Monday, March 4, 2013
Sebuah pesan cinta dari palungan
Keledai kecil, keledai kecil berjalan perlahan di jalan berdebu, menembus kesunyian malam.
Beban tunggangan yang kudus di punggungmu, ternaungi cahaya bintang yang bersinar di langit kelam.
Oh lihatlah, Betlehem telah nampak di hadapan, teruslah melangkah dan jangan menyerah dulu, hantar Bunda Maria dan Bapa Yusuf selamat sampai di tujuan.
Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin, dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan (Luk 2 : 6-7)
Saat mengeluarkan berbagai ornamen dari kotak penyimpanan untuk menghias kandang Natal di samping pohon natal keluarga kami, hampir terlewat oleh saya sebuah patung mungil seekor keledai, yang merupakan anggota hiasan kandang Natal yang paling kecil. Satu-satunya anggota kandang yang hampir seukuran dengannya hanyalah patung bayi Yesus dengan palungan yang ditempatiNya, di mana palungan adalah tempat makan dan minum bagi hewan ternak, terbuat dari kayu atau batu, yang biasa diletakkan di kandang. Lagu “Keledai Kecil” yang saya terjemahkan dari versi aslinya “Little Donkey” di atas, menemani saya meletakkan patung keledai itu di atas jerami, berdampingan dengan hewan lain yang mengelilingi palungan, yang sudah lebih dulu terpasang rapi di tempatnya masing-masing. Perasaan saya tercekat oleh keputusan Tuhan untuk bersama-sama dengan manusia yang begitu dikasihiNya, keputusan-Nya untuk hadir di tengah-tengah kita dalam kondisi yang sedemikian sederhana. “Tuhan….”, pikir saya dengan sendu, “Engkau memilih datang dalam kesunyian malam, di tengah berbagai kesulitan dan keterbatasan, dikelilingi figur-figur yang begitu lemah, polos, dan sederhana. Siapakah aku sehingga Engkau sudi datang bagiku dalam keadaan seperti ini. Sesaat saya merasa segala kebanggaan saya sebagai pribadi, yang senantiasa ingin dihargai dan dipandang, terkoyak runtuh, tertunduk malu di hadapan palungan Raja segala raja, yang memilih meninggalkan semua gemilang kuasaNya, menjadi bukan siapa-siapa, supaya Ia bisa bersama-sama dengan saya dan menjadi pembela saya.
Peristiwa kelahiran Tuhan Yesus Kristus di tengah-tengah manusia, bagi saya bagaikan sebuah pembelajaran bagi dunia, yang serba ingin mudah dan senang, bahwa kesulitan dan ketidakpastian bukanlah sesuatu yang harus selalu dianggap akhir dari segala harapan. Pun tantangan dan hambatan tidak selalu merupakan sebuah aib untuk dihindari. Ketika Bunda Maria memilih untuk mengatakan “ya” kepada Allah untuk mengandung dan melahirkan Juruselamat dunia, sesungguhnya kesulitan dan ketidakpastian yang begitu besar membayanginya. Kemungkinan diceraikan oleh Yusuf tunangannya, kemungkinan dirajam sampai mati akibat dianggap melakukan dosa perzinahan. Kebingungan Yusuf tunangannya, yang harus menikahi Maria dalam keadaan sudah mengandung, pun tak kalah mencekam, sampai akhirnya Yusuf berserah dan melangkah maju dengan iman setelah malaikat Tuhan meyakinkannya melalui mimpi.
Perjalanan mereka dari Nazaret menuju Betlehem untuk melakukan pendaftaran diri dalam memenuhi perintah Kaisar Agustus, membuat mereka harus mencari tempat bermalam dadakan, karena Bunda Maria ternyata harus segera bersalin. Tidak lagi tersedianya tempat yang layak di rumah penginapan, membuat Bunda Maria melahirkan Puteranya (yang kelahirannya telah diberitahukan sebelumnya oleh malaikat Allah sendiri), di sebuah kandang hewan. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan Bunda Maria pada saat itu, seorang Putera yang kata Malaikat Tuhan akan menjadi raja keturunan Yakub sampai selama-lamanya, Anak Allah Yang Maha Tinggi, ternyata Tuhan ijinkan lahir di tempat seperti itu. Tetapi Bunda Maria tidak merasa bergeming atau gentar, ia hanya menyimpan semua peristiwa itu dengan lembut dan penuh iman di dalam hatinya.
