Wednesday, November 25, 2009

A Dressing of Change


It was our first month living in the US, and our tenth years of marriage. It seems to me at that period of marriage, nothing would surprise me anymore, even though our life had just about to enter a new chapter of adventure in America. I love my husband very much, and I am content that he loves me back just the way I need it. Everything seems perfect to us, nothing more than our regular ups and downs. My husband is an angel. And I always think that our marriage sustains beautifully more because of his nature rather than mine. That’s the way I had perceived it, the way that was like a comfort zone to me, until that particular evening, when we had a casual dinner, in a casual restaurant.

The restaurant was very busy and crowded. “Look honey, the rib eye steak seems tempting”, my hubby exclaimed as we stared at the fancy menu card. He said that to me in a manner of approval-seeking. “Yup, so let’s pick that. I’m about to take the crispy shrimps”, I responded enthusiastically. It’s our habit to order meals for two that both are desirable to me, since I always want to try any new stuff we find at a restaurant. My hubby has always been so kind and understanding to let me choose what I want to try, as long as he can enjoy it too. As far as I know, his choice is always so flexible and that he is more than happy to share meal that satisfies my curiosity. A waiter approached us with a friendly grin, “Are you guys ready?” The guy was very warm and friendly despite of his juggling service between the demanding customers.

“So what do you want for your dressing, Sir?” he asked my hubby for the salad he chose. Before my husband responded, I heard my voice asking, “What do you have?” The waiter mentioned thousand islands, ranch, honey mustard, and some more. Being only familiar with thousand islands, my hubby picked it, which I cut immediately, almost automatically, “No, darling, it’s better the ranch”. Thousand-islands is just too fatty”. Actually, claiming about fatty was only my justification to try what I assumed as the new one for me, between the other dressings that have been known to me. However, it was just out of our habit that my hubby would pick anything I want to try. Unexpectedly, the waiter was overwhelmed, lamenting to my husband, “You know Sir, my father has been married for three times, and all his wives had tried to take everything from him, believe me”. He then came back with two kinds of dressing, ranch and thousand-island, special for my hubby. Something he would not do in daily circumstances, obviously because he sympathized with what he might feel as a victim of a dictator wife.

My hubby was perfectly okay, as usual, but I was not. During his service to our table, while going back and fro, the friendly waiter kept ‘teasing’ my spouse that he won’t get anything he wanted without my permission. I felt that the waiter had hated me for being so authoritarian to my spouse. I was too embarrassed to response. Never in my life had I imagined to have such harsh comments. But from that moment I realized how serious my habit to pick everything just for satisfying me in the sight of others is. How many years I have overlooked my selfishness? Just because my husband is okay with all his sacrifice to fulfill my needs, it doesn’t mean that I am justified to neglect his rights, his desire, his choice. One day, I might come back to that restaurant, trying to find the cynical waiter and thanking him. It was not his fault for being cynical that night. He had just shown me a knowledge I have missed for years in my marriage, knowledge of knowing myself and of giving respect my soul mate deserves.

Houston,October 2009

Benjol (alias benjut)


Ketika masih duduk di awal bangku sekolah dasar, saya pernah memainkan orang buta-orang butaan dengan kakak perempuan saya. Kakak saya menutup matanya, pura-pura seperti orang yang tidak dapat melihat, dan saya menuntunnya berjalan ke sekitar. Setelah puas berjalan beberapa waktu berdua, kami akan saling berganti peran. Tentunya permainan ini meminta kami untuk saling percaya bahwa dalam keadaan tidak dapat melihat, salah seorang dari kami yang sedang tidak menjadi orang buta akan selalu membawa kami ke tempat yang aman dan tidak mencelakakan kami. Di situlah salah satu letak keasyikan permainan ini bagi kami, selain mengalami bagaimana rasanya kalau tidak bisa melihat. Kalau diingat-ingat lagi rasanya geli. Memang anak-anak senang bermain yang aneh-aneh dan mencoba segala kemungkinan yang menarik perhatiannya. Bagi orang dewasa kadang permainan mereka terasa lucu dan konyol. Tetapi begitulah, anak-anak memang mempunyai dunianya sendiri , yang tidak selalu bisa dipahami oleh orang dewasa.

Namun pada suatu hari, permainan kepercayaan ini ternyata harus saya nodai karena keisengan yang kemudian saya sesali hingga hari ini. Hari itu kami bermain di sebuah lapangan rumput sebuah universitas dekat rumah kami ,di mana di tengah-tengahnya terpasang sebuah tiang bendera untuk upacara bendera. Saat itu sedang giliran saya menuntun kakak yang sedang berperan sebagai orang buta dan memejamkan mata. Saat kami hendak melewati tiang bendera itu, tiba-tiba timbul pikiran jahil di kepala saya. Sambil memegang lengan kakak saya yang sedang saya tuntun, saya memandangi dahinya dan berpikir apa yang terjadi bila saya mengadu dahi kakak dengan tiang bendera yang sudah dekat di hadapan kami. Saya mengarahkan kakak saya ke tiang bendera itu dan….dukk, dahinya membentur tiang dengan pelan. Saat itu saya merasa yakin kakak tidak akan kenapa-kenapa karena saya memegangi lengannya supaya tidak terlau keras membentur tiang. Kontan kakak saya membuka matanya dengan terkejut, ia melotot memandangi saya dengan marah, “Lho, hei..! Piye sih kowe ini, kok kamu benturkan aku ke tiang, huuh…kaget aku” serunya sambil mengusap-usap dahinya.

Semula saya sibuk menahan tawa saya yang hampir meledak, tetapi menyadari kakak marah dan kemungkinan hukuman yang akan diberikan orangtua kami, saya menjadi gentar. Saya lantas berbohong untuk menghindari kemarahan kakak dan orangtua, dengan mengatakan, “Aduh, sori ya, tadi waktu aku menuntun kamu, aku juga sedang mencoba ikut merem (memejamkan mata). Sehingga aku tidak melihat tiang ini” Memang sebuah jawaban yang nyaris tidak masuk akal, tetapi saat itu kakak saya bisa menerima dan hanya menyesali kekonyolan saya tanpa kemarahan yang berlanjut. Yang tidak saya duga adalah akibat dari perbuatan saya itu. Ternyata dahi kakak memar sedikit. Saya makin merasa bersalah dan sedih, serta sedikit takut. “Aduh, dahi kakakku benjol”, pikir saya galau. Ibu kami menaruh beras tumbuk di dahi kakak sebagai pengobatan tradisional yang dikenal ibu saat itu untuk mengurangi memar.

Kebetulan hari itu adalah hari menjelang kakak saya berulangtahun. Sampai sekarang kami masih menyimpan foto ulang tahun kakak dimana kami sekeluarga makan malam bersama dengan dahi kakak berwarna putih karena beras tumbuk yang dibubuhkan ibu untuk mengobati dahinya yang memar. Foto itu sangat lucu dan kami sekeluarga selalu tertawa melihatnya. Semua tertawa gembira termasuk kakak. Hanya saya yang menyimpan kesedihan di hati karena menyadari akibat perbuatan saya dan kebohongan saya. Hati saya berat menyimpan kesedihan dan rasa bersalah yang cukup dalam. Apalagi rahasia kebohongan saya, bahwa saya turut memejamkan mata saat menuntun kakak di hari itu di lapangan bendera, baru saya akui dengan terus terang kepada kakak bertahun-tahun kemudian setelah kami beranjak dewasa. Kakak saya tidak merasa marah atau jengkel lagi, karena peristiwanya telah lama sekali berlalu. Saya pun berterimakasih kepada kakak karena telah memaafkan saya dan mengampuni sikap saya yang pengecut.

Benjol di dahi kakak itu memang hanya terjadi sebentar saja, namun benjol di hati saya tidak hilang begitu saja, bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu. Saya sedih menyadari sisi gelap dari diri saya. Kecenderungan untuk berbuat sesuatu yang saya tahu dapat melukai sesama yang kadang-kadang membuat saya takut kepada diri saya sendiri.

Kecenderungan-kecenderungan negatif yang tidak dikendalikan, kesalahan-kesalahan yang tidak diakui serta dianggap tidak pernah ada, ternyata membuat jiwa kita benjol-benjol, dan memori kenangan yang seharusnya manis menjadi ternoda. Sekarang saya paham mengapa Gereja menyediakan Sakramen Pengampunan Dosa. Sakramen itu tidak hanya memperbaiki relasi kita dengan Tuhan, tetapi juga dengan diri sendiri, yang seringkali menjadi pihak yang paling akhir dan paling sulit untuk diajak berdamai. Sakramen itu juga menyadarkan saya bahwa kita memang setiap saat dapat jatuh, tetapi Tuhan selalu siap untuk mengampuni, seperti sikap yang ditunjukkan kakak saya.

Bila penyebab penderitaan di dunia ini didata secara statistik, mungkin lebih banyak penderitaan yang disebabkan oleh hubungan antar manusia daripada yang disebabkan oleh bencana alam. Alam tidak pernah secara sengaja menyakiti manusia. Kalaupun ia bereaksi, itu karena keseimbangannya diganggu. Tetapi manusia bisa dengan sangat mudah menyakiti manusia lainnya. Kadang konflik semacam itu wajar karena sifat relasi antar manusia dengan perbedaan kepribadian dan latar belakang adalah sangat dinamis. Tetapi sikap yang didasari pengabaian, iri hati, kesombongan, mementingkan diri sendiri, menjadi sumber-sumber yang berpotensi besar menimbulkan luka pada pribadi dan relasi antar manusia.

Kesediaan Tuhan Yesus untuk melupakan diri sendiri dan menderita bagi sahabat-sahabatNya telah banyak sekali memulihkan luka-luka yang ditimbulkan oleh keegoisan manusia. Itulah sebabnya, mengikuti Dia selalu menjanjikan akhir yang manis dan kenangan yang membahagiakan. Namun mengikuti jalan Yesus dan ajaran-ajaranNya yang kudus seringkali sangat sulit, kadang terasa menyusahkan dan makan hati. Bahkan teladan memberikan nyawa menurut kebanyakan orang adalah nyaris mustahil. Sungguh benar, mungkin tidak banyak orang bisa membantahnya. Jalan menuju kehidupan tidak pernah mudah. Jalannya sempit, dan pintunya sesak. Berkorban, mengalah, mengampuni, jujur, menepikan ego demi kebaikan orang lain, merendahkan diri, setia pada komitmen, menjaga kemurnian, semua itu cenderung tidak enak, dan umumnya sangat sukar. Tetapi bukan tidak mungkin, apalagi bila Dia sendiri yang memberi kekuatan dan menginspirasi sepanjang jalan.

Memilih jalan saya sendiri dan menuruti apa yang sekedar menyenangkan saya, ternyata seringkali berujung kepada kesedihan dan penyesalan. Bukan hanya untuk saya sendiri, tetapi juga orang lain, bahkan bagi orang yang saya sayangi. Jauh lebih baik saya memilih yang tidak enak demi kasih, untuk kemudian mengalami akhir yang manis bersama Tuhan, daripada senang-senang mengikuti keinginan dan nafsu pribadi, tetapi lalu belakangan tersisa kepedihan dan penyesalan.

Yesus sudah benjol-benjol dan luka habis-habisan untuk saya, Dia yang Maha Tinggi sudah merendahkan diri sedemikian rendahnya, supaya, pada saat situasi memerlukan, saya pun belajar benjol-benjol mengikuti Dia dalam kerendahan hati, untuk kemudian menikmati akhir perjalanan dalam sukacita dan damai sejahtera. Kalau dipikir-pikir, kedua pilihan itu memang sama-sama benjol dan benjut. Bedanya adalah kalau pilih jalan sendiri, hasilnya mungkin bisa benjut plus bonus luka dan penyesalan. Kalau memilih berjalan bersama Yesus, benjut plus damai sejahtera dan membahagiakan banyak pihak, termasuk diri sendiri dan Tuhan.

Kerelaan Tuhan Yesus untuk selalu bersama manusia dan ketulusan cintaNya yang tanpa pamrih setiap saat kepada kita, menyembuhkan semua benjut dan benjol jiwa kita. Sesungguhnya manusia telah diciptakan sedemikian sehingga hanya bersama Tuhan jiwa kita menemukan kebahagiaan yg sejati.

Your life in Christ makes you strong, and his love comforts you. You have fellowship with the Spirit, and you have kindness and compassion for one another (Phil 2:1)

Uti, Houston, 24 Oktober 2009

Untuk kakakku tercinta Helena Nursanti “Mbanti” Djiwandono