Friday, August 7, 2009

Ujian Kasih



Hari ini teman saya bercerita ia sedang mengamati dengan seksama apakah anak lelakinya yang berusia 5 tahun mengalami demam setelah mendapat imunisasi campak seminggu yang lalu. Dokter anaknya mengatakan bahwa respon tubuh anak terhadap vaksin campak biasanya akan berupa suhu badan yang meningkat dan timbul tanda-tanda merah di badan, yang akan hilang setelah tubuhnya berhasil melawan virus yang telah dilemahkan dalam bentuk vaksinasi itu. Namun bila tubuh si anak lebih kuat daripada vaksin virus campak, ia akan baik-baik saja dan tidak akan merasakan apapun. Umumnya campak akan menjangkiti manusia sekali dalam hidup pada saat masih anak-anak.

Saya membayangkan bahwa seorang manusia pada awal-awal hadir dalam dunia harus berkenalan dengan banyak sekali hal baru. Termasuk harus mengalami berbagai penyakit untuk pertama kalinya, sembari beranjak menuju manusia dewasa yang semakin kuat tubuhnya. Semakin kaya pengetahuan dan ketrampilannya. Seringkali Tuhan membiarkan saya mengenal berbagai perlakuan yang buruk dari sesama, atau mengalami peristiwa yang tidak enak karena sifat sesama manusia yang kurang baik dan tidak mengenakkan bagi saya.

Kebanyakan mungkin bukan maksudnya untuk menjahati / melukai tetapi karena latar belakang, situasi kehidupan, pengalaman hidup, dan kepribadian yang berbeda. Mengenali adanya kemungkinan itu sangat penting supaya kita tidak terlalu cepat menghakimi seseorang yang kita anggap berbuat kurang baik kepada kita atau bertingkah laku tidak menyenangkan.

Tuhan tidak selalu mempertemukan saya dengan situasi yang enak dan mudah serta orang-orang baik yang sepaham dan sepikiran dengan saya. Tetapi pengalaman-pengalaman yang buruk dan perlakuan sesama yang tidak mengenakkan membentuk ketahanan iman saya kepada Tuhan. Menguji kemurnian kasih saya kepada Tuhan dan sesama. Ujian itu bagaikan vaksin campak yang disuntikkan sebagai imunisasi ke tubuh anak teman saya.

Karena ego dan kesombongan manusiawi, daya tahan iman dan kasih saya seringkali lebih lemah dari ujian itu dan hasilnya hati saya menjadi panas. Saya mengalami demam hati. Apa yang saya lakukan dalam keadaan hati panas adalah membalas perlakuan yang buruk dari sesama dengan keburukan juga atau memutuskan sebuah hubungan yang sebelumnya telah terjalin. Hasilnya mudah ditebak. Saya dan sesama berpotensi sama-sama terluka dan sama-sama merasa sakit. Tetapi bila saya selalu berusaha untuk bersikap rendah hati, sabar, introspeksi diri, dan mencoba untuk mengerti, sesungguhnya saya melindungi diri saya sendiri dan orang lain terhadap luka-luka yang tidak perlu. Saya menyiapkan diri saya untuk mengampuni. Itulah pertahanan jiwa yang sesungguhnya. Bukankah saya sendiri tidak sempurna dan sering menyakiti hati sesama, walau tidak selalu saya sadari. Sekali lagi perbedaan kebiasaan, penderitaan dan pengalaman hidup, situasi kehidupan, dan kepribadian, yang tidak selalu dapat kita ketahui pada saat kejadian, bisa memicu penyebabnya.

Terlintas di ingatan saya sebuah pernyataan seorang rohaniwan, orang yang tidak dicintai biasanya menjadi sulit dan orang yang sulit biasanya tidak dicintai. Kasihan kan, seperti lingkaran setan. Kalau orang yang membuat kita resah adalah saudara kita yang mnegalami hal sedemikian, bukankah mereka justru harus kita perhatikan dan cintai lebih lebih lagi ? Yesus sudah memberikan saya pegangan yang saya perlukan saat Dia mengajak saya berpikir demikian “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Lukas 6 : 31)

Bersikap lapang dada dan kepala dingin membuat jiwa saya tetap merasakan keteduhan dan saya akan baik-baik saja. Hanya saja saya perlu terus bergantung kepada Tuhan dan menyerap teladan kasihNya di jalan salibNya sehingga saya mampu memenangkan latihan iman itu dan lulus ujian. Bagaikan imunisasi campak yang membuat tubuh anak semakin kuat, tanpa harus jatuh sakit dan menjadi demam karena efek virus campak yang disuntikkan ke tubuhnya.

