Thursday, August 20, 2009

Menunggu


Menunggu umumnya bukan suatu kegiatan yang menyenangkan, dan biasanya jauh dari produktif. Maka mungkin kurang tepat juga disebut sebagai kegiatan. Orang tidak dengan sadar mau menunggu. Biasanya ia hanya dilakukan karena dipaksa oleh keadaan. Apalagi bila menunggu cukup lama, di tempat yang tidak mengenakkan, atau dalam keadaan kita sakit atau lelah, maka menunggu terasa lebih berat. Ditambah lagi bila kepastian hal yang ditunggu tidak jelas dan tidak tampak adanya perkembangan yang berarti. Jaman yang serba tergesa-gesa oleh persaingan hidup dan serba instan ini membuat sebisa mungkin orang menghindari menunggu. Namun kebanyakan kegiatan menunggu menguji kualitas kesabaran kita. Menunggu antrian di bank sementara pekerjaan di kantor masih menumpuk, atau menanti di ruang tunggu rumah sakit dalam keadaan tubuh yang lemah karena sakit, seringkali membuat kita merasa tidak berdaya. Seiring dengan kesabaran yang mulai menipis, kemarahan dan gerutu pun mulai menebal.

Sayangnya dalam setiap dalam setiap episode kehidupan, pasti ada saatnya kita harus mengalami saat-saat menunggu. Lamanya bervariasi, bisa hanya lima belas menit antri membayar di kasir yang itupun sudah cukup membuat kita resah. Bisa juga sepuluh tahun bila yang ditunggu adalah pertobatan seorang anak atau kehadiran sang buah hati dalam sebuah pernikahan. Menunggu menjadi lebih ringan jika kita mempunyai pengalih perhatian yang produktif atau ditemani seseorang dan / atau situasi yang menyenangkan, sehingga kita tidak bete atau mati gaya, istilah anak muda jaman sekarang. Namun bagi saya itu tidak harus, setelah apa yang saya lihat di sebuah hari yang terik di sudut kota Bandung mengubah cara pandang saya terhadap suatu penantian dan kegiatan terpaksa yang bernama menunggu.

Siang itu, sambil berjalan di antara kerumunan pengunjung yang berbelanja di pasar Simpang, Bandung, saya melihatnya. Seorang bapak tua yang duduk berjongkok di trotoar jalan masuk menuju jalan Cisitu. Nampaknya tubuhnya yang kurus kering membuatnya tidak sulit untuk bertahan dalam posisi jongkok dalam waktu yang lama. Yang membuat saya trenyuh adalah benda yang ditungguinya dengan sabar di hadapannya. Sebuah timbangan badan. Dan wajah rentanya itu. Begitu pasrah, tenang, dan sabar. Bapak itu tidak tampak diburu apapun, bahkan di mata saya ia tampak tidak memerlukan apapun. Wajahnya begitu damai, walau nampak gurat kelelahan dan kegerahan.

Timbangan badan. Di tengah hilir mudik manusia dengan berbagai kepentingan dan urusan yang seolah tidak dapat ditunda lagi atau disela barang sedetik pun. Di tengah kebutuhan perut-perut lapar yang harus segera diisi. Dan panas terik matahari siang yang membuat orang ingin segera sampai ke tempat tujuan. Tak seorangpun rasanya di antara manusia-manusia yang sibuk berlalu lalang itu akan terpikir untuk menghampiri bapak tua itu dan menimbang berat badannya.

Saya menelan ludah, terasa kering dan tercekat. Hawa kemisikinan dan ketidakberdayaan tiba-tiba terasa begitu pekat menyekap hidung saya sehingga saya merasa tarikan napas di dada menjadi berat. Gerahnya udara kemarau Bandung seolah menambah rasa ketidakberdayaan itu. Tetapi kesabaran Bapak itu menunggu, dalam kepasrahannya, dalam usahanya yang begitu bersahaja, terasa menyejukkan hati saya sampai ke dalam tulang. Betapa cengengnya saya kalau harus menunggu sebentar saja. Gelisah mencari cara agar proses penantian itu bisa dikurangi semaksimal mungkin atau kalau perlu dipangkas sekaligus. Semuanya harus cepat dan efisien. Tetapi ingatan dan kenangan saya akan bapak tua yang menyewakan timbangan badan demi sepeser seratus rupiah untuk setiap pelanggan, di tengah teriknya mentari kota besar, dengan kesabaran dan ketenangan hingga ke ujung hari, telah mengubah cara pandang saya kepada sebuah proses menunggu. Menunggu melatih kesabaran jiwa, sebuah kesempatan untuk menemukan kembali jati diri kita yang sesungguhnya. Yaitu jati diri manusia yang dinilai karena ikhtiarnya, ketegarannya, dan kerelaannya, untuk menjalani hidup dan tantangan di dalamnya harapan, dengan mawas diri, dengan kerendahan hati.

Sejak hari itu, menunggu tidak lagi menjadi kegiatan pasif bagi saya. Bila saya harus menunggu sesuatu di luar kemauan saya, saya mengingat kembali bahwa menunggu memberi saya kesempatan untuk mengamati keberadaan di sekitar saya, mengamati diri saya dalam introspeksi, merenungkan apa yang bisa saya buat bagi keadaan di sekitar saya, mungkin bagi saya sendiri, dan bagi Tuhan. Menunggu dalam keheningan menyadarkan jiwa saya yang bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi kehidupan.

uti
san donato,20 Agustus 09

No comments:

Post a Comment