Tuesday, November 9, 2010

Pahlawan Sejati


Rasanya sukar memisahkan arti pahlawan dengan cinta. Karena cinta, maka seseorang mampu bertindak melampaui batas-batas kepentingan diri sendiri dan bahkan harga diri, supaya yang dicintai menjadi bahagia, bebas, dan sepenuhnya menjadi utuh. Semangat cinta yang sejati yang mendasari perbuatan kepahlawanan menyingkirkan diri sendiri dan melahirkan pengorbanan bagi kepentingan yang dicintai. Tindakan yang didasari oleh cinta membedakannya dengan tindakan yang dikerjakan karena sekedar kewajiban atau rutinitas belaka, atau karena dipaksa oleh keadaan.

Figur-figur yang melenyapkan kepentingan diri supaya pihak lain bahagia dan selamat banyak kita jumpai di keseharian kita. Selain pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang memberi kita hidup dan kebebasan, kita juga menemukannya di dalam diri seorang ibu yang menaruh kasih setiap waktu tanpa kenal lelah, dan seorang ayah yang bekerja siang malam bagi kepentingan keluarga. Pada diri para relawan yang meninggalkan kenyamanannya sehari-hari untuk pergi ke daerah bencana dan menyerahkan waktu dan tenaganya membantu para pengungsi, bahkan hingga kehilangan nyawa seperti dua relawan yang membantu para pengungsi Merapi. Pada diri para misionaris yang melupakan kestabilan hidup normal untuk mewartakan Injil di pedalaman atau hidup di tengah masyarakat miskin untuk menjadi penolong. Pada pengabdian seorang guru yang mengajar dengan penuh semangat dan dedikasi walau penghasilannya pas-pasan. Pada seorang sahabat yang selalu menyediakan waktu dua puluh empat jam sehari bagi sahabatnya. Dan juga pada diri seseorang yang karena kerendahan hatinya merelakan tuduhan, kesalahpahaman, atau fitnah tentang dirinya, berserah dalam keheningan demi keselamatan banyak orang, sambil menantikan keadilan. Dan mungkin pada kita sendiri, saat kita mempunyai kerelaan dan kerendahan hati untuk selalu mengampuni sesama yang menyakiti hati kita karena terbuka terhadap kemungkinannya untuk berubah.

Motivasi oleh cinta yang tulus melahirkan sifat dasar lain dari seorang pahlawan, yaitu bahwa sang pelaku tidak menganggap dirinya pahlawan dan tidak mencari pujian atau penghargaan ketika melakukan pengorbanan bagi sesamanya. Pengorbanan itu dilakukan dengan sukacita dan kerelaan tanpa mengharapkan balasan apapun. Pengorbanan itu sendiri telah membuatnya bahagia terutama saat melihat yang dikasihi berbahagia, sehingga ia tidak memikirkan atau membutuhkan apresiasi apa-apa. Semua lahir karena kekuatan cinta.

Melihat atau mengalami cinta mereka yang berkorban dan melupakan diri sendiri dengan tulus agar sesamanya selamat dan bahagia membawa hati kita kepada sosok pahlawan cinta sejati yang menjadi sumber sukacita iman kita semua dalam pengorbanan Kristus. Dia memberikan diri-Nya seluruhnya di kayu salib demi pembebasan umat manusia dari perbudakan dosa dan kematian. Model semangat cinta Yesus Kristus yang memberikan diri sehabis-habisnya hingga titik kehilangan nyawa supaya yang dicintai memperoleh hidup, membuat kita mempunyai gambaran murni akan arti pahlawan dalam hidup kita. Tuhan Yesus memberikan diri-Nya dengan bebas dan rela, Ia menyongsong salib yang berat itu untuk dipikul-Nya, disertai dengan cinta yang penuh kepada Bapa dan kepada manusia. Hal itu dikatakan-Nya dengan jelas dalam Yohanes 10 : 17-18, “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku”. Tugas dari Bapa-Nya disambut-Nya dengan kerelaan dan kebebasan sepenuhnya. Bagi kita sahabat-sahabat-Nya, Ia adalah seorang pembela dan penolong, seorang gembala yang tidak sekedar menjaga kawanan domba-Nya, tetapi bahkan dengan rela memberikan hidup-Nya bila domba-domba-Nya dalam bahaya. “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yohanes 10 : 10 – 11a).

Yesus mengatakan semuanya itu supaya kita memahami keselamatan dan kehidupan yang akan kita terima bila kita menerima pengorbanan-Nya dan menjadikannya model bagi hidup kita sendiri. Dia mengatakan semuanya itu agar kita menjadi satu dengan-Nya dalam misi keselamatan dunia dan mampu berdiri tegak dalam semua situasi kehidupan. “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadamu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu, segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku (Yohanes 15 : 14-15).

Di dalam segala bentuk pergumulan hidup, tiada yang lebih menentramkan hati selain janji Putra Allah sendiri untuk selalu datang melindungi dan membela kita. Apapun keadaan kita, walaupun kita masih selalu berdosa dan bahkan di saat kita sedang mencari jalan kita sendiri, Dia selalu peduli dan menunggu kita dengan tongkat dan gada-Nya yang meneguhkan kita. “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23 : 4).

Di dalam hati seorang pahlawan sejati, tercermin kepahlawanan Kristus di kayu salib, pengorbanan oleh karena cinta semata, tidak mengharapkan apapun yang lain selain kebaikan dan keselamatan yang dicintai. Dengan senantiasa menyerap teladan kepahlawanan Kristus dalam penderitaan salib-Nya, kita dimampukan untuk juga menjadi pahlawan-pahlawan iman dan kehidupan, yang tulus berkorban bagi sesama, meluap dari rasa syukur dan cinta kepada Sang Putra, memberikan diri dengan bebas dan sukacita, tanpa mengharapkan balasan apa-apa. Dan sebagaimana kita menghargai jasa-jasa para pahlawan bangsa dengan perbuatan yang nyata untuk mengisi kemerdekaan dengan kinerja dan usaha membangun masyarakat dengan semangat kebaikan dan keadilan, demikian juga kita menghormati dan mensyukuri pengorbanan Kristus di kayu salib bagi kita dengan setia bertekun dalam iman dan pengharapan dan tak lelah-lelahnya berjuang menghasilkan buah-buah kasih bagi sesama dan bagi kemuliaan-Nya, bahkan di saat tak seorangpun memberikan apresiasi. Saat ini mari kita ingat dan doakan pula jasa para pahlawan yang telah memberikan hidupnya bagi sesama, baik para pahlawan bangsa, pahlawan keluarga, maupun pahlawan iman, khususnya mereka yang sering terlupakan.

-uti, Houston 8 Nov 2010-

Monday, November 8, 2010

Belajar untuk bahagia


Belajar ? Untuk bahagia ? Mengapa untuk merasa bahagia saja kita harus belajar ? Karena kata orang bahagia itu perjalanan, a journey, bukan tujuan, not a destination. Waktu masih kanak-anak, kita sangat mudah merasa bahagia, kita bahagia untuk hal-hal yang sederhana. Setelah dewasa, kita terpaku pada standar-standar dunia untuk bisa merasakan bahagia. Kita tidak selalu sadar bahwa bahagia yang sejati itu bukan ditentukan standar masyarakat. Bahagia kalau uangnya banyak, bahagia kalau sukses, bahagia kalau statusnya terpandang, bahagia kalau istrinya cantik atau suaminya pintar, bahagia kalau semuanya lancar dan sesuai harapan kita. Dan seterusnya. Tapi kebahagiaan yang sesungguhnya mestinya tidak bergantung kepada semua itu. Kalau semuanya itu diambil dari kita, atau tidak menjadi milik kita, apakah kita lantas menjadi tidak bahagia ? Semudah itukah kita menyerah untuk tidak lagi bahagia ? Rasanya Sang Hidup ingin kita selalu bahagia, dan menciptakan kita untuk bahagia, sejak awal kta diciptakan. Seperti halnya hidup, bahagia itu diberikan-Nya dengan cuma-cuma, tanpa alasan, tanpa syarat. Semata karena cinta-Nya kepada kita, karena Dia ingin kita menjadi mitra-Nya untuk menjadikan dunia ciptaan ini semakin penuh cinta. itu saja.

Kalau rasa bahagia adalah bila harus begini atau harus begitu...baru bahagia kalau saya begini atau kalau kamu sudah begitu....berarti untuk bahagia yang sesungguhnya, memang aku masih perlu belajar. Sebab bahagia yang dari Sang Hidup itu adalah bukan “bahagia kalau....” , melainkan “bahagia karena.....” yaitu bahagia karena bersyukur, bahagia karena diberi hidup. Karena mencintai proses-proses kehidupan. Karena terbuka kepada kemungkinan. Karena selalu penuh harapan. Apakah bahagia ku sudah bahagia yang sejati ? Bahagia yang sejati sudah kualami bila aku bisa tetap memilih untuk bahagia sekalipun hidup sedang tidak berjalan sperti yang kuinginkan, bahkan di saat dunia ada derita dan kekecewaan. Bahagia karena cinta Sang Tujuan, dan bahagia karena selalu ada harapan, kepada Sang Pemelihara Kehidupan.

Semoga semua mahluk Tuhan berbahagia
Houston, Nov 5, 2010

Friday, November 5, 2010

Macet

Ketika komunikasi macet, jalanan macet, ide menulis macet, proses penyembuhan macet, proses menuju kebebasan macet, maka rasa frustasi yang mengalir, masuk ke dalam jiwa, merasuki tulang. Hati yang panas semakin gerah, jiwa yang lelah terasa ingin menyerah.

Daripada menyesali hal-hal yang kubutuhkan atau harapkan untuk berjalan kembali tetapi nyatanya tak kunjung bergerak, atau menyumpahi keadaan dan kecerobohan yang telah menimbulkan macet, lebih baik diam sejenak. Ada yang terlupakankah ? Tenang, tersenyum, berharap, dan sadar.

Mungkin selama ini ku sudah bergerak terlalu laju, sehingga tidak sempat mendongak menikmati kerlipan bintang di langit malam, atau tersenyum kepada matahari pagi yang memberi kehidupan. Mengulurkan tangan kepada anak-anak yang merindukan sapaanku. Dan menyapa jiwaku sendiri yang kering karena kerutinan. Mungkin hatiku sudah terlalu penuh dengan ambisi dan keinginan-keinginan duniawi, mungkin ini saatnya membersihkan nurani, memurnikan motivasi, menyadari pemeliharaan Ilahi, yang sesungguhnya tak pernah sepi. Hanya jarang mendapat apresiasi.

Macet memang menyebalkan, tidak ada ide, tidak ada kelanjutan, harapan menggantung, kepastian melayang. Macet membuat bahtera hidup terhenti, dan semua aspirasi seakan mati. Tetapi mungkin itulah saat yang tepat untuk meluruskan kemudi, mengistirahatkan kendali, dan menyelaraskan diri dengan kehendak Ilahi, supaya kita sungguh sampai ke tujuan kita yang hakiki.

Trimakasih macet.
-Houston, Nov 4, 2010-