Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal (2 Kor 4:18)
Suatu peristiwa langka yang berharga terjadi di acara doa penghormatan terakhir kepada tetangga di sebelah rumah orangtua saya, yang wafat minggu lalu dalam usia 82 tahun. Jumlah tahun lamanya beliau menjadi tetangga orangtua saya sama dengan jumlah umur saya. Kenangan bersama beliau sebagai tetangga sebelah rumah telah turut mewarnai masa kecil dan masa remaja saya. Peristiwa langka yang saya maksud itu adalah saling bertemunya kembali para kolega dan para tetangga ayah dan ibu saya dari berbagai penjuru di sekitar perumahan tempat orangtua saya tinggal, karena melayat tetangga kami yang wafat tersebut. Secara tak terduga, acara itu menjadi suatu ajang reuni yang mengharukan. Suasana sedih dan haru karena kematian seorang tetangga yang baik, menjadi kontras karena ditingkahi oleh suara-suara kegembiraan yang tertahan, suasana saling melepas rindu antar tetangga dan kolega yang sudah bertahun-tahun, bahkan bagi saya, puluhan tahun, tidak berjumpa.
Dalam doa bersama kami sekeluarga di malam harinya, ibu saya mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang dikaruniakan-Nya kepada kami pada hari itu, untuk berjumpa lagi dengan banyak teman dan sahabat lama yang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup kami sekeluarga. Ada keharuan yang menyeruak di hati saya. Ternyata sebuah kepergian dan perpisahan bisa menjadi sarana terjadinya perjumpaan lain yang indah dan berharga. Pada saat yang sama, saya membayangkan perasaan para Rasul di hari kenaikan Yesus ke Surga. Saat mereka mengalami perpisahan dengan Guru yang mereka cintai dan hormati, yang selama tiga tahun telah mengubah hidup mereka secara total. Apakah kemudian para Rasul mengalami kesedihan, kegamangan, dan kehampaan hidup? Sebagai manusia, pasti jawabnya sempat ya. Tetapi, perpisahan dengan Yesus itu ternyata tidak membuat mereka merasa ditinggalkan sendirian, bahkan mereka bersukacita, …lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita (Lukas 24: 52b). Justru perpisahan dengan Sang Guru adalah awal dari karya besar mereka bersama Tuhan di dalam iman. Perpisahan itu membuka kesempatan terjadinya suatu perjumpaan lain, yang juga menjadi titik tolak perjalanan iman kita sendiri sebagai murid-murid Tuhan Yesus Kristus, yang pada saat kita hidup sekarang ini, Dia juga tidak nampak secara fisik bagi mata manusiawi kita. Melalui apa yang dialami para Rasul-Nya, Tuhan Yesus mengajak kita untuk menemukan keindahan relasi yang intim dengan Dia dalam dimensi yang baru. Dimensi yang melibatkan ketekunan dan komitmen, dimensi yang menantang iman.
Ketika Yesus hendak meninggalkan para murid untuk kembali ke Surga, Dia memberikan janji yang memberikan sumber kekuatan dan kepastian yang indah bagi anggota Gereja perdana itu. Kata-kata-Nya terus mengiang di telinga dan hati para murid, mengikis kegamangan dan kehampaan yang sempat hadir di hati mereka. “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. (Yoh 14:16-17). Untuk pertama kalinya, mereka akan memulai tugas mulia akan pewartaan Kabar Gembira ke seluruh penjuru dunia, yang dipercayakan kepada mereka, tanpa Yesus di sisi mereka. Tetapi sekarang mereka mempunyai apa yang disebut Yesus sebagai ‘Penolong yang lain’. Dan tidak ada kata lain yang lebih tepat untuk menggambarkan Penolong lain itu, selain kata, dahsyat, karena Ia adalah Pribadi Tritunggal yang ketiga. Sekaranglah saatnya kita mengenal Dia dan mengalami karya-karya-Nya. Roh Kudus Penghibur justru dirasakan sepak terjangnya secara penuh, manakala Yesus sudah tidak lagi berada di tengah-tengah mereka secara fisik seperti sebelumnya. Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu” (Yoh 14: 25-26).
Bersama para Rasul yang berdoa bersama Bunda Maria menantikan turunnya Roh Kudus di hari-hari sesudah kenaikan-Nya ke Surga, kita mempunyai kesempatan untuk belajar mengalami perjumpaan yang baru. Memusatkan seluruh perhatian kita kepada Yesus yang tidak nampak, yang tidak dapat kita alami dengan panca indera manusiawi kita, tetapi yang hadir secara nyata, terus menyertai kita, sebagaimana Ia berkata, “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu” (Yoh 14:18). Inilah saatnya kita menghayati kehadiran Tuhan melalui buah-buah Roh-Nya, yang memberi kita kerinduan untuk terus berada dalam perbuatan kasih, dalam damai sejahtera, dalam keadaan selalu haus untuk mewartakan Kabar Gembira yang dibawa oleh kebangkitan-Nya. Tentu hal ini bukan hal yang mudah. Dengan cepat, hiruk pikuk dunia ini dengan segala pesonanya yang memikat, membuat kita mudah lupa untuk berkonsentrasi merasakan Ia hadir, berkarya, dan menarik kita mendekat kepada Allah. Apalagi ditambah sifat dasar kita sebagai manusia yang selalu menuntut bukti, meminta penjelasan yang dapat diterima akal sehat, dan mengharapkan efek yang cepat dan nyata. Tetapi sebenarnya, sama halnya ketika kita sedang berada jauh dari orang yang kita sayangi, kita merasakan kasih dan perhatiannya, sekalipun kita tidak melihatnya. Inilah saatnya kita menghayati apa yang dinyatakan oleh Rasul Paulus dalam Ibrani 11:1, di mana Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.
Justru iman yang terus memerlukan bukti inderawi tidak berkesempatan untuk tumbuh dan teruji. Iman hanya tumbuh kalau diberi kesempatan untuk berkembang di dalam hal-hal yang tidak kelihatan. Pada saat itulah iman itu memberi kita peluang untuk mengalami karya-karya Tuhan yang luar biasa, yang pada akhirnya tidak hanya dapat dialami dengan kacamata iman, tetapi juga sebagai sesuatu yang nampak dan dirasakan buahnya oleh orang lain di sekitar kita. Kita sendiri dapat menilai bahwa buah-buah itu nyata, yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, penguasaan diri (Gal 5:22-23). Dan kasih dijabarkan sebagai sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran, Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (1 Kor 13:4-8). Ketaatan dan kasih para Rasul kepada Allah membuat mereka terus mengalami penyertaan Yesus, lama setelah Dia tidak lagi berada secara fisik di tengah mereka. Merekapun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya (Markus 16 : 20).
Seperti yang pernah diungkapkan St Ignasius, dalam kehidupan beriman, kita tidak melihat dulu baru percaya, tetapi justru percaya dulu, baru kita akan melihat. Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat (2 Kor 4 : 7).
Inilah keindahan yang diwariskan Yesus yang telah meninggalkan dunia untuk kelak datang kembali dalam kemuliaan. Warisan yang memberi kesempatan bagi iman kita untuk tidak lagi merangkak pelan karena sibuk mencari bukti dan tanda-tanda lahiriah, tetapi menjadi sebuah lompatan iman, mempercayai Dia yang secara indera manusawi tidak kelihatan, tidak bersuara, tidak teraba, namun yang hadir dalam segala sesuatu dan menginspirasi setiap langkah kita menuju kepada-Nya. Membuat jadi baru seluruh keberadaan kita di dalam api kasih, menyalakan semangat untuk menghidupi hidup dengan sukacita yang selalu baru setiap pagi, karena kita tahu pasti dalam iman, keselamatan dalam kasih-Nya yang telah menanti kita di depan. (caecilia triastuti)
Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamu pun akan hidup. Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. (Yoh 14: 19-20).
Marilah berdoa: Allah Bapa di Surga, kami bersyukur atas karunia Roh Kudus yang selalu menyertai kami dan membantu kami memahami kehendak-Mu yang indah bagi hidup kami. Ampunilah kami kalau kami lebih sering mengikuti jalan dan hikmat kami sendiri, sehingga kami belum menemukan kepenuhan hidup seperti yang selalu Engkau rindukan melimpah atas kami masing-masing. Mohon bukalah hati kami untuk selalu mampu mengalami penyertaan Roh-Mu yang menyelamatkan dan membawa kepada kedamaian sejati, dan kuatkanlah kami untuk terus melangkah di jalan teladan Yesus Kristus Putera-Mu, agar oleh karena kerendahan hati dan ketaatan-Nya yang penuh kepada-Mu, kami pun sanggup mengosongkan diri kami untuk dapat dijiwai, dihidupi, ditopang sepenuhnya oleh kuasa Roh Kudus-Mu yang sangat indah dan selalu kami rindukan dalam jiwa kami melebihi apapun juga. Engkaulah sumber keselamatan dan sukacita jiwa kami yang sejati. Kami serahkan hidup kami sepenuhnya bagi-Mu Tuhan, dan hanya kepada-Mu. Dalam nama Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami, kami berdoa, amin. (Triastuti)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment