Berhadapan dengan pertanyaan anak-anak, seringkali pertanyaan yang mereka lontarkan adalah pertanyaan mendasar yang membuat saya tertegun dan memerlukan waktu berpikir agak lama untuk menjawabnya. Jika saya tidak meluangkan cukup waktu untuk mencerna pertanyaan itu dan memakainya sebagai kesempatan untuk menumbuhkan kebijaksanaan, maka jawaban yang kemudian saya berikan akhirnya malah menunjukkan titik-titik ketidakdewasaanku.
Monica adalah anak teman baik saya di gereja ICF Brisbane, ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-sebelas. Suamiku dan aku meluangkan waktu di akhir pekan lalu untuk merayakan ulang tahunnya dengan mengajak dia dan adiknya berkunjung ke planetarium dan menginap di rumah kami selama satu malam. Monica anak yang penuh perhatian, cerdas, tangkas, serta sangat bertanggungjawab untuk anak seusianya. Saat kami sedang asyik berjalan-jalan di taman kota, ia melontarkan dua pertanyaan kepada saya. Pertanyaannya sesungguhnya sangat polos dan sederhana, namun pertanyaannya itu telah membuat saya berpikir ulang mengenai kehidupan saya.
Pertanyaan Monica yang pertama adalah apakah benda kepunyaan saya yang paling saya sukai.
Saya tidak pernah mendapat pertanyaan seperti itu. Saya heran ketika mendapati bahwa saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena barang saya begitu banyak. Saya memperoleh benda-benda yang saya miliki bukan karena saya benar-benar memerlukannya tetapi lebih sering karena keinginan saya yang terus ada atau karena diberi oleh orang lain karena macam-macam alasan. Pertanyaan Monica itu mengingatkan saya bahwa ada banyak benda milik saya, yang tidak benar-benar saya butuhkan dan oleh karena itu saya tidak benar-benar menghargainya. Pertanyaannya membuat saya belajar menghargai benda-benda kebutuhan sehari-hari, dan menghargai itu termasuk juga tidak membeli yang baru jika yang lama masih dapat dipakai, dan untuk merawatnya baik-baik supaya benda itu bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama. Berhemat dan mengendalikan keinginan dalam membeli bukan hanya untuk menghemat atau menghargai orang-orang yang lebih tidak punya dari saya, tetapi juga menghindarkanku dari keterikatan kepada keindahan benda-benda duniawi sehingga saya mampu mengarahkan lebih banyak perhatian kepada kebajikan dan hal-hal yang tidak lapuk atau usang dengan berjalannya waktu, hal-hal yang akan tetap menyertai kita dan menghantarku untuk lebih dekat kepada Tuhan dan akhirnya sampai kepadaNya di akhir hidup kelak.
Pertanyaan Monica yang kedua adalah siapakah sahabat-sahabat terdekat saya? Saya segera menyebutkan teman-teman terdekat saya, baik dari masa remaja maupun hingga saat ini, yang masih selalu berkontak dengan saya dan saling berbagi cerita kehidupan lewat berbagai sarana komunikasi modern yang ada saat ini, mereka tersebar di berbagai negara dan kota. Sesaat kemudian saya terhenyak ketika menyadari bahwa sahabat terdekat saya dalam kehidupan justru tidak saya sebut, yaitu suami saya, yang setia mendampingi saya setiap hari, dalam suka dan duka, dalam untung dan malang. Saya juga merasa malu, ketika saya sadar bahwa saya tidak menyebutkan Tuhan Yesus, yang adalah sahabat saya sebelum saya dilahirkan di dunia ini, selama saya berada di dunia ini, dan kelak ketika saya sudah dipanggil pulang olehNya. Yesus sudah menyatakan kepada saya bahwa saya adalah sahabat-Nya dan Ia telah mati untuk saya.
Pertanyaan Monica yang simpel dan polos telah membuat saya merasa malu kepada diri saya sendiri. Monica tidak menaruh keheranan apa-apa, ia mendengarkan jawaban-jawaban yang saya berikan dengan konsentrasi penuh, tanpa menghakimi. Hari itu saya belajar, untuk merenungkan terlebih dahulu pertanyaan yang diberikan orang lain kepada saya. Saya belajar untuk mensyukuri karunia Tuhan yang selalu ada pada saya, yang biasanya justru yang paling saya lupakan dan menganggapnya sudah seharusnya demikian. Saya juga belajar untuk lebih memaknai pilihan-pilihan yang saya buat dalam hidup ini dan mengerti akan alasan-alasan yang baik mengapa saya melakukannya atau tidak melakukannya. Terima kasih Monica. -Brisbane, May 30, 2014-
Thursday, May 29, 2014
Sunday, May 11, 2014
Malas melihat cermin
Ada kalanya saya malas melihat cermin, yaitu saat badan sedang gemuk karena sering makan melebihi porsi yang sehat serta kurang berolahraga. Sepertinya dengan begitu saya sedang ingin melupakan penampakan keadaan fisik saya. Demikian juga dengan keadaan rohaniku. Karena pilihan-pilihanku sendiri yang kubuat di luar Allah, ada banyak keadaan mula-mula yang sebenarnya indah menjadi tidak ideal lagi sampai-sampai melihat bayangan diri sendiri pun enggan. Rasa percaya diri terkikis.
Entah berapa banyaknya rencana Tuhan yang indah buat kehidupan manusia telah berubah karena pilihan manusia untuk memutuskan sendiri apa yang dianggapnya baik. Minggu lalu ketika tugas kuliah mengharuskan kami membuat skema pohon keluarga, keluarga inti yang sejatinya terdiri dari skema sederhana yaitu satu pasang suami istri dengan anak-anak, menjadi rupa-rupa bentuk skemanya, rumit dan membingungkan, karena terjadi pernikahan kedua dan bahkan ketiga karena perceraian, kemudian ada pernikahan antar sesama jenis, sehingga di negara yang liberal mulai ada wacana untuk tidak menyebut orangtua anak-anak sebagai ‘mother and father’, tetapi sebaiknya dengan ‘parents’ saja karena ada kemungkinan kedua orangtuanya berjenis kelamin sama. Sudah mulai jamak bahwa nilai yang mulia dan ilahi dianggap aneh, sebaliknya nilai yang keliru dan menyimpang dianggap sebagai dinamika jaman dan toleransi kemanusiaan.
Tuhan telah mengajakku menjadi mitranya untuk menjadi duta-duta kasih & penyampai Kabar Keselamatan bagi dunia ini, tetapi karena dosa-dosaku, jati diriku yang mulia menjadi kabur dan penuh distorsi. Tugas indah yang Dia percayakan padaku tidak mampu kupikul dengan semestinya, karena diriku sendiri masih penuh dengan pelanggaran dan cinta diri. Kita memerlukan sebuah masa pertobatan sebagaimana masa Prapaskah ini sebagai kesempatan untuk memulihkan jati diri kita yang sejati, yang dikaruniakan Tuhan pada manusia sejak semula. Dikasihi secara personal oleh Kristus, diciptakan secara istimewa dengan berbagai keunikan, dan dipelihara dengan kasih Bapa yang kekal sejak semula. Aku telah diciptakan seturut gambaran Diri-Nya (Kejadian 1: 26-28). Dicintai tanpa syarat sebagaimana adanya diriku (Yohanes 3:16-17 dan Roma 5:8). Aku begitu berharga dan tak ternilai, ditebus dengan darah yang demikian kudus oleh Kristus (Mazmur 49: 7-8 dan 1 Petrus 1:19). Aku dibenarkan (Roma 5:1), dikuduskan (Ibrani 10:10, 1 Kor 1:2, 6:11). Aku anggota komunitas Kerajaan Allah (1 Pet 2:9), aku dijadikan anak Allah dan anggota keluarga Allah oleh karena iman (Yoh 1: 12 dan Efesus 1:1-7 serta Galatia 3:26).
Yah, sedemikianlah berharganya kita di hadapan Allah. Rancangan Allah yang Ia miliki bagi kita, mulia dan sempurna. Sayangnya, memilih untuk mengandalkan diri sendiri, menempatkan ego dan keinginan diriku di atas suara Tuhan yang selalu mengingatkan dengan halus dan lembut dalam nuraniku, membuat citra itu perlahan-lahan mengabur. Dan tahu-tahu inilah aku, rapuh dan tidak percaya diri lagi, karena tidak mengenali lagi siapa diriku yang sebenarnya di mata-Nya. Tetapi Allah bukanlah Tuhan yang mudah menyerah. Ia juga tidak pernah menyerah akan aku. Sekalipun dunia ciptaan-Nya mungkin telah terdistorsi begitu rupa oleh kejahatan manusia, Allah tetap mempercayai kita untuk melanjutkan karya agung-Nya. Melalui solidaritas teragung dalam sejarah umat manusia, Putera-Nya Yesus Kristus hadir ke dunia sebagai manusia, menunjukkan jalan untuk memulihkan kembali jati diri alam semesta dan seisinya sebagaimana citranya yang mula-mula. Solidaritas yang sedemikian mahal, yang dijalani Kristus dengan penderitaan salib yang sedemikian berat. Sama halnya dengan Kristus yang berjuang untuk menempuh jalan pemulihan itu, aku diajakNya untuk berjuang bersama dan di dalam Dia. Tidak ada yang mustahil bersamaNya, semuanya mungkin untuk menjadi baik kembali, dimulai dari diriku sendiri dan pilihan-pilihanku untuk menyangkal egoku dan memikul salib kecilku bersamaNya***
Entah berapa banyaknya rencana Tuhan yang indah buat kehidupan manusia telah berubah karena pilihan manusia untuk memutuskan sendiri apa yang dianggapnya baik. Minggu lalu ketika tugas kuliah mengharuskan kami membuat skema pohon keluarga, keluarga inti yang sejatinya terdiri dari skema sederhana yaitu satu pasang suami istri dengan anak-anak, menjadi rupa-rupa bentuk skemanya, rumit dan membingungkan, karena terjadi pernikahan kedua dan bahkan ketiga karena perceraian, kemudian ada pernikahan antar sesama jenis, sehingga di negara yang liberal mulai ada wacana untuk tidak menyebut orangtua anak-anak sebagai ‘mother and father’, tetapi sebaiknya dengan ‘parents’ saja karena ada kemungkinan kedua orangtuanya berjenis kelamin sama. Sudah mulai jamak bahwa nilai yang mulia dan ilahi dianggap aneh, sebaliknya nilai yang keliru dan menyimpang dianggap sebagai dinamika jaman dan toleransi kemanusiaan.
Tuhan telah mengajakku menjadi mitranya untuk menjadi duta-duta kasih & penyampai Kabar Keselamatan bagi dunia ini, tetapi karena dosa-dosaku, jati diriku yang mulia menjadi kabur dan penuh distorsi. Tugas indah yang Dia percayakan padaku tidak mampu kupikul dengan semestinya, karena diriku sendiri masih penuh dengan pelanggaran dan cinta diri. Kita memerlukan sebuah masa pertobatan sebagaimana masa Prapaskah ini sebagai kesempatan untuk memulihkan jati diri kita yang sejati, yang dikaruniakan Tuhan pada manusia sejak semula. Dikasihi secara personal oleh Kristus, diciptakan secara istimewa dengan berbagai keunikan, dan dipelihara dengan kasih Bapa yang kekal sejak semula. Aku telah diciptakan seturut gambaran Diri-Nya (Kejadian 1: 26-28). Dicintai tanpa syarat sebagaimana adanya diriku (Yohanes 3:16-17 dan Roma 5:8). Aku begitu berharga dan tak ternilai, ditebus dengan darah yang demikian kudus oleh Kristus (Mazmur 49: 7-8 dan 1 Petrus 1:19). Aku dibenarkan (Roma 5:1), dikuduskan (Ibrani 10:10, 1 Kor 1:2, 6:11). Aku anggota komunitas Kerajaan Allah (1 Pet 2:9), aku dijadikan anak Allah dan anggota keluarga Allah oleh karena iman (Yoh 1: 12 dan Efesus 1:1-7 serta Galatia 3:26).
Yah, sedemikianlah berharganya kita di hadapan Allah. Rancangan Allah yang Ia miliki bagi kita, mulia dan sempurna. Sayangnya, memilih untuk mengandalkan diri sendiri, menempatkan ego dan keinginan diriku di atas suara Tuhan yang selalu mengingatkan dengan halus dan lembut dalam nuraniku, membuat citra itu perlahan-lahan mengabur. Dan tahu-tahu inilah aku, rapuh dan tidak percaya diri lagi, karena tidak mengenali lagi siapa diriku yang sebenarnya di mata-Nya. Tetapi Allah bukanlah Tuhan yang mudah menyerah. Ia juga tidak pernah menyerah akan aku. Sekalipun dunia ciptaan-Nya mungkin telah terdistorsi begitu rupa oleh kejahatan manusia, Allah tetap mempercayai kita untuk melanjutkan karya agung-Nya. Melalui solidaritas teragung dalam sejarah umat manusia, Putera-Nya Yesus Kristus hadir ke dunia sebagai manusia, menunjukkan jalan untuk memulihkan kembali jati diri alam semesta dan seisinya sebagaimana citranya yang mula-mula. Solidaritas yang sedemikian mahal, yang dijalani Kristus dengan penderitaan salib yang sedemikian berat. Sama halnya dengan Kristus yang berjuang untuk menempuh jalan pemulihan itu, aku diajakNya untuk berjuang bersama dan di dalam Dia. Tidak ada yang mustahil bersamaNya, semuanya mungkin untuk menjadi baik kembali, dimulai dari diriku sendiri dan pilihan-pilihanku untuk menyangkal egoku dan memikul salib kecilku bersamaNya***
Kristen, muridku di Sekolah Minggu
Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.(Amsal 22:6)
Dari sejumlah murid Sekolah Minggu di paroki Katedral Sacred Heart of Jesus, Keuskupan Galveston-Houston di mana saya membantu mengajar, Kristen, dengan rambut ikalnya yang dikepang kecil-kecil, memang tampak berbeda. Bukan karena dia satu-satunya anak berkulit hitam di kelas usia 7-9 tahun itu, tetapi keceriaannya yang sangat spontan selalu membuat saya betah mengajaknya mengobrol di sela-sela waktu kosong, sambil menunggu orangtuanya datang menjemput sesudah kelas usai.
Suatu hari saya bertanya kepada Kristen apa warna kesukaannya. “Green”, jawabnya segera, sambil memamerkan senyum cerianya yang khas. Ketika saya bertanya lebih lanjut, mengapa dia suka warna hijau, Kristen dengan spontan nyaris tanpa berpikir, menjawab, karena warna itu mengingatkannya pada uang. “I looovee money…” sambungnya lagi dengan penuh semangat. Ya, uang dollar Amerika memang berwarna kehijauan, terutama lembaran satu dollar, yang tentu lebih banyak dilihat dan dipegang anak seusia Kristen daripada lembaran dengan nilai yang lebih tinggi.
Saya agak terhenyak mendapat jawaban yang tidak terduga itu. Seorang anak 7 tahun yang mencintai uang. Saya bertanya kembali apa istimewanya uang baginya sehingga ia mencintai uang. Ia menjawab sambil memandang saya dengan mata polosnya yang berbinar-binar, “Because we can have everything we want with money”. Saya tersenyum, “smart girl”, pikir saya. Saya belum sempat bercakap-cakap lebih jauh dengan Kristen, ketika ibunya yang sedang hamil datang menjemputnya sambil menggandeng adiknya yang baru berumur 2 tahun. Setelah mengucapkan selamat tinggal, Kristen segera menghilang di balik pintu kelas dengan langkah melompat-lompat seperti seekor kelinci yang kegirangan. Saya tercenung menyadari tingkahnya yang penuh kegembiraan itu, sambil membayangkan apa yang dilakukan kedua orangtuanya dalam kehidupan keluarga sehari-hari, walau mungkin bukan sesuatu yang mereka sadari, sehingga di usia sedini itu Kristen mempunyai disposisi khusus kepada uang?
Betapa antusiasnya jiwa seorang kanak-kanak memandang kehidupan. Baginya segala sesuatu adalah baik adanya dan penuh dengan kemungkinan. Saya membayangkannya seperti mata Tuhan sendiri ketika pertama kali menciptakan kita. Semuanya baik, semuanya mungkin, semuanya mulia, karena Tuhan menciptakan dengan tujuan yang indah dan mulia sejak semula.
Usia kanak-kanak, terutama di saat usia dini sekitar usia 2-10 tahun, sangat ideal untuk memperkenalkan segala yang baik dan mulia yang diajarkan Tuhan, yang sangat penting sebagai landasan bagi manusia untuk menjalani hidup yang penuh tantangan ini. Karena kepolosan dan rasa percayanya yang besar kepada kehidupan terutama kepada orang-orang dewasa yang menjadi figur panutannya, anak-anak akan mengikuti dengan sendirinya definisi yang kita berikan kepada mereka tentang kebahagiaan, tentang kesedihan, tentang nilai kehidupan, tergantung apa yang kita berikan kepadanya untuk dipercayai. Jika itu sesuatu yang luhur, maka seringkali jika hanya diungkapkan sekedar dalam kata-kata, nilai itu tidak menjadi miliknya. Tetapi bila hal itu dilihat dan dialaminya sendiri melalui perbuatan nyata, maka nilai itu menetap dan menjadi bagian dari diri mereka.
Pikiran saya melayang kepada keponakan saya di tanah air, yang seusia dengan Kristen. Pada Natal dua tahun lalu, saya mengajaknya merayakan kelahiran bayi Yesus dengan merelakan satu atau dua mobil-mobilan dari koleksi mobil mainannya yang sangat banyak, untuk diberikan kepada tetangga atau anak pembantu kami yang diketahuinya ingin mempunyai mainan tetapi tidak mempunyai uang untuk membelinya. Melihatnya lama menimbang-nimbang, tiba-tiba saya berkesempatan menegur diri saya sendiri, relakah saya sendiri juga melepaskan satu atau dua pasang sepatu saya dari kumpulan sepatu kesayangan saya untuk orang lain yang saya lihat sedang memerlukan? Bukan yang sudah mulai pudar warnanya atau yang sudah tidak muat lagi di kaki saya, tetapi yang masih bagus dan utuh, serta indah warnanya. Kalau saya meminta keponakan saya mempunyai nilai yang luhur untuk menjadi nilai yang diyakininya, saya harus mulai dengan diri sendiri dulu dan memberinya contoh nyata yang tidak akan dilupakannya. Oleh karena itu, mengajar nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak sesungguhnya adalah mengajar diri kita sendiri. Saya tidak dapat memberikan pengajaran nilai yang saya sendiri tidak mempraktekkannya. Jika hanya sekedar kata-kata dan nasehat yang saya sendiri belum tentu melakukannya, maka bukan hanya saya akan akan jatuh dalam dosa kemunafikan, anak-anak pun tidak akan menganggapnya cukup serius untuk dijadikan nilai hidup yang harus diperjuangkan.
Nilai-nilai takut akan Tuhan dan selalu berdoa untuk senantiasa dekat kepada Tuhan, mampu diserap dengan baik oleh anak-anak bila orangtua, sanak saudara, dan guru-gurunya juga senantiasa mempunyai sikap takut akan Tuhan dalam kehidupan nyata dan selalu berdoa dengan tekun siang dan malam. Sebaliknya, ketika saya mengajar mereka bahwa bergosip itu tidak baik dan menyedihkan hati Tuhan, tetapi saya masih membicarakan kelemahan pribadi tetangga atau membicarakan kesalahan orang lain di belakang punggungnya, maka anak-anak di sekitar saya akan menganggapnya sesuatu yang biasa dan lumrah untuk dilakukan.
Saya masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk Kristen, pekerjaan rumah bagi diri saya sendiri. Kelak Kristen akan mengerti bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dengan uang, dan tidak semua yang bisa didapatkan dengan uang akan membuat kita bahagia. Karena uang hanyalah sarana yang dikaruniakan Tuhan. Sebagaimana semangat kasih Tuhan yang mengaruniakannya sebagai suatu sarana, uang hanya akan benar-benar indah jika ia menjadi sarana untuk meringankan penderitaan dan kesusahan sesama manusia dan menyatakan kasih kita kepada Tuhan, dan bukan hanya untuk memuaskan kesenangan diri kita sendiri. Itulah tujuan sebenarnya dari uang, sama seperti sarana-sarana lainnya dalam hidup. Namun proses seperti apa yang akan membuat Kristen mengerti, juga tergantung dari bagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya menunjukkan jalan kepada pemahaman itu, dan orang terdekat itu adalah orangtua dan guru-gurunya, termasuk saya.
Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 19:14)
Dari sejumlah murid Sekolah Minggu di paroki Katedral Sacred Heart of Jesus, Keuskupan Galveston-Houston di mana saya membantu mengajar, Kristen, dengan rambut ikalnya yang dikepang kecil-kecil, memang tampak berbeda. Bukan karena dia satu-satunya anak berkulit hitam di kelas usia 7-9 tahun itu, tetapi keceriaannya yang sangat spontan selalu membuat saya betah mengajaknya mengobrol di sela-sela waktu kosong, sambil menunggu orangtuanya datang menjemput sesudah kelas usai.
Suatu hari saya bertanya kepada Kristen apa warna kesukaannya. “Green”, jawabnya segera, sambil memamerkan senyum cerianya yang khas. Ketika saya bertanya lebih lanjut, mengapa dia suka warna hijau, Kristen dengan spontan nyaris tanpa berpikir, menjawab, karena warna itu mengingatkannya pada uang. “I looovee money…” sambungnya lagi dengan penuh semangat. Ya, uang dollar Amerika memang berwarna kehijauan, terutama lembaran satu dollar, yang tentu lebih banyak dilihat dan dipegang anak seusia Kristen daripada lembaran dengan nilai yang lebih tinggi.
Saya agak terhenyak mendapat jawaban yang tidak terduga itu. Seorang anak 7 tahun yang mencintai uang. Saya bertanya kembali apa istimewanya uang baginya sehingga ia mencintai uang. Ia menjawab sambil memandang saya dengan mata polosnya yang berbinar-binar, “Because we can have everything we want with money”. Saya tersenyum, “smart girl”, pikir saya. Saya belum sempat bercakap-cakap lebih jauh dengan Kristen, ketika ibunya yang sedang hamil datang menjemputnya sambil menggandeng adiknya yang baru berumur 2 tahun. Setelah mengucapkan selamat tinggal, Kristen segera menghilang di balik pintu kelas dengan langkah melompat-lompat seperti seekor kelinci yang kegirangan. Saya tercenung menyadari tingkahnya yang penuh kegembiraan itu, sambil membayangkan apa yang dilakukan kedua orangtuanya dalam kehidupan keluarga sehari-hari, walau mungkin bukan sesuatu yang mereka sadari, sehingga di usia sedini itu Kristen mempunyai disposisi khusus kepada uang?
Betapa antusiasnya jiwa seorang kanak-kanak memandang kehidupan. Baginya segala sesuatu adalah baik adanya dan penuh dengan kemungkinan. Saya membayangkannya seperti mata Tuhan sendiri ketika pertama kali menciptakan kita. Semuanya baik, semuanya mungkin, semuanya mulia, karena Tuhan menciptakan dengan tujuan yang indah dan mulia sejak semula.
Usia kanak-kanak, terutama di saat usia dini sekitar usia 2-10 tahun, sangat ideal untuk memperkenalkan segala yang baik dan mulia yang diajarkan Tuhan, yang sangat penting sebagai landasan bagi manusia untuk menjalani hidup yang penuh tantangan ini. Karena kepolosan dan rasa percayanya yang besar kepada kehidupan terutama kepada orang-orang dewasa yang menjadi figur panutannya, anak-anak akan mengikuti dengan sendirinya definisi yang kita berikan kepada mereka tentang kebahagiaan, tentang kesedihan, tentang nilai kehidupan, tergantung apa yang kita berikan kepadanya untuk dipercayai. Jika itu sesuatu yang luhur, maka seringkali jika hanya diungkapkan sekedar dalam kata-kata, nilai itu tidak menjadi miliknya. Tetapi bila hal itu dilihat dan dialaminya sendiri melalui perbuatan nyata, maka nilai itu menetap dan menjadi bagian dari diri mereka.
Pikiran saya melayang kepada keponakan saya di tanah air, yang seusia dengan Kristen. Pada Natal dua tahun lalu, saya mengajaknya merayakan kelahiran bayi Yesus dengan merelakan satu atau dua mobil-mobilan dari koleksi mobil mainannya yang sangat banyak, untuk diberikan kepada tetangga atau anak pembantu kami yang diketahuinya ingin mempunyai mainan tetapi tidak mempunyai uang untuk membelinya. Melihatnya lama menimbang-nimbang, tiba-tiba saya berkesempatan menegur diri saya sendiri, relakah saya sendiri juga melepaskan satu atau dua pasang sepatu saya dari kumpulan sepatu kesayangan saya untuk orang lain yang saya lihat sedang memerlukan? Bukan yang sudah mulai pudar warnanya atau yang sudah tidak muat lagi di kaki saya, tetapi yang masih bagus dan utuh, serta indah warnanya. Kalau saya meminta keponakan saya mempunyai nilai yang luhur untuk menjadi nilai yang diyakininya, saya harus mulai dengan diri sendiri dulu dan memberinya contoh nyata yang tidak akan dilupakannya. Oleh karena itu, mengajar nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak sesungguhnya adalah mengajar diri kita sendiri. Saya tidak dapat memberikan pengajaran nilai yang saya sendiri tidak mempraktekkannya. Jika hanya sekedar kata-kata dan nasehat yang saya sendiri belum tentu melakukannya, maka bukan hanya saya akan akan jatuh dalam dosa kemunafikan, anak-anak pun tidak akan menganggapnya cukup serius untuk dijadikan nilai hidup yang harus diperjuangkan.
Nilai-nilai takut akan Tuhan dan selalu berdoa untuk senantiasa dekat kepada Tuhan, mampu diserap dengan baik oleh anak-anak bila orangtua, sanak saudara, dan guru-gurunya juga senantiasa mempunyai sikap takut akan Tuhan dalam kehidupan nyata dan selalu berdoa dengan tekun siang dan malam. Sebaliknya, ketika saya mengajar mereka bahwa bergosip itu tidak baik dan menyedihkan hati Tuhan, tetapi saya masih membicarakan kelemahan pribadi tetangga atau membicarakan kesalahan orang lain di belakang punggungnya, maka anak-anak di sekitar saya akan menganggapnya sesuatu yang biasa dan lumrah untuk dilakukan.
Saya masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk Kristen, pekerjaan rumah bagi diri saya sendiri. Kelak Kristen akan mengerti bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dengan uang, dan tidak semua yang bisa didapatkan dengan uang akan membuat kita bahagia. Karena uang hanyalah sarana yang dikaruniakan Tuhan. Sebagaimana semangat kasih Tuhan yang mengaruniakannya sebagai suatu sarana, uang hanya akan benar-benar indah jika ia menjadi sarana untuk meringankan penderitaan dan kesusahan sesama manusia dan menyatakan kasih kita kepada Tuhan, dan bukan hanya untuk memuaskan kesenangan diri kita sendiri. Itulah tujuan sebenarnya dari uang, sama seperti sarana-sarana lainnya dalam hidup. Namun proses seperti apa yang akan membuat Kristen mengerti, juga tergantung dari bagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya menunjukkan jalan kepada pemahaman itu, dan orang terdekat itu adalah orangtua dan guru-gurunya, termasuk saya.
Tetapi Yesus berkata: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 19:14)
Monday, March 4, 2013
Hai. mari bangunlah dan berdoalah
Kata-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan.” (Luk 22:46)
Jam weker kami untuk membantu kami bangun pagi berbunyi unik, yaitu berupa suara orang berseru-seru membangunkan orang tidur dengan kata-kata yang jenaka, “Up, up, up…you gotta get down, you gotta get down” (“bangun, bangun, kamu harus turun”) atau kadang ia bersuara “Throw your pillow, throw your pilloooww…!” (“ lempar bantalmu, lempar bantalmuuu..!”) dan seruan pendahuluan itu masih dilanjutkan dengan kalimat-kalimat lucu dengan intonasi dan logat yang berbeda-beda, mengajak kami untuk segera membuka mata, beringsut dari tempat tidur, dan bangkit. Di tengah rasa kesal karena masih ingin menikmati mimpi dalam tidur lelap di bawah selimut yang hangat, terselip rasa geli mendengar weker yang pandai berceloteh itu. Sering terjadi, yang membuat saya akhirnya membuka mata dan bangkit dari tempat tidur adalah dorongan yang saya rasakan dari kalimat-kalimat penyemangat yang jenaka itu, dan bukan semata karena kesadaran bahwa memang sudah waktunya bangun dan bekerja. Pabrik pembuat jam weker itu pasti menyimpulkan dari pengalaman bahwa sekedar bunyi dering biasa yang keras kebanyakan hanya akan membuat orang bangun sebentar dengan kesal untuk mematikan si weker, lalu melanjutkan tidurnya lagi.
Manusia mudah menjadi terbiasa akan sesuatu. Bahkan otot-otot manusia yang rutin dilatih dalam suatu gerakan olahraga tidak lagi menimbulkan efek pembakaran kalori yang efektif, bila gerakan latihannya selalu sama terus, tidak divariasikan dengan jenis gerakan (olah raga) yang lain. Ya, ada konteks di mana menjadi terbiasa adalah sesuatu yang baik dan membangun, dalam artian bila kita menjadi trampil dalam suatu hal yang baik karena sudah terbiasa. Tetapi hal menjadi terbiasa yang membuat nurani menjadi tumpul dan kehangatan kasih Tuhan menjadi tawar, membuat jiwa manusia menjadi kering. Kesibukan yang semakin padat karena tuntutan hidup yang makin tinggi, gerusan rutinitas yang memicu kelelahan mental, maupun keterikatan kepada dunia material, membuat manusia mempunyai lebih sedikit waktu untuk sesamanya, dan Tuhan. Sehingga lama kelamaan, manusia menjadi lebih mudah melupakan pengajaran yang diukirNya di dalam hati nurani. Menepikan sesama manusia demi kepentingan pribadi menjadi hal yang semakin biasa dan tidak dianggap keliru lagi. Korupsi, suap, perselingkuhan, hubungan seksual di luar perkawinan, yang begitu kerap terjadi, seolah semakin dapat diterima sebagai hal yang biasa. Hidup yang semakin nyaman di jaman yang semakin memberi kemudahan ini juga melahirkan efek yang sama. Berkat Tuhan yang melimpah dan sangat khusus yang terjadi setiap hari tidak lagi dianggap sesuatu yang harus disyukuri secara istimewa. Kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan yang terjadi pada sesama di sekitar kita, tidak lagi menjadi perhatian dan keprihatinan karena terasa sudah terlalu sering terlihat di depan mata dan diabaikan. Manusia menjadi mati rasa, sebagaimana saya memilih untuk tidur lagi atau tetap tertidur kalau dering wekernya hanya jenis dering standar yang berbunyi, “kriiingggg….”
Di masa Pra Paskah ini, dalam berpantang dan berpuasa dari berbagai makanan dan kebiasaan yang menyenangkan, sebenarnya Yesus mengajak saya untuk bangun dari tidur yang panjang, merenungkan sikap cepat berpuas diri dengan kehidupan doa yang ala kadarnya, mengevaluasi hal-hal yang sudah saya anggap biasa dan tidak berbahaya, padahal sesungguhnya merupakan kebiasaan yang membuat saya tidak tumbuh dan berbuah. “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh” (1 Kor 10:12). Mengingat kembali betapa dosa-dosa yang saya biarkan tidak saya akukan dalam Sakramen Tobat membuat suara hati saya semakin tumpul. Tuhan ingin agar saya selalu berjaga-jaga, tidak lengah, sehingga mudah diperdaya oleh ajakan Si Jahat, “Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala.” (Luk 12:35). Namun ajakan Yesus adalah selalunya untuk menjadi luar biasa, tidak hanya yang biasa-biasa dan standar saja, karena Ia memanggil saya menuju kepada kesempurnaan, ”Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.“ (Mat 5:48). Sampai di situ saya masih mencoba menawar pada Tuhan, “Sempurna..?, Oh Tuhan, rasanya saya udah ngeper duluan mendengar kata ‘sempurna’ itu”, keluh hati saya pada Tuhan, “ Saya, gitu loh Tuhan, apa ya bisa?” tanya saya dengan perasaan stress. Namun, saya lupa bahwa saya telah diciptakan secitra dengan Dia. Saya juga bukan sekedar ciptaan semata, karena saya dikasihi dengan kasih sempurna seorang ayah, Ayah yang sangat mengerti diri saya, yang tidak pernah berhenti mempercayai saya bahwa saya bisa (lih. Luk 13:8), dan terus bekerja bagi kebaikan kita, bahkan melalui kelemahan dan kegagalan kita, supaya kita terus bergerak menuju kesempurnaan dan hidup berkelimpahan dalam Dia, “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya (Mat 12:20a) dan kerinduan-Nya untuk memberikan semua yang terbaik bagi kita, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan (Yoh 10:10) .
Rasul Paulus mengajarkan bahwa menjadi sempurna adalah suatu proses (bdk. Flp 3:14), dengan berbagai pelajaran kedisiplinan. Suatu perjalanan, yang tidak terjadi dalam satu malam. Tuhan Yesus tidak meminta saya menjadi sempurna dengan kekuatan saya sendiri. Dengan terus mengarahkan energi kepada kasih Yesus dan kekuatan-Nya, perjalanan menuju kesempurnaan itu disegarkan dan dikembalikan selalu ke jalurnya. Lewat kurban salib-Nya, Tuhan Yesus mengajak saya memikul salib saya dan mengikuti-Nya dalam cinta, dan masa Pra Paskah memberi saya rahmat untuk menyegarkan kembali proses itu. Selama masa-masa ini, latihan menuju kesempurnaan itu diperbarui kembali. Langkah demi langkah upaya pertobatanku, mulai dari yang kecil dan sederhana, namun dilakukan dengan kesetiaan dan kasih, digandakanNya agar berhasil guna. Seperti lima roti dan dua ikan yang akhirnya memberi makan lima ribu manusia, karena dipersembahkan dalam nama-Nya. Tapi saya harus bangun dari kemalasan dan rasa puas diri saya untuk bisa terus berproses bersamaNya. Tuhan Yesus mengajak saya berjalan dua mil, sekalipun lingkup tugas duniawi saya hanya meminta satu mil. Melakukan lebih, mengasihi lebih, dan dengan sebaik-baiknya, karena bersama cinta-Nya saya bisa. Masa Pra Paskah adalah menyadari kembali betapa besarnya cinta kasih-Nya bagiku dan untuk bangun, merespon kasih itu dengan seluruh hidup dan cintaku, sebagaimana dengan penuh cinta, Kristus telah menyerahkan segala-galanya yang terbaik dari Diri-Nya, demi kelimpahan hidup sejati kita.
Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah. (Ibrani 12:2)
Doa: Terima kasih Tuhan Yesus Kristus, Sahabat dan Guruku yang setia, Engkau telah mati bagiku, supaya aku hidup dan berbuah, dalam damai dan sukacita yang memerdekakan. Di masa Pra Paskah ini, bantulah aku untuk memfokuskan segenap hidupku , memperbaiki diri, menyucikan hati, setahap demi setahap, mulai dari hal kecil dan sederhana, sambil terus meluangkan waktu untuk berdoa dan mendengarkan Engkau. Kuduskanlah niatku, pergandakanlah semangatku yang masih jatuh bangun ini, untuk berjuang bangkit dari dosa dan kemalasanku, memikul salibku dan mengikutiMu selalu. Bersama cintaMu dan kuasa kebangkitanMu, aku akan mampu menyelesaikan perjalanan ini. Engkaulah Tuhan dan Juruselamatku, yang selalu mengasihiku lebih dari yang mampu aku pikirkan. Terpujilah nama-Mu, kini dan selama-lamanya. Bunda Maria, doakanlah kami, untuk setia dan taat kepada Puteramu, amin. (Triastuti)
Labels:
candle of faith,
candle of light,
candle of prayer
Ajarilah kami Tuhan, bahasa cinta kasih-Mu
Menjelang peringatan hari kasih sayang tahun ini, saya merenungkan kasih tak bersyarat yang diberikan Tuhan kita Yesus Kristus di atas kayu salib, bagi kita manusia. Dalam film “Life of Pi” yang baru saya saksikan, Pi di masa remajanya mengungkapkan keheranan sekaligus kekagumannya kepada sosok Kristus yang baru diketahuinya, “Tuhan yang sempurna itu mati buat saya yang tidak sempurna ini ? Itu tidak masuk akal, cinta macam apakah itu?” Lantas saya teringat sebuah kutipan mengenai cinta, yang disampaikan Mother Teresa, bunyinya begini, “If you love until it hurts, there will be no more hurts, only more love”. Bunda Teresa yang menjalani hidup pelayanan yang luar biasa kepada sesama yang paling menderita dan terbuang itu, mampu menghayati cinta dalam bentuknya yang paling hakiki, karena diilhami oleh cinta kasih Tuhan yang teramat dalam bagi manusia. Ya, mengasihi orang yang mengasihi kita, tentu akan lebih mudah. Tetapi mengasihi orang yang membenci kita atau yang tidak mempedulikan kita, itu lain cerita. Padahal Yesus mengatakan,” Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka (Luk 6:32). Pada saat itu, kita harus belajar dari Sang Cinta itu sendiri, yang mati bagi kita pada saat kita masih seorang pendosa, dan yang masih terus mendukakan hati-Nya karena dosa-dosa yang belum sepenuhnya kita tinggalkan.
Bagaimana pesan Bunda Teresa itu menjadi masuk akal dan pertanyaan Pi bisa terjawab? Kristus sudah mencontohkannya dengan sempurna lewat sengsara-Nya yang penuh kehinaan dan penyangkalan harga diri sehabis-habisnya di kayu salib. Sebagaimana Kristus, mencintai kerap terasa sakit. Memberikan diri seringkali melelahkan, apalagi kalau cinta kasih kita tidak dianggap dan tidak dibalas oleh orang lain. Bagaimana kita membebaskan diri dari rasa sakit itu dan bisa mengasihi dengan bebas seperti Kristus? Cinta kasih kepada sesama adalah ‘lawan kata’ dari mempertahankan ego atau cinta diri. Mengasihi juga berarti tidak mengalah kepada ego. Cinta kasih sebagaimana dijelaskan dalam Surat Rasul Paulus kepada umat di Korintus bab 13 bersifat mati bagi diri sendiri (baca:ego), lalu mulai hidup bagi kepentingan dan kebahagiaan orang lain. Sifat alamiah dari ego adalah selalu perlu dibela dan dipertahankan, kalau perlu dengan segala macam cara yang mungkin. Bila itu tidak dipenuhi, maka ia akan menimbulkan rasa sakit. Bagaimana kita menguasai ego dan berhasil melewati ambang batas rasa sakit itu sehingga kita menemukan kebebasan dan kemerdekaan dengan mencintai tanpa syarat seperti cinta Kristus pada kita, dan tidak lagi terikat pada tuntutan ego yang amat demanding itu ? Sengsara Kristus yang luar biasa besarnya itu mengilhami kita untuk menemukan cara terbaik. Seperti juga yang dihayati Bunda Teresa dari Dia, yaitu justru dengan terus mencintai, terus mengasihi, terus mengampuni, terus memahami, sampai akhirnya ambang rasa sakit itu dilewati dan yang ada tinggal rasa cinta kasih dan belas kasihan yang semakin besar karena ia bertumbuh. Saat itu, ego sudah tidak dominan lagi, dan karena tidak pernah diberi “makan”, iapun tunduk dan tidak menguasai diri kita lagi. Yesus Kristus selalu mengajarkan pada kita, apa yang oleh dunia dan ego akan ditertawakan karena tidak masuk akal (seperti yang diungkapkan Pi di atas). Yaitu: berikan pipi kirimu jika pipi kananmu ditampar. Berikan jubahmu juga kalau bajumu diambil, dan seterusnya. Namun itulah justru metode efektif untuk membuat ego tunduk pada kita dan bukan sebaliknya.
Jika Guru kita mengajarkan demikian kepada kita, Ia tahu kita mampu melakukannya, asalkan kita terus bergantung kepadaNya. Karena Ia sendiri sebagai seorang manusia sejati telah melakukannya dan berhasil. Kristus telah menderita dengan cinta dan karena cinta…teladan sengsara dan wafat-Nya menunjukkan pada kita bahwa penderitaan hidup bisa dijalani dengan tenang dan justru memberi kekuatan pada orang lain. Itulah saat di mana penderitaan hidup yang sering dipertanyakan manusia, memberikan makna yang menumbuhkan. Dan semuanya itu mungkin, jika kita membiarkan ego menepi, dan cinta kasih mengambil peran. Cinta kasih sejati, yang sudah Tuhan tunjukkan tak henti-hentinya kepada kita. “O Tuhan Yesus Kristus, yang telah mati bagiku karena cintaMu padaku, tambah-tambahkanlah iman dan kasihku yang tak sempurna ini, amin.” Selamat hari kasih sayang. (Triastuti)
Labels:
candle of faith,
candle of light,
candle of love
Melayani dengan sukacita: merespon inisiatif kasih Allah
Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. (Ibr 10 : 24)
Pulang sekolah di siang yang panas itu, Metta setengah berlari masuk ke dalam rumah. Perutnya lapar sekali, ingin segera menikmati makanan kesukaannya sambil membayangkan mereguk jus strawberry segar yang selalu disiapkan ibunya untuknya. Tanpa membuka sepatu dan berganti baju, ia segera menuju meja makan dengan antusias. Tetapi segera Metta merasa kecewa, karena tidak seperti hari-hari biasa, meja makan siang itu kosong, tidak ada sesuatupun di atasnya, apalagi hidangan kesukaannya. Metta ngambek, tidak mau menerima penjelasan ibunya bahwa pagi tadi, mendadak ada permintaan tolong yang mendesak dari saudara ibunya yang sedang sakit, sampai-sampai sang ibu belum sempat menyiapkan makanan untuk gadis kecilnya. Akhirnya sang ibu berinisiatif menggandeng tangan Meta dengan lembut dan mengajaknya ke dapur. Ibu mengajak Metta ikut menyiapkan makan siang bersama, agar ia mengenal jerih payah di balik suatu kemudahan dan belajar untuk menghargainya. Ibu membimbing Metta untuk ikut mengiris keju, mengocok telur, dan memblender strawberry. Metta segera merasa keasyikan, ia pun melupakan segala kekesalan hatinya dan tersenyum gembira. Saat hidangan akhirnya siap, Metta pun dengan sukacita dan kepuasan tersendiri menyantap hidangan lezat itu bersama ibunya. Dan sejak itu ia mengerti bahwa segala sesuatu yang ia nikmati seringkali didahului oleh suatu proses dan pengorbanan.
Seperti Metta yang menganggap makanan kesukaannya harus selalu otomatis tersedia di meja saat jam makan tiba, saya pun kadang terlupa untuk mengingat bahwa di balik banyak hal yang bisa kita nikmati dengan mudah kapan pun kita inginkan dan butuhkan, ada orang-orang yang mengusahakannya dengan peluh dan usaha. Beras untuk saya makan ada yang menanam dan menuainya dengan memeras keringat, koran pagi untuk saya baca sambil sarapan ada yang mengetik dan menyusunnya sambil mengorbankan waktu tidur malamnya, dan contoh lain. Karena pekerjaan itu merupakan sebuah profesi, mereka mendapatkan imbalan dan apresiasi untuk karya-karya itu. Namun bagi para ibu sebagaimana ibu Metta, atau para pekerja sukarela bagi kemanusiaan misalnya, seringkali tidak ada imbalan apa-apa, bahkan diketahui oleh orang lain pun tidak. Hanya kasih yang tulus dari hati yang terdalam kepada Tuhan dan sesama yang menggerakkan semua itu, dan pada saat itu, sukacita dialami tanpa harus mendapatkan pengakuan dari orang lain, sukacita karena telah menanggapi panggilan untuk merespon kasih Tuhan, yang telah senantiasa dicurahkanNya kepada manusia tanpa syarat.
Dapat menikmati dan mengalami kasih karunia Tuhan dalam perayaan Ekaristi setiap Minggu dan persekutuan bersama umat seiman juga sebenarnya adalah suatu kemewahan, mengingat ada umat beriman di daerah konflik, di daerah terpencil, atau yang mengalami tekanan dari orang beragama lain, sehingga tidak selalu bisa menikmati karunia Allah yang begitu besar dalam sebuah perayaan Misa. Juga di negara perantauan di mana semuanya masih serba asing dan baru bagi saya dan suami. Kadang-kadang karena rahmat Tuhan Yesus yang amat istimewa ini berjalan rutin dan selalu siap tersedia setiap Minggu, saya tidak selalu ingat bahwa semua sukacita dan kemewahan untuk bisa bersama rekan seiman dan sebangsa di negeri asing ini tidak terjadi dengan sendirinya. Ada teman-teman yang bangun dan berangkat lebih pagi untuk menjadi lektor, misdinar, kolektan, atau eucharist ministry. Meluangkan waktu untuk menyiapkan bahan mengajar bina iman anak, atau dengan segenap hati membersihkan dan membuka-menutup pintu gereja. Ada petugas koor dan pemazmur yang menyisihkan waktunya untuk berlatih, dan di tengah berbagai penyelenggaraan acara kebersamaan, ada yang menyiapkan acara dan hidangan. Dan secara jangka panjang, tentu ada mereka yang bersama-sama pastor merelakan tenaga, talenta, waktu dan pikirannya, untuk mengurus segala keperluan administrasi, mengelola keuangan, mendokumentasikan aneka kegiatan, menjalin hubungan dengan komunitas lain, memperhatikan berbagai kebutuhan umat, menyusun dan mengedit warta antar umat, dan akhirnya, mengkoordinasi semua itu hingga bermuara pada pemenuhan kebutuhan umat Tuhan dan kemuliaan Tuhan dengan sebaik-baiknya. Luapan syukur yang mewujud dalam tindakan melayani tanpa pamrih karena mengalami Tuhan yang telah selalu dan lebih dulu memberikan segala yang terbaik kepada manusia yang dikasihiNya. Sebuah persembahan bagi Tuhan Allah Bapa di Surga, yang selalu aktif berinisiatif menyapa manusia melalui Yesus Kristus Putera-Nya, dan yang memanggil kita untuk berbagai-bagai pekerjaan baik.
Faith in action is love, and love in action is service. By transforming that faith into living acts love, we put ourselves in contact with God Himself, with Jesus our Lord.” – Mother Teresa
Tulisan ini dipersembahkan bagi yang terkasih teman-teman pengurus ICF beserta Pst. Nestor atas kasih dan pelayanannya yang tulus dan setia, sehingga Brisbane segera menjadi rumah kedua kami di dalam perjalanan iman kami kepada Tuhan sejak hari kedua kami menginjakkan kaki di kota ini. Semoga Tuhan Bapa di Surga memberkati dengan kepenuhan cinta-Nya, dan memimpin kita meneruskan kebersamaan dan persaudaraan sebagai keluarga besar dalam rahmat dan bimbingan-Nya. (Triastuti)
Rasa percaya VS keterbukaan suami isteri
Perlukah kita mengetahui setiap hal dari pasangan kita dan setiap kejadian yang dialami harus selalu diketahui bersama ?
Tentu secara umum, jawabnya adalah ya. Bahkan sebagian besar peristiwa hidup pasti mau tidak mau akan dialami dan diketahui bersama. Sebagai sepasang suami dan istri yang sudah berkomitmen untuk menjalani hidup bersama dan berbagi suka dan duka bersama, selayaknya semua peristiwa hidup dialami dan dihayati bersama. Walau demikian, tentu setiap orang punya hak untuk mempunyai rahasia, memiliki hobi pribadi (di mana pasangan kita mungkin tidak menyukai hal yang sama), mempunyai waktu menyendiri, atau sesekali merasa asyik dengan diri sendiri. Juga tidak semua sms, email, atau semisal pembicaraan pasangan di Facebook dengan teman-temannya harus senantiasa kita pantau dan dalam sepengetahuan bersama. Bila rasa saling percaya sudah kokoh di antara pasangan suami istri, hal-hal seperti itu tidak mutlak untuk dilakukan. Tentu sangat baik kalau bisa saling tahu, tetapi jika sedang tidak memungkinkan pun, hal itu bukan sesuatu yang harus membuat pasangan menjadi tertekan karena harus selalu saling mengetahui dan melapor. Sekali lagi kuncinya adalah, rasa saling percaya. Tetapi sebelum sampai ke sana, harus dijawab terlebih dahulu pertanyaan penting ini, “Dari mana dan bagaimana rasa saling percaya itu bisa tumbuh, menjadi kokoh, dan kemudian mampu menopang sendi-sendi relasi yang sehat di antara suami dan istri?” Dan inilah tantangan yang sebenarnya.
Rasa saling percaya itu dibangun dari komitmen yang terbukti dan nyata dalam menjalani hidup bersama sebagai suami istri. Misalnya selalu membiasakan untuk bersikap jujur dan terbuka dalam segala hal terutama dalam hal keuangan, pergaulan, usaha yang sedang ditekuni, acara-acara kantor dan keluarga, perasaan-perasaan hati, rencana-rencana ke depan, dan jadwal jadwal harian. Jika masing-masing dari kita harus mempunyai sebuah rahasia, rahasia semacam apa? Bila hal itu menyangkut kejujuran dalam hubungannya dengan kesetiaan, dengan keuangan, dengan kepentingan anak-anak, dengan keperluan keluarga besar, dengan usaha bersama, tentu tidak sepantasnya bila ada rahasia di antara suami istri. Komunikasi pribadi dengan teman yang berlawanan jenis pun sebaiknya saling diketahui oleh suami istri. Penghasilan suami dan istri selayaknya saling diketahui dan dikelola bersama. Kalau ada sesuatu yang penting atau berpengaruh bagi kehidupan berdua tetapi toh harus saling dirahasiakan, pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya, dan sesuatu itu harus diluruskan terlebih dahulu. Misalnya masalah komunikasi, salah pengertian, kebiasaan yang berbeda, atau perselingkuhan, baik perselingkuhan secara hati/mental maupun secara fisik. Prinsipnya sederhana : segala sesuatu yang harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi (rahasia), mungkin sesungguhnya adalah sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan sama sekali. Hati kita sendiri bisa menilai apakah tindakan kita yang terpaksa harus sembunyi sembunyi itu untuk kebaikan atau justru mempunyai potensi merusak kebahagiaan bersama. Misalnya sembunyi-sembunyi merencanakan hadiah ulang tahun atau pesta kejutan untuk pasangan tentu malahan amat berharga. Tetapi sembunyi-sembunyi berkomunikasi lewat dunia maya dengan seorang kenalan baru yang berkonotasi perselingkuhan tentu tidak seharusnya. Demikian juga merahasiakan jumlah pendapatan dari sebuah pekerjaan yang sudah diketahui bersama.
Maka, sekalipun baik untuk dalam hal-hal tertentu membiarkan setiap individu memiliki kepentingan pribadi dan urusan dengan dirinya sendiri, (karena setiap orang membutuhkan ruang bagi dirinya sendiri), namun semakin banyak kita dapat berbagi dengan pasangan hidup kita, semakin baik. Sebuah contohnya, walau dalam menekuni hobi, kadang kita menjalaninya sendiri karena pasangan kita kebetulan tidak sehobi, sangat baik jika sesekali kita turut serta dalam berkegiatan menjalani hobi pasangan. Contohnya seorang istri sesekali ikut hadir dalam acara nonton bola bareng dengan suami dan kawan-kawannya, dan sebaliknya seorang suami sesekali hadir dalam pameran merangkai bunga yang diadakan klub merangkai bunga yang diikuti sang istri. Hal ini juga membuat suami dan istri dapat saling mengenal dengan baik kawan-kawan dari pasangan masing-masing. Dan demikianlah kehidupan saling berbagi dan bahagia menjalani hidup bersama, yang merupakan cita-cita sebuah pernikahan ideal, akan mungkin untuk dicapai.
28 November 2012, Triastuti
Subscribe to:
Posts (Atom)