Monday, June 22, 2009

Pay It Forward


“Pit, sepedamu hilang Pit ? Dimana ? Kapan ?“ tanyaku bertubi-tubi kepada Pipit sahabatku, dengan mata mendelik setengah tak percaya. Rasa tidak percayaku dobel-dobel. Bagaimana mungkin berita sepenting itu tidak kudengar langsung dari mulut sahabatku yang bawel itu. Bawel adalah istilahnya sendiri untuk menyebut dirinya sendiri yang suka bercerita, apa saja kepadaku. Tetapi aku mendapat berita bahwa sepedanya dicuri dari teman kekasihnya. Pipit tidak pernah bercerita kepadaku tentang hal itu. Sepeda itu jenis yang bagus dan cukup mahal harganya.

Pipit sangat menyukai olahraga dan alam. Ia sangat suka bersepeda bersama kekasihnya. Kemana-mana mengayuh sepeda berdua menelusuri kota kecil kami San Donato di pinggir kota metropolitan Milan, Italia, yang memang banyak berpohon rindang dan lebar jalannya. Dengan jalur khusus untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda. Keindahan yang ideal dinikmati sambil bersepeda. Apalagi saat musim semi tiba. Udara dingin yang menggigit selama berbulan-bulan berganti dengan kehangatan cahaya matahari yang sering absen di musim dingin. Tak hanya itu, bunga-bunga aneka warna seolah muncul begitu saja dari segala penjuru di tengah rerumputan dan dari balik pepohonan. Keindahan yang sempurna untuk melengkapi kehangatan musim semi.

Pipit tampak kaget karena aku akhirnya tahu. Tetapi ia masih tampak enggan untuk mengklarifikasi atau mengiyakan pertanyaanku itu. Aku baru sadar bahwa sahabatku itu merasa terpukul sehingga ia sedang tidak ingin mengatakan apapun kepadaku. Aku tidak memaksa. Aku menanti dengan sabar sampai ia mau membuka suara.

Akhirnya ia berkata dengan lesu, “Iya, …” tanpa keinginan untuk menceritakan lebih lanjut
“Wah, gawat nih….” pikirku
Pipit lantas bertanya dengan malas, “Kok tahu darimana Ti ?” dan aku tahu ia tidak membutuhkan jawaban atas pertanyaannya itu.

Lalu ia menyambung dengan pertanyaan kedua yang membuatku kaget. “Menurut kamu, boleh nggak aku mencuri sepeda orang lain lagi supaya aku bisa punya sepeda lagi “
Aku tidak dapat menjawab. Tentu saja Pipit tahu aku tidak akan setuju. Tanpa menunggu jawabanku Pipit melanjutkan, “Kan aku sudah kehilangan sepeda yang begitu bagus dan mahal. Aku membutuhkannya sekarang. Musim semi sudah tiba, cuaca mulai hangat dan cerah. Aku ingin kembali bersepeda setelah musim dingin yang membosankan ini berlalu”

“Terus kalau kamu ditangkap polisi gimana ? tanyaku pura-pura berusaha mengakomodasi idenya. Aku tahu ia sedang merasa sangat kesal. Aku hanya berharap ia tidak sungguh-sungguh.
“Akan aku tunjukkan bon pembelian sepedaku kepada pak polisi. Supaya ia tahu bahwa aku sudah membeli sepeda yang mahal dan dicuri oleh orang. Maka ia akan mengerti bahwa aku juga punya hak untuk mencuri sepeda orang. Kalau perlu aku akan usulkan hal itu kepada kepolisian sebelum aku mencuri. Nanti akan kucuri yang sebagus dan semahal punyaku yang dicuri. “

Wah, Pipit stress, pikirku. Aku mengenal Pipit belum setahun. Tapi aku kenal kepribadiannya yang ramah, hangat, dan suka menolong. Aku merasa tak percaya bahwa suatu musibah dapat begitu cepat mengubah kepribadian seseorang. Rasa kecewa dan dikhianati membuat seseorang dapat kehilangan kasih dan kesadaran dirinya. Aku menelan ludah, tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa belum pernah mengalami musibah. Aku menyadari bhw kehilangan sepeda kesayangan bagi Pipit adalah suatu musibah yang lumayan baginya. ‘Penderitaan’ hidup membuat orang menjadi pahit dan tidak menjadi dirinya sendiri.

Aku jadi teringat sebuah film Amerika berjudul “Pay It Forward” dimana seorang anak bertekad meneruskan kebaikan yang diterimanya kepada orang lain yang dia jumpai dan demikian seterusnya hingga kebaikan menjadi suatu rantai yang menyentuh banyak orang. Ide sahabatku Pipit yang justru berkebalikan dari ide film itu membuatku sadar bahwa kejahatan dan kepahitan juga bisa ditularkan kepada orang lain menjadi rantai dendam yang tidak berkesudahan.

“Pit, nanti orang yang kamu akan curi sepedanya itu kan bukan pencuri sepedamu, dan dia akan jadi korban seperti kamu juga dong “
“ Ya biar saja ia mencuri sepeda orang yang lain lagi kalau dia merasa perlu” balas Pipit dengan masam.
Aku mulai merasa geli melihat tampang sahabat baikku ini. Aku setengah berharap bahwa ia sebenarnya sedang kesal saja dan tidak bermaksud benar-benar akan melaksanakan niatnya itu
Aku mencubit pinggangnya sambil bercanda, “Ah, ayolah Pit, you can’t be serious, yang bener aja loo..”

Syukurlah, digoda seperti itu sahabatku itu tampak mulai melunak. Ia masih pura-pura cemberut tapi pipinya mulai tampak merah menahan senyum.
“Pokoknya besok aku mau curi sepeda yang bagus” katanya sambil berkelit menghindari cubitanku yang kedua yang sudah nyaris menyambar pipinya.
“Besok kamu siap-siap diinterogasi Polizia ya. Kalau kamu ditanya aku sedang berada dimana pada saat kejadian, bikin alibi yang cerdas ya Ti, awas kalau alibimu jelek, kupecat kamu jadi sahabat ya….” Dan sambil menyelesaikan kalimatnya Pipit menghilang di balik pintu menghindari lemparan bantal yang kulayangkan ke arah tubuhnya.

Aku menghela napas lega sambil memungut bantal itu dari lantai. Yah, kuharap dengan memiliki sedikit ide ‘gila’, kesedihan dan kekecewaan Pipit karena kehilangan sepeda kesayangan dapat sedikit terobati. Walau kekecewaan itu akan tetap ada. Mungkin ia hanya sekedar memerlukan sarana pelampiasan kekesalan karena sepedanya hilang dicuri maling tak berperikesepedaan. Aku melangkah keluar dengan pikiran menerawang.

Kekecewaan Pipit mengajarkan aku satu sikap mengerti bila orang yang kuhadapi terasa menyulitkan dan tidak berperasaan. Mungkin mereka hanyalah korban dari kepahitan yang mereka alami tanpa diundang, seperti yang dialami sahabatku Pipit. Barangkali mencoba untuk memahami dan mengampuni akan menghentikan rantai dendam dan kepahitan. Sehingga kebencian tidak menyebar seperti wabah dan memakan korban-korban lain yang tidak perlu.

Semoga dunia ini tidak menjadi sasaran kepedihan dan kekecewaan yang tidak ada akhirnya tetapi tempat manusia bisa saling bergandengan tangan memberikan kekuatan dan dukungan menghadapi penderitaan yang kadang datang tanpa diundang


dedicated to one of my dearest girl friend in san donato, Fransisca Prananto
San donato, mezzo marzo 2009

No comments:

Post a Comment