Wednesday, January 6, 2010

Yang tertinggal dari kisah Natal


“Jo, jadi apa rencanamu untuk berbuat kebaikan di hari menjelang Natal ini “ tanyaku kepada keponakanku Jojo yang baru berumur 6 tahun.

Sebagai ide acara Natal keluarga tahun ini, aku dan kakakku meminta para keponakan kami untuk memikirkan dan melakukan satu perbuatan baik kepada sesama, terutama sesama yang membutuhkan, untuk kemudian pengalaman itu diceritakan dan disharingkan pada acara Natal keluarga sebelum acara membuka kado-kado Natal dimulai.

Walaupun masih sangat belia, Jojo bersemangat menanggapi ide kami dan tampak antusias untuk berpartisipasi. Ia menjawab dengan mata berbinar dan mulut terbuka lebar sambil sedikit berjinjit meninggikan badannya yang mungil seolah-olah khawatir aku yang jauh lebih tinggi darinya tidak mendengar perkataannya. Itu adalah gaya khasnya bila sedang bersemangat.

“Jojo minta sama Eyang supaya membelikan mobil-mobilan untuk teman Jojo yang cuma punya satu mainan mobil-mobilan”

Aku terdiam sejenak. Ada sedikit rasa kecewa di hati dengan jawaban si kecil Jojo yang bersemangat ini, tetapi aku menegur diriku sendiri untuk bersikap hati-hati. Memangnya jawaban seperti apa yang kuharapkan dari seorang anak yang baru kelas 1 SD? Tapi aku menjadi tergelitik untuk bertanya lebih jauh.

“Itu bagus sekali Jo, tetapi mengapa Jo ?”
“Yaa.. soalnya teman Jojo itu mobil-mobilannya cuma satu, sedang punya Jojo...banyaakkk…”
“Iya, Tante tahu Jojo punya banyak sekali mainan mobil-mobilan, maka yang Tante tanyakan adalah mengapa Jojo minta Eyang yang membelikan mainan mobil-mobilan buat temanmu itu. Mengapa bukan Jojo sendiri yang merelakan salah satu mobil-mobilan Jojo yang banyak itu untuk diberikan kepada temanmu. Bukankah Jojo sayang kepada temanmu itu ? Kalau Jojo sayang, pasti Jojo tidak keberatan untuk berkorban memberikan satu saja mobil mainanmu dari koleksimu yang sudah berjumlah 30 buah itu”

Jojo terdiam, dia nampak berpikir keras. Binar matanya tampak meredup dan bibirnya yang tadi merekah perlahan-lahan terkatup. Aku tidak tega melanjutkan pembicaraan dan menuntut Jojo untuk terus menjawab sesuai dengan harapanku.Bagaimanapun aku mungkin sudah berharap terlalu banyak. Bagaimanapun juga aku sudah berusaha untuk mengajak Jojo berpikir mengenai nilai pengorbanan. Bagaimanapun aku sangat menghargai semangat dan antusiasmenya untuk berpartisipasi dalam memikirkan sesama yang lebih berkekurangan dan berbuat kebaikan untuk mereka. Mungkin di kesempatan yang lain aku bisa membantu Jojo untuk bisa mengalami indahnya memberi dan merelakan benda yang kita sukai untuk membahagiakan orang lain. Aku segera berlutut untuk memeluk keponakanku yang menggemaskan dan polos itu sambil berkata, “Ya udah nggak apa-apa Jo, Tante bangga kepada Jojo yang bersimpati kepada teman yang lebih tidak punya dari Jojo dan ingin supaya temanmu itu juga bisa bergembira seperti kamu.”

Dalam hatiku aku merasakan keharuan dan penyesalan yang menyesak di dada. Aku telah sempat bersikap menuntut kepada anak-anak supaya mereka memikirkan dan melakukan kebaikan dan pengorbanan tanpa melihat lebih jauh apakah mereka sudah siap untuk itu. Aku tidak melihat kepada diriku sendiri, kepada siapa diriku di hadapan Tuhan dan sesama. Apakah aku juga sudah melakukan pengorbanan merelakan waktu, benda kesayangan, hobi, energi, untuk berbuat kebaikan dan membahagiakan sesama, atau untuk sekedar menyatakan kepedulian kepada mereka. Sedangkan kalau sudah duduk asyik di hadapan laptop untuk menulis, beranjak sebentar saja untuk menelpon teman yang sedang menantikan telponku, atau mengunjungi tetangga baru di sebelah rumahku yang tampaknya kesepian, bahkan untuk sebentar saja bangkit membuatkan jahe panas yang diminta suamiku saja aku terkadang ogah-ogahan. Dalam pikiranku, memberikan satu saja dari mobil-mobilan yang sudah banyak nampaknya sepele. Tetapi di mata Jojo, melepaskan sebuah mobil koleksinya jangan-jangan sama sukarnya dengan bagiku mengorbankan satu dari koleksi buku atau sepatuku yang sangat aku sukai dan berharga bagiku. Apakah aku akan siap atau masih harus berjuang untuk melepasnya dengan rela tanpa mengeluh. Mengapa aku mengajarkan anak-anak hal-hal yang aku sendiri belum tentu mampu melakukannya dengan baik ? Mengapa anak-anak harus menjadi sasaran pembelajaranku dan percobaanku untuk hal-hal yang sesungguhnya harus kukuasai dulu dengan baik sebelum menuntut anak-anak untuk melakukan hal yang sama ? Siapakah aku ini meminta Jojo melakukan kebaikan? Jangankan seorang malaikat yang mungkin lebih berhak untuk meminta manusia melakukan kebaikan,sebagai seorang manusia pun aku masih dalam keadaan babak belur jatuh bangun memperbaiki kebiasaan-kebiasaan buruk yang diulang-ulang.

Saat aku memeluk Jojo dengan penyesalan, aku menyadari bahwa anak-anak adalah cerminan dari kehidupan kita sendiri sebagai manusia dewasa. Keterbatasan mereka adalah keterbatasan kita juga. Bercermin kepada mereka adalah suatu pembelajaran untuk mendidik diri sendiri dan membereskan PR-PR kita sebagai pribadi terlebih dahulu sebelum membimbing mereka menuju kedewasaan yang seutuhnya. Berkebalikan dari paham yang lebih umum dalam dunia kita, orang dewasa justru berhutang belajar kepada anak-anak supaya justru dari kepolosan, keceriaan, dan antusiasme mereka yang apa adanya terhadap hidup dan kehidupan itu, aku belajar menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab dan bukan hanya menjadi tua secara otomatis karena berjalannya waktu.

uti-yang sedang di perantauan dan rindu kepada keponakan-
Houston, 6 Januari 2010

2 comments:

  1. wow.... beautiful..

    bener juga, kalo diminta ngasih buku koleksiku, aku jg blm tentu mau... mending aku beliin aja lagi ya, hehehe... mgk begitu jg dg Jojo, cuma dia belum punya uang sendiri, jd eyangnya yg jadi sasaran... setidaknya dia udah jd saluran berkat juga... hehehe

    ReplyDelete
  2. wah, sharing Cecil menegaskan bhw aku memang mungkin belum sanggup melakukan apa yang kuharapkan dilakukan oleh Jojo, makasih Cecil atas sharingnya

    ReplyDelete