Tetapi bagaimana kalau sudah berusaha konsisten bersikap baik dan tulus tetap saja mendapat perlakuan yang tidak enak atau tidak adil ? Kita sudah melakukan apa yang kita ingin sesama lakukan kepada kita, tapi yang terjadi tidak timbal balik seperti yang kita harapkan. Yesus mengajarkan kita untuk memberikan pipi yang lain bila satu sisi pipi kita ditampar, namun apakah itu berarti Yesus membiarkan harga diri kita diinjak-injak dan diabaikan ? Tubuh anak yang sedang divaksinasi mempunyai sistem daya tahan. Tubuh manusia dilengkapi Tuhan dengan mekanisme yang mengagumkan untuk menahan serangan virus dan bakteri. Demikian juga saya tidak berpikir bahwa dengan memberikan juga baju kalau orang meminta jubah saya atau berjalan dua mil kalau diminta berjalan satu mil, adalah berarti membiarkan diri terus menerus menjadi bulan-bulanan sesama yang sedang memanfaatkan kebaikan kita.

Saya ingat saat Tuhan menyampaikan hukum utama yang kedua “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri “ (Matius 22 : 39). Bagi saya itu berarti kita baru bisa mengasihi sesama sepenuhnya bila kita sudah mengasihi diri sendiri terlebih dahulu. Mengasihi diri sendiri menyangkut menghargai diri sendiri, yaitu menghargai hak diri sendiri termasuk memastikan bahwa hak diri sendiri juga diperhatikan dan dilindungi. Dalam hal ini termasuk juga hak untuk membela diri dan menjaga harga diri. Sama seperti kita wajib menjaga dan melindungi hak dan harga diri sesama kita.

Apa yang diajarkan Yesus adalah bahwa sebagai orang-orang yang telah ditebus, kita diajak untuk berani tampil beda. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan dengan kebaikan, seperti yang Yesus sampaikan selanjutnya di Lukas 6 : 32, “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu ? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.“ Memang ini sebuah perjuangan yang tidak ringan dan merupakan suatu seni tersendiri. Betapa menyenangkan mengikuti Yesus, yang penuh dengan citarasa seni dan kreativitas dalam mengasihi…! Supaya kita menjadi sempurna, seperti Bapa di Surga sempurna adanya. Itulah cita-cita Yesus bagi kita semua, cita-cita yang amat indah bagi setiap kita, mahakarya ciptaanNya.

Tapi semua itu tidak mudah. Ya, tentu saja. Untuk hal-hal yang berharga, tidak ada yang mudah, perlu perjuangan. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Saya perlu berdialog dengan Tuhan melalui firmanNya dan bertekun dalam doa, supaya saya menemukan kekuatan untuk terus berjalan bersama Yesus. Di dalam doa serta firmanNya, saya selalu menemukan kembali bahwa bersama Yesus di samping saya, di hati saya, saya mampu. Kalau Yesus meminta saya melakukan sesuatu, itu pasti sesuatu yang bisa saya lakukan. Tuhan tidak akan meminta sesuatu yang tidak bisa kita kerjakan, termasuk saat Yesus meminta saya mengampuni tujuh kali tujuh kali dalam sehari (Lukas 17: 4). Kuncinya sederhana, berpegang terus pada kasihNya dan belajar dari hatiNya yang lemah lembut, karena dengan kekuatan kita sendiri, kita memang belum mampu.

Kenangan masa kecil membantu saya. Saat kita masih kecil, jika kita berkelahi dengan teman atau saudara, kita akan cepat berbaik kembali dan bermain bersama lagi tidak lama kemudian. Itulah anak-anak: polos, murni, tidak mudah dendam. Kita semua pernah menjadi anak kecil, mengapa kita harus jadi berbeda dalam hal mudah mengampuni dan cepat berbaik kembali setelah kita menjadi dewasa? Terus berusaha untuk mengampuni adalah daya tahan jiwa yang sesungguhnya, terbentuk dan terasah setelah kita bersedia menjalani ujian dan lulus, ketika berjumpa dan mengalami orang-orang yang tidak selalu membalas kasih kita, yang tidak peduli pada kita, bahkan melukai kita, baik secara sadar dan sengaja, maupun tidak.

Kasih yang sejati memerdekakan, tidak hanya bagi yang menerimanya, tetapi lebih-lebih bagi yang memberikannya. Saling berbagi kasih membuat orang merasa berharga, menumbuhkan rasa percaya diri, dan menyehatkan jiwa. Semoga saya belajar untuk terus menimba dari Yesus, sumber inspirasi kasih sejati, yang tulus dan tidak pernah mengharapkan balasan apa-apa. Yang terus mengasihi, walaupun dilukai.

Filipi 4: 13: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”.

Yesus ada di sini, saya pasti bisa.

San Donato,Milano,
3 Agustus 2009

No comments:

Post a Comment