Lihatlah, pengunjung-pengunjung pertama dari peristiwa kelahiran Pewaris Tahta Daud yang akan menyelamatkan Israel itu. Semuanya berkaki empat. Wajah-wajah polos dan lugu dari kambing, sapi, domba, dan keledai, menyambut senyum pertama Sang Bayi yang baru saja hadir di dunia. Saya tersenyum membayangkan indahnya kepolosan dan penyerahan yang total kepada Sang Pencipta, betapa beruntungnya mereka boleh menjadi tamu kehormatan pertama dari kelahiran Sang Raja.
Tamu-tamu berikutnya yang kemudian menyusul tetap membuat mata hati tercengang. Pada masa itu, gembala adalah golongan masyarakat kelas bawah. Tetapi Tuhan memilih mereka untuk menjadi orang-orang pertama yang menerima kabar gembira itu, melalui berita dari malaikat dan puji-pujian sejumlah besar bala tentara surgawi. Kesederhanaan hati mereka membuat mereka segera berangkat mencari Sang Bayi, tanpa banyak berargumentasi. Sikap hati tanpa prasangka negatif dan penghakiman, memungkinkan manusia dan mahluk ciptaan berkesempatan melihat kemuliaan Allah.
Walau secara mata manusiawi, peristiwa kelahiran Tuhan nampak begitu penuh rintangan, kesulitan, dan kontroversi, ternyata Allah telah merancang dengan sempurna kedatangan Putera Manusia ke dunia. Menolong manusia menemukan apa yang terpenting di dalam perjalanan kehidupan ini dan menemaninya sampai akhir dalam kerendahan hati yang tak terbatas, supaya manusia mampu mencapai keselamatan sejati dalam kekudusan dan kerendahan hati yang sempurna. Semangat kesederhanaan dan tidak anti kepada kesukaran adalah dasar dari sikap penyerahan total kepada Allah, sikap terbuka untuk dipakai Allah bagi pekerjaan-pekerjaan agung-Nya. Sikap tanpa prasangka dan tanpa penghakiman yang merendahkan sesama atau situasi kehidupan, membuka jalan bagi pengakuan akan martabat manusia yang luhur. Sikap itu memanggil kita untuk terus mengarahkan hati kepada peningkatan kesejahteraan sesama manusia, dengan segenap cinta kasih yang dapat kita berikan kepada orang lain, cinta kasih yang sudah selalu kita terima dengan berlimpah dan cuma-cuma dari Allah, setiap saat.
Akhirnya, ornamen kandang Natal yang terakhir saya pasang adalah sebuah bintang besar berwarna keperakan yang saya letakkan di atap bangunan kandang itu. Di dalam gelapnya kepedihan hidup, dinginnya ketidakberdayaan melawan kuasa dosa, ego, dan penderitaan akibat godaan si jahat, manusia amat merindukan hadirnya Terang yang membawa kehangatan dan harapan. Kehadiran Kristus di antara kita sebagai manusia dengan semangat cinta dan solidaritas yang tak terhingga, menjadi jawaban yang dinanti-nantikan manusia dalam peziarahannya di dunia. Nyanyian bala tentara surgawi di malam yang kudus itu adalah sukacita untuk kita karenaTuhan tidak pernah meninggalkan kita. Ia selalu dekat, terang-Nya selalu hangat, dan dalam segala bentuk kesukaran hidup, kasih-Nya justru hadir semakin lekat. Sikap rendah hati dan percaya sepenuhnya akan kasih Allah memampukan kita untuk mengalami kehangatan Terang itu. Bahkan kita dapat turut memantulkan Terang itu, melalui hidup sehari-hari, dengan kerendahan hati seperti Sang Bayi Yesus, mewartakan kepastian kasih Allah itu kepada dunia di sekitar kita. Sebab Allah yang telah berfirman: “Dari dalam gelap akan terbit terang!”, Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus. (2Kor 4:6)
Terima kasih Yesus, bila Engkau ada di sisiku, malam yang tergelap sekalipun tak lagi pekat, karena cahaya cinta-Mu menerangi hatiku, membuatku tetap tersenyum memandang dunia di dalam kerahiman-Mu.
Selamat merayakan Natal, semoga kehangatan cinta dan damai dari Bayi Yesus yang rendah hati, membungkus hati kita dan mengiringi perjalanan hidup kita di dunia menuju kepada Bapa. (Triastuti)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment