindarkan dalam dinamika kehidupan rumah tangga. Apalagi karena dua insan yang menjalaninya tidak selalu seia sekata menghadapi aneka masalah kehidupan dan mempunyai karakter yang tidak selalu sama dalam menyikapi berbagai permasalahan dan dinamika hidup.

Kuncinya adalah kalaupun terpaksa bertengkar, saya bisa memilih untuk bertengkar secara sehat. Sehingga istilah pertengkaran sebenarnya dapat diperhalus menjadi adu argumentasi. Dimana adu pendapat selalu berusaha kita fokuskan pada masalah yang sedang dihadapi, tidak membawa-bawa masalah yang sudah lalu, atau mengungkit-ungkit kelemahan pasangan, dan hal-hal lain yang tidak relevan dengan masalah yang sedang dihadapi. Bagi saya, bertengkar yang baik juga merupakan suatu sarana untuk memecahkan persoalan bersama, dan bukan ajang untuk saling menghina karena melampiaskan kekesalan atau melemparkan cemoohan satu sama lain, dan dengan demikian menjadi ajang untuk saling melukai. Pemakaian kata-kata yang kasar dan berkata sambil berteriak juga merupakan suatu tanda bahwa adu argumentasi yang sebenarnya bisa berlangsung sehat dan membawa kepada pemecahan masalah, telah berubah menjadi pertengkaran dimana emosi dan kemarahan menjadi tuannya. Masalah bukannya terpecahkan tetapi justru ketambahan masalah baru yaitu luka hati yang menganga dan kepahitan akibat kata dan sikap yang tidak dikontrol di dalam pertengkaran itu.

Saya teringat akan ide seorang kawan yang mengatakan sebaiknya pertengkaran yang terjadi antara suami istri dicatat dalam sebuah catatan khusus, atau setidaknya dicatat baik-baik dalam hati kita. Yang dicatat adalah: topik pertengkaran, bagaimana akhirnya solusi dapat dicapai, serta frekuensi pertengkaran. Catatan itu dapat kita amati setelah beberapa waktu. Bila frekuensi bertengkar semakin jarang dan topik yang dipertengkarkan bukan hal yang itu-itu lagi, melainkan semakin berkembang dan tidak hanya akibat dari sikap egois salah satu pihak, maka kemungkinan besar pertengkaran yang timbul telah dapat dimanfaatkan secara sehat dan dengan demikian lebih besar kemungkinannya aneka masalah dapat teratasi dengan baik.

Teman saya yang lain lagi bahkan bercerita setelah bertengkar hebat biasanya justru dia lantas bisa bercinta dengan hangat bersama suaminya. Saya merasa bahwa pertengkaran telah menjauhkan hati dua insan yang sesusungguhnya selalu saling merindu dan mencinta. Maka setelah berbagai argumen dan kejengkelan, hati yang sempat menjauh karena pertengkaran itu merasakan kerinduan yang sangat untuk bersama kembali dan itulah sebabnya keinginan untuk menyatu kembali terwujud dalam hubungan intim yang hangat. Pengalaman teman saya itu memampukan saya untuk sekali lagi melihat keindahan pertengkaran.

Saya pikir mengenali pola-pola bertengkar yaitu mencoba mengerti benar apa penyebabnya dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya, sangat baik untuk menghindari berulangnya pertengkaran yang disebabkan oleh alasan yang selalu sama. Misalnya, latar belakang pertengkaran yang terjadi di dalam relasi saya dengan suami umumnya terjadi karena tuntutan yang tidak terpenuhi, keinginan untuk mengontrol pasangan, dan memaksakan kehendak. Tuntutan yang tidak terpenuhi biasanya terjadi karena tuntutan saya kepada suami terlalu tinggi atau kurang dapat menerima dia apa adanya. Demikian juga keinginan untuk mengontrol pasangan disertai pemaksaan kehendak juga biasanya dilatarbelakangi oleh kurang mampunya saya menerima kebiasaan dan kepribadian suami apa adanya.

Kalau saya ingin menghindari pertengkaran yang sama terulang lagi, saya perlu belajar untuk tidak ngotot dan menuntut pihak lain (suami) terus yang berubah. Justru saya perlu terlebih dahulu belajar untuk menyesuaikan diri dan menerima pasangan saya apa adanya. Demi kasih dan pengorbanan yang tulus untuk keutuhan rumah tangga yang sehat, keputusan untuk berubah itu harus saya ambil dengan berani, walau sering tidak mudah dan mengorbankan ego pribadi. Di sini saya melihat bahwa belajar dari pertengkaran dapat menjadi sebuah latihan bagi saya untuk menjadi pribadi yang sabar dan toleran serta menepikan ego dan kepentingan diri.

Ibu saya pernah mengatakan, tidak berusaha belajar dari pertengkaran-pertengkaran yang terjadi dalam pernikahan lama kelamaan dapat membuat sebuah pernikahan bukan lagi sebuah ajang untuk saling menyayangi, tapi sebuah ajang untuk saling menyakiti. Apalagi seiring dengan berjalannya waktu, dimana sebagai manusia, kedua belah pihak terus berkembang melalui dinamika dan tantangan hidup sehingga apa yang kita hadapi satu sama lain tidak sama lagi dengan kepribadian dan pembawaan di saat berpacaran dulu.

Hidup yang penuh tantangan ini tentu akan terasa bertambah berat bila teman terdekat dalam hidup yang seharusnya menjadi teman terbaik kita menghadapi kehidupan ternyata justru merupakan "musuh" yang paling sering membuat kita kehilangan rasa damai dan sukacita. Sebagian dari pilihan ada di tangan saya. Kesabaran memang pahit, tetapi buahnya manis, demikian kata pepatah. Saya cenderung menghindari kesukaran dan penyangkalan diri, padahal justru kesukaran dan menahan diri itulah yang akan memampukan saya meraih kesejatian di dalam hidup ini dan memahami sesungguh-sungguhnya apa arti bahagia.

Akhirnya, saya sering mengakhiri pertengkaran dengan berdoa bersama dengan suami. Terutama setelah pertengkaran yang agak hebat. Setelah kemarahan mereda dan permasalahan menjadi lebih jernih, kami bersama-sama menghadap Tuhan sambil saling bergenggaman. Memohon ampun atas kesalahan dan kelalaian, dan memohon kemurahanNya agar kami dapat kembali melangkah dalam terang kasihNya dalam setiap suka dan duka hidup pernikahan, dan agar kami dimampukan untuk senantiasa belajar dari kesalahan-kesalahan kami. Saya yakin pernikahan yang bertahan adalah yang selalu mengandalkan Orang Ketiga, dan yang meletakkan Orang Ketiga itu pada posisi Kepala Rumah Tangga Yang Terutama. Orang Ketiga itu tiada lain adalah Tuhan.

Because they argue it doesn’t mean that they don’t love each other, and never argue doesn’t always mean that they love each other

Uti
Houston, 15 Maret 2010

Friday, March 12, 2010

Learn to Talk To Each Other, Not At Each Other


Suamiku pulang dari kantor hari ini dengan wajah terheran-heran. Ia mendapatiku sedang membungkuk di depan jajaran pot-pot mungil yang berisikan tanaman-tanaman hias kami, yang baru dua minggu lalu kami beli untuk menghias rumah baru yang kami tempati. Yang membuatnya heran adalah karena ia mendapati aku sedang bercakap-cakap dengan salah satu tanaman kami, yang daunnya sedang terkulai layu karena aku lupa menyiraminya selama beberapa hari gara-gara masih sibuk dengan urusan-urusan di tempat yang baru

“Sayang, kamu ngapain…?” suami ku bertanya dengan khawatir, mungkin karena sebelumnya dia tidak pernah melihat aku berbicara dengan tanaman.

Aku tidak segera menjawab, masih sibuk berbicara dengan nada memohon kepada tanaman yang daun-daunnya tertunduk lesu itu.

"Please, be alive, I am so sorry, I apologize that I have forgotten you, please don’t be dead, I don’t mean to abandon you. I’m just too busy and I missed to water you every two days. Please, be healthy again,”, aku menghiba-hiba sambil membelai-belai daun-daun yang layu itu dan menepuk-nepuk daun yang masih tegak, walau yang tegak hanya tinggal satu helai saja.

Suamiku semakin penasaran, tetapi ia sudah mulai paham karena terbiasa dengan gelagatku yang kadang suka nyentrik dengan tiba-tiba.
“Waduh, mana pakai bahasa Inggris lagi, mana ngerti tuh” serunya dengan geli.

“Ssstt..jangan keras-keras Yang kalau ngomong, nanti tanamannya nggak dengar suaraku” bisikku dengan agak kesal, “ Ini kan di Amerika, berarti tanaman di sini sehari-hari sejak awal tumbuhnya pasti sudah terbiasa mendengar pembicaraan bahasa Inggris.”

Walau mulai geli sendiri dengan penjelasanku sendiri dan mulai merasa tidak logis, terutama tentang penggunaan bahasa Inggris, aku melanjutkan menjelaskan pada suami dengan suara masih dipelankan, “Ini aku sedang berusaha menyemangatinya. Aku pernah membaca, tanaman juga bisa mengerti kalau diajak bicara atau diputarkan musik, dan bisa tumbuh subur kalau sering diajak bicara yang baik-baik”

Suamiku tampak semakin geli, tapi dia lalu mengangkat bahu dan melangkah ke dalam rumah, “Yaah besok-besok jangan kelupaan lagi nyiram. Tapi kalau Yayang terus di situ, aku dah lapar, kita makan malamnya apa nih? ”

Akhirnya aku beranjak mengikuti suamiku ke dapur. Aku masih berharap kata-kata lembutku kepada tanaman yang hampir mati itu akan berhasil dan esok pagi aku akan melihatnya segar kembali. Aku sebenarnya tidak terlalu yakin, tetapi paling tidak aku sudah berusaha dan setidaknya hal itu mengurangi perasaan bersalahku karena telah lupa menyiram tanaman-tanaman itu selama beberapa hari.

Sambil menikmati makan malam berdua, aku masih melamun tentang tanamanku. Apakah dia sudah baikan ya sekarang ? Tapi ada hal lain yang mengganggu pikiranku saat itu.

“Sayang, melamun ya, ayo makan”, suamiku menegurku sambil asyik mengunyah tahu goreng kesukaannya dan mengambil sepotong lagi.

“Enggak tahu ya, rasanya kok jadi nggak selera makan. Rasanya hari ini banyak yang nggak bener”, sahutku sambil meletakkan sendok dan meneguk segelas air putih. “Tadi siang balasan email seorang teman agak mengagetkanku. Aku menulis baik-baik tetapi rupanya dia salah paham dan mengatakan bahwa sementara dia tidak mau membaca email-email dariku lagi. Aku sangat terkejut mendapat reaksi seperti itu. Sudah kujelaskan bahwa aku tidak bermaksud melukainya, aku hanya sekedar memberikan masukan dan berdoa untuknya, tetapi dia telah memutuskan sikapnya, untuk tidak menghubungiku dulu. Mungkin juga dia bosan ya, kami kan email-emailan hampir setiap hari. Ada saja yang kami obrolkan. Tetapi baru kali ini aku mendapat balasan semacam itu dari seorang teman baik” aku langsung menyambung dengan curhat panjang lebar kepada suami, seperti biasanya.

Suamiku menjawab dengan ringan, “Yah, memang komunikasi melalui email kadang bisa salah dimengerti, Yang. Jangankan komunikasi tertulis yang tidak bisa segera diklarifikasi, komunikasi yang muka dengan muka saja bisa salah tangkap. Lha kita kalau sedang bertengkar itu kan contohnya….” Aku memandangi suamiku yang berbicara dengan ringan tanpa beban, mencoba meresapi kata-katanya. Mungkin kaum adam memang lebih bisa bersikap EGP (emang gue pikirin) daripada kaum hawa, pikirku. Apa yang kuanggap serius, baginya mungkin hanya setengah rius atau mungkin seperempat rius saja, terutama yang berhubungan dengan relasi antara teman.

Kami menyelesaikan makan malam kami dan sambil beranjak ke dapur pikiranku masih terus berputar-putar sekitar pembicaraan kami tentang komunikasi. Tiba-tiba kudengar suara suamiku berseru dari halaman depan, “Yang, tanamanmu segar lagi Yang, daun-daunnya telah tegak kembali” . Aku meninggalkan tumpukan piring yang baru saja hendak kucuci dan mengikuti suamiku yang sedang mengamati tanaman yang tadi kuajak bicara, yang sekarang sudah kembali segar dan tidak layu lagi. Aku ikut berseru gembira, antara lega dan takjub. Entah karena air yang kusiramkan, entah karena kata-kata sayang yang aku bisikkan. Mungkin keduanya. Tetapi yang jelas tanamanku selamat, tidak jadi mati. Dan aku tidak perlu menunggu hingga esok untuk menyaksikan keajaiban itu.

Dengan bersemangat aku kembali membelai daun-daun tanaman yang telah tegak hidup kembali itu dengan perasaan lega. “Thank you, my dear plant, for listening to me and not giving up. From now on, I promise to take care of you better,” bisikku. Dan aku pun menyadari kata-kataku sendiri tentang “listening” . Ya, seni mendengarkan. Mungkin tanamanku ini sungguh mendengarkan dalam keheningannya. Ia menyerap semua kata-kataku dan bahkan karena ia sendiri diam, ia mungkin mampu juga menangkap getaran-getaran kasih dan penyesalan di dalam kata-kataku, sehingga ia bisa hidup kembali karena mendapat energi kasih sayang. Ah, entahlah, aku tidak tahu banyak tentang tanaman. Namun yang pasti, hari ini tanamanku mengajarkan seni mendengarkan kepadaku. Mendengarkan juga berarti siap untuk diam dan melupakan apa yang aku sendiri sedang ingin katakan, sehingga aku bisa sungguh-sungguh berkonsetrasi kepada perkataan lawan bicaraku. Hanya dengan begitu aku mampu memahami apa yang sedang bergejolak di balik kata-kata sesamaku yang sedang berbicara denganku dan menempatkan diri pada posisinya, sehingga aku dapat menjadi kawan seperjalanan yang penuh pengertian baginya.

Mungkin itu yang terjadi pada sahabatku yang sedang ngambek hari ini, sehingga dia memutuskan untuk tidak berkomunikasi dulu denganku. Mungkin dia merasa aku tidak sungguh-sungguh menyimak apa yang disampaikannya, karena aku terlalu sibuk mengutarakan pikiran-pikiranku sendiri kepadanya. Mungkin banyak masalah yang timbul di dalam kehidupan ini dan juga di dalam pernikahan, karena kita belum saling mendengarkan dengan sungguh-sungguh satu sama lain. Mungkin karena kita lebih asyik dengan pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat kita sendiri. I think it is time to learn to talk to each other, not just at each other. Kurasa melalui saling mendengarkan dengan sungguh-sungguh, saling pengertian itu terjadi, dan banyak kesalahpahaman dapat dihindari.

Kemudian aku kembali tersadar akan sesuatu, haahh...oh iya ya, sedari tadi aku yang sibuk bicara sendiri kepada suamiku, sampai lupa menanyakan bagaimana harinya di kantor hari itu, waakss, kasihan suami disuruh mendengarkan terus, lha kapan gilirannya cerita. Aku segera berseru-seru mencarinya, "Yaanngg...ceritamu sendiri hari ini bagaimana yaaa..."

Uti,
Houston, 12 Maret 2010

Wednesday, March 10, 2010

Hadiah di Balik Kesukaran


Ketika aku masih lajang, pikiranku mengelana, hatiku merindu, mencari belahan jiwa dambaan hati. Saat itu ada energi mencinta yang rasanya membutuhkan tempat pencurahan dan di situlah aku membutuhkan seorang kekasih hati yang menempati tempat khusus selain tempat yang telah diisi oleh kasih orangtua, sahabat dan saudara-saudaraku. Curahan rasa cinta dan sayangku yang khusus itu juga kuharapkan mendapatkan balasan rasa sayang dan cinta yang kubutuhkan dalam menjalani hidup ini, rasa cinta dan sayang yang tidak dapat diberikan oleh cinta orangtua dan saudara serta sahabat-sahabatku. Kebutuhan akan cinta yang spesial itu adalah anugerah Tuhan kepada manusia, supaya manusia saling mencinta sebagai suami istri dan bersatu untuk melanjutkan generasi manusia sebagai ciptaan yang paling mulia dan secitra denganNya.

Aku pernah membaca di situs IEC (Indonesia Edu Center) di Facebook, bahwa saat manusia kasmaran atau dimabuk cinta, bagian otak yang bertugas menilai secara sehat dan obyektif menjadi tidak berfungsi. Bagian itu disebut dengan The Social Assessment Mediator. Mungkin itulah sebabnya setelah menikah aku merasa kadang-kadang kaget menemukan sifat-sifat suamiku yang tidak sesuai dengan harapanku. Sebenarnya sifat pasanganku itu sejak dulu ya begitu, tapi di saat aku sedang kasmaran aku tidak mampu melihatnya. Dalam sumber bacaan itu juga dinyatakan, itu adalah bagian dari rencana Tuhan yang agung untuk manusia, supaya manusia dapat terus saling jatuh cinta, menikah, dan berketurunan untuk menjadi pendampingNya dalam mengembangkan kehidupan yang mulia di atas bumi ciptaanNya ini.

Sekarang setelah aku menemukan dambaan hatiku dan menjalani hidup pernikahan, hatiku tidak lagi menghauskan cinta dan mengelana mencari sasaran curahan rasa cintaku. Gejolak cinta yang dulu mengembara tak tentu arah kini telah berlabuh dengan damai di pantai cinta yang kunikmati bersama suamiku. Namun, gejolak cinta yang telah berlabuh itu bukan lagi cinta yang sama yang kumiliki saat lajang dulu. Cinta itu telah tumbuh dan bertransformasi seiring pertumbuhan aku dan pasanganku sebagai pribadi dan sebagai pasangan. Perbedaan pendapat, perbedaan persepsi dan kebiasaan, perbedaan prioritas, dan perbedaan keinginan, semuanya telah mengasah cinta kami sehingga semakin lama semakin berorientasi kepada kepentingan pasangan dan bukan lagi pada diri sendiri saja. Saat semua perbedaan dan konflik itu terjadi, rasanya menyakitkan. Tetapi setelah kami berusaha menjembatani semuanya dengan kebesaran hati dan pengorbanan satu sama lain, aku dapat melihat bahwa semua itu diperlukan agar kami bertumbuh.

Aku sadar bahwa pernikahan dengan segala suka dukanya dan usaha untuk terus mencari kesepakatan bersama dengan saling mengalah telah membuatku belajar untuk hidup tidak hanya bagi kesenangan dan ego diri sendiri. Pemahaman ini membuatku mensyukuri pernikahanku, walaupun setelah 11 tahun menikah aku dan suamiku belum berhasil mempunyai anak, karena kelainan yang terdapat di masing-masing dari fungsi reproduksi kami. Aku percaya Tuhan mempunyai banyak tujuan dalam pernikahan, dan anak bukan satu-satunya tujuan, walau kehadiran anak-anak adalah karuniaNya yang sangat indah yang membuat kehendak Tuhan untuk senantiasa menjadikan manusia menjadi mitraNya dalam memelihara kehidupan ini dapat terus berlangsung.

Saat itulah aku juga menyadari ada kebenaran dalam artikel yang kubaca itu, yaitu mengapa dalam tahap kasmaran dan mabuk kepayang di masa pacaran, Tuhan mengijinkan bagian otak untuk mengenali sifat dasar pasanganku secara obyektif tidak berfungsi. Memang setelah menikah aku terkejut dan sempat kecewa. Namun aku tidak diharapkan untuk mundur dan tenggelam dalam kekecewaan, supaya di dalam ikatan pernikahan yang tak terceraikan itu aku belajar menjadi matang dan tumbuh bersama pasanganku menjadi pribadi yang peduli, siap berkorban, toleran, dan matang secara mental dan spiritual.

Maka segala perbedaan, kesalahpahaman, sakit hati, atau ketidakcocokan bukanlah hal-hal yang menjustifikasi ku untuk mundur dan mencari cinta yang lain. Itu semua justru adalah bagian dari keindahan cinta yang diberi kesempatan untuk dimurnikan, tahan uji, dan membentuk kami menjadi manusia yang berdaya tahan dengan kasih yang murni seperti kasihNya sendiri kepada setiap manusia. Tuhan ingin aku merasakan dan mengalami kasihNya dengan begitu sempurna yang hanya bisa kualami kalau aku belajar mengasihi seperti Dia sudah mengasihiku. Itu semua adalah hadiahNya bagi yang bertahan dalam ketekunan, pengharapan, dan pengorbanan. Dalam terang kasih Tuhan itu dimana aku belajar untuk mengalah dan menerima, aku justru dimampukan untuk melihat bahwa perbedaan yang ada adalah indah dan memperkaya.

Semoga dalam menghadapi masa-masa sulit di dalam pernikahan, aku tidak mundur dan menyerah, tetapi terus bertahan dengan penuh semangat dan niat kasih yang tulus, sambil mengejar hadiah indah yang tersembunyi di balik kesukaran-kesukaran yang terjadi di dalam pernikahan.

Tuesday, February 9, 2010

Happy Valentine's day my lovely hubby


V ery many blessings .......
A dded to my life,
L ighten my days,
E nriching my knowledge and experience,
N urturing my heart with care and compassion.
T he day God has made us to encounter one another....
I know we are unfolding bit by bit a love story He has in store for us.
N ow on the day in which love and compassion is being celebrated,
E nables me to express how grateful I am to know you and to recognize God’s eternal love through you, ....your life, your love, your care, your passion to serve Him, your exemplary deeds, your hospitality, .......your friendship, your understanding, your sacrifice, your laugh and sorrow. They are becoming our life, our love, our care, our passion to serve Him, our laugh and sorrow, our wonderful days together. My life might never be enough to give thanks to God for being with you, loving you, sharing my life with you in renewed love in Him, my lovely hubby. You are my valentine's greatest gift in my life from God the Almighty, God of Love.

May the God who gives us peace make you holy in every way and keep your whole being – spirit, soul, and body – free from every fault at the coming of our Lord Jesus Christ. He who calls you will do it, because He is faithful
(1 Thessalonians 5 : 23-24)

Tuesday, January 19, 2010

One fine morning


It was a fine morning. A sunny, warm, and peaceful kind of morning I always praise and love to begin a new day.

I sat on my favorite couch to start working, when I heard a loud noise coming from outside my cozy and beautiful apartment, a residence with beautiful trees surround it and tidy lawn of well-kept groomed grass. A home I newly resided with my husband as our new life in a new place far from home, regarding my husband’s new job in a foreign country, began.

Hearing the kind of noise that was went on and on, I believed that someone was trying to fix or just trying-out his or her motorbike. Whatever the situation of the motorbike might be, it was allowing the deafening voice from the machine filling the quiet surrounding of my home and I believed others too. Even worse, the smell of gasoline from its fumes gradually interfered with the coolness and freshness of my perfect morning.

A bit irritated, I could not find a way to escape from the situation that bothered me much. Being a stranger in a new country with totally different culture and language, I could barely think of any solution to my problem. I only knew (or decided) that there was someone inconsiderate outside my house who insisted to keep his or her machine producing that disturbing smell and noise for prolonged time.

In an effort to avoid my negative thoughts fanning my flame, I finally rose from my couch and decided to at least take a peek through my window to see the perpetrator.

Then I was surprised, not only by what I saw, but to the total embarrassment I felt in my heart. It was not a motor-bike at all; it was a man with his grass-cutting machine, strolling around the lawn of our apartment with his noisy tools, tidying the grass and plants I admire every morning. By doing his job, he letting himself to be exposed by the deafening noise and choking smell of gasoline fumes. He is the one that makes my lawn admirable and tidy, the one that perfects my day and my morning all at once, the one that once out of my hasty and narrow judgment, was being granted as a perpetrator.

I have decided without asking and believed without searching. I leaned only to my own narrow perspectives. In this life, how many times I judge my fellow human being as an ignorant friend, or an inconsiderate mother, or a careless driver just by what I hear or smell? Or judge certain situation in life as bad or rubbish?

Have I risen and looked with the eyes of my heart, or study more carefully, what are the reasons behind all the scenery and persons I catch with merely my physical senses or my own prejudice in a very short time, before deciding what kind of persons they are ? I'm not being fair. I think anyone who is not fair in mind and not in a fair position, has no rights to judge and is not capable to judge. After all, I don't have the whole picture, yet. And I might never have it.

What lessons might exist in a mundane experience? When Jesus looked up at the tree where Zaccheus climbed and waited for Him to be able to see Him, what did Jesus see? Being marginalized in the society, Zaccheus the tax collector was a man with a deep longing in his heart. It has been overlooked by the society who judged him only by what they think he is without any further considerations. Only a heart with a clear conscience out of love and empathy like Jesus has shown us, can give us the fair truth and beauty about our fellows and life experiences.

In my being still, silent, and calm, I own more space, more time, more consideration, and finally more understanding, to see my fellows in all their circumstances with my empathy, with the eyes of my heart, where Jesus dwells, before giving any judgment, at all.

Uti
Milan, around end of 2008