Friday, July 23, 2010
Seperti seorang anak kecil
Manusia, yang selalu memiliki sifat ingin tahu, mempunyai harapan dan kerinduan untuk mengenal Tuhan, mengalami Tuhan, mendengar Dia berbicara, bahkan kalau bisa melihatNya dengan mata kepala kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Maka topik diskusi mengenai Tuhan selalu terasa menarik. Walaupun diskusi tentang Tuhan kadang berujung pertanyaan yang tetap menggantung. Tak jarang bahkan saling bersitegang karena peserta diskusi seringkali tidak mempunyai dasar tentang pengalaman akan Tuhan,dan saling berbantah seputar asumsi-asumsi yang mereka buat sendiri. Apalagi jika peserta diskusi saling merasa lebih pintar dari pihak lain.
Di jaman yang semakin modern ini dimana semakin banyak orang melupakan Tuhan, masih banyak sekali orang, beragama maupun tidak, disadari atau tidak, merindukan pengalaman menemukan Tuhan dan melihatNya menyatakan DiriNya. Kita menebak-nebak bagaimana seandainya Tuhan ada di saat tertentu dan peristiwa tertentu dalam hidup ini, terutama saat terjadi kesukaran hidup. Kita bertanya di mana Tuhan di saat terjadi suatu peristiwa yang menyedihkan atau jahat, dan berbagai pikiran kerinduan untuk melihat, mendengar, dan mengalamiNya. Dalam benak kita, tentunya kita memikirkan bagaimana seharusnya (menurut harapan kita sebagai manusia) Tuhan itu menyatakan diriNya. Tetapi apakah Tuhan memang memilih atau mempunyai cara dan sarana yang sama dengan yang kita pikirkan atau harapkan untuk menyatakan DiriNya kepada kita ? Saya merasa hal ini sangat penting untuk dicermati, karena sesungguhnya Tuhan sangat rindu untuk menyatakan DiriNya kepada kita dan selalu berusaha untuk mengungkapkan kasihNya kepada kita di dalam hidup ini. Dia sangat setia dan rindu selalu bersama kita. Allah Bapa berkata kepada nabi Yeremia, “Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau, dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kau ketahui “ (Yeremia 33:3).
Bagaimana kita mampu menerima pernyataan kasihNya dan segala hal mengenai kebijakanNya, baik dalam suka maupun duka hidup ini ? Dalam Matius 11 : 25-26, Tuhan Yesus mengatakan kepada BapaNya, “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu”. Tentu Tuhan Yesus tidak bermaksud mencegah kita menjadi pandai dan bijak supaya dapat memahami Tuhan. Tetapi menjadi ‘kecil’ membuat kita mampu dan siap untuk memahami kebenaranNya dan kebesaranNya.
Apakah arti menjadi kecil ? Mempunyai kerendahan hati, kemurnian motivasi, dan keterbukaan hati seperti seorang anak kecil. Inilah tantangannya. Walaupun oleh karena pengetahuan dan pengalaman hidup kita merasa pandai dan bijak, kita memerlukan sikap seperti seorang anak kecil dalam menghayati iman dan kasih kita kepada Tuhan. Kepada para murid, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga”. Kita memerlukan kualitas seorang anak kecil supaya kita bisa berjumpa dengan Tuhan, mengerti kehendakNya, dan mengalami Dia sepenuhnya.
Walaupun kita bukan anak kecil lagi, kita selalu bisa memilih untuk mempunyai kualitas seorang anak kecil, apalagi semua dari kita pernah menjadi anak kecil. Belajar untuk menjadi ‘kecil’ tidak sukar karena sedari awal kehidupan, kita telah memiliki sifat itu. Seorang anak kecil menaruh kepercayaan penuh. Bukan berarti ia tidak mempertanyakan segala sesuatu, tapi ia merasa aman dan nyaman bersama orang yang ia percaya. Walaupun tidak semua hal yang ingin ia ketahui ia dapatkan jawabannya, dan tidak semua hal yang ia inginkan bisa ia dapatkan, ia merasa tenang, karena ia percaya sepenuhnya kepada orang yang dikasihi dan dikenalnya. Ada ‘trust’, dan tidak hanya sekedar ‘believe’ di sana.
Setelah kita semakin dewasa, kita berusaha segala sesuatu harus ada di dalam kontrol kita. Kadang kita lupa sebagai anak-anak dulu, kita menyerahkan segalanya kepada orang tua kita, pihak kepada siapa kita meletakkan rasa percaya , trust kita. Sebagai seorang anak kita tahu dan sadar secara insting bahwa kita tidak selalu bisa mengontrol segala sesuatu sesuai kemauan kita. Ada sikap berserah di sana.
Seorang anak kecil bersikap polos, selalu menaruh pikiran positif kepada orang lain, tidak berprasangka buruk, karena dalam alam kesadarannya ia tahu ia bahwa ia tidak mempunyai seluruh pengetahuan yang memadai untuk bisa menghakimi seseorang atau sesuatu begitu saja.
Anak-anak mudah sekali terkagum-kagum. Saya pernah melihat seorang tukang sulap yang sedang beraksi di depan sejumlah anak-anak. Saya terkesan melihat rasa tercengang yang murni di wajah anak-anak itu. Menghargai segala sesuatu dengan rasa kagum yang tulus membantu anak-anak selalu merasa gembira dan bersyukur atas apapun yang diberikan kehidupan kepadanya. Maka anak-anak menjadi sangat mudah dibuat bahagia dan merasa bahagia. Tawa riang anak-anak bukan datang dari segala sesuatu yang serba sophisticated tetapi karena kehadiran dan kasih sayang orang-orang yang ia percayai dan cintai.
Seorang anak kecil bersikap ada adanya, tidak “jaga image” (jaim). Anak-anak tidak munafik. Mereka tidak menampilkan sesuatu yang sesungguhnya bukan jati dirinya. Apalagi sampai berusaha dengan segala cara untuk sekedar tampil baik. Anak-anak bebas menjadi dirinya sendiri. Tidak perlu menjadi terkenal atau harus dikenal karena kelebihan-kelebihannya, karena mereka bahagia dengan dirinya sendiri.
Ciri khas anak-anak adalah ketidakberdayaan, karena kemudaan dalam segala sesuatu. Akibatnya, hidup mereka menjadi lebih sederhana, sebab mereka cenderung menerima, menikmati, dan mensyukuri, apa yang ada. Dalam hal kepemilikan, anak-anak umumnya juga tidak serakah. Kalau bisa cukup dengan satu, mereka tidak perlu lima, selama mereka masih bisa menikmatinya, dan mereka cenderung selalu bisa menikmati, karena kesederhanaan hati mereka.
Seperti juga anak-anak kita dan kita sendiri di waktu kecil, anak-anak memang tidak selalu menurut kata orangtua. Namun hal itu bukan dilakukannya karena ingin melawan atau menyakiti orangtuanya, namun karena ia masih belajar menyesuaikan diri dengan berbagai bidang kehidupan yang masih baru baginya sambil merasakan dorongan-dorongan alamiah dalam dirinya. Tidak menurut karena sedang bertumbuh tidak sama dengan memberontak karena kesombongan dan keras kepala.
Anak-anak adalah tempat kita belajar kerendahan hati. Secara alamiah, di antara kehidupan bersama orang dewasa, anak-anak memang tidak punya apa-apa untuk membuat mereka merasa superior. Kerendahan hati membuat anak-anak tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Mereka mudah memaafkan, tidak cepat iri hati, dan mau mengerti, walau kadang harus ngambek duluan. Maka mudah dipahami bila sifat rendah hati itu juga membuat anak-anak tidak bersikap sok pintar dan merasa tahu segalanya. Dalam kepolosannya, anak-anak mau mendengarkan orang lain, menghargai pendapat dan pengalaman orang lain, dan tidak berusaha mendominasi atau mengintimidasi orang lain dengan pikiran-pikirannya.
Tentu saja anak-anak juga bisa merasa iri hati, tetapi karena sekali lagi, mereka manusia bebas yang gembira dengan dirinya dan tidak stres oleh hal-hal di luar kemampuannya untuk mengontrol keadaan, mereka lebih mudah menerima dan mengakui kelebihan orang lain.
Di saat hidup berjalan tidak sesuai dengan harapan, anak-anak akan menangis, tetapi tidak berkepanjangan, karena ia akan segera menemukan hal-hal baru yang menarik perhatiannya dan membuatnya asyik lagi di dalam situasi baru yang dihadapi, sehingga pada dasarnya anak-anak sangat mudah menikmati hidup. Fleksibilitas mereka sangat tinggi.
Anak-anak adalah guru kehidupan yang penuh belas kasihan. Mereka mudah merasakan empati yang dalam kepada binatang yang terluka, sekecil dan segeli apapun binatang itu. Bahkan seringkali merasa simpati kepada boneka atau mainannya sendiri yang telah patah.
Dan akhirnya, anak-anak sangat mudah memaafkan dan melupakan. Walau ia juga menangis kalau disakiti, tetapi keterbukaan hatinya membuatnya segera bisa berbaik kembali dan melupakan kesalahan orang lain. Banyak kesedihan datang dalam hidup karena sikap tidak mau memaafkan. Damai Tuhan sulit untuk hadir di dalam kekerasan hati yang menolak untuk mengampuni.
Jadi, bila kita merasakan bahwa Tuhan jauh dan penuh misteri, mungkin ini saatnya membiarkan Dia mengubah kita menjadi seperti seorang anak kecil lagi, sehingga kehadiranNya yang begitu nyata dalam kehidupan ini bagi kita masing-masing, terbuka jelas di hadapan kita. Bagaimana kita tahu bahwa kita telah berjumpa dengan Dia? Kedamaian. Pengalaman bersama Tuhan adalah pengalaman tentang kedamaian. Bila hati kita masih gelisah oleh berbagai hal, dan masih merasa terus ingin mengeluh dan berontak kepada sang hidup, mungkin kita memang belum sepenuhnya mengalami Dia. Dalam Lukas 10: 38-42, ketika Yesus berkunjung ke rumah Maria dan Martha, Maria duduk di kakiNya sambil terkagum-kagum mendengarkan Dia. Martha yang gelisah menegur Yesus yang tidak menegur Maria untuk membantunya. Yesus juga mengasihi dan menghargai Martha, tetapi Dia mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian terbaik yang tidak akan diambil dari padanya. Semoga kita terus memutuskan untuk memilih bagian yang terbaik untuk selalu dapat duduk di kakiNya dan menemukan kedamaian mengalami kebesaranNya.(uti)
Houston, 23 Juli 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment