Saturday, April 3, 2010
Kenang-kenangan Cinta Tuhanku
Lukas 22 : 19 Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kataNya: “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.”
Selama 38 tahun hidup di dunia, saya beberapa kali mengalami perubahan suasana baru yang cukup signifikan dalam perjalanan hidup. Yang pertama tentu saja saat saya berpindah dari rahim Ibu saya yang hangat, gelap, sunyi dan nyaman menuju ke sebuah tempat maha luas yang bising dan menyilaukan yang bernama dunia.
Kemudian di usia 18 tahun, saya berpindah dari kota kelahiran saya di Malang menuju kota Bandung untuk melanjutkan kuliah, di mana saya berpindah kos sebanyak tiga kali sebelum akhirnya lulus dan menempati rumah idaman di kota Serpong bersama pemuda yang saya kenal di tempat kos yang kemudian menjadi suami saya. Enam tahun di Serpong, ternyata suami saya mendapat tawaran kerja yang lebih baik di negeri jiran, Malaysia. Jadilah saya kembali berpindah ke kota Kuala Lumpur yang semakin memisahkan saya dari tanah kelahiran dan kedua orangtua saya yang sangat saya cintai. Ternyata petualangan saya tak berhenti di sana. Setelah tiga tahun bermukim di Malaysia, pekerjaan yang diterima suami kembali membuat saya berpindah menuju belahan dunia lain yang bahkan lebih jauh dan asing bagi saya, menuju Milan, Italia. Hidup masih terus mengajak saya pindah. Hanya empatbelas bulan saja di Italia, suami saya ditugaskan bekerja di Houston, Amerika. Dan sekarang, berjarak setengah bulatan bumi dari orangtua yang saya cintai dan tempat kelahiran yang saya rindukan, saya tetap tidak tahu apakah akan bisa tinggal agak lama di negeri Paman Sam ini, atau kembali harus packing dan angkat kaki lagi entah kemana, setelah bermukim beberapa waktu.
Setiap kali saya harus berpindah domisili, perasaan yang selalu timbul dalam hati saya adalah sebersit kesedihan karena harus meninggalkan kehidupan dimana saya telah begitu terbiasa dan nyaman menjalaninya, sembari menikmati semua bentuk relasi dan persahabatan dengan sesama yang saya jumpai di negara-negara yang berbeda itu. Selain persahabatan dengan sesama dari Indonesia di tanah perantauan, persahabatan dengan orang dari berbagai suku bangsa merupakan pengalaman yang sangat memperkaya. Persahabatan yang telah sempat terjalin begitu membahagiakan saya hingga bila tiba saatnya saya harus pindah, ada rasa berat di hati karena harus berpisah dengan teman-teman yang semakin lama telah semakin akrab itu. Persahabatan yang telah bersemi namun kemudian harus saya tinggalkan itu kadang-kadang bertahan sampai lama, sekalipun saya sudah berada di tempat baru, dimana saya akan berjumpa dan bersahabat lagi dengan teman-teman baru di tempat baru. Saya tetap berusaha menjaga persahabatan yang telah terjalin dari tempat sebelumnya, berusaha tetap saling berkirim kabar. Tapi tidak jarang hubungan pertemanan itu tidak bertahan dan sirna dengan sendirinya karena telah terpisah jarak yang begitu jauh, kesibukan di tempat baru, dan waktu. Bagaimanapun, saya berharap bahwa perjumpaan yang telah terjadi sungguh telah saling membuat kami menjadi lebih matang. Dan selalu layak untuk dikenang.
Sekalipun perpisahan membuat hati saya sedih karena rasa ketidakpastian di tempat baru, dan kerinduan kepada sahabat yang saya tinggalkan seringkali membayangi keberangkatan saya, ada satu hal yang membuat saya terhibur. Yang membuat saya tetap merasakan kehangatan persahabatan walau perjumpaan dan kebersamaan hidup itu telah berlalu. Yaitu kenang-kenangan dari para sahabat yang saya tinggalkan. Demikian juga biasanya saya akan membuat suatu tanda kenangan untuk mereka. Kami bertukar cenderamata, sebagai tanda kasih dan kenangan akan kebersamaan kami. Sebagai tanda bahwa perjumpaan yang telah terjadi sangat berarti, walau hanya dalam sepenggal babak kehidupan. Bentuk kenangan yang pernah saya terima dari berbagai sahabat di perantauan itu bermacam-macam. Mulai dari sepucuk surat, sebuah kartu yang ditandatangani beramai-ramai, kumpulan foto momen-momen kebersamaan kami, cincin, kalung, lukisan karikatur saya bersama suami, hingga sulaman cantik dengan tulisan nama saya dan suami. Semua benda kenangan itu selalu saya simpan baik-baik sehingga saya bisa selalu mengenang persahabatan yang terjadi dalam hidup saya. Seringkali dalam waktu luang, saya pandangi atau saya baca kembali, untuk mengobati kerinduan kepada sahabat-sahabat yang telah diberikan Tuhan dalam hidup saya. Namun karena seringnya berpindah negara, dan itu juga berarti pindah rumah, dengan segala kesibukan packing dan unpacking (meringkas barang dan membongkarnya lagi di tempat baru), seringkali saya terlupa dimana saya menaruh benda-benda kenangan itu. Saat saya ingin melihatnya lagi, tak jarang saya harus membongkar kardus atau mencari-cari di tumpukan buku dan file saya. Untuk hiasan sulaman dan karikatur, saya membingkainya dalam pigura untuk bisa dipajang di dinding sehingga saya bisa melihatnya setiap saat. Namun setiap kali saya berpindah, tentu saja pigura-pigura itu juga harus kembali diringkas dan dimasukkan ke dalam kardus. Biasanya perlu waktu beberapa bulan sebelum saya bisa membongkarnya dan memasangnya lagi di tempat yang baru.
Di malam saat Tuhan Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama para sahabatNya, saya meyakini bahwa Tuhan Yesus sebagai manusia juga merasakan kesedihan yang sangat dalam menghadapi perpisahan dengan para sahabatNya. Sekalipun pada saat itu murid-muridNya itu belum menyadarinya. Tapi Yesus mengetahui bahwa esok hari Dia akan wafat meninggalkan dunia dan sahabat-sahabatNya, dan dengan penderitaan yang hebat di kayu salib yang hina. Sebagai seorang manusia, saya turut merasakan betapa dalam kesedihan Tuhanku Yesus, walaupun pemahaman saya tak akan pernah sempurna. Namun di saat yang saya bayangkan akan sangat pedih, seperti kalau saya hendak meninggalkan suatu tempat dan berpisah dengan sahabat-sahabat saya, apalagi terpisah oleh sengsara dan kematian, Tuhanku Yesus Kristus justru masih sempat memberikan teladan yang teramat indah. Karena Dia begitu setia akan misi yang diembanNya dari BapaNya. Yaitu teladan untuk saling melayani. Untuk berani dan rela menjadi yang paling rendah demi kasih pelayanan yang tulus bagi sesama. Sehingga teladan kasih sejati yang Dia tinggalkan kepada para sahabatNya, disempurnakan oleh sikap pelayanan yang tulus dan kerendahan hati. Saya berharap, di saat perpisahan dengan sesama, saya juga meninggalkan teladan kerendahan hati, dan bukan kepahitan, kesombongan, atau kepentingan diri sendiri.
Tentu saja Yesus juga memberikan kenang-kenangan kepada para sahabatNya yang sebentar lagi akan ditinggalkanNya. Kenangan itulah yang memukau jiwa saya setiap kali saya merayakan Ekaristi dan menghayati dalamnya misteri cinta Tuhan. Hati dan jiwa saya tergetar, pada saat proses konsekrasi dimana Imam berdoa mohon rahmat Roh Kudus mengubah hosti dan anggur menjadi Tubuh dan DarahNya, seperti saat Yesus memecahkan roti bersama para murid di malam perjamuan terakhir itu. Kenang-kenangan yang Tuhan berikan adalah TubuhNya dan DarahNya sendiri. Bukan sekedar tanda mata hasil karya tangan dan pikiran, tetapi seluruh keberadaanNya. Dan saat itu, Dia sungguh hadir secara nyata. Lebih lagi, begitu dalam kerendahan hatiNya sehingga sudi hadir dalam rupa roti dan anggur yang bersahaja. Bentuk roti dan anggur untuk dimakan dan diminum itu adalah cara yang luar biasa yang dipilih oleh Tuhan Raja Semesta Alam untuk meninggalkan kenangan. DipilihNya berupa makanan dan minuman, supaya kenangan itu menyatu dengan kita, menjadi bagian dari kita. Dengan memakan Tubuh dan DarahNya melalui konsekrasi, TubuhNya menyatu dengan tubuh saya, dan DarahNya mengalir dalam darah saya. Betapa luar biasa caraNya memberikan saya kenang-kenangan. Saya hanya cukup melihat ke dalam diri saya bila saya merindukanNya, karena kenangan itu akan selalu bersama saya, di dalam saya. Saya tak perlu meringkasnya ke dalam kardus dan membongkarnya lagi di tempat baru, tak perlu khawatir kenangan itu terhilang atau terselip, sehingga tak bisa saya pandangi terus. Karena kenangan dariNya itu akan selalu di dalam saya, bersama saya, menyatu dengan saya, kemanapun saya pergi.
Peristiwa Perjamuan Malam Terakhir para murid bersama Yesus bagi saya adalah sebuah bukti hidup betapa besarnya kasihNya yang tanpa pamrih kepada manusia yang fana dan lemah ini. Ia ingin menjadi sama dengan kita dan mengalami derita sebagai manusia. Bahkan itu belum semua. Melalui penderitaan yang hebat yang Dia jalani dengan sadar dan rela hingga wafat, Ia ingin membuat kita memahami sepenuh jiwa dan raga, bahwa Ia begitu mencintai manusia. Tuhan begitu haus untuk mencintai kita. Nyawa kita begitu berharga bagiNya hingga nyawaNya sendiri tidak dihargaiNya dan tidak disayang-sayang olehNya. Dan malam terakhir sebelum Ia meninggalkan dunia ini, disediakanNya bekal teladan dan kenangan yang abadi yang teramat sangat indahnya bagi masing-masing dari kita, sahabat-sahabatNya. Hati saya menjerit oleh perasaan dicintai yang begitu dalam. Hati saya menjerit, mengingat bahwa saya merasa belum cukup berbuat sesuatu yang berarti untuk membalas cintaNya yang tulus dan dahsyat itu, bahkan lebih sering saya mengacuhkanNya dan menyakitiNya. Dalam hidup dan mati, baik di langit ataupun di bumi manapun, saya tahu saya tak akan pernah menemui sahabat yang begitu penuh cinta kepada saya seperti Dia.
Bekal kenangan itu yang juga akan selalu menyertai setiap tahap perubahan dan perpindahan yang masih akan terus terjadi dalam dinamika kehidupan kita, yang tidak selalu mulus dan manis, yang juga penuh tantangan dan kesukaran. Termasuk ketika perpindahan kita yang terakhir tiba yaitu dari kehidupan yang fana ini kepada perhentian akhir yang kekal bersama Bapa di Surga, di mana Yesus Tuhan telah menyediakan tempat bagi sahabat-sahabatNya yaitu kita semua, dan menantikan kita pulang. Yesus telah mengatakan hal itu kepada kita : “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ. ” (Yoh 14 : 2 - 4)
Kisah-kisah menyenangkan dari perjalanan hidup yang telah berlalu tak akan terulang kembali, hanya kenangan manis yang akan selalu tinggal di hati saya. Namun kenangan terindah dari Tuhan kita Yesus Kristus setiap kali saya menyambut tubuhNya, merenungkan teladan dan wafatNya, menghayati pengorbananNya, dan menyambut kebangkitanNya dari alam maut, akan senantiasa bersama saya dan kita semua, tanpa mengenal batas waktu, jarak, tempat, dan keadaan …….melampaui maut dan kehidupan.
EpilogYesus, Guru dan Sahabatku, seluruh hidupku tak akan pernah cukup untuk menyatakan cinta dan terimakasihku kepadaMu. Setiap buah pikiran, perbuatan, dan tindakanku seumur hidupku, tak akan pernah memadai untuk membalas semua cinta dan pengorbananMu. Tapi aku tahu bahwa CintaMu cukup untuk mengatasi semua keterbatasanku, aku tahu CintaMu mampu mengatasi ketidakberdayaanku. Terimakasih Yesusku, untuk CintaMu yang tak akan pernah mampu kuselami, biarlah aku hidup oleh karena Cinta itu. Biarlah dengan terus menghidupi dan menghayati CintaMu, hidupku boleh berubah. Berubah dari orientasi untuk diriku sendiri, menuju hidup demi Cinta. Menjadi karenaMu, untukMu, dan hanya untukMu. Bukan karena Engkau menghendaki aku berubah, karena Engkau selalu mencintaiku apa adanya, dan mencintaiku sejak sangat awal, hingga kekal. Aku rindu untuk berubah, karena aku mencintaiMu, dan hanya itu yang dapat aku lakukan untuk membalas CintaMu, walau itu tak akan pernah terasa cukup bagiku. Dan di akhir nafasku, ijinkan aku sekedar berbisik, “ Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” . Karena hanya bersamaMu, aku bahagia, dan hanya didalamMu, aku sungguh-sungguh hidup.
Uti
Houston, 27 Maret 2010
-Kisah ini terinspirasi oleh homili bertahun-tahun yang lalu yang dibawakan seorang Imam dari Surabaya (ordo CM), yang memberi kotbah indah di misa Kamis Putih di Gereja Misericordia, Jalan Jayagiri, Malang, Jawa Timur. Sayang sekali saya lupa nama Imam tersebut karena peristiwanya sudah sangat lama berlalu. Karena indahnya isi homili itu, walau kami semua lupa nama Imam itu, kotbahnya melekat dalam sanubari saya dan keluarga hingga hari ini.-
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment